• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Kinerja Beberapa Bank Besar di Indonesia

Beberapa trend yang sedang terjadi dalam industri perbankan di Indonesia

sampai tahun 2004 antara lain adalah sebagai berikut (Sarjito, 2004). Pertama,

terjadinya pergeseran-pergeseran segmen pasar atau komposisi pasar sejalan dengan perkembangan struktur ekonomi nasional dan pola pikir nasabah perbankan yang cenderung makin banking minded. Untuk kredit, segmen pasar yang dituju oleh perbankan saat ini sedang bergeser menuju ke segmen pasar yang lebih potensial dan lebih rendah risikonya. Segmen pasar yang kini menjadi primadona bagi kredit perbankan adalah segmen pasar konsumen dan segmen usaha mikro, kecil dan menengah. Salah satunya dapat dilihat dari komposisi kredit menurut kelompok debiturnya yang saat ini sudah dikuasai oleh nasabah perorangan sebesar 42,6%. Sebagai pembanding, pada akhir 2002 debitur perorangan ini hanya menguasai 25,9% dari total portofolio kredit perbankan. Kecenderungan ke segmen konsumen ini juga dapat dilihat pada portofolio kredit menurut jenisnya. Kredit konsumtif sudah

mencapai 26,5% dari total kredit pada September 2004 melebihi posisi akhir tahun 2000 dan 2002 yang masing-masing hanya sebesar 14,9% dan 21,8%. Ini terjadi karena dalam beberapa tahun terakhir ini kredit konsumtif meningkat jauh lebih cepat

dibandingkan dengan kenaikan kredit investasi dan kredit modal kerja. Kedua,

kecenderungan ini juga terjadi pada produk dana dimana segmen pasar perorangan mencapai lebih dari 60% dari total portofolio dana perbankan pada akhir September 2004, dibandingkan hanya 55% pada akhir 2000. Hal ini ditanggapi oleh bank-bank besar dengan mengalokasikan resources-nya secara signifikan ke segmen konsumer ini, seperti yang dilakukan Bank Mandiri, BCA dan BNI. Akibatnya persaingan di segmen ini menjadi lebih ketat dan perbankan membangun infrastruktur yang kuat di segmen ini. Pergeseran di sektor dana ini juga terjadi pada jenis produknya yaitu mengarah pada peningkatan komposisi dana murah dan jangka pendek. Hal ini terlihat makin menurunnya proporsi deposito sebagai dana mahal dari semula 54,2% pada tahun 2000 menjadi 44,3% pada akhir September 2004. Turunnya pangsa deposito berjangka disebabkan terutama oleh turunnya suku bunga sehingga deposan banyak yang mengalihkan dananya ke instrumen keuangan lain yang lebih menarik, seperti reksadana, obligasi dan saham. Ini terjadi terutama pada deposito berjangka lebih dari 1 bulan, yang mengalami penurunan cukup besar, sedangkan deposito berjangka waktu 1 bulan masih mengalami kenaikan. Selain itu, dana deposito kemungkinan juga banyak yang berpindah ke tabungan mengingat selisih bunga

antara kedua jenis simpanan tersebut saat ini semakin kecil. Ketiga, perbankan

untuk menjangkau nasabah yang lebih luas, lebih mudah dan lebih efisien. Untuk itu, perbankan mulai menggeser jaringan distribusinya dari conventional channel ke arah modern channel yang lebih murah, mudah dan berbasis pada teknologi. Trend ini bisa dilihat dari makin maraknya pengembangan jaringan distribusi modern, baik hub-spoke model maupun electronic banking seperti ATM, phone banking, mobile banking dan internet banking. Keempat, trend di bidang strategi bisnis terjadi dengan mengarah pada pengembangan strategi pertumbuhan bisnis non-organik, khususnya aliansi strategis. Aliansi ini dilakukan antara perbankan dengan lembaga lain untuk kepentingan pengembangan bisnis, seperti bank dengan developer (KPR), bank dengan asuransi (banc assurance), bank dengan perusahaan sekuritas (reksadana) dan

bank dengan Posindo. Kelima, dipicu oleh persaingan yang semakin ketat dan

karakteristik segmen konsumer yang bersifat massal, bank-bank besar berlomba menarik perhatian nasabah dengan paket-paket promosi yang menarik. Disamping dengan menggunakan iklan di media massa, promosi yang sekarang lazim digunakan adalah dengan menggunakan undian berhadiah untuk produk tabungan dan penetapan bunga yang menarik untuk produk kredit perumahan.

