KEWENANGAN HAKIM TERHADAP PEMBATALAN SAKSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
IHFA RAHMAWATI NIM: 11160480000017
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
i
KEWENANGAN HAKIM TERHADAP PEMBATALAN SAKSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
IHFA RAHMAWATI NIM: 11160480000017
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
ii
KEWENANGAN HAKIM TERHADAP PEMBATALAN SAKSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untun Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
IHFA RAHMAWATI NIM: 11160480000017
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.
NIP. 19590319 197912 1 001 NIP. 19850610 201903 1 007
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini :
Nama :Ihfa Rahmawati
Tempat, tanggal lahir :Tangerang, 11 Juli 1998
NIM :11160480000017
Program Studi :Ilmu Hukum
Alamat :Jalan Pinang RT.001/003 No.31,
Kel.Pamulang Timur, Kec.Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15417 (087784292861)
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islan Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
ABSTRAK
Ihfa Rahmawati. NIM 11160480000017. KEWENANGAN HAKIM TERHADAP PEMBATALAN SAKSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI, (Studi Putusan
No.32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst), Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2020 M, ix + 75 halaman + 4 halaman daftar pustaka.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mekanisme pemberian status Justice Collaborator terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dan Kewenangan hakim menentukan seseorang menjadi Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi. Adapun rumusan masalah, pertama mekanisme pemberian status Justice Collaborator terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi, Kedua kewenangan hakim menentukan seseorang menjadi Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi Perkara Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/Pn.Jkt.Pst.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan penelitian kasus (Case Approach) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa mekanisme pemberian status Justice Collaborator terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Mekanisme pemberian status Justice Collaborator, Pertama, Pelaku mengajukan permohonan kepada lembaga penegak hukum KPK. Kedua, KPK melakukan musyawarah atas kontribusi Abdul Khoir dalam membantu penegak hukum untuk membokor kasus tindak pidana korupsi, Ketiga, KPK mengeluarkan surat keputusan pimpinan KPK Nomor 571/01-55/05/2016. Keempat, Dalam persidangan jaksa KPK membacakan tuntutan yang juga berisikan bahwa Abdul Khoir ditetapkan sebagai Justice Collaborator. Kelima, Hakim berwenang menerima ataupun membatalkan status Justice Collabirator atas dasar keyakinan hakim ataupun peraturan perundang-undangan. Penetapan Justice Collaborator Abdul Khoir sebagai pelaku yang di berikan status Justice collaborator oleh KPK dalam persidangan di pengadilan status tersebut dibatalkan oleh hakim karena melihat fakta hukum di persidangan bahwa abdul khoir ini merupakan orang yang menjadi pelaku utama atau orang yang memiliki peran yang besar di dalam perkara Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/Pn.Jkt.Pst. Adapun hakim memiliki kewenangan membatalkan bahwa yang dapat menjadi Justice Collaborator adalah bukan pelaku utama sehingga hakim tidak dapat menerima Abdul Khoir menjadi Justice Collaborator dan statu Justice Collaborator Abdul Khoir yang telah ditetapkan oleh KPK dinyatakan dibatalkan oleh Hakim.
Kata Kunci : Justice Collaborator, Penegak Hukum, Kewenangan Hakim.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Burhanudin, S.H.,M.Hum.
2. Fathudin, S.H.I.,S.H.,M.A.Hum.,M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1976 Sampai Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat, hidayat, dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “KEWENANGAN HAKIM TERHADAP PEMBATALAN SAKSI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No.32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst)”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini, selain itu tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih yaitu antara lain kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. dan Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. Pembimbing Skripsi peneliti, saya ucapkan terimakasih atas kesempatan waktu, arahan, kritik, dan saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
4. Prof Dr. A. Salman Manggalatung, S.H., M.H. dan Mara Sutan Rambe, M.H. Penguji Skripsi peneliti, saya ucapkan terimakasi atas kesempatan waktu, arahan, kritik, dan saran yang diberikan demi kebaikan dari skripsi saya.
5. Kepala Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya ucapkan terimakasih telah memberikan peneliti fasilitas untuk
mencari bahan bacaan dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
6. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada ibu saya Lisnawati, ayah kandung saya (Alm) Mansori, dan ayah tiri (Alm) Pudjono Heru yang telah mendo’akan dan mendukung saya hingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini.
7. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam penyelesaian karya tulis ini.
