• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENYEBAB KONFLIK

2.3 Kerangka Teoritis Konflik

2.3.3 Faktor penyebab konflik

Menurut Satria (2004) terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya; (1) konflik kelas yaitu konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground) yang mirip dengan kategori gear war conflict-nya. Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital, seperti konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya wilayah penangkapan tradisional; (2) konflik orientasi adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek); (3) konflik agraria merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata dan pertambangan, yang oleh Charles (1992) diistilahkan sebagai external allocation conflik; (4) konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik diatas menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan.

Warner (2000) mengidentifikasi empat hal yang dapat menjelaskan munculnya konflik atas sumber daya alam, yaitu: (1) perubahan demografis (masuknya pendatang baru mungkin didorong oleh menurunnya ekonomi atau ekologi kesejahteraan di sektor lain); (2) kompetisi sumberdaya alam (peningkatan ketergantungan pada sumber daya alam dapat meningkatkan persaingan); (3) tekanan pembangunan (sebagai dampak dari perubahan kebijakan

pemerintah); (4) ketidakadilan struktural (perubahan dalam perundang-undangan yang sangat membatasi akses sumber daya oleh kelompok masyarakat). Selain keempat alasan tersebut, kegagalan kelembagaan harus dipertimbangkan secara eksplisit. Dengan demikian kegagalan kelembagaan perlu dieksplorasi.

Bennet dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah (1) aktor, (2) ketersediaan sumberdaya dan (3) dimensi lingkungan.

Strategi pengelolaan perikanan tangkap yang cenderung tanpa batas dan lebih berorientasi pada kepentingan kepentingan ekonomi (economic based fisheries resource management), telah terbukti berakibat buruk terhadap kelangkaan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dalam situasi pemamanfaatan sumberdaya ikan yang serba tak terkendali, kelangkaan (scarcity) atau penipisan sumberdaya ikan terjadi. Kompleksitas dari kondisi yang demikian itu dapat menjadi faktor pemicu konflik (Budiono 2005)

KKP (2002) menandaskan bahwa terdapat tujuh penyebab konflik yang dapat dijelaskan berikut ini:

(1) Konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya. Dengan persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan.

(2) Konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan. Daerah/lokasi demikian sudah dipersepsi oleh nelayan memiliki potensi perikanan yang cukup banyak. Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat kualitas peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan yang sama. Fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi penangkapan.

(3) Konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas perikanan tangkap yang lebih rendah.

(4) Konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap.

(5) Konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan. Misalnya perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap yang lebih canggih menangkap jenis ikan yang sama di perairan pantai

(6) Konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain. Tingkat kualitas peralatan tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada pada lokasi yang sama.

(7) Konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain.

Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuatan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan

Budhi (2006) menandaskan bahwa perbedaan status sosial ekonomi yang sangat tajam yang diasumsikan sebagai pemicu bagi berkembang suburnya konflik di tengah masyarakat, sementara negara tidak mempunyai cukup ruang

untuk dapat memberikan fasilitas yang memadai sehingga konflik itu mencapai taraf kejenuhan dengan munculnya problem perlawanan masyarakat atau kerusuhan massa. Betapapun konflik sesungguhnya secara positif akan menciptakan dinamika dalam sebuah organisasi, akan tetapi manajemen pengelolaan konflik adalah tidak harus diabaikan sehingga yang paling pokok adalah bagaimana memahami sumber dis-harmoni dan kesenjangan sosial, ekonomi maupun politik itu. Serangan terhadap sumber konflik itulah yang seharusnya menjadi wilayah pengkajian maupun strategi kebijakan baik oleh penyelenggara pembangunan maupun sumber kekuatan yang ada pada masyarakat.

Hardin (1968) dalam artikelnya berjudul “The tragedy of commans.”

menjelaskan bahwa sumberdaya yang tergolong kepada public property resource setiap orang akan bebas untuk melakukan kegiatan ekspoitasi. Gejala ini, yang diistilahkan sebagai open acces, akan melahirkan dorongan kepada setiap orang untuk meningkatkan level ekploitasinya. Hal ini disebabkan dalam kondisi open acces orang cenderung berfikir bahwa jika ia absen dari kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya itu, maka sumberdaya yang tidak dia ekploitasi ada kemungkinan akan diekploitasi oleh orang lain.

McGodwin (1990) mengembangkan ide Hardin telah menjelaskan bahwa karena orang akan cenderung berlomba-lomba untuk mengeksploitasi sumberdaya yang semakin lama semakin berkurang itu, maka konflik antara orang-orang yang terlibat dalam pengeksploitasian itu akan lahir dan semakin lama akan semakin meningkat intensitasnya karena orangnya bertambah sementara sumberdayanya semakin berkurang. Oleh karena itu, usulan untuk menghindari anggapan bahwa laut merupakan public property resource.

Peluso dan Harwell 2001 menjelaskan bahwa ada hubungan antara identitas sosial suatu kelompok dengan teritori yang ditempatinya. Lebih lanjut Adhuri (2003) menjelakan bahwa ada keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup. Keterkaitan ini bisa diwujudkan dalam bentuk konsep kepemilikan (property right).

Teori yang dikembangkan oleh Stewart (2002) menjelaskan bahwa jika terdapat ketimpangan di masyarakat yang sudah melebihi ambang batas toleransi,

maka konflik akan segera terpicu, terutama antara mereka yang berada pada posisi rendah dengan mereka yang berada di level atas.

Menurut Gorre (1999) bahwa sumber konflik dapat dikategorikan dalam lima jenis sebagai berikut: (1) Masalah hubungan, konflik ini biasanya merupakan awal dan merupakan tingkat konflik yang paling ringan. Dalam masalah hubungan ini biasanya terdapat perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang; (2) Konflik yang disebabkan oleh data. Konflik ini umumnya terjadi karena tidak tersedianya dasar yang berlaku (standar) bagi pengumpulan data yang dilakukan oleh pengguna yang berbeda. Masalah data juga timbul karena kurangnya informasi bagi pengguna untuk mengambil keputusan yang tepat. Selanjutnya Gunawan (2000) mengemukakan bahwa masalah yang mendasar dari konflik akibat data adalah adalah ketidak pahaman pengguna data akan persepsi yang dipakai dalam proses pengumpulan, pengolahan, hingga penyajian data tersebut. Namun demikian, konflik yang terjadi mungkin saja merupakan akibat dari perbedaan kepentingan dan prioritas pembangunan antara satu pihak dan pihak yang lain; (3) Konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan. Konflik ini biasanya dilatar belakangi oleh perbedaan kebutuhan antara beragam pengguna dari sumberdaya alam yang sama. Dalam hal ini, keputusan akhir harus didasari pada pilihan yang mewakili kepentingan mayoritas pengguna. Bersamaan dengan itu, keputusan tersebut harus memberikan pilihan atau kompensasi pada pengguna yang kepentingannya tidak dapat dipenuhi (Manguiat 1999); (4) Konflik yang disebabkan oleh masalah struktural. Konflik ini terjadi disebabkan oleh perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan karena ketidak mampuan salah satu atau beberapa pihak karena adanya hal-hal yang sifatnya eksternal di luar kendali pihak-pihak tersebut. Keterbatasan mandat atau yurisdiksi dari pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam mengambil keputusan ideal adalah contoh konflik struktural; (5) Konflik nilai, disebabkan oleh adanya perbedaan sistem nilai yang dianut oleh salah satu pengguna dengan nilai yang diterapkan oleh pengguna lain. Konflik biasanya timbul bila salah satu pengguna memaksakan diterapkannya nilai-nilai yang digunakannya kepada pihak lain