• Tidak ada hasil yang ditemukan

Key Word : Curcumin, Virginiamicin, Antibiotic, Pig

RINGKASAN

SAULAND SINAGA. Pemberian Curcumin dalam Ransum Babi Sebagai Pengganti Antibiotik Sintetis untuk Pemacu Pertumbuhan. Dibimbing oleh D.T.H. SIHOMBING, MARIA BINTANG dan KARTIARSO.

Penggunaan senyawa antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit para ilmuwan akibat efek buruk yang ditimbulkan bagi konsumen seperti residu dan resistensi. Maka perlu dicari alternatif yang aman dan mudah didapat di negeri kita ini, salah satunya adalah curcumin merupakan hasil dari ekstrak dari kunyit Curcuma domestica yang mempunyai khasiat untuk merangsang organ pencernaan seperti lambung, usus dan kelenjar pankreas dalam proses pencernaan makanan. Selain itu curcumin secara in vitro mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam usus seperti Staphylococcus dan Streptococcus.

Penelitian ini dilakukan dua tahap, yang pertama adalah mencari dosis efektif curcumin dalam ransum babi sebagai pemacu pertumbuhan dan menguji dosis terbaik. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan yaitu Ransum kontrol (tanpa curcumin dan virginiamicin), ransum kontrol ditambah antibiotik 50 ppm virginiamicin, dan ransum kontrol ditambah 120 , 160 dan 200 ppm curcumin. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.

Penelitian tahap pertama diperoleh bahwa bahwa pemberian 160 ppm curcumin dalam ransum babi tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum harian, akan tetapi dapat memperbaiki pertambahan bobot badan harian sebesat 643.26 gr/ekor, lebih tinggi 27.06% dari kontrol dan sama dengan pemberian 50 ppm virginiamicin, dengan demikian dosis ini akan memperbaiki konversi ransum sebesar 23.96%. Pemberian 160 ppm curcumin dalam ransum babi tidak dapat meningkatkan kecernaan protein, akan tetapi dapat meningkatkan kecernaan energi ransum sebesar 42.58% dan memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan 19.3 jam menjadi 22.32 jam sehingga meningkatkan penyerapan zat makanan yang pada akhirnya mempercepat waktu pencapaian bobot potong sebesar 31 hari (115 vs 146 hari).

Karakteristik karkas yang diamati dalam penelitian ini mencakup bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, panjang karkas, tebal lemak punggung (TLP) dan Loin Eye Area (LEA) pada pemberian curcumin sampai taraf 200 ppm dalam ransum babi belum dapat meningkatkan seluruh parameter diatas kecuali pada volume kantung empedu terjadi peningkatan 122.44% (58 gr vs 71.60 gr). Pengaruh 160 ppm curcumin dalam ransum babi terhadap lipida serum tidak berpengaruh terhadap Kolesterol, HDL dan trigliserida, akan tetapi dapat menurunkan LDL serum sebesar 23.98% dibanding dengan ransum kontrol. Pemberian 160 ppm curcumin dalam ransum babi juga tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan lemak.

Pemberian 160 ppm curcumin sebagai antimikroba dalam ransum babi periode finisher, mampu menurunkan jumlah koliform dan bakteri total dalam feses (46.02vs 53.581 x 10 12 cfu/ml) , sehingga kompetisi zat makanan dalam usus lebih baik serta daya serap makanan lebih baik. Pengaruh 200 ppm curcumin dan antibiotik virginiamicin terhadap kerusakan jaringan hati, usus dan ginjal diperoleh bahwa pemberian secara terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan di organ tersebut dilihat dari bentuk dan warna. Sedangkan pemberian 120 dan 160 ppm curcumin pada ransum babi tidak menunjukkan adanya gangguan di organ tersebut.

Pengaruh curcumin dan virginiamicin dalam ransum babi terjadi peningkatan biaya input dibanding dengan ransum R0 perkilogram, akan tetapi peningkatan ini diikuti dengan meningkatnya pendapatan dari pertumbuhan babi. Bila dilihat secara B/C Rasio diperoleh bahwa pemberian 50 ppm virginiamicin dan 160 ppm curcumin adalah lebih dari satu (1.07 vs 1.00), artinya secara finansial penggunaan curcumin dan virginiamicin pada dosis tersebut layak digunakan dalam sistem usaha produksi babi.