Jakarta, 10 Juni 2020
Ihfa Rahmawati
viii
DAFTAR ISI
COVER ... i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian... 8
E. Sistematika Pembahasan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA A. Kerangka Konseptual ... 12
B. Kerangka Teori... 31
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu... 36
BAB III PENETAPAN STATUS JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA A. Kasus Posisi ... 38
B. Lembaga-Lembaga Yang Berwenang Dalam Menetapkan Justice Collaborator ... 40
C. Kewenangan Hakim Dalam Penetapan Justice Collaborator ... 51
ix
BAB IV PENETAPAN PEMBATALAN JUSTICE COLLABORATOR OLEH HAKIM DI PENGADILAN TIPIKOR
A. Mekanisme Pemberian Status Justice Collaborator Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi ... 56 B. Kewenangan Hakim Terkait Pembatalan Status Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi Perkara Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/Pn.Jkt.Pst ... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 74
B. Rekomendasi ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga Bab I Bentuk dan Kedaulatan. Menurut Sudikno Mertokusumo hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya, antara memberikan kebebasan kepada individu dan melindungi masyarakat terhadap kebebasan individu.
Mengingat bahwa masyarakat itu sendiri terdiri dari individu-individu yang menyebabkan terjadinya interaksi, maka akan selalu terjadi konflik atau ketegangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat.
1Untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat, pemerintah berusaha merekayasa keadaan sosial, dengan salah satu alatnya adalah hukum pidana.
Moeljatno mengemukakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar- dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang dan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar aturan tersebut.
2Hukum berfungsi sebagai perlindungan untuk kepentingan manusia. Fungsi hukum yang sangat penting membuat pelaksanaan hukum harus berjalan lancar dan tertib, dikarenakan hukum yang dilanggar harus ditegakkan dan diadili.
Kemudian, penegakan hukum juga dapat dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana yang memiliki tujuan untuk menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan jaminan atas pelaksanaan suatu hukum
1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, cet. 3, (Yogyakarta: Liberty, 2007), h.41.
2 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.1.
disuatu negara. Mardjono Reksodiputro memberikan definisi sistem peradilan pidana (criminal justice system) yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti mengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi masyarakat.
3Oleh karenanya tujuan sistem peradilan pidana adalah Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
4Sistem peradilan pidana merupakan suatu lembaga yang sengaja dibentuk guna menjalankan upaya penegakan hukum yang dalam pelaksanaannya dibatasi oleh suatu mekanisme kerja tertentu dalam suatu aturan tentang prosedur hukum (yang saat ini di Indonesia dikenal sebagai Hukum Acara Pidana). Hukum Acara Pidana tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Negara Indonesia, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang mana diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, hal ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat penting, bahkan seringkali menjadi faktor penentu dalam mengungkap suatu tindak pidana. Pengertian keterangan saksi diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Kemudian diatur bahwa keterangan satu orang saksi saja tidak cukup untuk dapat dijadikan sebagai alat
3 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, cet. 3, ... h.160.
4 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, cet.1, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), h.19.
bukti yang sah dalam membuktikan bahwa seorang terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) KUHP.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang- kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Agar keterangan saksi dapat menjadi alat bukti yang sah harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan didalam KUHAP.
5Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Pengecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP seperti;
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga atau yang bersama-sama menjadi terdakwa, dan lain-lain.
6Di Indonesia dewasa ini dalam sistem peradilan pidana mengenal istilah saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Justice Collaborator mulai dikenal pada tahun 2006 melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 10 Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah bersalah. Mekanisme justice collaborator juga sering dipersamakan dengan saksi mahkota. Justice collaborator terdengar sejak Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika,
5 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, cet. 11, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.286.
6 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafik,2009), h.260.
tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Peraturan ini dibentuk untuk memberikan kesepahaman antar instansi tersebut.
Konvensi PBB yaitu United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003 dan United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes (UNTOC) tahun 2000, terkait justice collaborator telah dibahas dalam pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) UNCAC dan Pasal 26 UNTOC. Terkait pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap negara peserta wajib mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama.
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pada Pasal 34 A menjelaskan bahwa salah satu syarat narapidana dapat diberikan remisi adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Pasal 34 A ayat (3) menjelaskan bahwa kesediaan untuk bekerjasama harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi.
Penjelasan Pasal 34A dijelaskan bahwa Komisi Pemberantas Korupsi Republik Indonesia berwenang untuk menetapkan narapidana yang bersedia untuk bekerjasama membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Penjelasan Pasal 34A juga tidak menjelaskan bahwa hakim memiliki
kewenangan untuk menetapkan seseorang menjadi justice collaborator (saksi
pelaku yang bekerjasama). Saksi pelaku yang bekerjasama atau Justice
Collaborator juga terdapat di dalam kasus korupsi atas nama terdakwa Abdul
Khoir dengan Putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst. Dalam kasus
ini, Abdul Khoir telah ditetapkan menjadi saksi pelaku yang bekerja sama
(justice collaborator) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan
Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 571/01-55/05/2016 tertanggal 16 Mei
2016. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 34A Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menjelaskan bahwa yang berwenang memberikan status Justice Collaborator tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan bahwa saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan, tetapi jika ia terbukti bersalah, kesaksiannya akan dijadikan pertimbangan dalam meringankan pidana.
