• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kiat-kiat Menumbuhkan Motivasi Beragama Pada Anak

Dalam dokumen PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI BERAGAMA PADA (Halaman 87-116)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3. Kiat-kiat Menumbuhkan Motivasi Beragama Pada Anak

Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa untuk menumbuhkan motivasi beragama pada anak harus ditinjau melalui dua segi, yaitu ditinjau dari diri anak itu sendiri (motivasi instrinsik) dan motivasi yang berasal dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik);

a. Motivasi Intrinsik

Motivasi beragama pada diri manusia ada karena agama merupakan salah satu dari kebutuhan pokok manusia, hanya dengan agama maka kebutuhan-kebutuhan pokok itu (kebutuhan jiwa) dapat terpenuhi, unsur-unsur kebutuhan pokok itu antara lain: 1. Kebutuhan rasa kasih sayang

2. Kebutuhan akan rasa aman 3. Kebutuhan akan rasa harga diri 4. Kebutuhan akan rasa bebas 5. Kebutuhan akan sukses

6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu

79

Gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama, melalui agama kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik, maka kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan terpenuhi.80

Apabila salah satu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, orang akan menjadi gelisah, akan merasakan ketegangan batin (tension), sedang ketegangan batin dan kegelisahan itu akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu, supaya dapat menghilangkan rasa tidak enak itu. Bagi orang yang sehat mentalnya atau tidak banyak kekurangan-kekurangan yang dirasakannya, maka usahanya akan selalu wajar dan dapat mencapai tujuannya dengan mudah. Akan tetapi bagi orang yang telah bertumpuk-tumpuk kekurangan yang dialaminya, misalkan saja kehilangan kasih sayang, kekurangan rasa aman dan merasa harga dirinya tidak diperhatikan orang, maka ia akan merasa sedih, batinnya akan menjadi tegang dan gelisah, bahkan mungkin akan ia akan mencari kepuasan dengan yang tidak wajar, misalnya dengan berkhayal yang indah-indah (melamun), menghasut orang, menganiaya dan sebagainya. Bahkan

80

Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), hlm. 35.

mungkin sampai kepada terganggu kesehatan mentalnya. Dan lebih jauh lagi bisa tertimpa penyakit jiwa.81

b. Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik berasal dari lingkungan yang ada disekitar anak, setidaknya ada tiga tempat yang umumnya didiami oleh anak; keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pada setiap tempat tersebut terdapat berbagai macam cara atau metode memotivasi jiwa beragama yang sesuai dengan karakteristik tempat masing-masing. Berikut kiat-kiat/metode-metode menumbuhkan motivasi beragama pada anak;

1. Metode Keteladanan

Pada anak usia dini keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Oleh karena itu, baik buruknya pribadi anak, taat tidaknya anak pada ajaran agama, akan sangat tergantung pada contoh dan teladan yang dilihatnya dari keseharian orangtuanya.82

2. Metode Pembiasaan

Pembiasaan merupakan upaya praktis dalam pembentukan anak yang dapat menghasilkan tingkah laku yang bersifat otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu. Contoh:

81

Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 12.

82

Seorang Muslim dianjurkan oleh Rasulullah SAW membaca “Bismillahirrahmaanirrahim” (Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang), Dengan membaca Bismillah waktu memulai tiap pekerjaan, akan semakin terasa kasih sayang Allah itu kepada kita. Menentramkan hati adalah pokok yang terpenting dalam suksesnya suatu pekerjaan yang sedang dihadapi. Suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan hati yang gelisah akan kurang beres. Anak-anak sekolah yang menghadapi ujian dengan hati cemas, takut dan gelisah, seringkali bingung atau tak dapat berpikir karena kecemasan atau kegelisahannya menyebabkan lupa pelajaran yang sebenarnya telah dihafalkannya. Dan orang yang makan dengan hati yang gelisah, akan merasa seolah-olah kerongkongannya tersumbat, perutnya sakit atau sekurang- kurangnya alat-alat pencernaannya akan terganggu, sehingga mengakibatkan sakit perut atau tidak bisa buang air besar. Itulah sebabnya barangkali, Nabi Muhammad SAW sangat menegaskan pentingnya membaca Bismillah dalam setiap memulai pekerjaan.83

Melihat fenomena tersebut metode pembiasaan sangat tepat dalam rangka menginternalisasikan nilai-nilai religius pada anak agar terbentuklah motivasi beragama pada anak, mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka baik oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat maka perlu adanya pembiasaan pada anak.