Penelitian tahap kedua bertujuan untuk meneliti dosis efektif 160 ppm curcumin tersebut terhadap ternak yang terjangkit Escherichia coli ATCC 25922 berasal dari PAU Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan, antara lain: R0 (Ransum penelitian sebagai kontrol), R1 (R0 + Curcumin 160 ppm), R2 (R0 + E. coli), R3 (R0 + Curcumin 160 ppm + E. coli). Masing-masing perlakuan terdiri dari enam ulangan, dengan demikian penelitian ini menggunakan 24 ekor ternak babi.

Pengaruh pemberian 160 ppm curcumin dan E. coli terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan (PBB) dan konversi ransum diperoleh pemberian E. coli terbukti dapat menurunkan konsumsi, pertambahan bobot badan harian dan memperburuk konversi ransum. Penurunan tersebut diakibatkan karena babi mengalami Enteritis colibacillosis, pada akhirnya terjadi penurunan bobot potong, bobot karkas dan tebal lemak punggung. Penurunan ini disebabkan oleh keseimbangan populasi bakteri dalam system pencernaan babi terganggu akibat pertumbuhan populasi E. coli yang meningkat penyebab diare. Pemberian 160 ppm curcumin yang terinfeksi E. coli (R3) dalam ransum babi, mampu memperbaiki luas daging mata rusuk (LEA). Peningkatan luas LEA disebabkan karena curcumin mampu memperbaiki absorbsi zat-zat makanan dengan cara meningkatkan sekresi enzim-enzim pencernaan dan menurunkan peristaltik usus, sehingga memberikan waktu penyerapan zat-zat makanan lebih lama dan efektif. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 160 ppm curcumin dalam ransum babi dapat digunakan sebagai bahan feed additive pengganti antibiotik sintetis dalam ransum babi untuk pemacu pertumbuhan.

Sejak ditemukannya antibiotik oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, antibiotik telah memberikan kontribusi yang efektif dan positif terhadap kontrol infeksi bakteri pada manusia dan hewan. Penggunaan antibiotik dalam pakan oleh peternak babi sebagai pemacu pertumbuhan (growth promotor) dan mencegah disentri pada babi muda, telah menambah pendapatan peternak akibat peningkatan efisiensi pakan, dengan cara mempengaruhi jumlah mikroorganisme penyebab penyakit dan penghasil racun di dalam saluran pencernaan babi, sehingga mengurangi konsumsi pakan karena dinding usus menjadi tipis untuk mengabsorbsi zat makanan (Hathaway et al. 1996).

Penggunaan senyawa antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan para ilmuan akibat efek buruk bagi konsumen seperti residu dan resistensi. Tri (2005) menemukan daging babi dari RPH di Indonesia mengandung residu antibiotik sebesar 53.7% dan 3.04% melebihi batas taraf maksimum yang ditentukan oleh Dirjen Peternakan. Nastassia dan Sinaga (2006), menemukan, terdapat residu antibiotik golongan Penisilin dan Tetrasiklin pada hati babi sebesar 98% dari sampel yang diambil di Pasar Bandung Jawa Barat, diketahui babi yang dipotong tersebut berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah yang sama untuk pasar Jakarta dan sekitarnya. Samadi (2004) melaporkan di North Carolina (Amerika Serikat) penggunaan antibiotik terus menerus pada unggas mengakibatkan bakteri Escherichia coli resisten terhadap Enrofloxacin. Di Cina diketemukan bahwa anak kandang 214 orang yang terkena infeksi Streptococcus suis tidak mengalami kesembuhan dengan menyuntikkan antibiotik Penisillin diduga mikroorganisme tersebut telah mengalami resistensi, dari 214 orang yang terkena infeksi 39 orang (18.2%) meninggal dunia.

Kejadian ini dapat diterangkan bahwa penggunaan antibiotik secara ekstensif untuk infeksi bakteri pada hewan ternak telah menyeleksi bakteri yang resisten, kemudian ia akan mentransfer resistensi tersebut ke bakteri lain, transfer resistensi bakteri tersebut berlaku juga antar berbeda spesies, hewan ke manusia atau sebaliknya (Levy et al. 1988). Penggunaan antibiotik tersebut yang terus menerus mengakibatkan terjadinya resistensi contohnya rekomendasi penggunaan antibiotik dalam pakan pada tahun 50-an adalah 5 – 10 ppm sekarang telah meningkat sepuluh sampai 20 kali lipat. Akibatnya