SEMA Nomor 04 Tahun 2011, jika para hakim menemukan orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya. Sehingga, pengaturan dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2011 tidak menjelaskan memberikan kewenangan hakim untuk menetapkan seseorang menjadi justice collaborator.
Kasus korupsi atas nama terdakwa Abdul Khoir tersebut, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Abdul Khoir sebagai justice collaborator, Tentu dalam hal ini Jaksa telah mempertimbangkan hal-hal seperti Abdul Khoir telah membantu membongkar kasus tersebut kejaringan yang lebih luas. Beberapa peraturan dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2011 tidak menyebutkan bahwa memberikan kewenangan hakim untuk menetapkan seseorang menjadi justice collaborator.
7Perkara Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst hakim memberi perspektif bahwa keputusan jaksa yang telah menetapkan Justice Collaborator terhadap Abdul Khoir tidak tepat. Oleh sebab itu dalam Penelitian skripsi ini akan membahas mengenai mekanisme pemberian status justice collaborator dan
7 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Satu Kompilasi KUHAP dan Ketentuan- ketentuan Pelaksana dan Hukum Internasional yang Relevan, (Depok: Papas Sinar Sinanti, 2015), h.1322.
kewenangan hakim dalam memeriksa perkara yang telah mendapat status justice collaborator dari KPK. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah maka peneliti akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam Skripsi yang berjudul: “Kewenangan Hakim Terhadap Pembatalan Saksi Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst).”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka identifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mekanisme pemberian status Justice Collaborator.
b. Perbedaan pendapat antara Jaksa dan Hakim mengenai kekurang Tepatan pemberian Justice Collaborator terhadap perkara No.32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst.
c. Pertimbangan Jaksa dalam memberikan Justice Collaborator terhadap perkara No.32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst.
d. Pertimbangan Hakim dalam pembatalan Justice Collaborator yang di berikan terhadap perkara No.32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst. kurang tepat.
2. Pembatasan Masalah
Luasnya permasalahan dalam kewenangan hakim dalam memeriksa perkara yang telah mendapat status Justice Collaborator dari KPK membuat peneliti membatasi masalah hanya pada Kewenangan hakim terhadap pembatalan saksi Justice Collaborator dalam perkara Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah yang
diangkat adalah Kewenangan hakim dalam memeriksa perkara yang telah
mendapat status justice collaborator dari KPK. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti uraikan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pemberian status Justice Collaborator terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi ?
b. Bagaimana kewenangan hakim menentukan seseorang menjadi Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi Perkara Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/Pn.Jkt.Pst?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui mekanisme pemberian status Justice Collaborator terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi.
b. Untuk mengetahui kewenangan hakim menentukan seseorang menjadi Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan pada latar belakang, perumusan masalah, serta tujuan penelitian, maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Memberikan manfaat sebagai bahan refrensi bagi mahasiswa atau peneliti yang akan melakukan penelitian yang sama.
b. Manfaat Praktis
Sebagai kontribusi pemikiran tentang mekanisme pemberian status
justiuce collaborator bagi pihak-pihak yang berwenang dan
kewenangan hakim dalam membatalkan perkara yang telah mendapat
status justice collaborator dari KPK.
D. Metode penelitian
Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif. Penelitian secara normatif yaitu penelitian yang menggunakan deskritif analisis, yaitu mengkaji penerapan kaidah-kadiah atau norma-norma dalam Hukum Positif.
82. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalan penelitian ini adalah pendekatan kasus (Case Approach) yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam peraktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.
9Pendekatan kasus (Case Approach) digunakan kalangan praktisi dalam melakukan penelitian dengan mengidentifikasi putusan-putusan pengadilan yang telah berkualifikasi yurisprudensi untuk digunakan dalam perkara konkret.
103. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Peraturan perundang-undangan Indonesia dan juga Instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Bahan hukum yang digunakan antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2011,
8 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007) h.295.
9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,... h.321.
10 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016) h.165.
Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, artikel mengenai hukum acara pidana, mengenai pembuktian dalam persidangan dan hal-hal lain yang terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yang mempelajari pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sistem hukum acara pidana, dan hukum pembuktian, serta saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan data melalui buku-buku, literatur-literatur, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen, atau hasil penelitian yang selaras dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan kegiatan pendahuluan dari suatu analisis, penelitian ini menggunakan teknik pengolahan data dengan sebuah putusan pengadilan yang penulisa bandingan dengan apa yang tertulis dalam literatur dan sumber tertulis, serta dengan dasar-dasar hukum yang terkait dengan judul dari penelitian yang peneliti bahas.
6. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
analisis data secara kualitatif, karena penelitian ini memberikan informasi
mengenai pertimbangan hakim terkait tidak tepatnya pemberian status
justice collaborator yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Dalam menjelaskan hal tersebut penulis menggunakan studi putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst.
