• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

7. Kimia Koloid

Sistem koloid adalah suatu bentuk campuran yang keadaannya terletak antara larutan dan suspensi (campuran kasar). Sistem koloid terdiri atas fase terdispersi dengan ukuran tertentu dalam medium pendispersi. Zat yang didispersikan disebut fase terdispersi, sedangkan medium yang digunakan untuk mendispersikan disebut medium pendispersi (Michael Purba, 2008).

Untuk memberi gambaran yang lebih tentang perbedaan larutan, koloid dan suspensi disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan Larutan, Koloid, dan Suspensi.

No. Larutan (Dispersi molekuler) Koloid (Dispersi koloid) Suspensi (Dispersi kasar) 1) 2) 3) 4) 5) 6)

Homogen, tidak dapat dibedakan walaupun menggunakan mikroskop ultra

Semua partikel berdimensi (panjang, lebar, atau tebal) kurang dari 1 nm

Satu fase Stabil

Tidak dapat disaring

Contoh: larutan gula dalam air

Secara makroskopis bersifat homogen tetapi heterogen jika diamati dengan mikroskop ultra Partikel berdimensi antara 1 nm sampai 100 nm Dua fase Pada umumnya stabil Tidak dapat disaring kecuali dengan penyaringan ultra Contoh: campuran susu dengan air

Heterogen

Salah satu atau semua dimensi partikelnya lebih besar dari 100 nm Dua fase Tidak stabil Dapat disaring Contoh: campuran tepung terigu dengan air

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menemukan campuran yang tergolong larutan, koloid dan suspensi.

Contoh larutan : larutan gula, larutan garam, spiritus, alkohol 70 %, larutan

cuka, air laut, udara yang bersih, dan bensin.

Contoh koloid : buih sabun, susu cair, santan, jeli, selai, mentega, dan

mayonnaise.

b. Jenis-jenis Koloid

Penggolongan suatu sistem koloid didasarkan pada jenis fase terdispersi dan fase pendispersinya. Jenis-jenis koloid berdasarkan zat pendispersi dan medium pendispersinya dapat dilihat dalam Tabel 2.2.

Gambar 2.2 Buih padat dari bahan stirofoam digunakan untuk tempat minum sekali pakai

Tabel 2.2 Jenis-jenis Koloid

Fase Terdispersi

Fase

Pendispersi Nama Contoh

Padat Gas Aerosol padat Asap, debu

Padat Cair Sol Sol emas, sol belerang, tinta

Padat Padat Sol padat Gelas berwarna, intan hitam

Cair Gas Aerosol cair Kabut, awan

Cair Cair Emulsi Susu, santan, minyak ikan

Cair Padat Emulsi padat Jelly, mutiara, opal

Gas Cair Buih Buih sabun, krim kocok

Gas Padat Buih padat Karet busa, batu apung

1) Aerosol

Sistem koloid dari partikel padat atau cair yang terdispersi dalam gas disebut aerosol. Jika zat yang terdispersi berupa zat padat, disebut aerosol padat; jika zat yang terdispersi berupa zat cair, disebut aerosol cair.

Contoh aerosol padat : asap dan debu dalam udara

Dewasa ini banyak produk dibuat dalam bentuk aerosol, seperti semprot rambut (hair spray, semprot obat nyamuk, parfum, cat semprot dan lain-lain.

2) Sol

Sistem koloid dari partikel padat yang terdispersi dalam zat cair disebut sol. Contoh koloid jenis sol adalah air sungai (sol dari lempung dalam air), sol sabun, sol detergen, sol kanji, timta tulis, dan cat.

3) Emulsi

Sistem koloid dari zat cair yang terdispersi dalam zat cair lain disebut emulsi. Syarat terjadinya emulsi ini adalah kedua jenis zat cair itu tidak saling melarutkan. Emulsi dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu emulsi minyak dalam air (M/A) atau emulsi air dalam minyak (A/M). Dalam hal ini, minyak diartikan sebagai semua zat cair yang tidak bercampur dengan air.

Contoh emulsi minyak dalam air (M/A) : santan, susu, dan lateks.

Contoh emulsi air dalam minyak (A/M) : mayonnaise, minyak bumi, dan minyak ikan

4) Buih

Sistem koloid dari gas yang terdispersi dalam zat cair disebut buih. Untuk menstabilkan buih diperlukan zat pembuih, misalnya sabun, detergen, dan protein. Buih dapat dibuat dengan mengalirkan suatu gas ke dalam zat cair yang mengandung pembuih.