2

beberapa negara sudah melakukan pelarangan penggunaan antibiotik pada pakan ternak. Penelitian Sayers (2001), membandingkan resistensi strain Bacteroides mikroorganisme perut manusia tahun ‘70-an sampai ‘90-an diperoleh resistensi antibiotik tetrasiklin sangat signifikan dari 23% pada awal

tahun ‘70-an menjadi 80% di tahun ‘90-an, peningkatan tersebut disebabkan bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat sekarang telah mengubah mikroorganisme yang hidup dalam sistem pencernaannya. Babi yang dipelihara dengan pemberian antibiotik dalam pakan yang cukup besar selama dia hidup, mengakibatkan bakteri yang hidup di dalam sistem pencernaan babi menjadi resisten, kemudian babi tersebut dipotong dan dikirim ke pasar dan bakteri tersebut menempel pada daging kemudian dikonsumsi manusia masuk ke dalam sistem pencernaan kemudian merubah mikroorganisme dalam usus. Komisi Masyarakat Uni Eropa sejak tanggal 1 Januari 2006 (Regulasi No. 1831/2003), penggunaan antibiotik misalnya Avilamycin, Avoparcin, Flavomycin, Salinomycin, Spiramycin, Virginiamycin, Zn-Bacitracin, Carbadox, Olaquindox, dan Monensin tidak dapat digunakan dalam ransum ternak. Pembatasan penggunaan zat aditif tersebut dalam ransum ternak, di beberapa negara Eropa telah dilarang lebih awal seperti Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, dan Jerman tahun 1996. Dengan beberapa fakta ini maka perlu dicari bahan-bahan pengganti antibiotik untuk pemacu pertumbuhan terutama pada babi yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Beberapa hasil diskusi dengan peternak babi di Pulau Bulan (Riau) dan Pontianak (Kalimantan Timur) sebagai pengekspor ternak ke negara Singapura sering mengalami kerugian akibat ternak yang dikirim ditolak karena mengandung residu antibiotik pada daging. Begitu juga peternakan babi di Solo dan Tegal (Jawa Tengah) dan Jawa Timur yang 90% dikirim ke DKI Jakarta saat ini bila dilihat cara produksinya cukup mengkhawatirkan karena adanya penambahan pemacu pertumbuhan sejenis antibiotik yang tidak terkontrol bahkan kadang berlebihan. Maka dengan itu penelitian mencari bahan pengganti pemacu pertumbuhan pada babi seperti antibiotik sangat diperlukan, dimana bahan pengganti ini harus aman bagi ternak maupun manusia yang mengkonsumsinya.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari pengganti antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan, karena tuntutan konsumen akan produk peternakan yang sehat, aman dan bebas dari residu berbahaya dengan motto

Feed quality for food safety”. Beberapa usaha alternatif pengganti antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan diantaranya adalah penggunaan prebiotik, asam- asam organik, jamu dan minyak esensial (essensial oil) senyawa aditif tersebut terbukti mampu meningkatkan produksi ternak. Saat ini dikenal lebih kurang 2600 jenis minyak esensial yang dihasilkan melalui ekstraksi berbagai jenis tanaman rempah-rempah, yang mempunyai senyawa bioaktif sebagai antioksidan, antibiotik, meningkatkan nafsu makan, sekresi kelenjar-kelenjar pencernaan dan kekebalan tubuh. Negara kita mempunyai peluang yang cukup besar karena kaya akan keanekaragaman sumber daya alam hayati ini. Kunyit dan temu lawak salah satunya tanaman rempah kita yang memiliki bahan aktif berupa curcumin berbentuk senyawa fenol yang dapat mengganggu pembentukan membran sel dari beberapa bakteri patogen seperti Salmonella dan Escherichia coli, juga dapat meningkatkan sekresi kelenjar air liur, empedu, lambung, pankreas dan usus.

Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :

1. Menjajaki penggunaan curcumin sebagai pengganti antibiotik sintesis dalam ransum babi untuk pemacu pertumbuhan.

2. Menguji efektivitas curcumin dalam upaya menggantikan antibiotik sintesis sebagai pemacu pertumbuhan dalam ransum babi.