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Teknik penarikan kesimpulan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu penarikan kesimpulan secara deduktif, karena dalam penelitian ini kesimpulan akan disusun dengan cara menentukan fakta umum sebagai inti permasalahan kemudian dilanjutkan dengan menjabarkan gagasan-gagasan khusus sebagai penjelas.
E. Sistematika Pembahasan
Penulisan Penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab-bab agar dapat memudahkan para pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini, yang terdiri dari:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, pokok permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian ini yaitu identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumasan masalah, Terdapat juga tujuan dan manfaat dari penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian ini.
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG JUSTICE
COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Dalam bab ini menyajikan kajian pustaka, pada bab ini
peneliti menguraikan tentang kerangka konseptual, kerangka
teoritis, dan tinjauan (Review) kajian terdahulu yang
berhubungan dengan penelitian ini.
BAB III: PENETAPAN STATUS JUSTICE COLLABORATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Dalam bab ini terdiri dari tiga sub bab pembahasan, Pertama menjelaskan mengenai posisi kasus, Kedua lembaga- lembaga yang berwenang dalam penetapan justice collaborator, Ketiga menjelaskan mengenai kewenangan hakim dalam penetapan Justice Collaborator.
BAB IV: PENETAPAN PEMBATALAN JUSTICE
COLLABORATOR OLEH HAKIM DI PENGADILAN TIPIKOR
Dalam bab ini terbagi menjadi dua sub bab pembahasan, Pertama adalah mekanisme pemberian status Justice Collaborator terhadap terdakwa tipikor, Kedua adalah kewenangan hakim terkait pembatalan status justice collabolator dalam tindak pidana korupsi perkara Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst.
BAB V: PENUTUP
Dalam bab ini berisi penutup yang terdiri dari dua sub bab
yaitu kesimpulan yang diambil dari deskripsi yang
menjawab masalah berdasarkan data yang diperoleh, serta
rekomendasi kepada para pihak terkait.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JUSTICE COLLABOLATOR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
A. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait beberapa istilah yang akan sering digunakan, sehingga dalam hal ini peneliti mencoba untuk memberikan berbagai konseptual dalam rangka menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini berupa:
1. Kewenangan Hakim
Landasan utama eksistensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan dan kekuasaan kehakiman yang bebas, tercantun dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Dari pasal tersebut, guna penegakkan hukum (law enforcement) dan keadilan, sehingga diselenggarakannya peradilan sebagai media untuk mengeksistensikan penegakan hukum dan keadilan. Hal tersebut tidak boleh dibalik menjadi, guna penyelenggaraan pengadilan, sehingga ditegakkannya hukum dan keadilan sebagai media untuk mengeksistensikan penyelenggaraan peradilan. Penegakan hukum dan keadilan merupakan alasan adanya mengapa diselenggarakannya peradilan dan bukan sebaliknya.
1Pentingnya penyelenggaraan peradilan ini berkenaan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan upaya mencarikan keseimbangan antara berbagai kehendak bebas yang bertentangan satu sama lain, berbagai kehendak bebas yang bertentangan satu sama lain dapat memicu terjadinya hukum rimba, dimana yang kuat menjajah yang lemah.
Van Kan mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-
1 Immanuel Christophel Liwe, Kewenangan Hakim Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara Pidana Yang Diajukan Ke Pengadilan, (Jurnal Lex Crimen Vol.3 No.1, Maret 2014) Diakses pada tanggal 19 Januari pukul 12.05 WIB.
tiap manusia agar kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.
Dalam upaya untuk mencari, mencegah dan menjaga hal-hal tersebut untuk menghindari tindakan main hakim sendiri (eigenrichting is verboden), sehingga diselenggarakannya peradilan untuk memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan ke pengadilan, dengan perantaraan hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Untuk menjalankan proses penegakan hukum dan keadilan tersebut diperlukan kekuasaan menyelenggarakan peradilan yang merdeka. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi, “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia.
2Dalam perspektif penyelenggaraan kekuasaan kehakiman harus berdasarkan Pancasila, yaitu kekuasaan yang bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar dan landasan utama eksistensi kewenangan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi dalam bentuk apapun. Hal tersebut menjadi keharusan demi terselenggaranya Negara hukum Indonesia, sebagaimana maksud dari pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Kedaulatan hukum (rechtssouvereniteit) berprinsip bahwa hukumlah satu-satunya yang menjadi sumber kedaulatan. Itu berarti setiap penyelenggaraan kekuasaan negara harus berdasarkan hukum. Kemudian berdasarkan ketentuan hukum pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
2 Immanuel Christophel Liwe, Kewenangan Hakim Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara Pidana Yang Diajukan Ke Pengadilan, … Diakses pada tanggal 19 Januari pukul 12.05 WIB.
