BAB III PENETAPAN STATUS JUSTICE COLLABORATOR DALAM
C. Kewenangan Hakim Dalam Penetapan Justice Collaborator
Hukum memegang peranan penting bagi kehidupan negara dan masyarakat.
Hukum merupakan pedoman tingkah laku bagi segenap anggota masyarakat yang meliputi semua aspek kehidupan, dengan terwujudnya ketertiban dan keadilan. Apabila terdapat pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan maka akan dilakukan suatu penyelesaian secara cepat dan kasuistik dan tidak dapat ditampung dalam bentuk penyelesaian secara umum, seperti yang diatur dalam pengaturan hukum, penyelesaian ini hanya dapat dilakukan oleh pengadilan. Pada hakikatnya, pengadilan merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara hukum, merupakan barometer dari kemampuan bangsa untuk melaksanakan norma-norma hukum dalam negara, sehingga tanpa pandang bulu siapa saja yang melanggar hukum akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
14Menurut Luhut M.P. Pangaribuan, terdapat suatu konsep ajudikasi yaitu suatu proses hukum untuk menyelesaikan satu perkara dimana hakim memberikan putusan atas suatu perkara yang diajukan padanya dalam hal ini
13 Purnama Permadi, Penerapan Justice Collaborator Dalam Peradilan Pidana Di Indonesia, … Diakses pada tanggal 4 Februari pukul 12.05 WIB.
14 Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2002), hlm.290.
oleh penuntut umum dalam kedudukannya di satu lembaga kehakiman. Dalam memberikan putusan, hakim bersifat independen termasuk terhadap koleganya dalam lembaga kekuasaan kehakiman.
15Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman), bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan hakim adalah badan yang menjalankan peradilan. Adapun peradilan adalah pemutus perselisihan yang timbul, baik antara warga negara yang satu dengan yang lain, maupun antara warga negara dan pemerintah, ataupun antara alat-alat pemerintah sesamanya.
Dalam ajaran hukum, alat negara yang memiliki kekuasaan untuk melakukan peradilan disebut dengan kekuasaan peradilan atau kekuasan yudikatif.
Sedangkan kekuasaan perundang-undangan dipegang oleh kekuasaan legislatif dan kekuasaan pelaksanaan negara dipegang oleh kekuasaan eksekutif. Hakim dalam menjalankan peradilan harus bebas dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Hakim haruslah seorang ahli hukum yang jujur dan tidak dapat disuap atau didorong untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari keadilan menurut hukum yang berlaku.
16Padmo Wahjono menjelaskan bahwa persyaratan teoritis mengenai suatu negara yang berdasar atas hukum lazimnya adalah pertama ada suatu pola untuk menghormati dan melindungi hak-hak manusia, kedua ada suatu mekanisme kelembagaan negara yang demokratis, ketiga ada suatu sistem tertib hukum, dan keempat ada kekuasaan kehakiman yang bebas. Menurut Oemar Seno Adji
15 Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Ad Hoc: Suaru Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Program pasca sarjana fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), h.192.
16 R. Soesilo, Tugas-Kewenangan dan Wewenang Penyidik, Jaksa, Hakim (Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP), (Bandung: PT Karya Nusantara, 1984), h.82.
suatu pengadilan yang bebas merupakan suatu syarat yang sangat diperlukan dalam suatu negara dibawah rule of law, dengan adanya pengadilan yang bebas, bukan berarti hakim dapat bertindak sewenang-wenang. Pendapat ini dipertegas lagi oleh Jimly Asshiddiqie dengan merujuk pada pemikiran Montesqieu yang adalah seorang hakim di Perancis, bahwa prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman telah menjadi salah satu ciri terpenting dari setiap negara hukum yang demokratis. Sebab, tidak ada negara yang dapat disebut sebagai negara demokrasi tanpa praktek kekuasaan kehakiman yang independen. Jimly Asshiddiqie juga mengutip Mukti Arto yang mengatakan bahwa lembaga pengadilan itu sangat penting dikarenakan tiga alasan yaitu (i) pengadilan merupakan pengawal konstitusi, (ii) pengadilan bebas merupakan akar negara hukum.