5) Gel

Koloid yang setengah kaku (antara padat dan cair) disebut gel. Contoh: agar-agar, lem kanji, selai, gelatin, gel sabun, dan gel silica. Gel dapat terbentuk dari suatu sol yang zat terdispersinya mengadsorpsi medium dispersinya sehingga terjadi koloid yang agak padat.

c. Sifat-sifat Koloid

Pada dasarnya, sistem koloid mempunyai beberapa sifat khusus, yang membedakannya dengan sistem dispersi lainnya.

1) Efek Tyndall

Efek Tyndall adalah gejala penghamburan berkas sinar oleh partikel-partikel koloid. Hamburan cahaya dari partikel-partikel-partikel-partikel koloid ini dapat diamati dari arah samping, meskipun partikel-partikel koloid tidak tampak. Bila suatu larutan sejati disinari dengan seberkas sinar tampak, maka larutan sejati tadi akan meneruskan berkas sinar (transparan), sedangkan bila seberkas sinar dilewatkan pada sistem koloid, maka sinar tersebut akan dihamburkan oleh partikel koloid, sehingga sinar yang melalui sistem koloid akan tampak dalam pengamatan.

Gambar 2.3 Efek Tyndall (a) larutan sejati meneruskan cahaya, berkas cahaya tidak kelihatan; (b) sistem koloid menghamburkan cahaya, berkas

cahaya kelihatan.

Efek Tyndall dalam kehidupan sehari-hari: a) Sorot lampu mobil pada malam yang berkabut

b) Sorot lampu proyektor dalam gedung bioskop yang berasap/berdebu c) Berkas sinar matahari melalui celah daun pohon-pohon pada pagi hari

yang berkabut. 2) Gerak Brown

Jika diamati dengan mikroskop ultra, akan terlihat partikel koloid senantiasa bergerak terus-menerus dengan gerak patah-patah (gerak zig-zag). Gerak Brown adalah gerak zig-zag dari partikel koloid yang hanya bisa diamati dengan mikroskop ultra. Gerak Brown terjadi sebagai akibat tumbukan yang tidak seimbang dari molekul-molekul medium terhadap partikel koloid. Gerak Brown merupakan salah satu faktor yang menstabilkan koloid. Oleh karena bergerak terus-menerus maka partikel koloid dapat mengimbangi gaya gravitasi sehingga tidak mengalami sedimentasi (Michael Purba, 2008).

3) Muatan koloid a) Elektroforesis

Partikel koloid dapat bergerak dalam medan listrik. Hal ini menunjukkan bahwa partikel koloid tersebut bermuatan. Pergerakan partikel koloid dalam medan listrik ini disebut elektroforesis. Apabila kedalam sistem koloid dimasukkan dua batang elektrode kemudian dihubungkan dengan sumber arus searah, maka partikel koloid akan bergerak ke salah satu elektrode bergantung pada jenis muatannya. Koloid bermuatan negatif akan bergerak ke anode (elektrode positif) sedangkan koloid yang bermuatan positif bergerak ke katode (elektrode negatif). Dalam percobaan dicampurkan koloid

dari Fe(OH)3 berwarna merah dan As2S3 berwarna kuning, campuran dari

sistem koloid tadi dimasukkan dalam alat elektroforesis.

Dari percobaan yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, setelah beberapa saat kedua kutub tersebut dihubungkan dengan sumber arus listrik, ternyata daerah kutub (+) berwarna kuning dan daerah kutub (-) berwarna merah. Dari

hasil pengamatan tersebut dapat dinyatakan bahwa koloid As2S3 bermuatan

negatif karena ditarik oleh elektode positif dan koloid Fe(OH)3 bermuatan

positif karena ditarik oleh elektrode negatif. Dengan demikian elektroferesis dapat digunakan untuk menentukan jenis muatan koloid.

Gambar 2.4 Sel elektroforesis sederhana b) Adsorpsi

Partikel koloid memiliki kemampuan menyerap ion atau muatan listrik pada permukaanya. Oleh karena itu partikel koloid menjadi bermuatan listrik. Penyerapan pada permukaan ini disebut adsorpsi. Contohnya partikel

koloid dari Fe(OH)3 bermuatan positif dalam air, karena mengadsorpsi ion H+,

sedangkan partikel As2S3 dalam air bermuatan negatif karena mengadsorpsi

ion negatif.

Gambar 2.5 Adsorbsi ion-ion menyebabkan partikel koloid bermuatan listrik Sifat adsorpsi partikel ini sangat penting karena banyak manfaat dapat dilakukan bardasarkan sifat-sifat tersebut. Contoh:

(1) Pemutihan gula tebu

Gula yang masih berwarna dilarutkan dalam air kemudian dialirkan melalui tanah diatome dan arang tulang. Zat-zat warna dalam gula akan diadsorpsi sehingga diperoleh gula yang putih bersih.