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi,” menyatakan pelaku kekuasaan negara yang bebas dari intervensi dalam bentuk apapun untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Dalam menyelenggarakan peradilan, hakim diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan. Ketentuan pasal 1 ayat (5) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
3Berdasarkan ketentuan tersebut, hakim adalah pelaku kekuasaan negara yang bebas dari intervensi dalam bentuk apapun untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
3 Immanuel Christophel Liwe, Kewenangan Hakim Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara Pidana Yang Diajukan Ke Pengadilan, … Diakses pada tanggal 19 Januari pukul 12.05 WIB.
usaha negara, dan pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
2. Pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh Undang- Undang. Pembuktian juga merupakan ketentuan terkait alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-Undang untuk dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan berlangsung.
4Menurut J.C.T. Simorangkir, pembuktian adalah usaha dari pihak yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin terkait hal-hal yang berkaitan dengan suatu perkara, dengan tujuan agar dapat digunakan oleh majelis hakim sebagai bahan untuk memberikan atau menjatuhkan putusan dalam perkara tersebut.
53. Saksi dan Keterangan Saksi
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat penting, bahkan seringkali menjadi faktor penentu dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Dalam pengertian keterangan saksi, terdapat beberapa pengertian lainnya yang perlu dikemukakan, yaitu pengertian saksi dan kesaksian. Pasal 1 angka 26 KUHAP memberikan penjelasan mengenai saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, cet. 11, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.273.
5 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), h.230.
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Selain didalam KUHAP, dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban menjelaskan bahwa saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan/atau orang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan/atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana.
6R. Soesilo menjelaskan bahwa kesaksian adalah suatu keterangan di muka hakim dengan sumpah, tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu, yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dilarang atau tidak diperbolehkan oleh undang-undang yang dipanggil ke pengadilan. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan saksi baru dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila si saksi yang memberikan keterangan itu mendengar sendiri, mengalami sendiri dan melihat sendiri.
7Menurut Mahkamah Konstitusi, arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Dalam konteks pembuktian apakah suatu perbuatan/tindak pidana benar-benar terjadi, dan pembuktian terkait apakah tersangka atau terdakwa benar-benar melakukan atau terlibat dalam tindak pidana, peran saksi alibi menjadi penting, meskipun ia tidak mendengar sendiri, ia tidak meIihat sendiri, dan ia tidak mengalami sendiri
6 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, … h.238.
7 Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, (Bandung: Binacipta, 1986), h.80.
adanya perbuatan/tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
8a. Tahapan Pemeriksaan Saksi di Persidangan
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi dalam persidangan. Pengecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu keluarga sedarah atau semenda garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, dan suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Selain karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi.
9Pasal 170 KUHAP yang menjelaskan bahwa “dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi…” maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah, maka kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif. Sebelum dimulai pemeriksaan saksi, menurut Pasal 159 ayat (1) KUHAP bahwa hakim ketua memeriksa/meneliti apakah semua saksi-saksi yang dipanggil oleh penuntut umum telah hadir, selain ketua memerintahkan penuntut umum untuk mencegah jangan sampai saksi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
108 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010, h.89.
9 Andi Hamzah., Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: SInar Grafika, 2009), h.261.
10 Andi Sofyan, dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, ... h.331.
Ketua Majelis segera memerintahkan kepada penuntut umum untuk segera memanggil saksi-saksi yang hadir masuk keruang sidang, sebagaimana menurut Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP, bahwa saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa, dan penasihat hukum.
Lalu, sebelum memberi keterangan, menurut Pasal 160 ayat (2) KUHAP hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan, selanjutnya ketua menanyakan kepada saksi, tentang apakah saksi kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta, apakah saksi berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah saksi suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
11Sebelum memberi keterangan, saksi juga wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama dan kepercayaannya masing- masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Penjelasan Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak, keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau tidak mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
12Pasal 165 ayat (7) KUHAP menerangkan bahwa keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan
11Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, … h.332.
12 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ... h.263.
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam soal pemeriksaan saksi ini, adalah apabila saksi itu tidak paham Bahasa Indonesia dan saksi itu adalah seorang yang bisu atau tuli, maka hakim ketua sidang menunjuk seorang juru Bahasa untuk menterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan mengangkat seseorang yang memiliki ahli teretntu dan dapat berkomunikasi dengan saksi untuk menterjemahkan apa yang diterangkan oleh saksi di persidangan.
Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Keterangan demikian berupa keterangan saksi yang mendengar orang lain mengatakan atau menceritakan sesuatu, atau apa yang di dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau hearsay evidence. Andi Hamzah menjelaskan bahwa sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence, patut tidak dipakai di Indonesia. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain.
