FAKTOR PENYEBAB KONFLIK
2.4 Analisis Konflik
2.4.3 Resolusi konflik
(1) Konsep resolusi Konflik
Melling (1994) diacu dalam FAO (1998) mendefinisikan resolusi konflik sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan kepada semua pihak yang memperbesar “kue” dan menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya
akan mendapat “kue” yang lebih besar. Definisi ini secara implisit menyiratkan
bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua pihak. Resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian. Resolusi dimana pihak-pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dan membahas isu-isu resolusi tersebut, namun bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan di pihak luar yang bertikai, tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain (Budiono 2005)
(2) Teknik resolusi konflik
Bennet dan Neiland (2000) menandaskan bahwa proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan di luar pengadilan atau penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses litigasi, akan memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam.
Dalam kenyataan sistem formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu, pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus,
pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik yang batasannya sudah jelas (Budiono 2005). Perbandingan resolusi konflik dengan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan kelemahan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR)
Litigasi Alternative Dispute Resolution (ADR)
Kelemahan (DKP 2002)
1 Memicu munculnya konflik ikutan
dan mendorong timbulnya
kemarahan antar kelompok
2 Membuat salah satu kelompok
curiga akan motif kelompok lainnya
3 Pengambilan keputusan yang lebih
lama
4 Lebih menekankan pada solusi
ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama-rasa
5 Menghasilkan pihak yang menang,
pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat
6 Lebih mahal baik ditinjau dari
energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya
Kelemahan (O’loughin and Schumaker
1998)
1 Kurang efektif bila digunakan pada
masalahyang kompleks dan sensitif
2 Dapat dipengaruhi oleh pemegang
otoritas
3 Pengambilan keputusan yang didasarkan
pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan
4 Pihak lain yang sebenarnya tidak
dibutuhkan masih dimungkinkan untuk
berpartisipasi sehingga mengganggu
proses resolusi konflik
5 Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi
hukum
Hambatan (Malik et al. 2003)
1 Proses peradilan menyerap
banyak waktu dalam jangka
panjang. Hal mana kemudian dapat menjadi kontra produktif bagi kaum tertindas. Semangat kaum tertindas dapat merosot, menciptakan dan mengkristalkan rasa frustasi dan
pada akhirnya menghancurkan
perjuangan karena organisasi
perjuangan menjadi lemah dan rapuh
2 Badan badan peradilan cenderung berpihak kepada para
penindas yang sedang berkuasa. Akibatnya, dalam proses peradilan
terdapat kecendrungan nuntuk
mengalahkan kepentingan rakyat tertindas
Hambatan (Malik et al. 2003)
Dapat berfungsi dengan baik jika memenuhi syarat-syarat:
1 Para pihak mempunyai kekuatan
tawar-menawar yang sebanding
2 Para pihak menaruh perhatian terhadap
hubungan dimasa yang akan datang
3 Terdapat banyak persoalan yang
memungkinkan terjadinya pertukaran
4 Terdapat urgensi atau batas waktu untuk
menyelesaikan
5 Para pihak tidak memiliki permusuhan
yang berlangsung lama dan mendalam
6 Jika para pihak mempunyai pendukung
atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan juga
mereka dapat dikendalikan oleh
pemimpinnya
7 Mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak
Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik (Gambar 3). Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik mengggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak (Bennet dan Neiland 2000)
Dalam kebanyakan sistem formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang
Creighton dan Priscoli (2001) menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 4. Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekwensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi
dapat diperluas hingga mencapai daerah “integrative bargaining collaboration”.
Pada daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan
Negosiasi Konsiliasi
Fasilitasi Mediasi
Arbitrasi
Negosiasi rule making
Litigasi Konfrontasi A lt ern a tive Dis fu te R eso lu tio
n Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Intervensi pihak ke tiga Bekerjasama untuk membangun konsensus
Penyelesaian melalui jalur pengadilan
Gambar 3 Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennet and Neiland 2000)
konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada
daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi “lebih buruk (worse off)”
Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable
settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
(1) Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya (2) Prosedural interest, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan (3) Relationship por phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan.