17Pasal 18 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kebebasan hakim tidak dapat diintervensi dalam keadaan dan oleh siapapun tetapi kebebasan tersebut secara substansial dibatasi oleh hukum dasar negara dan keadilan, karena hakim di dalam memberikan keadilan harus berdasarkan Pancasila.
18Hakim diberikan hak istimewa (privilege) oleh negara untuk menentukan salah-tidaknya, benar-tidaknya tindakan seseorang, mati-hidupnya, ataupun baik- tidaknya sesama manusia. Oleh karena itu hakim harus benar-benar kompeten, berintegritas, dan dapat dipercaya. Hakim dalam melakukan pemeriksaan suatu perkara di persidangan harus sesuai dengan hukum acara pidana yang telah ditentukan. Menurut Purwoto S. Gandasubrata, hakim dalam mengadili perkara akan mengikuti nilai-nilai hukum dalam masyarakat yaitu:
1. Dalam kasus yang hukumnya atau Undang-Undang sudah jelas
17 Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, (Jakarta: Penaku, 2012), h.35.
18 R. Soesilo, Tugas-Kewenangan dan Wewenang Penyidik, Jaksa, Hakim (Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP), … h.82.
mengaturnya, maka tinggal menerapkan hukum atau Undang-Undang tersebut (hakim menjadi terompet Undang-Undang);
2. Dalam kasus yang hukum atau undang-undangnya tidak atau belum jelas, maka hakim akan menafsirkan hukum atau undang-undang melalui cara-cara atau metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum;
3. Dalam kasus dimana terjadi pelanggaran/penerapan hukum yang bertentangan dengan hukum/undang-undang yang berlaku, maka hakim akan menggunakan hak mengujinya, yang dapat berupa pengujian formil atau pengujian materil.
4. Dalam kasus yang belum ada undang-undang/hukum yang mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum dalam masyarakat.
Pasal 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 1 angka 8 KUHAP menjelaskan bahwa hakim disemua pengadilan adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk mengadili. Pengertian mengadili dalam hal ini adalah mengadili dalam arti luas, karena hakim dalam mengadili perkara menurut Pasal 1 angka 9 KUHAP sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Konsep ini sama halnya dengan pendapat Mauro Cappeletti bahwa “judge have administrative responsibility for managing the cases, fixing dates for their hearing and resolution of the cases”.
19Terkait dengan justice collaborator hakim memiliki beberapa kewenangan seperti dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menjelaskan bahwa seseorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim
19Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana,
… h.170.
dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Pasal ini menjelaskan bahwa hakim dapat mempertimbangkan kesaksian dari justice collaborator, serta memberikan keringanan pidana. Selanjutnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa saksi pelaku atau justice collaborator dapat diberikan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Salah satu bentuk peghargaan yang dapat diberikan adalah keringanan penjatuhan pidana. Pasal 10A ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menjelaskan bahwa untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya, dimana tuntutan ini akan diberikan kepada majelis hakim dalam persidangan. Penjelasan pasal ini menjelaskan bahwa hakim harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh rekomendasi dari LPSK yang dimuat dalam tuntutan penuntut umum. Kegunaan hakim harus memeriksa rekomendasi ini dikarenakan terkait dengan penjatuhan hukuman pidana yang akan diberikan kepada saksi pelaku tersebut.
20Pertimbangan terkait pengurangan hukuman atas terdakwa yang memberikan kerjasama dalam penyidikan atau penuntutan wajib dilakukan, hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Poin ke-7 dalam . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 menjelaskan bahwa Mahkamah Agung meminta kepada para hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus, antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya. Hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan sebagai berikut:
211. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau
2. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara
20 Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, … h.37.
21 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Satu Kompilasi KUHAP dan Ketentuan- ketentuan Pelaksana dan Hukum Internasional yang Relevan, … h.1322.
terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
Pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama juga menjelaskan dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan permohonan penghargaan, Penuntut Umum wajib menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam membantu proses penegakan hukum agar dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
2222 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Satu Kompilasi KUHAP dan Ketentuan- ketentuan Pelaksana dan Hukum Internasional yang Relevan, … h.1326.