13Selanjutnya dapat dikemukakan adanya batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang disebut unus testis nulus testis (satu saksi bukan saksi). Hal ini dapat dibaca pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja
13 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ... h.263.
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Menurut D. Simons, satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri atau menjadi suatu petunjuk. Ajaran Hoge Raad menjelaskan bahwa dapat diterima keterangan seorang saksi untuk suatu unsur (bestanddeel) delik, asal tidak bertentangan dengan Pasal 342 ayat (2).
14Hakim, Penuntut Umum, Penasehat Hukum maupun Terdakwa, di dalam tahap pemeriksaan saksi tidak boleh mengajukan pertanyaan yang menjerat atau yang bersifat mengarahkan saksi untuk memberikan jawaban tertentu. Pada prinsipnya saksi harus memberikan keterangan secara bebas di muka Hakim. Pasal 166 KUHAP menjelaskan bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi. Untuk melihat kebenaran keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, keterangan saksi yang diberikan tersebut harus saling berhubungan antara keterangan yang lain, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
15Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain 2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain
3) Alasan yng mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu
4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
14 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ... h.269.
15 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, cet. 11, ... h. 290.
dipercaya.
Penjelasan Pasal 185 ayat (6) KUHAP bahwa fungsi hakim harus memperhatikan hal-hal diatas adalah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan objektif. Saksi dalam memberikan kesaksian atau keterangan dalam suatu perkara pidana, telah diberikan hak-hak oleh undang-undang, sebagaimana diatur di dalam KUHAP yaitu hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saat saksi diperiksa (Pasal 173 KUHAP), hak untuk mendapatkan penerjemah atas saksi yang tidak paham Bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1) KUHAP), hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah (Pasal 178 ayat (1) KUHAP), hak untuk mendapatkan pemberitauan sebelumnya selambat-lambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat (1) KUHAP), dan hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan (Pasal 229 ayat (1) KUHAP)
16b. Saksi Menurut Perspektif Islam
Para ulama saling berselisih pendapat mengenai boleh tidaknya menghadirkan suara saksi antara pihak tergugat dan yang menggugat. Menurut Imam Abu Hanifah, saksi tidak perlu didengar kecuali dalam urusan nikah dan perkara-perkara lain yang tidak berulang. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd dijelaskan, menurut sebagian ulama yang lain, saksi tidak perlu didengar sama sekali. Namun begitu, bagi Imam Malik dan Imam Syafi'i, suara saksi perlu didengar. Alasannya, agar saksi dapat memberikan kesaksian kepada penggugat mengenai hal yang diketahuinya. Menurut Imam Abu Hanifah, letak kekuatan saksi tidak pada keadilannya. Namun menurut Imam Malik, tidak pada
16 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, … h.241.
jumlahnya. Sedangkan menurut Al-Jauza'i hal itu terletak pada jumlahnya. Dan apabila seluruh saksi sama-sama adil, maka menurut Imam Malik, keberadaan saksi-saksi itu menjadi tidak berguna. Hal itu karena pihak tergugat telah diambil sumpahnya. Jika ia menolak maka penggugatlah yang bersumpah. Hak itu menjadi milik penggugat sebab posisi tergugat adalah sebagai saksi atau buktinya. Namun, seluruh ulama sepakat, jika tergugat menyanggah saksi sebelum ada keputusan, maka keputusannya itu batal. Tapi jika ia menyanggahnya sesudah ada keputusan, menurut Imam Malik, maka keputusan itu tidak batal. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, itu batal. Jika si saksi menarik kembali kesaksiannya, maka harus dilihat dulu apakah ia melakukan ini sebelum atau sesudah keputusan dijatuhkan. Kalau sebelumnya, maka menurut sebagian besar ulama, keputusan ini berlaku tetap.
17Kesaksian berperan amat penting dalam menentukan validitas suatu peristiwa atau fenomena. Seorang saksi menempati kedudukan yang urgen, terlebih dalam kasus yang memerlukan pengadilan. Dalam bahasa Arab,
saksiberkenaan dengan
syahadah. Syahadahdiambil dari kata
musyaahadahyang berarti 'melihat dengan mata.' Sebab,
syahid(orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya, pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafal: "Aku menyaksikan atau aku telah menyaksikan (
asyhaduatau
syahidtu). Kesaksian
syahadahberasal dari kata
i'laam(pemberitahuan). Misalnya, dalam firman Allah SWT,
yang artinya "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga yang menyatakan
17www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/20/01/24/q4l7z6366-kedudukanfg- saksi-dalam-pandangan-islam Diakses pada tanggal 28 April pukul 20.49 WIB.
demikian itu). Taka da Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS Al Imraan: 18).