Menurut Abdul Fatah Jalal, tidak ada satu metode pun yang dapat menandingi metode yang dipergunakan Al-Quran dalam memantapkan kepercayaan akan Wahdaniyyah (keesaan Allah), penyajiannya dilakukkan dengan menggunakan berbagai sudut pandang dan dilakukan berulang kali. Dengan jalan

83

mengulang serta menggunakan sudut pandang dan argumentasi dapat meninggalkan keraguan dan menggugah sikap percaya.84

3. Metode Cerita

Anak-anak pada umur umur 3-6 tahun tertarik kepada cerita-cerita pendek yang berkisah tentang peristiwa yang sering dialaminya atau dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sangat membantu perkembangan jiwa beragama padanya, lebih- lebih lagi karena anak pada masa kanak-kanak awal cenderung kepada meniru (imitatif).85

Pada usia sekolah (kira-kira umur 6 tahun ke atas) anak juga lebih suka cerita fantasi. Keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan motivasi beragama pada anak dan membina identitas anak, karena ia meniru tokoh yang dibaca, didengar atau dilihatnya. Oleh karena itu cerita anak-anak harus menampilkan atau menyajikan tokoh-tokoh yang saleh, yang kelakuannya selalu terpuji.86

84

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, op. cit., hlm. 57.

85

Ibid., hlm. 77.

86

C. Analisis

Dari sejumlah pemaparan data diatas dapat dianalisa oleh penulis; pertama; Pendapat Zakiah Daradjat mengenai perkembangan beragama pada anak usia 0-12 tahun, menurut Zakiah secara garis besar perkembangan beragama pada anak memiliki sifat-sifat; unreflectif (tidak mendalam, verbalis/ritualis, egosentris, dan fantasi/khayal. Dari beberapa pendapat Zakiah penulis akan membahas salah satu dari empat sifat tersebut yaitu sifat unreflectif, dan menganalisa apa penyebabnya.

Pendapat Zakiah mengenai sifat unreflectif pada anak; ”Kebanyakan anak-anak menerima pelajaran-pelajaran agama dengan kepercayaan, betapapun cara yang dipakai dalam mengajarkannya baik sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, atau sekedar keterangan yang diberikan di rumah atau di sekolah. Kendatipun demikian, akan ada masanya anak-anak

mengungkapkan keraguan yang biasanya terjadi apabila do’a mereka tidak terkabul”.

Dari pendapat Zakiah diatas dapat kita garis bawahi kata

”kebanyakan”, dari kata itu dapat penulis simpulkan bahwa kata ”kebanyakan” dapat diartikan sesuatu yang umum ada pada anak. Artinya

hampir semua anak memiliki sifat unreflectif ini, pendapat penulis ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Manchion yang dikutip oleh Jalaluddin (hampir 80% anak usia 12 tahun kebawah tidak memahami mengenai perilaku keagamaan yang dilakukannya) dan pendapat Jalaluddin sendiri; “Kebenaran yang mereka (anak) terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal” (dijabarkan lebih lengkap pada Bab II).

Jadi dapat disimpulkan bahwa sifat beragama yang umumnya selalu ada pada anak usia 0-12 tahun adalah sifat unreflectif (tidak mendalam), menurut analisa penulis sifat ini ada karena; 1) Sikap keagamaan anak bersifat reseptif (menerima saja) meskipun sudah banyak bertanya. Artinya, karena rasa ingin tahu yang mulai tumbuh, anak akan selalu bertanya terhadap apa yang dilihat dan didengar dari perilaku dan ucapan orang-orang di sekitarnya, anak akan menerima segala ajaran dan nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua atau pendidiknya, 2) Penghayatan secara ruhaniyah masih superficial (belum mendalam/ikut-ikutan). Artinya dalam menjalankan perintah keagamaan sekedar partisipatif, meniru, dan ikut-ikutan tanpa didasari penghayatan ruhaniyah atau batiniyah. Buktinya, sering kita lihat anak-anak mengaji dan shalat berjamaah di masjid dengan main-main, berlari- lari, atau bercanda dengan temannya. Hal ini disebabkan pada masa ini masih belum berkembang perasaan keberagamaan seperti rasa rendah hati, syukur,

khusyu’, atau takut terhadap azab Allah (menurut penelitian para ahli anak baru dapat berfikir tentang hal yang abstrak setelah usianya di atas 12 tahun).