(2) Norit

Norit adalah tablet yang terbuat dari karbon aktif norit. Didalam usus norit membentuk sistem koloid yang dapat mengadsorpsi gas atau zat racun. (3) Penjernihan air

Untuk menjernihkan air dapat dilakukan dengan menanbahkan tawas atau aluminium sulfat. Di dalam air, aluminium sulfat terhidrolisis membentuk

Al(OH)3 yang berupa koloid. Koloid Al(OH)3 ini dapat mengadsorpsi

zat-zat warna atau zat-zat pencemar dalam air (Michael Purba, 2008). 4) Koagulasi

Telah disebutkan bahwa koloid distabilkan oleh muatannya. Apabila muatan koloid dilucuti maka kestabilan akan berkurang dan dapat menyebabkan koagulasi atau penggumpalan. Pelucutan muatan koloid dapat terjadi pada sel elektroforesis atau jika elektrolit ditambahkan ke dalam sistem koloid. Apabila arus listrik dialirkan cukup lama ke dalam sel elektroforesis maka partikel koloid akan digumpalkan ketika mencapai elektrode. Jadi,

koloid yang bermuatan negatif akan digumpalkan di anode, sedangkan koloid yang bermuatan positif digumpalkan di katode seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Antarpartikel koloid terdapat gaya tolak-manolak listrik karena bermuatan sejenis

Koagulasi karena penambahan elektrolit terjadi sebagai berikut. Koloid yang bermuatan negatif akan menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan menarik ion negatif (anion). Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan kedua seperti pada gambar 2.7.

Apabila selubung lapisan kedua itu terlalu dekat maka selubung itu akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Makin besar muatan ion makin kuat daya tarik menariknya dengan partikel koloid, sehingga makin cepat terjadi koagulasi. Gambar 2.7 memperlihatkan bahwa ion fosfat yang bermuatan -3 tertarik lebih dekat daripada ion klorida yang bermuatan -1, walaupun konsentrasi ion fosfat itu lebih kecil.

Gambar 2.7 Koagulasi koloid karena penambahan elektrolit. Gambar di atas memperlihatkan bahwa ion yang bermuatan lebih besar efektif dalam menggumpalkan koloid

Beberapa contoh koagulasi dalam kehidupan sehari-hari dan industri: a) Pembentukan delta di muara sungai terjadi karena koloid tanah liat

(lempung) dalam air sungai mengalami koagulasi ketika bercampur dengan elektrolit air laut.

b) Karet dalam lateks digumpalkan dengan menambahkan asam format.

c) Lumpur koloidal dalam air sungai dapat digumpalkan dengan menambahkan tawas. Sol tanah liat dalam air sungai biasanya bermuatan

negatif sehingga akan digumpalkan oleh ion Al3+ dari tawas (aluminium

sulfat).

d) Asap atau debu dari pabrik/ industri dapat digumpalkan dengan alat koagulasi listrik dari cottrel seperti pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pengendap Cottrel 5) Koloid pelindung

Suatu koloid dapat distabilkan dengan menambahkan koloid lain yang disebut koloid pelindung. Koloid pelindung ini akan membungkus partikel zat terdispersi sehingga tidak dapat lagi mengelompok.

a) Pada pembentukan es krim digunakan gelatin untuk mencegah pembentukan kristal besar es atau gula.

b) Cat dan tinta dapat bertahan lama karena menggunakan suatu koloid pelindung.

c) Zat-zat pengemulsi, seperti sabun dan deterjen, juga tergolong koloid pelindung.

6) Dialisis

Pada pada pembuatan suatu koloid, seringkali terdapat ion-ion yang dapat menggangu kestabilan koloid tersebut. Ion-ion penganggu ini dapat dihilangkan dengan suatu proses yang disebut dialisis. Dalam proses ini, sistem koloid dimasukkan ke dalam suatu kantong koloid, lalu kantong koloid itu dimasukkan ke dalam bejana yang berisi air mengalir (lihat Gambar 2.9). Kantong koloid tadi terbuat dari selaput semipermeable, yaitu selaput yang dapat melewatkan partikel-partikel kecil, seperti ion-ion atau molekul sederhana, tetapi menahan koloid. Dengan demikian, ion-ion keluar dari kantong dan hanyut bersama air.