Di sini, arti kata syahida adalah 'alima (mengetahui). Syahid adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya. Sebab, dia menyaksikan apa yang tidak diketahui orang lain. Tidak halal bagi seseorang untuk bersaksi kecuali bila dia mengetahui. Pengetahuan itu diperoleh melalui pancaindera, termasuk penglihatan atau pendengaran. Kesaksian perlu dalam kasus yang pada umumnya sulit untuk diketahui kecuali melalui lisan saksi. Kesaksian itu hukumnya fardhu 'ain bagi orang yang memikulnya bila dia dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang; bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu. Firman Allah SWT,
"Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penuis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menymbunyikan kesaksian karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan'' (QS Al-Baqarah: 283).
''Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah
(kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhira. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. '' (QS Ath-Thalaq: 2).
Kesaksian itu hanya wajib ditunaikan apabila saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang menimpanya baik badannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya.
18c. Jenis-Jenis Saksi
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas:
191) Saksi A Charge (Memberatkan Terdakwa)
Saksi a charge, adalah saksi dalam perkara pidana yang di pilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa. Dalam hal saksi yang memberatkan terdakwa, yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum, selama berlangsungnya sidang atau belum dijatuhkannya putusan, Hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut (Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP).
2) Saksi A De Charge (Menguntungkan Terdakwa)
Saksi a de charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh Penuntut Umum atau Terdakwa atau Penasihat Hukum yang sifatnya meringankan terdakwa. Menurut Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, bahwa Hakim ketua sidang wajib mendengar saksi a charge maupun saksi a de charge, baik yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau Penasehat Hukum atau Penuntut Umum, selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan. Saksi A De Charge yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara pemanggilannya
18www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/pphmje458/-hukum-kesaksiannys- dalam islam Diakses pada tanggal 28 April pukul 21.11 WIB.
19 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1989), h.112.
dilakukan oleh Penuntut Umum. Akan tetapi saksi tersebut yang dimintakan oleh terdakwa atau penasihat hukum, pemanggilannya dilakukan oleh terdakwa atau penasihat hukum sendiri.
3) Saksi Mahkota
Saksi mahkota dikenal dalam praktik pengadilan di Nederland, yaitu salah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan itu, misalnya pada delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Dasar hukumnya ialah asas oportunitas yang ada ditangan Jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Dalam hal saksi mahkota, syaratnya ialah dia bersedia membongkar komplotan itu. Sistem ini mirip dengan plea bargaining di Amerika Serikat yang jaksa dapat berunding dengan terdakwa, jika terdakwa mengaku, akan dikurangi tuntutan terhadapnya. Perbedaannya plea bargaining ini tidak perlu delik dilakukan beberapa orang, bisa juga dia sendirian pelakunya. Jaksa akan memberitahu hakim agar pidana terhadap terdakwa dikurangi.
20Saksi Mahkota di Indonesia sering disalahartikan, seakan- akan para terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya dipisah dan kemudian bergantian menjadi saksi, disebut saksi mahkota. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan asas self incrimination (mendakwa diri sendiri), karena dia sebagai saksi akan disumpah dimana yang bersangkutan menjadi terdakwa atas perkara itu. Menurut Lilik Mulyadi saksi mahkota diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa, berarti saksi mahkota hanya ada pada satu tindak pidana yang pelakunya (tersangka atau terdakwanya) lebih dari seorang dan saksi itu adalah salah seorang
20Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ... h.270.
di antara tersangka atau terdakwa yang peranannya paling kecil atau dengan kata lain bukan pelaku utama.
21Saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Selain dari saksi-saksi yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa saksi yang dikenal dalam peradilan pidana Indonesia yaitu:
1) Saksi Korban
Keterangan saksi korban akan didengar pertama dalam pemeriksaan saksi seusai dengan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP. Saksi korban adalah saksi yang menjadi korban dalam tindak pidana tersebut. Saksi korban juga termasuk dalam kategori saksi yang memberatkan.
222) Saksi Verbalisant
Apabila dalam persidangan terdakwa mencabut keterangannya pada waktu pemeriksaan penyidikan (berita acara penyidikan) atau mungkir, sering kali penyidik yang memeriksa perkara tersebut dipanggil menjadi saksi. Biasanya terdakwa menjelaskan, dalam tahap penyidikan ia mendapat tekanan atau dipaksa atau diancam atau dipukul atau disiksa untuk memberikan keterangan tersebut.
2321Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), h.180.
22http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c7ea823e57d/saksi-memberatkan, DGD -meringankan,- mahkota-dan-alibi Diakses pada tanggal 19 Januari pukul 15.52 WIB.
23 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), h.66.
3) Testimonium de auditu
Menurut Wirjono Prodjodikoro saksi de auditu adalah tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya suatu tindak pidana dari orang lain. Keadaan saksi yang seperti ini tidak dapat dikesampingkan begitu saja, mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.