Kedua, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan beragama pada anak menurut Zakiah dipengaruhi oleh dua faktor; faktor internal (kecerdasan, emosi, moral dan perasaan sosial anak) dan faktor eksternal (keluarga, sekolah (guru), dan masyarakat), menurut analisa penulis pendapat Zakiah dalam psikologi pendidikan termasuk mengikuti aliran

Konvergensi, yaitu aliran yang merupakan perpaduan antara aliran Nativisme (bakat yang menentukan) dan aliran Empirisme (lingkungan yang menentukan). Paham konvergensi berpendapat bahwa di dalam perkembangan beragama individu itu baik dasar (potensi) maupun lingkungan memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu; akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Pendapat penulis juga diperkuat oleh pendapat Jalaluddin dan Firman Allah SWT sebagaimana di uraikan pada Bab II (Kajian Pustaka):

”bahwa kehidupan manusia mempunyai potensi/bakat (fitrah) beragama bahkan potensi tersebut sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok (spiritual) manusia. Potensi bawaan (agama) tersebut memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini. Tanda-tanda pada diri anak tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi kejiwaan lannya. Belum terlihatnya tindakan beragama pada anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang belum sempurna. Oleh karena itu perlu usaha bimbingan dan latihan dari pendidik seiring dengan perkembangan anak. Bimbingan dan latihan dari pendidik mesti

disesuaikan dengan usia anak yang memiliki karakteristik yang berbeda”.

Dan Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan

tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”87 (QS. An-Nahl: 78)

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa sekalipun saat dilahirkan manusia tidak mengetahui apa-apa, tetapi mereka dibekali oleh Allah SWT

87

suatu potensi (kemampuan) untuk mendengar dan melihat yang bersifat fisikal dan kemampuan berfikir yang bersifat intelektual serta emosi agama yang bersifat spiritual.

Lebih jauh lagi menurut analisa penulis terdapat penekanan pendapat dari Zakiah Daradjat pada faktor eksternal khususnya keluarga atau lebih khusus lagi adalah ibu, dalam buku Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, beliau mengatakan:

“Tidak sedikit kenakalan anak-anak terjadi, akibat kelalaian dan kurang perhatian orang tua, terutama ibu terhadap anak-anaknya. Dan tidak sedikit pula anak yang menjadi bodoh, patah hati dan terganggu kesehatan mentalnya, karena kebodohan dan kurang pandainya ibu mendidik anak dan menciptakan kebahagiaan rumah tangga. Berapa banyaknya anak yang telah menjadi korban, karena kecerobohan dan ketidak mengertian ibu dalam menghadapi kesusahan sehari-hari keadaan suami serta persoalan-persoalan anak-

anaknya”.88

Dengan demikian dapat kita katakan bahwa ibu (salah satu faktor eksternal) adalah salah satu faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan beragama pada anak, hanya ibu yang pandai dan bijaksanalah yang dapat mendidik dan membesarkan anaknya sehingga menjadi anak yang bahagia dari kecil sampai dewasa dan tua nantinya. Karena itu peranan ibu dalam pembinaan moral/mental si anak, betul-betul sangat menentukan.

Walaupun peranan ibu dominan dalam pembinaan mental agama anak, bukan berarti faktor-faktor yang lain menjadi tidak penting, atau dikesampingkan, sebab bisa saja ibu sudah mendidik agama terhadap anaknya dengan cara dan pendekatan yang sudah benar tetapi ternyata anak tetap sulit

88

berkembang jiwa beragamanya, maka disini faktor internal (kecerdasan, emosi, mental, dan perasaan sosial) juga mempengaruhi pesat tidaknya perkembangan beragama pada anak. Maka baik orang tua atau pendidik harus tetap berusaha serta mampu mengarahkan anak-anak dari penyimpangan atau salahnya pengertian tentang konsep-konsep agama, karena sebagian kesulitan menerima agama disebabkan oleh kesalahan pengertian terhadap kata-kata yang digunakan dalam menerangkan konsep-konsep tersebut.

Pada dasarnya kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas itu berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga dengan yang bagaimanapun juga keadaannya. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dari watak rasa tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dan masa mendatang. Bahkan pada orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar terpikul kepada orang tua. Apakah tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hati atau tidak, hal itu adalah merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah Allah SWT yang dibebankan kepada mereka.

Disamping itu pangkal ketentraman dan kedamaian hidup terletak dalam keluarga. Mengingat pentingnya hidup keluarga yang demikian, maka Islam memandang keluarga bukan hanya sebagai persekutuan hidup terkecil saja, melainkan lebih dari itu, yakni sebagai lembaga hidup manusia yang

memberi peluang kepada para anggotanya untuk hidup celaka atau bahagia dunia akhirat. Pertama-tama yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad dalam mengembangkan agama Islam adalah untuk mengajarkan agama itu kepada keluarganya, baru kemudian kepada masyarakat luas. Hal itu berarti di dalamnya terkandung makna bahwa keselamatan keluarga harus lebih dahulu mendapatkan perhatian atau harus didahulukan ketimbang keselamatan masyarakat. Karena keselamatan masyarakat pada hakikatnya bertumpu pada keselamatan keluarga.

