BAB II TINJAUAN PUSTAKA
E. Khusyuk
1. Definisi Khusyuk dalam Shalat
Khusyuk secara etimologi (bahasa) berasal dari akar kata khasya’a akhsya’u-khusyu’an yang berarti tunduk, takluk, pasrah, dan menyerah (Adam, 1999). Sedangkan menurut terminologi (istilah syar’i) khusyuk adalah rasa
takut yang selalu ada di dalam hati dan tidak akan pernah sirna (Tafsir “Taisir Karimir Rahman” dalam Yunus, 1998).
Khusyuk dalam shalat berarti hadirnya hati dalam shalat ketika berhadapan dengan Allah sebagai bentuk rasa cinta, pengagungan, rasa takut akan siksa serta berharap akan pahala dari Allah dengan berusaha menghadirkan perasaan dekat dengan-Nya. Jiwanya akan menjadi tenang dan tenteram dan pergerakannya menjadi tenang di hadapan Allah dengan berusaha menghadirkan keseluruhan ucapan dan perbuatan dari apa yang dibaca dan dia lakukan di dalam shalatnya, dari awal hingga akhir (Abdullah, 2009).
2. Kriteria Khusyuk dalam Shalat
Bila hati seseorang mencapai tingkatan khusyuk maka seluruh anggota badannya pun ikut khusyuk, sebab anggota badan akan selalu taat dan patuh pada perintah hati (Mahalli, 2000). Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang dilaporkan oleh Abu Hurairah bahwa: “Kalau hati seseorang itu khusyuk, maka khusyuk pula segala anggota badannya.” (HR Hakim dan
Tirmizi)
Abdullah (2009) menerangkan bahwa kriteria-kriteria khusyuk dalam shalat antara lain adalah tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri, pandangan terarah pada tempat sujud, tidak mengangkat pandangannya ke atas serta tidak bergerak-gerak, tidak bergurau dan tidak sibuk dengan pakaian atau selainnya, ataupun bermain dengan jari.
3. Anjuran Khusyuk dalam Shalat
Khusyuk adalah ruh dari shalat dan tujuan yang paling besar dari shalat. Shalat tanpa khusyuk sama seperti tubuh jenazah yang tidak ada ruhnya (Abdullah, 2009). Allah swt. berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (Q.S. Al-Mukminuun: 1-2)
Rasulullah saw juga bersabda:
“Tidak dihitung shalat bagi yang tidak khusyuk dalam shalatnya.”
Dalil di atas berulang-ulang menekankan pelaksanaan shalat dengan khusyuk. Hal ini menandakan bahwa antara khusyuk dan shalat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Adam, 1999).
Dari Abi Qadatah r.a beliau berkata: Rasululah saw. telah bersabda: “Sejelek-jelek pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya, para sahabat bertanya, bagaimana ia mencuri shalatnya? Nabi lalu bersabda: Ia tidak menyempurnakan rukuk dan tidak (menyempurnakan) sujudnya, atau beliau bersabda: Ia tidak meluruskan tulang belakangnya dalam rukuk dan sujud”.
(HR Imam Ahmad dan Hakim).
Khusyuk merupakan sarana untuk menumbuhkan fokus pengendalian akal dimana pengendalian tersebut mempunyai pengaruh terbesar dalam kesuksesan hidup seseorang. Sebagaimana ayat yang telah menerangkan
bahwa keberuntungan orang yang shalat terletak pada kekhusyukannya maka hal ini menunjukkan, barangsiapa yang tidak khusyuk di dalam shalatnya maka dia tidak termasuk orang-orang yang beruntung (Abdullah, 2009). 4. Unsur-Unsur Khusyuk dalam Shalat
Shalat menjadi sarana besar dalam proses penyucian jiwa. Shalat dapat menyucikan jiwa jika dikerjakan dengan sempurna melalui rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, dan orang yang mengerjakannya merealisasikan adab zahir dan bathin. Dimana salah satu adab zahir shalat adalah mengerjakannya dengan organ tubuh secara sempurna, sementara adab bathinnya adalah kekhusyukkan (Hawwa, 2006).
Pencapaian khusyuk di dalam shalat melibatkan beberapa unsur penyempurna. Al-Ghazali dalam Rousydy (1995) menyebutkan enam unsur khusyuk dalam shalat yaitu: kehadiran hati, mengerti antara yang dibaca dan yang diperbuat, mengagungkan Allah, merasa gentar terhadap Allah, merasa penuh harap kepada Allah, dan merasa malu terhadap-Nya.
a. Hudlur al-Qolbi (Menghadirkan Hati)
Menghadirkan hati/pemusatan pikiran adalah mengalihkan pikiran dari segala sesuatu selain Allah dan memusatkannya semata-mata kepada yang sedang dihadapi, sehingga pikiran, perbuatan dan ucapan menjadi sejalan serta pikiran tidak beralih kepada yang lain.
b. Tafahhum (Kepahaman)
Tafahhum adalah mengerti dan memahami apa yang dibaca (baik ayat Al-Qur’an, do’a, maupun zikir) di dalam shalat. Dengan Tafahhum
pikiran akan diberi tugas untuk mengikuti dan memahami apa yang dialafadzkan oleh lidah sehingga dengan sendirinya pikiran akan terhindar dari perhatiannya kepada yang lain, kecuali shalat.
c. Ta’zhim (Membesarkan Tuhan)
Ta’zhim (membesarkan Tuhan) adalah suatu rasa dan kesadaran yang berada di dalam hati karena dua hal:
1) Mengetahui kebesaran Allah swt. dan keagungan-Nya yang merupakan salah satu dari rukun iman. Orang yang tidak yakin akan kebesaran Tuhan tidaklah mungkin ia menundukkan diri untuk mengagungkan Tuhan.
2) Menyadari kekerdilan dan kelemahan diri sebagai hamba yang hina, yang tidak mempunyai daya dan upaya kecuali karena Allah swt. d. Haibah (Rasa Takut yang Bersumber dari Rasa Hormat)
Haibah (kagum/gentar terhadap kebesaran Tuhan) adalah suatu rasa yang timbul dalam jiwa karena mengetahui ke-Mahakuasaan Tuhan yang berisi qadrat dan iradat tanpa batas, dimana di hadapan kekuasaan Tuhan manusia itu tidak mempunyai arti sama sekali.
e. Raja’ (Harap akan Keampunan/Rahmat Tuhan)
Raja’ (mendambakan harapan) itu berasal dari pengetahuan dan kesadaran akan ke-Rahiman Allah swt. serta kemurahan akan karunia-Nya. Dengan raja’ (harap) maka kita jiwai dan kita isi ruh shalat yang sedang kita dirikan. Kita patuhi segala kaifiyat shalat dan haiatnya menurut yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Kita pusatkan pikiran,
perasaan, kemauan, dan hasrat kita semata-mata untuk mengingat Allah, kemudian kita lengkapi dengan mendambakan harapan akan karunia dan balasan dari Allah swt. atas dasar kasih dan sayang-Nya.
f. Haya’ (Rasa malu dan Hina)
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa timbulnya rasa malu terhadap Allah itu berasal dari kesadaran kita akan kelalaian diri dalam segala perbuatan yang diperintah-Nya dan mengakui segala kelemahan sebagai manusia ditambah dengan keinsyafan kita bahwa Allah swt. mengetahui segala isi hati kita dan segala gerak-gerik yang nampak atau tidak nampak. Dengan berpadunya semua kesadaran dan keinsyafan ini, maka akan memantulkan rasa malu dan hina diri di hadapan Allah swt. ketika bermunajat (Rousydy, 1995).