Proses pemisahan hasil-hasil metabolisme dari darah oleh ginjal juga merupakan proses dialisis. Jaringan ginjal bersifat sebagai selaput semipermeabel yang dapat dilewati air dan molekul-molekul sederhana seperti urea, tetapi menahan butir-butir darah yang merupakan koloid. Orang yang menderita ginjal dapat menjalani cuci darah, dimana fungsi ginjal diganti oleh suatu mesin dialisator (Michael Purba, 2008).

Gambar 2.9 Proses Dialisis

7) Koloid liofil dan koloid liofob

Berdasarkan interaksi antara partikel terdispersi dengan medium pendispersinya, sistem koloid dibedakan menjadi dua macam yaitu koloid liofil dan koloid liofob. Koloid liofil adalah koloid yang fase terdispersinya suka menarik medium pendispersinya. Peristiwa ini disebabkan gaya tarik antara partikel-partikel terdispersi dengan medium pendispersinya kuat. Koloid liofob adalah sistem koloid yang fase terdispersinya tidak suka menarik.

Gambar 2.11 Contoh koloid hidrofob (mayonaise) dan koloid hidrofil (agar-agar)

medium pendispersinya. Bila medium pendispersinya air koloid liofil disebut juga koloid hidrofil, sedangkan koloid liofob disebut sebagai koloid hidrofob. Contoh koloid hidrofil dan hidrofob disajikan pada Gambar 2.11.

Perbedaan kemampuan menarik medium pendispersinya mengakibatkan terjadinya perbedaan sifat-sifat koloid tersebut. Perbandingan

sifat koloid liofil dan koloid liofob disajikan dalam tabel 2.3 (Unggul Sudarmo, 2009).

Tabel 2.3 Perbandingan Sifat Koloid Liofil dan Koloid Liofob

No Sifat Sol liofil Sol liofob

1 Daya adsorpsi

terhadap medium Kuat, mudah mengadsorpsi mediumnya sehingga

ukuran partikelnya dapat semakin besar

Tidak

mengadsorpsi mediumnya

2 Efek tyndall Kurang jelas Sangat jelas

3 Viskositas

(kekentalan) Lebih besar daripada mediumnya Hampir sama dengan mediumnya

4 Koagulasi Sukar terkoagulasi Mudah terkoagulasi

5 Lain-lain Bersifat reversible (bila sudah terkoagulasi dapat dengan mudah dijadikan koloid lagi )

Irreversible (bila sudah menggumpal sukar dikoloidkan kembali)

6 Contoh Protein, sabun, detergen,

agar-agar, kanji, gelatin Susu,

mayonaise, sol logam, sol belerang, darah, sol

Fe(OH)3

d. Pembuatan sistem koloid

Cara pembuatan koloid dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu dengan cara dispersi dan cara kondensasi. Cara dispersi dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel. Cara ini melibatkan pengubahan ukuran partikel (misalnya suspensi atau padatan) menjadi ukuran partikel koloid. Cara kondensasi dilakukan dengan memperbesar ukuran partikel, umumnya dari larutan diubah menjadi koloid.

Gambar 2.12 Dua cara pembuatan, koloid dispersi, dan kondensasi 1) Cara dispersi

a) Dispersi langsung (mekanik)

Cara ini dilakukan dengan memperkecil zat terdispersi sebelum didispersikan ke dalam medium pendispersi. Untuk memperkecil ukuran partikel dapat dilakukan dengan menggiling atau menggerus partikel sampai ukuran tertentu. Misalnya, pada pembuatan sol belerang dalam air, serbuk belerang dihaluskan dahulu dengan menggerus bersama kristal gula secara berulang-ulang. Campuran semen dengan air dapat membentuk koloid secara langsung karena ukuran partikel-partikel semen sudah digiling sedemikian rupa sehingga ukuran partikelnya menjadi ukuran koloid.

b) Homogenisasi

Pembuatan susu kental manis yang bebas kasein dilakukan dengan mencampurkan serbuk susu skim ke dalam air di dalam air di dalam mesin homogenisasi, sehingga partikel-partikel susu akan berubah menjadi seukuran pertikel koloid. Emulsi obat pada pabrik obat dilakukan dengan proses homogenisasi menggunakan mesin homogenisasi.

c) Peptisasi

Proses peptisasi dilakukan dengan cara memecah partikel-partikel besar, misalnya suspensi, gumpalan, atau endapan dengan menambahkan zat

pemecah (pemeptisasi) tertentu. Sebagai contoh endapan Al(OH)3 akan

berubah menjadi koloid dengan menambahkan AlCl3 ke dalamnya.