Ketiga, motivasi beragama juga diklasifikasikan menjadi dua yaitu motivasi intrinsik (dorongan dari dalam diri) dan motivasi ekstrinsik (dorongan dari luar dirinya), Pendapat Zakiah Daradjat mengenai motivasi intrinsik beragama:

“….adalah didasarkan pada teori kebutuhan, kebutuhan pokok jiwa itu ada enam (kebutuhan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu/mengenal), gabungan dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama, melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Jika kebutuhan jiwa tersebut tidak terpenuhi maka akan timbul kegelisahan (kecemasan) dan akan mencari jalan untuk mengatasinya, baik dengan cara yang wajar maupun tidak wajar (kurang sehat). Dengan melaksanakan ajaran agama secara baik, maka kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan terpenuhi”.

Menurut analisa penulis enam kebutuhan diatas adalah kebutuhan primer bagi tiap manusia, akan tetapi tidak selamanya setiap orang dapat memenuhi keenam kebutuhan jiwa yang terpokok di atas, karena bermacam- macam suasana yang mempengaruhi dan yang harus dihadapinya. pendapat penulis juga diperkuat oleh W. H. Thomas sebagaimana diuraikan pada Bab II

dengan teori the four wishes nya (security, recognition, response, dan new experience), ia menyebutkan bahwa karena keinginan dasar itulah, maka pada umumnya manusia menganut agama, melalui ajaran agama yang teratur, maka keempat keinginan itu akan tersalurkan, Penulis sependapat dengan Zakiah dan W. H Thomas, mengenai teori kebutuhan jiwa diatas, sebab karena agama adalah kebutuhan jiwa, maka mau tidak mau, suka tidak suka, sukarela atau terpaksa, yang merasa manusia perlu/butuh agama sebagai ”makanan dan

minuman” yang mampu menghilangkan dahaga jiwanya, dan hal itu dapat terpenuhi jika menjalankan ajaran agama.

Sedangkan motivasi ekstrinsik, Zakiah berpendapat bahwa menumbuhkan motivasi beragama pada anak usia 0-12 tahun dapat menggunakan metode-metode berikut;

1. Metode Keteladanan.

“Pada anak usia dini keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Oleh karena itu, baik buruknya pribadi anak, taat tidaknya anak pada ajaran agama, akan sangat tergantung pada contoh dan teladan yang dilihatnya dari keseharian orangtuanya”.89

Dari pendapat Zakiah diatas dapat dianalisa bahwa sebuah nilai tidak akan tertanam di dalam diri seorang anak dengan begitu saja tetapi melalui penyerapan, lalu masuk dan menjadi bagian dalam kepribadian anak. Proses ini terjadi disela-sela upaya pengenalan kepada anak tentang sebuah nilai melalui proses keteladanan.

89

Metode ini jika diterapkan pada anak dalam fase infacy (fase awal kelahiran) cukup efektif, dimana saat itu Tuhan dikenal melalui cinta orang tua dan temannya, sehingga kelembutan orang tua bisa dibayangkan anak sebagai kelembutan Tuhan, maka teladan dari orang tua merupakan keharusan. Dan juga untuk anak pada fase early childhood (fase awal anak-anak), dimana keluarga dapat memberikan makna dan nilai keagamaan.

Perlu disadari bahwa anak akan dapat tumbuh berkembang di atas kebaikan dan didikan yang diutamakan pada moral secara langsung terlihat dari ketidak baikan orang tuanya atau pendidik. Jika anak mendapati keteladanan yang baik, maka ia mudah menyerap prinsip-prinsip yang baik dan berbuat sesuai dengan akhlak Islam. Sebagai rujukan moral, orang tua harus memberikan teladan yang baik. Oleh karena itu seorang bapak atau ibu dituntut, untuk bertingkah laku yang baik dan benar dalam hidup dan kebiasaannya sehari-hari, harus mencerminkan sebagai orang yang taat beragama Islam. Dengan demikian orang tua akan dapat selalu menempatkan dirinya dalam posisi sebagai panutan, pemberi teladan dan rujukan moral yang dapat dipertanggungjawabkan bagi anak-anaknya.

