• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENETAPAN STATUS JUSTICE COLLABORATOR DALAM

B. Lembaga-Lembaga Yang Berwenang Dalam Menetapkan Justice

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 571/01-55/05/2016 tentang penetapan Abdul Khoir sebagai saksi pelaku yang bekerjasama.

Penetapan ini berawal dari Abdul Khoir yang mengajukan permohonan sebagai justice collaborator kepada KPK. Hakim di dalam perkara ini telah menjatuhkan putusan berupa menghukum Abdul Khoir dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun. Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tersebut lebih berat dari tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yakni 2,5 (dua koma lima) tahun penjara. Pertimbangan hukum majelis hakim menjelaskan bahwa penetapan Abdul Khoir sebagai justice collaborator berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 571/01-55/05/2016 tertanggal 16 Mei 2016 tidak tepat, dan tidak dapat dijadikan pedoman bagi Majelis Hakim.

Permasalahan di dalam kasus ini adalah pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa tidak tepatnya status justice collaborator yang telah ditetapkan oleh KPK kepada Abdul Khoir, yang mana ia telah membantu jaksa KPK mengungkap pelaku lainnya.

6

B. Lembaga-Lembaga Yang Berwenang Dalam Menetapkan Justice Collaborator

Kejahatan-kejahatan terorganisir atau juga berbagai kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime, menjadi dorongan bagi penegak

5 Putusan Pengadilan Nomor: 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst. h.225.

6 Putusan Pengadilan Nomor: 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst. h.252.

hukum agar dapat dan mampu melakukan upaya-upaya baru dalam menggali informasi-informasi untuk dapat membuktikan suatu tindak pidana tersebut.

Keterbatasan alat bukti yang diberikan KUHAP, membuat penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan harus dapat melahirkan gagasan-gagasan baru untuk dapat memerankan seorang pelaku menjadi seorang saksi yang dapat memberikan keterangan kepada penegak hukum untuk membantu merumuskan pembuktian. Penetapan justice collaborator dapat dibagi menjadi dua yaitu penetapan pada saat proses persidangan dan penetapan setelah putusan dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Peraturan mengenai penetapan justice collaborator yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 merupakan penetapan yang dilakukan pasca putusan dijatuhkan. Sedangkan terkait dengan penetapan justice collaborator pada saat proses persidangan diatur dengan standar operasional masing-masing instansi.

7

Penjelasan Pasal 34 A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012) menjelaskan bahwa kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 34 A ayat (3) berbunyi bahwa yang menetapkan haruslah instansi penegak hukum, yang dimaksud dengan instansi penegak hukum adalah instansi yang menangani kasus terkait, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional. Sebelum penegak hukum menetapkan seseorang menjadi saksi pelaku yang bekerjasama, mereka juga harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

8

7 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, (Bandung: PT Alumni, 2015), h.71.

8 Purnama Permadi, Penerapan Justice Collaborator Dalam Peradilan Pidana Di Indonesia, (Jurnal Lex Crimen Vol. 2 No.3, 2013) Diakses pada tanggal 4 Februari pukul 12.05 WIB

Kejaksaan Republik Indonesia berdasarkan Pasal 34A tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan penetapan terhadap seseorang untuk menjadi justice collaborator. Tetapi di Kejaksaan tidak terdapat suatu prosedur atau standart operational procedure (SOP) khusus yang mengatur terkait penetapan justice collaborator baik pada saat persidangan yaitu proses penuntutan maupun pasca putusan. Meskipun KUHAP belum memberikan pengaturan mengenai penggunaan pelaku/ tersangka/ terdakwa yang memberikan kesaksian pada kejahatan yang dilakukannya sendiri namun dalam praktiknya sudah sering melakukan mekanisme tersebut yang dikenal dengan istilah saksi mahkota.

Pendapat dari pihak Kejaksaan menjelaskan bahwa justice collaborator juga dapat disebut sebagai saksi mahkota. Saksi mahkota ini digunakan untuk membantu penuntut umum dalam tahap pembuktian didalam sebuah kasus yang kekurangan alat bukti serta melibatkan lebih dari satu pelaku. Saksi mahkota itu sendiri didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.