D Dihindari (Kalah untuk A+B)
C- Akomodasi
A- Kalah, B- Menang Kompetisi
A-Menang, B- Kalah
Tingkat Kepuasan untuk B
B-Negosiasi untuk mencapai kompromi
A+B Sama-sama kalah dan menang E-Negosiasi integratif T ingka t K epu as an unt uk A
Gambar 4 Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (Creigton dan Priscoli 2001)
Pendekatan penyelesaian konflik secara umum dapat dikategorikan (Gorre 1999) menjadi: (1) Mekanisme pembangunan konsensus di mana proses ini adalah keterlibatan semua pihak yang secara sukarela mencari alternatif penyelesaian yang mengakomodasi semua kepentingan, dan (2) Negosiasi yang mengacu pada dua atau lebih yang secara sukarela mendiskusikan perbedaan yang ada di antara mereka dan berupaya untuk mencapai keputusan bersama dalam kepentingan mereka. Kedua tersebut memerlukan komunikasi yang terbuka dan insentif untuk berkompromi harus tinggi karena keinginan untuk berkompromi yang tinggi menjadi kunci keberhasilan proses ini. Dalam proses ini, pihak ketiga dapat dilibatkan, baik itu mediator atau pihak dalam jalur judikatif (hukum), serta jalur legislative dapat mengarahkan resolusi konflik ini menjadi fokus.
Resolusi konflik dapat diharapkan menjadi dasar pengelolaan yang mengakomodasi perbedaan kepentingan semua pihak (industri, masyarakat-kokonsitituen dan stakeholders, pemerintah dan lembaga non pemerintah). Perencanaan ruang dapat digunakan sebagai produk interpretasi dari keinginan publik setempat dalam bentuk ketetapan tentang arah pemanfaatan yang sesuai dengan kaidah dan kondisi pembangunan yang dicita-citakan. Arah pemanfaatan ini meliputi alternatif dan skenario di masa depan (use plan) dan alternatif cara (guidance) untuk mencapai kondisi tersebut (Chapin dan Kaiser 1985).
Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), terdapat tiga elemen utama dalam resolusi konflik, yaitu (1) upaya memahami akar, penyebab, dan konsekuensi konflik wilayah pesisir dan laut melalui studi pemetaan konflik, (2) membuat proses yang transparan untuk pengambilan keputusan tentang konflik, dan (3) kemampuan untuk mengadopsi dan mengimplementasi pengukuran untuk memperbaiki kerusakan akibat pemanfaatan oleh pengguna pesisir dan laut atau dari kegiatan pengguna lain di luar wilayah pesisir dan laut. Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik (Cicin-Sain dan Knecht 1998)
Tahapan
resolusi konflik Tugas-tugas
Pranegosiasi
Getting started Pertemuan dengan stakeholders yang potensial untuk akses perhatian mereka dan menerangkan proses pembuatan konsensus; penanganan logistik dan rapat untuk pertemuan awal.
Peyusunan representasi
Mengadakan rapat dengan stakeholders untuk membantu memilih juru bicara atau team leader; bekerja dengan stakeholder awal untuk mengindentifikasi kelompok yang tidak terwakili atau strategi keterwakilan interest yang tersebar.
Drafting protocol dan setting agenda
Penyiapan draft pendahuluan yang didasarkan pada pengalaman masa lampau dan pertemuan yang manaruh perhatian; mengelola proses agenda setting.
Tahapan resolusi konflik Tugas-tugas Menarik hati dalam menemukan fakta yang terkait
Membantu untuk draft penemuan fakta pendahuluan; identifikasi konsultan teknik atau advisor untuk kelompok; mengatur pembiayaan dalam resource pool; memelihara kepercayaan atau informasi hak-hak pemilik.
Negosiasi Penemuan pilihan-pilihan
Mengelola proses brainstorming; mengusulkan pilihan-pilihan yang potensial bagi kelompok untuk dipertimbangkan; koordinasi subcommittees untuk draft option.
Packaging Mengadakan rapat secara privat dengan setiap kelompok untuk mengidentifikasi dan menguji kemungkinan traders; mengusulkan kemungkinan paket untuk kelompok untuk dipertimbangkan
Penulisan perjanjian
Bekerja dengan subcommittees untuk menghasilkan draft perjanjian; mengelola single-text prosedur; menyiapkan draft pendahuluan dari single-text.