Metode ini sangat tepat apabila digunakan untuk mendidik atau mengajar akhlak, karena untuk pelajaran akhlak dituntut adanya contoh teladan dari pihak pendidik atau guru itu sendiri. Lebih-lebih bagi anak usia enam tahun kebawah, yang masih di dominasi oleh sifat-sifat imitasinya (meniru) terhadap apa yang didengar dan diperbuat oleh orang dewasa yang ada disekitarnya.

Dalam praktek pendidikan, anak didik cenderung meneladani pendidiknya dan ini diakui oleh hampir semua ahli pendidikan. Dasarnya adalah secara psikologis anak senang meniru, tidak saja yang baik-baik, yang jelek pun ditirunya, dan secara psikologis pula manusia membutuhkan tokoh teladan dalam hidupnya. Perilaku, ucapan dan kebiasaan buruk yang ditampilkan oleh orang tua dan guru didepan anak didiknya merupakan sebuah kesalahan fatal yang membahayakan perkembangan kepribadian anak. Ketidakmampuan orangtua atau guru memberikan teladan dan contoh yang baik kepada anak didiknya merupakan penyebab utama kegagalan pendidikan anak.

2. Metode Pembiasaan

“metode pembiasaan sangat tepat dalam rangka menginternalisasikan nilai- nilai religius pada anak agar terbentuklah motivasi beragama pada anak, mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka baik oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat maka perlu adanya pembiasaan pada anak”.90

Dari pendapat Zakiah diatas dapat dianalisa bahwa berbagai kebiasaan harus dibentuk pada anak (subyek) didik oleh para pendidiknya, terutama orang tua. Sejak kecil anak harus dibiasakan mencuci kaki dan menyikat gigi sebelum tidur, mencuci tangan sebelum makan atau makan menggunakan sendok, menghormati orang tua, guru dan orang-orang yang lebih utama di dalam dan diluar keluarga dalam berbicara, bertemu atau berpapasan dan lain- lain. Demikian pula banyak kebiasaan dalam kehidupan beragama yang perlu

90

dibentuk agar menjadi tingkah laku yang dilakukan secara otomatis. Misalnya; kebiasaan mengucapkan salam pada waktu masuk dan meninggalkan rumah bila ada orang lain. Kebiasaan melafalkan Basmalah setiap memulai pekerjaan, selanjutnya melafalkan Alhamdulillah setelah menyelesaikan suatu pekerjaan atau setiap kali mendapat nikmat Allah SWT.

Pendidikan dengan membentuk kebiasaan harus dilakukan dengan berulang-ulang dalam arti dilatih dengan tidak jemu-jemunya. Dengan konsep beragama yang mengekor orang dewasa terutama orang tua dan sifat imitatif (meniru) yang dimiliki anak, metode pembiasaan ini sangat penting digunakan karena dengannya anak akan terbiasa melakukan kegiatan ritual keagamaan dan akan terus dilakukan pada masa dewasanya nanti, serta dapat lebih menghayati dan mendalam tentang Tuhan dan agamanya. Terlebih lagi pada anak yang masih berkembang dalam masa awal kelahiran yang sangat tertarik untuk mengikuti sesuatu perbuatan tanpa pikir panjang. Sedangkan pada anak dalam fase realistik, pembiasaan merupakan jalan menuju peningkatan pemahaman keagamaan.

Menurut Al-Ghazali metode mendidik anak yaitu dengan memberi contoh, latihan dan pembiasaan (drill) kemudian nasehat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam rangka membina kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan.

Pembiasaan yang dilakukan, menurut Al-Ghazali yaitu dengan membiasakan anak menghafal. Ketika anak akan hafal sesuatu kemudian memahaminya, maka tumbuh dalam dirinya suatu keyakinan dan pada gilirannya akan membenarkan keyakinannya tersebut. Cara menguatkan akidah anak bukan dengan mengajarkan dan berdebat ilmu kalam tapi dengan banyak membaca ilmu Al-Quran dan hadits, serta beribadah kepada Allah.

Dalam pendidikan Pra sekolah usia 3-6 tahun (TK) penerapan metode ini dapat dilakukan oleh guru dengan memberi atau melakukan pembiasaan- pembiasaan yang baik, seperti hidup bersih, rukun, tolong menolong, jujur dan sifat terpuji lainnya. Untuk menumbuhkan motivasi beragama pada anak seorang guru dapat memulainya dengan mengajarkan dan membiasakan berdoa dalam aktivitas sehari-hari, seperti doa akan memulai atau selesai belajar, doa akan atau selesai makan dan tidur, mengucapakan terima kasih,

Dalam dokumen PERKEMBANGAN DAN MOTIVASI BERAGAMA PADA (Halaman 87-116)

Dokumen terkait