Tujuan dari adanya saksi mahkota adalah untuk bersaksi terhadap pelaku lain. menurut jaksa yaitu Moh. Irfan dan Andre, menurut keduanya terdapat beberapa syarat dalam penetapan justice collaborator yaitu:

1. Harus didalam tindak pidana penyertaan atau pelaku harus lebih dari 1 (satu) orang. Jika tindak pidana tidak penyertaan maka tidak akan ada justice collaborator, dikarenakan justice collaborator adalah orang yang berasal dari kelompok yang melakukan tindak pidana yang diungkapkannya, tetapi peranannya yang paling sedikit;

2. Harus dilakukan dengan mekanisme splitsing sebagaimana diatur dalam Pasal 142 KUHAP yaitu pemisahan berkas perkara antar para terdakwa;

3. Harus didalam suatu kondisi yaitu sulit ditemukan alat bukti lain, artinya ada kekurangan alat bukti, sehingga digunakan saksi mahkota.

Sedangkan untuk kriteria seseorang menjadi justice collaborator menurut

Andre adalah sebagai berikut:

1. Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius dan terorganisir;

2. Keterangan yang diberikan harus signifikan, relevan dan benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana;

3. Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama dalam perkara tersebut karena kehadirannya sebagai justice collaborator untuk mengungkapkan siapa pelaku utama dalam kasus tersebut, dan hanya berperan sedikit dalam perkara tersebut;

4. Mengakui perbuatannya didepan hukum dan bersedia mengembalikan aset yang diperolehnya dengan cara kejahatan itu secara tertulis.

Moh. Irfan berpendapat bahwa selama ia bekerja di Kejaksaan, terkait dengan prosedur yang digunakan pihak Kejaksaan RI dalam penetapan justice collaborator sampai saat ini belum ada aturan tertulis seperti SOP atau PERJA yang mengatur terkait prosedur tentang penetapan justice collaborator.

Walaupun tidak ada aturan internal khusus yang mengatur justice collaborator, Kejaksaan telah menggunakan mekanisme justice collaborator sejak zaman berlakunya HIR dengan sebutan kroongetuige (saksi mahkota/ justice collaborator). Dikarenakan tidak adanya aturan yang mengatur terkait prosedur penetapan justice collaborator di Kejaksaan, sehingga Kejaksaan belum pernah mengeluarkan surat penetapan terhadap seseorang yang menjadi justice collaborator tetapi dapat dilihat bahwa berkas antara para pelaku dipisahkan (splitsing), hal ini merupakan syarat dari adanya kroongetuige.

Berdasarkan pendapat pribadi dari narasumber, menjelaskan bahwa mengenai

status justice collaborator yang sedang marak ini, terdapat politik hukum di

dalamnya. Munculnya banyak permintaan dari Dirjen Pembinaan

Pemasyarakatan terkait penetapan justice collaborator yang menjadi salah satu

syarat pemberian remisi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi over capacity

yang terjadi di lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia. Pada saat

seseorang menjadi saksi dalam perkara terdakwa lainnya, maka dia wajib

disumpah dan apabila ia memberikan keterangan yang palsu, maka akan dikenakan pasal 242 KUHP tentang keterangan palsu. Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Nomor B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, yang menyatakan: “Dalam KUHAP tidak terdapat istilah saksi mahkota, namun sebelum berlakunya KUHAP, istilah saksi mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti, namun dalam Berita Acara Pemeriksaan istilah tersebut tidak pernah dicantumkan.

Dalam praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim.

Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa.

keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri sesuai ketentuan pasal 189 (3) KUHAP, oleh karena itu dengan berpedoman pada pasal 142 KUHAP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan secara terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini masih mengakui saksi mahkota sebagai alat bukti sebagai contoh, misalnya Putusan Mahkamah Agung. Nomor: 1986 K/Pid/1 989 tanggal 2 Maret 1990 menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian (gesplits). Satu-satunya putusan Pengadilan yang menolak saksi Mahkota sebagai alat bukti adalah Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan Marsinah, yang menyatakan “saksi Mahkota bertentangan dengan hukum” (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1174 K/Pid/1994, 381 K/Pid/1994, 1592 K/Pid/1994 dan 1706 K/Pid/1994).”

Sehingga dalam penggunaan saksi mahkota dapat digunakan dalam keadaan

terjadinya penyertaan (deelneming), alat bukti sangat minim, dan harus

diadakan pemisahan berkas perkara. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum menjelaskan bahwa prinsipnya, proses hukum terhadap saksi pelaku

yang bekerjasama tidak boleh dilakukan bersamaan dengan pelaku lain yang diungkap tindak pidananya. Hal ini dapat dilakukan dengan penundaan penuntutan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama, termasuk pemberkasan secara terpisah dari berkas pelaku lain yang diungkapkan tindak pidananya.

Penundaan penuntutan dan pemberkasan terpisah sangatlah penting dikarenakan mempermudah penuntut umum dan hakim untuk mengajukan dan memberikan tuntutan dan hukuman yang tepat bagi saksi pelaku yang bekerjasama dibandingkan dengan pelaku lain yang diungkap tindak pidananya, serta penundaan tersebut berguna untuk menilai sejauh mana kebenaran informasi yang diberikan oleh saksi pelaku yang bekerjasama serta signifikan peran yang bersangkutan dalam tindak pidana yang dilaporkannya.

9

Salah satu cara untuk mendorong seorang pelaku dalam suatu tindak pidana menjadi saksi pelaku yang bekerjasama adalah dengan memberikan penghargaan atas kerjasama yang mereka berikan. Bentuk penghargaan yang diberikan dapat berupa penghargaan seperti penghapusan penuntutan, atau pemberian keringanan tuntutan/hukuman, pemberian pidana percobaan, pemberian remisi atau grasi. Terkait penghargaan yang akan diberikan kepada saksi pelaku yang bekerjasama, ada pula negara lain yang memberikan penghargaan berupa insentif finansial bagi pelaku yang bekerjasama, baik berupa pemberian uang atau kemungkinan untuk menyimpan sebagian dari hasil tindak pidana yang dilakukannya (Sistem di Amerika misalnya memungkinkan pemberian insentif uang kepada saksi pelaku yang bekerjasama untuk menyimpan sebagian dari uang hasil tindak pidana yang dilakukan).

Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) menjelaskan bahwa setiap negara wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan, pemberian kekebalan atas penuntutan terhadap

9 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, … h.67.

seseorang yang memberikan kerja sama yang berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana tersebut. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 telah mengatur bahwa seseorang yang telah ditetapkan menjadi justice collaborator maka tidak akan menghilangkan pidana tetapi akan diberikan hukuman yang lebih ringan dari terdakwa lainnya.

Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mempunyai kewenangan dalam menetapkan seseorang sebagai justice collaborator. Mekanisme justice collaborator biasanya berawal permintaan berupa surat dari Dirjen Pemasyarakatan, rujukannya berasal dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Wilayah, kemudian menyurat ke penegak hukum, misalnya Kepolisian Resor (POLRES). Surat tersebut tidak meminta suatu penetapan status justice collaborator, tetapi berisi permintaan rekomendasi atau pendapat dari kepolisian apakah seseorang yang dijelaskan di dalam tersebut (terpidana) dapat diberikan remisi.

Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait penetapan seseorang menjadi

justice collaborator di Kepolisian juga belum diatur lebih lanjut. Hanya saja

pasca putusan pihak Kepolisian RI memiliki kewenangan untuk membuat suatu

penetapan tertulis untuk menetapkan seseorang yang ingin bekerjasama untuk

membantu penegak hukum dalam membongkar kasus tersebut. Sehingga,

pihak dari Dirjen Pemasyarakatan dapat melakukan konsultasi dengan

penyidik yang menangani perkara terlebih dahulu. Hal yang dikonsultasikan

terkait perilaku dari tersangka selama dimintai keterangan dalam penyidikan,

apakah bersifat kooperatif atau tidak. Tapi dalam prakteknya tidak secara

spesifik menyebutkan yang bersangkutan sebagai justice collaborator, hanya

sebatas kooperatif atau tidak. Penentuan tersangka dikatakan kooperatif atau

tidak itu sangatlah subjektif dan tidak ada kriteria khusus atau syarat-syarat

yang harus dipenuhi. Hal ini dimuat dalam suatu surat jawaban atas permintaan

dari Dirjen Pemasyarakatan. Pada saat beliau menjadi anggota di Polres

Sumatera Selatan, beliau pernah menerima surat-surat dari Kementerian

Hukum dan HAM terkait perilaku terpidana tertentu.

Sejak tahun 2004 sampai dengan 2016 Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri belum pernah menetapkan seseorang menjadi justice collaborator baik pada saat penyidikan maupun pasca putusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Tindak pidana korupsi ini memiliki karakteristik victimless (tidak ada yang merasa menjadi korban). Tindak pidana korupsi juga bukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu atau dua orang saja, tetapi memerlukan kolaborasi dan kerjasama dengan berbagai pihak agar terlaksananya maksud dari tindak pidana korupsi tersebut, dan biasanya saksi-saksi di tindak pidana korupsi juga sebagai pelaku.

Dalam prakteknya, tidak semua saksi ditetapkan menjadi tersangka, karna jika semua menjadi tersangka maka akan kekurangan saksi. Sehingga, pihak penyidik akan terlebih dahulu mendengar keterangan saksi-saksi tersebut.

Sedangkan yang menjadi tersangka biasanya orang yang paling bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat secara objektif misalnya orang tersebut merupakan orang yang menerima keuntungan paling banyak, jabatannya paling tinggi.

Sehingga penetapan tersangka biasanya kepada pemutus kebijakan tertinggi yang terlibat pada tindak pidana tersebut. Sementara yang membantu atau turut serta melakukan dijadikan saksi terlebih dahulu. Dalam tahap penyidikan dalam memberikan keterangan, saksi juga akan dinilai oleh penyidik apakah ia kooperatif, serta saat diberi pertanyaan tidak berbelit-belit dalam menjawabnya. Maka biasanya akan menjadi saksi biasa saja. Tapi apabila kesaksian dari saksi tersebut sebaliknya, sehingga menyulitkan penegak hukum membuktikan peranan pelaku utama, maka penyidik dapat melihat adanya perbuatan secara bersama-sama antara si pelaku utama dengan saksi tersebut.

10

Hambatan dalam mekanisme justice collaborator adalah apabila penyidik sudah menetapkan, belum tentu pihak Kejaksaan RI yaitu jaksa penuntut umum yang menangani kasus tersebut akan setuju dengan pendapat penyidik jika orang tersebut ditetapkan menjadi justice collaborator. Berbeda dengan mekanisme yang ada pada KPK dikarenakan penyidik dan penuntut umum

10 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, … h.98.

berada salam satu instansi yang sama, mereka telah berkoordinasi dari awal terkait penetapan justice collaborator tersebut. Maka dari itu, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI seharusnya membuat suatu nota kesepahaman terkait penetapan seseorang sebagai justice collaborator.

Jika dilihat dari yang sudah dijelaskan sebenarnya saksi-saksi yang kooperatif di dalam suatu kasus korupsi, apabila dilihat dari pengertian justice collaborator yaitu saksi pelaku yang bekerjasama.

11

Saksi yang kooperatif ini dapat dikategorikan sebagai justice collaborator karena sudah bekerjasama dengan penegak hukum. Tetapi juga menjadi hambatan terkait kadar dari kerja sama yang dimaksud dalam konsep justice collaborator, dan reward yang akan didapatkan oleh seorang justice collaborator jika ia melakukan kerjasama dengan penegak hukum. Berbeda dengan plea bargaining dimana yang bersangkutan sudah bernegosiasi dengan jaksa penuntut umum terkait pasal yang akan digunakan, dan pidana yang akan dijalani, sedangkan di Indonesia tidak ada yang memberikan garansi kepada terdakwa apakah yang bersangkutan akan mendapatkan penghargaan berupa pengurangan hukuman.