Endapan AgCl akan berubah menjadi koloid dengan menambahkan larutan

NH3 secukupnya.

d) Busur Bredig

Busur bredig adalah suatu alat yang khusus digunakan untuk membentuk koloid logam. Proses ini dilakukan dengan cara meletakkan logam yang akan dikoloidkan pada kedua ujung elektrode dan kemudian diberi arus listrik yang cukup kuat sehingga terjadi loncatan bunga api listrik (lihat Gambar 2.13). Suhu tinggi akibat adanya loncatan bunga api listrik mengakibatkan logam akan menguap dan selanjutkan terdispersi ke dalam air membentuk suatu koloid logam.

2) Cara kondensasi

Cara kondensasi dilakukan dengan mengubah suatu larutan menjadi koloid. Proses ini umumnya melibatkan reaksi-reaksi kimia yang menghasilkan zat yang menjadi partikel-partikel terdispersi.

a) Reaksi hidrolisis

Reaksi ini umumnya digunakan untuk membuat koloid-koloid basa dari suatu garam yang dihidrolisis (direaksikan dengan air).

Contoh:

Pembuatan sol Fe(OH)3 dengan cara memanaskan larutan FeCl3.

FeCl3 (aq) + 3H2O (l) Fe(OH)3(s) + 3HCl (aq)

b) Reaksi redoks

Reaksi yang melibatkan perubahan bilangan oksidasi. Koloid yang terjadi merupakan hasil oksidasi atau reduksi.

Contoh:

Pembuatan sol belerang dengan mengalirkan gas H2S ke dalam larutan

SO2.

2 H2S(g) + SO2 (aq) → 2H2O (l) + 3S (s)

Pembuatan sol emas dari reaksi antara HAuCl4 dengan larutan K2CO3 dan

HCHO (formaldehida).

2HAuCl4(aq) + 6 K2CO3(aq) + 3HCHO(aq) → 2Au(koloid) + 5CO2(g) +

8KCl(aq) + 3HCOOK(aq) + KHCO3(aq) + 2H2O(l)

c) Pertukaran ion

Reaksi pertukaran ion umumnya dilakukan untuk membuat koloid dari zat-zat yang sukar larut (endapan) yang dihasilkan pada reaksi kimia. Contoh:

Pembuatan sol As2S3 dengan mengalirkan gas H2S ke dalam larutan

As2O3.

3H2S (g) + As2S3(aq) →As2S3(s) + 3H2O (l)

Pembuatan sol AgCl dengan mencampurkan larutan perak nitrat encer dengan larutan HCl encer.

AgNO3(aq) + HCl(aq) → AgCl(koloid) + HNO3(aq)

d) Penggantian pelarut

Selain dengan cara-cara di atas, koloid juga dapat terjadi dengan penggantian pelarut.

Contoh:

Larutan jenuh kalsium asetat dicampur dengan alkohol akan terbentuk suatu koloid berupa gel.

e. Koloid Asosiasi

Berbagai jenis zat, seperti sabun dan detergen, larut dalam air tetapi tidak membentuk larutan, melainkan koloid. Molekul sabun atau detergen terdiri

atas bagian yang polar (disebut kepala) dan bagian yang nonpolar (disebur ekor).

Kepala sabun adalah gugus yang hidrofil (tertarik ke air) sedangkan gugus hidrokarbon bersifat hidrofob (takut air). Jika sabun dilarutkan dalam air, maka molekul-molekul sabun akan mengadakan asosiasi karena gugus nonpolarnya (ekor) saling tarik menarik, sehingga terbentuk partikel koloid (Gambar 2.15).

Gambar 2.15 Larutan sabun merupakan koloid asosiasi. Ekor yang hidrofob cenderung berkumpul sekaligus menghindari air.

Daya pengemulsi dari sabun dan detergen juga disebabkan oleh aksi yang sama. Gugus nonpolar dari sabun akan menarik partikel kotoran (lemak) dari bahan cucian kemudian mendispersikannya ke dalam air (lihat Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Skema cara kerja detergen: (a) Kotoran atau bercak lemak pada bahan cucian; (b) molekul sabun atau detergen menarik kotoran dengan gugus nonpolarnya; (c) kotoran mulai terangkat; (d) kotoran didispersikan dalam air.

Sebagai bahan pencuci, sabun dan detergen bukan saja berfungsi sebagai pengemulsi tetapi juga sebagai pembasah dan penurun tegangan permukaan. Air yang mengandung sabun atau detergen mempunyai tegangan permukaan yang

lebih rendah sehingga lebih mudah meresap pada bahan cucian (Michael Purba, 2008).

Dokumen terkait