3. Menjajaki curcumin sebagai penurun kolesterol darah.

Kerangka Pemikiran

Bagaimana mekanisme kerja dari curcumin sebagai pemacu pertumbuhan yang mampu menggantikan fungsi dari antibiotik ternak dapat dilihat pada Gambar 1. Mekanisme dari curcumin dalam mempengaruhi organ pencernaan seperti lambung, usus dan kelenjar pancreas, menurut Lee et al. (2003), menyatakan curcumin dapat merangsang lambung untuk menghasilkan cairan yang membantu pencernaan. Platel dan Srinivasan (2000), menyatakan pemberian curcumin pada hewan tikus putih mampu merangsang sekresi dari usus halus menghasilkan enzim lipase, sukrase dan maltase dan meningkatkan

4

produksi enzim pankreas seperti lipase, amilase, tripsin dan khimotripsin.

Pengaruh curcumin terhadap organ hati Bawman (1983), menemukan penderita kelainan hati, dengan pemberian curcumin dapat meningkatkan sekresi empedu yang terlihat nyata pada penurunan kadar bilirubin, kolesterin dan lipase para penderita sehingga pemberian curcumin tersebut dapat meningkatkan kecernaan lemak dan menghasilkan kualitas daging yang rendah akan kolesterol.

Gambar 1 Mekanisme kerja curcumin sebagai pemacu pertumbuhan Ket : Mempengaruhi mikroorganisme, organ dan kelenjar.

Meningkatkan proses/sekresi

Pengaruh curcumin terhadap mekanisme usus halus dan mikroorganisme Rao et al. (1982) menemukan pemberian curcumin pada hewan percobaan dapat memperlambat dan mempercepat kontraksi usus halus. Kumar

Bahan Makan

C u r c u m i n

Organ/Kelenjar

Lambung, Usus, dan Pankreas

Hormon dan Enzim Pencernaan

Hati

Cairan dan Garam Empedu Anti Bakteri Patogen Zat Makanan Absorbsi Zat Makanan Peristaltik Usus Pertumbuhan

et al. (2001), menemukan bahwa curcumin sebagai antibakteri, bekerja dengan menghambat produksi β-lactamase dari mikroorganisme untuk membentuk dinding sel. Dengan demikian pemberian curcumin dengan dosis yang tepat dapat menggantikan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan hewan ternak dengan cara meningkatkan sekresi enzim pencernaan, menurunkan peristaltik usus dan menghambat/membunuh mikroorganisme patogen.

Beberapa hasil penelitian pemberian curcumin untuk memacu pertumbuhan diantaranya adalah Al-Sultan (2003), memberikan tepung kunyit sebagai pakan tambahan kepada ayam broiler dengan dosis 0.25, 0.5 dan 1% diperoleh bahwa pemberian 0.5% tepung kunyit memberikan hasil yang terbaik konversi ransum 2.08 untuk mencapai bobot badan 1344.5 g/e. Kiso et al. (1983), menyatakan pemberian curcumin dapat menurunkan pembentukan gas di dalam usus halus mencit yang berasal dari deaminasi asam amino dan degradasi dari urea oleh bakteri E. coli, S. faecalis, L. acidophilus dan L. fermenti. Sinaga (2003) melakukan penelitian pemberian tepung kunyit pada babi dengan dosis 0.2, 0.4 dan 0.6% dalam ransum babi dari starter sampai mencapai bobot potong 90 kg, diperoleh hasil pemberian 0.4% tepung kunyit setara dengan 160 ppm memberikan hasil yang terbaik pada babi dengan efisiensi pakan yang tertinggi.

Hipotesis

1. Curcumin dalam ransum babi sebagai additive dapat digunakan untuk pemacu pertumbuhan.

2. Curcumin dalam ransum babi dengan dosis 160 ppm dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan.

3. Curcumin dapat menurunkan kolesterol darah.

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi tentang peranan curcumin dalam ransum babi sebagai perangsang pertumbuhan dalam upaya meningkatkan produksi babi.

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Babi Babi memiliki klasifikasi zoologis sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Klass : Mamalia (Menyusui)

Ordo : Artiodactyla (Berkuku genap) Famili : Suidae (Non Ruminansi) Genus : Sus

Spesies : Sus scrofa Sus vittatus Sus celebensis Sus barbatus

Spesies Sus scrofa yang berasal dari Eropa merupakan babi liar yang telah dijinakkan sejak 800 tahun SM. Sus vittatus yang berasal dari India Timur dan Asia Tenggara termasuk Cina yang perkembangannya mencapai Malaysia, Jawa, Sumatera merupakan bangsa babi liar yang telah dijinakkan dan dikembangbiakkan oleh manusia sejak 4.900 tahun SM. Sus celebensis terdapat di daerah sekitar Sulawesi dan Sus barbatus terdapat di daerah Kalimantan. Berbagai jenis bangsa-bangsa babi modern atau yang saat ini dikenal secara luas merupakan keturunan dari bangsa babi Inggris Kuno atau persilangan dari bangsa Chinese, Siamese dan Napoli (Sihombing 1997).