58
BAB IV
PENETAPAN PEMBATALAN JUSTICE COLLABORATOR OLEH HAKIM DI PENGADILAN TIPIKOR
A. Mekanisme Pemberian Status Justice Collaborator Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan Justice Collaborator Secara tersurat, penyebutan Justice Collaborator belum ada di dalam undang-undang, . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 secara terperinci menjelaskan definisi dan bentuk perlindungan terhadap justice collaborator.
1Sebelumnya, sebuah konsep yang sedikit mirip, telah diakui keberadaannya yakni saksi mahkota. Namun, metode penggunaan saksi mahkota berdasarkan KUHAP lebih banyak taktik penuntutan, yang mana dilakukan kasus perkasus berdasarkan diskresi jaksa.
Eksistensi justice collaborator secara tersirat selain disamakan dengan eksistensi saksi mahkota, dalam peraturan perundang-undangan khusus, juga diatur secara tersirat.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tidak menjelaskan secara terperinci bagaimana mekanisme pemberian status Justice Collaborator terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Mekanisme pemberian status Justice Collaborator, Pertama, Pelaku mengajukan permohonan kepada lembaga penegak hukum (Polisi ,Kpk, Jaksa, Hakim), Kedua, lembaga penegak hukum melakukan musyawarah dengan syarat-syarat yang sudah tertera di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 (dalam pemeriksaan pengadilan), Ketiga, apabila permohonan pelaku disetujui maka lembaga penegak hukum mengeluarkan penetapan Justice Collaborator.
Pertama, Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi mengatur mengenai hak dan perlindungan bagi setiap saksi, pelapor, ataupun saki pelapor
1 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, (Bandung: Alumni, 2015), h.77.
yang ternyata juga terlibat dan dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang memperkuat keterlibatan yang bersangkutan, yang terhadap mereka tidak dapat diberikan perlindungan berupa status hukum, tetapi tetap diberikan perlindungan terhadap rasa aman dalam proses pemeriksaann peradilan. yang dimaksud dengan status hukum adalah status seseorang pada waktu menyampaikan suatu informasi, saran, atau pendapat kepada penegak hukum atau Komisi dijamin tetap, misalnya status sebagai pelapor tidak diubah menjadi sebagai tersangka.
Kedua, Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
2Undang-Undang tidak menjelaskan maksud yang lebih terperinci, tetapi dapat ditafsirkan bahwa saksi dalam kategori ini berstatus sebagai saksi dan juga tersangka yang membantu mengungkapkan kasus pidana, dapat berupa:
a. Memberikan keterangan dalam persidangan untuk memberatkan terdakwa lainnya
b. Memberikan informasi mengenai keberadaan barang/alat bukti atau tersangka lainnya yang sudah ataupun yang belum diungkapkan
c. Kontribusi lain yang berdampak kepada terbantunya aparat penegak hukum d. Frase dalam kasus yang sama dalam rumusan pasal diatas dimaksudkan adalah hanya dalam kasus-kasus posisi saksi juga sekaligus tersangka dalam kasus yang sama.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memberikan payung hukum pertama untuk pelaku yang bekerjasama, yang disebut juga didalam Undang-Undang ini dengan istilah “saksi yang juga tersangka”
Rumusan ini adalah satu-satunya rumusan yang berhasil mencantumkan peran
2 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, ... h.79.
dari seorang pelaku yang bekerjasama dan rekomendasi penghargaan bagi kontribusinya.
3Namun di dalam penerapannya Pasal 10 ayat (2) memiliki beberapa kelemahan yaitu ruang lingkup pelaku yang bekerjasama masih terbatas, peran pelaku yang bekerjasama harus dalam pengadilan, persyaratan yang masih belum terlalu jelas, pemberian reward yang terbatas, perlindungan yang belum pasti, dan tidak ada standar perhitungan kontribusi pelaku yang bekerjasama.