244) Saksi berantai
Pasal 185 ayat (4) KUHAP mengatakan bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Ini dinamai kesaksian berantai (kettingbewijs) yang juga diatur dalam Pasal 300 ayat (2) HIR.
Menurut S.M. Amin, kesaksian berantai ada dua macam yaitu beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan, dan beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan.
254. Saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator)
Seorang yang telah berpartisipasi dalam organisasi kejahatan, dipastikan memiliki pengetahuan penting tentang struktur organisasi, metode operasi, kegiatan dan jaringan organisasi kejahatannya baik di tingkat lokal maupun internasional. Individu-individu tersebut dikenal dengan sejumlah nama, diantaranya saksi yang bekerjasama, saksi mahkota, saksi kolaborator, saksi negara, supergrasses, pentiti, atau justice collaborator. Pemberantasan terhadap kejahatan terorganisir telah menjadi prioritas utama bagi banyak negara dalam kebijakan sistem peradilan
24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ... h.266.
25 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,... h.270.
pidananya, tidak hanya di Eropa atau Amerika Serikat, namun hampir diseluruh dunia
26Penggunaan peran pelaku yang bekerjasama dan perlindungannya kemudian berkembang dan menyebar di beberapa negara sejak tahun 70- an. Di Eropa, penggunaan saksi mahkota dan informan pidana digunakan untuk melawan kejahatan serius yang meliputi kejahatan terorisme, narkoba dan kejahatan terorganisir. Saat ini, di negara-negara Eropa Barat, baik polisi maupun intelijen telah mengembangkan kapasitasnya untuk mengidentifikasi dan merekrut informan untuk kejahatan terorganisir. Pada awalnya strategi ini hanya digunakan untuk kejahatan yang spesifik, yaitu untuk terorisme dan narkoba, namun akhirnya berkembang untuk melawan kejahatan terorganisir yang lebih luas cakupnya.
27Indonesia juga menghadapi masalah yang serupa. Kasus-kasus tindak pidana korupsi kelas berat, pembongkaran bandar narkoba maupun kejahatan terorisme yang dilakukan secara teroganisir, dipastikan akan mengalami kesulitan dalam pembuktian dikarenakan minimnya alat bukti dan informasi yang dapat dikembangkan dalam upaya penuntutan. Oleh karenanya, penggunaan pelaku yang bekerjasama juga mulai di kembangkan di Indonesia. Berikut adalah beberapa pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan justice collaborator:
a. United Nations Office on Drugs and Crime
Justice collaborators adalah seorang yang terlibat dalam suatu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh atau berhubungan dengan organisasi kriminal yang memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan organisasi tersebut dengan kelompok lain. Kebanyakan dari mereka bekerja sama dengan harapan mereka dapat menerima kekebalan atau setidaknya keringanan hukuman penjara dan
26 Tim MaPPI FHUI, Bunga Rampai Kejaksaan Republik Indonesia, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), h.380.
27 Tim MaPPI FHUI, Bunga Rampai Kejaksaan Republik Indonesia, … h. 381.
perlindungan fisik bagi diri dan keluarga mereka.
28b. Recommendation Rec (2005) 9 of the Committee of Ministers
Collaborators of justice adalah seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, atau secara meyakinkan merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan terorganisir dalam segala bentuknya, atau merupakan bagian dari kejahatan teorganisir, tetapi yang bersangkutan bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau terorganisir atau mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan teroganisir maupun kejahatan serius lainnya.
29c. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER- 045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01- 55/12/2011 Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjsama “Saksi Pelaku yang Bekerjsama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.”
28 United Nations Office on Drugs and Crime, The Good Practices for the Protection of Witnesses in Criminal Proceedings Involving Organized Crime, (New York: United Nations, 2008), h.19.
29 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, (Bandung: PT Alumni, 2015), h.48.
d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjsama (Justice Collaborator) adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi didalam proses peradilan.
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014)
Menurut Supriyadi Widodo Eddyono dalam Buku Bunga Rampai Kejaksaan Republik Indonesia menjelaskan bahwa seseorang yang menjadi pelaku kejahatan dan kemudian bekerjasama untuk membongkar kejahatan disebut sebagai saksi tersangka. Saksi tersangka didefinisikan sebagai saksi yang juga tersangka yang memberikan keterangan di pengadilan.
30f. Firman Wijaya
Konsep protection of cooperating person lebih terkonsentrasi kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum (justice collaborator) dalam mengungkap kerumitan kasus. Sistem protection of cooperating person sudah lama diterapkan di negara Eropa Kontinental seperti Belanda, Prancis, dan Italia, dimana menurt Firman Wijaya sistem ini sama dengan saksi mahkota atau crown witness, yaitu salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi
30 Tim MaPPI FHUI, Bunga Rampai Kejaksaan Republik Indonesia, ... , h.381.