Menurut Sosroamidjodjo (1997), babi asli Indonesia berasal dari babi hutan yang sampai sekarang masih terdapat hidup liar di hutan, dan babi ini dikenal dengan nama Celeng (Sus verrucosus). Beberapa babi Indonesia yang cukup dikenal di masyarakat antara lain misalnya babi Nias, babi Tanggerang, babi Karawang, babi Bali, dan babi Sumba,. Sedangkan babi liar mangui(hutan), Aili (Batak), Jani (Dayak), Babui (Kayan), Daha (Kapuas) belum banyak dikenal, babi liar ini belum banyak dijinakkan, diburu sebagai sumber makanan bagi suku-suku yang berada di pedalaman. Bangsa-bangsa babi saat ini dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe lemak, tipe daging dan tipe dwiguna (bacon), hal ini terjadi akibat dari permintaan konsumen. Peternakan modern saat ini lebih memilih usaha peternakan babi dengan satu tujuan yaitu untuk menghasilkan daging yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi oleh manusia.

Babi merupakan ternak monogastrik yang memiliki kemampuan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang dikonsumsi. Babi lebih cepat tumbuh, cepat dewasa dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang

berkisar antara 8 -14 ekor dengan rataan dua kali kelahiran pertahunnya (Sihombing 1997).

Pertumbuhan Babi

Maynard et al. (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah proses yang sangat kompleks, bukan saja pertambahan bobot badan tetapi juga menyangkut pertumbuhan semua organ tubuh secara serentak dan merata. Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel serta peningkatan ukuran sel. Hyun et al. (1998) menyatakan bahwa faktor makanan yang mempengaruhi pertumbuhan adalah kandungan zat makanan serta daya cerna bahan makanan tersebut. Daya cerna bahan makanan akan mempengaruhi laju perjalanan makanan pada ternak yang tentu saja akan mempengaruhi percepatan pertumbuhan babi. Menurut Tillman et al. (1998) pertumbuhan mempunyai tahap-tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat lahir sampai pubertas (sebelum dewasa kelamin) dimana bobot hidup bertambah dengan cepat dan tahap lambat terjadi pada saat-saat kedewasaan tubuh tercapai. Tahap lambat terjadi pada babi periode finisher, terlihat pada bobot badan babi 90 – 100 kg dimana kecepatan pertumbuhan semakin menurun sampai ternak mencapai bobot hidup yang stabil. Selanjutnya dijelaskan oleh Anggorodi (1995) bahwa pertumbuhan dimulai secara perlahan kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan - lahan atau sama sekali berhenti. Sihombing (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan babi yang dipelihara untuk tujuan produksi daging terbagi dalam tiga periode yaitu : starter dengan kisaran bobot badan 20- 35 kg, grower dengan kisaran bobot badan 35-60 kg dan finisher dengan kisaran bobot badan 60-90 kg.

Sistem Pencernaan Monogastrik

Babi termasuk hewan monogastrik dan bersifat omnivora, yaitu ternak pemakan semua pakan dan memiliki satu perut besar yang sederhana. Pada pencernaan makanan atau zat-zat makanannya dilakukan secara enzimatis. Babi mengambil pakan, mengunyah, dan mencampurkannya dengan air liur (saliva) sebelum akhirnya ditelan. Pada babi saliva mengandung enzim yang mulai memecahkan bahan pakan menjadi unsur-unsur penyusunnya, sehingga seluruh bahan pakan telah di kunyah halus sebelum ditelan. Pakan yang ditelan, bergerak menuju esofagus kemudian ke dalam lambung. Lambung pada babi

9

juga berfungsi sebagai alat penampung bahan yang sudah tercerna. Sebagian besar kegiatan pencernaan terjadi dalam lambung, selebihnya terjadi dalam usus halus. Usus halus yang terdiri dari bagian-bagian duodenum, jejenum, dan ileum adalah tempat terjadinya penyerapan atau absorpsi yang utama dari zat- zat pakan hasil pencernaan. Bahan-bahan pakan yang tidak tercerna dan tidak diserap bergerak dari usus halus menuju ke caecum dan ke usus besar. Pada bagian ini, komponen air diserap kembali dan sisa yang tertinggal dari proses pencernaan dikeluarkan dalam bentuk feses melalui anus (Sihombing 1997).