Binding the parties
Memelihara sebagai tempat ikatan; pendekatan keluar kelompok; membantu menemukan cara-cara baru untuk mentautkan kelompok yang bertikai ke dalam komitmen mereka.
Ratifikasi Membantu partisipan menawarkan perjanjian ke pemilih; menyakinkan bahwa semuanya perwakilan telah tersentuh dengan pemilih-pemilih mereka.
Tabel 4 ( lanjutan)
Pasca Negosiasi (Implementasi) Menggabungkan
perjanjian informal dengan pembuatan keputusan formal
Bekerja dengan pihak yang bertikai untuk menemukan kesepahaman; pendekatan pemilih dari sebagian kelompok; mengidentifikasi kendala hukum pada implementasi.
Monitoring Memonitor implementasi; memanggil rapat kelompok monitoring.
Renegosiasi Mengumpulkan kembali partisipan jika muncul ketidaksetujuan; membantu untuk mengingatkan kelompok pada tujuan awal.
Sumber: Cicin-Sain dan Knecht (1998)
Metoda resolusi konflik sangat beragam tergantung pada konteks sosio- ekonomi dan politik dari suatu kondisi. Dalam masyarakat tradisonal, memposisikan pemimpin desa atau orang yang lebih tua dalam menangani konflik mungkin merupakan cara yang bagus dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan di dalam wilayah pesisir. Dalam masyarakat maju, konflik pesisir sering diselesaikan melalui upaya mediator yang tidak berpihak (netral) yang membantu pengelola pesisir membawa ke dalam suatu pertemuan bersama dan melakukan negosiasi terhadap suatu pemecahan masalah (Cicin-Sain and Knecht 1998).
Pengelolaan konflik adalah proses non-kekerasan yang mempromosikan dialog dan negosiasi dan memberikan panduan penyelesaian konflik agar konstruktif ketimbang destruktif. Elemen-elemen utama dalam pendekatan pengelolaan konflik modern terdiri dari: (1) aktor sosial yang peduli menyelesaikan pertikaian; (2) wilayah kepentingan dan beberapa sumber konflik, seperti perbedaan nilai, keinginan dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat; (3) forum untuk bernegosiasi dan peraturan dasar yang menyediakan kerangka kerja para pihak yang terlibat untuk bertemu dan berdiskusi; (4) data yang dapat dipercaya tentang sumber konflik; (5) opsi-opsi tindakan yang dihasilkan oleh pelaku yang terlibat dan didiskusika n diantara mereka; (5) merumuskan dan menuliskan persetujuan dari salah satu pilihan
yang disepakati; (6) mengesahkan persetujuan dan melaksanakannya (Wallace 2002).
Menurut Asy’ari (2003), terdapat beberapa langkah dalam mengatasi
konflik termasuk: (1) menggunakan kekuasaan dalam rangka mencegah konflik yang terjadi menyebar ke wilayah lain. Kekuasaan ini harus berdasarkan tindakan yang bijak dan tidak dipengaruhi oleh motif yang emosional; (2) memperlancar usaha kedua belah pihak untuk menurunkan ketegangan melalui cara-cara diplomatis. Situasi panas harus lebih dahulu didinginkan, dengan cara antara lain, penggunaan metode persuasif tapi bukan dengan paksaan karena hal ini hanya akan mendorong tindakan paksaan dari yang lain yang pada gilirannya akan menimbulkan kerugian pada orang atau kelompok lain; (3) upaya menghindar, itulah watak manusia untuk menghindari konflik sesudahnya yang
berkepanjangan. “Menghindarkan diri” adalah salah satu arif yang harus dimiliki
masyarakat. Sebuah konflik biasanya berasal dari mulut dan dari ucapan yang menyakiti orang lain.
Agar proses resolusi konflik berlangsung dengan baik, Rijsberman (2000) menyatakan ada dua prekondisi yang harus disiapkan. Prekondisi yang pertama adalah lingkungan hukum atau kebijakan yang menunjang. Prekondisi yang kedua adalah adanya keseimbangan kekuatan diantara stakeholder yang terlibat dalam konflik