Jika melihat Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, sebenarnya beban untuk memberikan remisi atau hak-hak lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan pihak Kepolisian RI hanya merekomendasikan dengan memberikan pendapat bahwa terpidana tersebut berkelakuan baik dan pada saat proses pemeriksaan bersifat kooperatif. Kewenangan dalam menetapkan seseorang sebagai justice collaborator, selain Kejaksaan RI, BNN, dan Kepolisian sebagaimana telah dijelaskan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia juga memiliki kewenangan tersebut. Pihak KPK telah memiliki prosedur sesuai kebijakan yang berlaku dalam pemberian rekomendasi justice collaborator. Rekomendasi justice collaborator untuk pemberian remisi sebenarnya sudah ditetapkan sebelum seorang narapidana masuk ke lembaga pemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor

11 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, … h.102.

04 Tahun 2011 dalam butir 9 huruf b serta Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung RI, Kapolri, KPK, dan LPSK di dalam Pasal 10 ayat (2) yang menjelaskan bahwa jaksa penuntut umum akan mencantumkan yang bersangkutan adalah justice collaborator di dalam tuntutannya. Sehingga terkait permintaan surat rekomendasi justice collaborator dalam kelengkapan administrasi untuk memperoleh remisi hanya tinggal melakukan cross-check terhadap salinan putusan.

KPK RI dapat menerbitkan 2 (dua) surat yaitu surat keputusan pimpinan KPK terkait penetapan seseorang menjadi justice collaborator dan surat keterangan bekerjasama. Untuk surat penetapan seseorang menjadi justice collaborator ditentukan berdasarkan . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011. Sedangkan surat keterangan bersama diperuntukkan bagi orang yang memberikan kerjasama dengan penegak hukum dan mengungkapkan kasus lainnya. Contoh dari surat keterangan bekerjasama yang pernah dikeluarkan oleh KPK RI adalah Nazaruddin, yang mana ia telah memberikan informasi kepada pihak KPK terkait kasus Andi Malarangeng, dan Anas Ubaningrum. Sedangkan untuk surat penetapan justice collaborator contohnya ada pada kasus Abdul Khoir yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK terkait penetapan justice collaborator terhadap Abdul Khoir.

Peraturan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Bersama tentang

Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor,dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

menjelaskan bahwa tujuan dari dilahirkannya peraturan bersama untuk

menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas

aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan/atau

terorganisir. Serta Pasal 2 ayat (2) huruf a menjelaskan bahwa peraturan

bersama ini bertujuan untuk mewujudkan kerjasama dan sinergitas antar aparat

penegak hukum dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui

upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia menjadi Pelapor,

Saksi Pelapor dan/atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam perkara tindak

pidana. Serta didalam . Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011

angka 9 menjelaskan bahwa pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:

1. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam . Surat Edaran Mahkamah Agung ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

2. Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana;

Selain dari prosedur penetapan justice collaborator, diatur juga terkait pemberian penghargaan kepada justice collaborator seperti menjatuhkan pidana percobaan bersyarat, dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud, Maka dari itu baik pihak Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional dalam menangani sebuah kasus yang mana terdapat saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya.

12

Selain dari 4 (empat) instansi yang telah dijelaskan sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 10A ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan bahwa untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada

12 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, … h.106.

hakim. Sedangkan untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan

bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain, LPSK memberikan

rekomendasi secara tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum, hal ini diatur dalam

Pasal 10A ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Penetapan

seseorang sebagai justice collaborator dapat dilakukan oleh 5 (lima) instansi

yaitu Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional Republik

Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi

Republik Indonesia, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik

Indonesia.

13

Dokumen terkait