Pada dasarnya, ketentuan norma Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tersebut dalam doktrin dan praktik hukum di negara Anglo Saxon dikenal sebagai Plea Bargaining System. Dalam praktik, plea bargaining dilakukan dengan membuat pernyataan bersalah atau dikenal dengan terminologi “guilty plea”, sehingga dengan pernyataan bersalah seorang terdakwa akan mendapat pengurangan hukuman. Kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 diatasi dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung, yang didorong oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan LPSK, menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (selanjutnya disebut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011). Mengingat belum ada pedoman yang bisa dijadikan panduan bagi aparat penegak hukum maka keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 ini menjadi produk hukum yang sifatnya transisi, sangat berkontribusi untuk memperkuat Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Menurut Lilik Mulyadi dalam Bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya penanggulangan Organized Crime menjelaskan pada dasarnya perundang-undangan secara tersirat telah mengakui keberadaan whistleblower dan justice collaborator.
3 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime,... h.82.
Namun, penegasan whistleblower dan justice collaborator baru muncul pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut, dijelaskan whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.
4Sehingga tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.
Surat Edaran Mahkamah Aagung Nomor 04 Tahun 2011 menjelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidan tertentu tersebut. Salah satu acuan lain Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 adalah Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003, yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Ketentuan Pasal 37 ayat (2) berbunyi setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
Sedangkan pada Pasal 37 ayat (3) menyatakan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan dan penuntutan
4 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), h.109.
(justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini. Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes) dan Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009.
Meskipun keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tidak mengikat sebagaimana Undang-Undang, eksistensinya dijadikan sebagai petunjuk bagi pengadilan bawahan. Sebagaimana pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa Surat-surat Edaran Mahkamah Agung itu tidak mengikat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, melainkan justru memberikan pertolongan kepada mereka, yang mungkin sudah ada gagasan seperti yang termuat dalam surat-surat edaran itu, tetapi ragu-ragu atau kurang berani menjalankan gagasan tersebut. Sementara itu, menurut Oemar Seno Adji, dengan surat edarannya, Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi yang bertugas untuk mengawasi agar jalannya peradilan dilakukan secara saksama dan penerapan hukum dilakukan sebagaimana semestinya, memberikan bimbingan pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada pengadilan-pengadilan bawahan dalam pelaksanaan tugas peradilannya.
Oemar Seno Adji juga menjelaskan bahwa undang-undang sulit mengikuti secara adequate perkembangan masyarakat dan untuk mengatur secara menyeluruh dan tuntas suatu persoalan. Oleh karena itu, menjadi tugas hakim untuk mencari dan menemukan hukum dalam menghadapi perundang-undangan yang masih terus mengikuti derap lajunya masyarakat. Surat-surat Edaran Mahkamah Agung berusaha mengatasi dan megisi kekurangan-kekurangan atau kekosongan-kekosongan yang kadang-kadang dialami dalam praktik peradilan. Mahkamah Agung berusaha mengatur cara dan jalannya peradilan di negara kita, supaya sesuai dengan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Setelah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi yang baru pada
tahun 2014, pengaturan mengenai justice collaborator sedikit menemukan titik
terang, di dalam penjelasan umumnya dijelaskan bahwa saksi pelaku yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah justice collaborator. Pada tahun 2011 menurut Maharani Siti Shopia, dari 124 permohonan yang diterima oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada tahun tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai justice collaborator yakni saksi yang juga pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dengan memberikan informasi kepada penegak hukum.
Metode Kerja dalam sistem hukum pidana pada saat ini menunjukkan kelemahan, karena sering kali belum mampu mengungkap, melawan, dan memberantas berbagai kejahatan terorganisir.
5Peran justice collaborator sangat penting untuk membantu aparat penegak hukum agar dapat membongkar suatu tindak pidana tertentu. Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjsama menjelaskan syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah:
61. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisir
2. Memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir
3. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapkannya 4. Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak
pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis 5. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman,
tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Surat Edaran Mahkamah Aagung Nomor 04 Tahun 2011 juga memberikan persyaratan yang lebih jelas mengenai syarat dari pelaku yang
5 Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, (Jakarta: Penaku, 2012), h.19.
6 Tim MaPPI FHUI, Bunga Rampai Kejaksaan Republik Indonesia, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), h.394.