Kecernaan Makanan

Menurut Elizabeth (2002), mutu suatu bahan pakan ditentukan oleh interaksi antara unsur gizi, tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak.

Figueroa (2001) mendefinisikan kualitas protein merupakan manfaat relatif dari protein bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan hewan akan protein. Salah satu cara untuk mengukur kualitas protein dapat dilakukan secara biologis yaitu dengan cara mengukur kecernaan dari pakan yang akan diberikan pada ternak. Dikemukakan oleh Sibbald (1979), bahwa pengukur kecernaan pakan penting untuk menentukan apakah protein yang dikonsumsi benar-benar dapat tersedia dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak dan kemudian diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan jaringan atau tidak. Persentase protein yang dapat diserap ini yang dianggap sebagai koefisien cerna protein, diperoleh dengan menentukan banyaknya protein yang terdapat dalam ransum dan banyaknya protein yang terdapat dalam feses. Perbedaan diantara kedua bagian ini yang dinyatakan dalam persen, adalah banyaknya protein yang dicerna oleh babi.

Menurut Arifin dan Kardiyono (1985) dan Martini (1998) pada hewan percobaan mencit dan kelinci, curcumin dapat merangsang peningkatan relaksasi usus halus yang mengakibatkan makanan lebih lama di dalam usus halus dan . merangsang sekresi hormon dari kelenjar brunner dalam usus halus. Pada pencernaan babi enzim berperan penting, karena berfungsi mengubah bahan yang kompleks menjadi bahan sederhana. Sel-sel pankreas dikenal

sebagai penghasil enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lain yang diperlukan pencernaan (Frandson, 1993). Enzim yang dihasilkan oleh pankreas adalah enzim pelengkap dan merupakan enzim-enzim yang bersifat tidak aktif, antara lain adalah chymotripsinogen, tripsinogen, proelastase dan prokarboksi- peptidase yang disekresikan ke dalam duodenum, merubah menjadi bentuk aktif dengan bantuan enzim-enzim enterokinase. Tripsin getah pankreas berfungsi memecah sebagian proteosa dan peptone kedalam hasil-hasil yang lebih sederhana yaitu asam-asam amino (Anggorodi 1995). Enzim tripsin aktif tersebut selanjutnya menjadi prekursor yang membentuk enzim-enzim pencernaan aktif lainnya, yaitu chymotripsin, elastase dan karboksipeptidase. Ketiga enzim tersebut terkenal sebagai enzim endopeptida yang membantu memecah ikatan peptida dan molekul protein yang besar menjadi rantai peptida yang lebih pendek (Cheeke 1999).

Efisiensi Penggunaan Ransum

Percobaan untuk mengevaluasi ransum biasanya menggunakan pertambahan berat badan dan konsumsi ransum sebagai kriteria pokok. Cheeke (1987) berpendapat bahwa efisiensi ransum berkaitan erat dengan rataan pertambahan bobot badan harian dan konsumsi ransum, pertambahan berat badan harus dikaitkan dengan konsumsi ransumnya, besarnya pertambahan berat badan seekor ternak dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang dikonsumsi.

Church (1985) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan ransum dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan penyakit, umur dan masa produksi, konsumsi ransum, daya cerna serta imbangan energi dan protein, banyaknya konsumsi ransum akan memberikan kesempatan bagi tubuh untuk menggunakan zat-zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan, kesempatan tersebut dapat dipengaruhi oleh daya cerna zat-zat makanan. Nilai efisiensi penggunaan ransum akan menunjukkan besarnya nilai konversi ransum ke dalam beberapa bentuk hasil ternak, diantaranya adalah daging yang diperlihatkan dalam pertambahan bobot badan. Curcumin bila di berikan pada ternak dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan aktivitas pencernan dan dapat mengoptimalkan manfaat dari ransum yang pada akhirnya akan mempengaruhi efisiensi ransum. Rataan efisiensi penggunaan ransum yang

Dokumen terkait