Berdasarkan asset, Bank Mandiri masih menduduki peringkat pertama dengan total asset Rp 240,4 triliun, diikuti BCA (Rp 148,8 triliun), BNI (Rp 135,9 triliun), BRI (Rp 107,0 triliun), Bank Danamon (Rp 57,6 triliun), BII (Rp 36,0 triliun), Bank Niaga (Rp 30,6 triliun), BTN (Rp 26,7 triliun), Bank Permata (Rp 31,6 triliun) dan Lippo Bank (Rp 27,8 triliun) (Supraptono, 2005).

Sebagian besar aktiva produktif bank-bank besar diinvestasikan dalam bentuk portofolio pinjaman dan obligasi. Bank Mandiri yang memimpin perolehan asset, memiliki aktiva produktif terbesar yang mencapai Rp 218,6 triliun, diikuti BCA Rp 132,1 triliun, dan BNI Rp 119,9 triliun. Bila dilihat dari komposisi aktiva produktif masing-masing bank, obligasi masih mendominasi komposisi aktiva produktif bank-bank rekap. Bank Mandiri memiliki obligasi terbesar yang mencapai Rp 92,9 triliun, diikuti BCA Rp 46,7 triliun dan BNI Rp 38,3 triliun. Sementara BCA, disamping obligasi, juga memiliki SBI yang cukup besar dalam komposisi earning assetnya yang mencapai Rp 29,6 triliun.

Dalam hal penyaluran pinjaman, Bank Mandiri tetap memimpin pasar dengan total pinjaman mencapai Rp 88,6 triliun atau setara dengan 14,9% dari total kredit perbankan. Peringkat kedua BRI sebesar Rp 62,3 triliun (10,5%), diikuti BNI Rp 57,9 triliun (9,7%). Namun dari sisi pertumbuhan, Bank Permata mencapai pertumbuhan tertinggi dengan pertumbuhan 54,2%, diikuti Bank Niaga 47,6%, BCA 37,4% dan BRI 30,9% (Supraptono, 2005).

Penghimpunan dana masyarakat tetap didominasi empat bank besar yakni Bank Mandiri, BCA, BNI dan BRI. Bank Mandiri berada di posisi teratas dengan total dana Rp 169,9 triliun, dibayang-bayangi oleh BCA yang pada periode laporan mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar Rp 131,6 triliun. Peringkat ketiga dikuasai BNI dengan pangsa pasar Rp 105,0 triliun, diikuti BRI sebesar Rp 82,2 triliun.

Berdasarkan jenis dana yang dihimpun, dana Bank Mandiri didominasi oleh deposito (45,9%), dan dana BCA didominasi oleh tabungan (52,4%). Sementara BNI

memiliki komposisi dana yang relatif seimbang yakni 37,1% tabungan, 35,7% deposito, dan 27,2% giro.

Tabel 2.1. Indikator Keuangan Bank-bank Besar Periode Desember 2003 dan Desember 2004 (Triliun Rupiah)

Asset Earning Asset Kredit Dana Masyarakat Pendapatan Bunga Bersih Laba Bank Des 03 Des 04 Des 03 Des 04 Des 03 Des 04 Des 03 Des 04 Des 03 Des 04 Des 03 Des 04 Mandiri 245.8 240.4 226.3 218.8 73.3 88.6 176.3 169.9 7.8 9.0 4.6 5.3 BCA 133.0 148.8 117.5 132.1 29.4 40.4 117.9 131.6 5.4 6.6 2.4 3.2 BNI 131.2 135.9 120.6 119.9 46.4 57.9 105.2 105.1 5.0 6.9 0.8 3.1 BRI 94.7 107.0 84.2 97.7 47.6 62.3 76.3 82.2 8.0 10.7 2.5 3.6 Danamon 52.7 57.6 50.6 52.7 22.7 29.3 39.9 40.2 2.8 3.5 1.5 2.4 BII 34.8 36.0 30.4 32.0 10.0 12.9 28.6 29.6 1.0 1.6 0.3 0.8 Niaga 23.6 30.6 21.5 27.8 14.3 21.1 19.3 24.8 0.9 1.4 0.5 0.7 BTN 26.8 26.7 24.6 24.8 11.2 12.6 19.1 18.6 0.9 1.3 0.1 0.4 Permata 28.9 31.6 24.7 27.7 9.6 14.8 23.4 25.8 1.1 1.6 0.6 0.6 Lippo 26.5 27.8 21.3 22.7 4.7 5.5 23.9 24.9 0.8 0.9 -0.5 0.9

Sumber : Laporan Keuangan Publikasi

Bank Mandiri mencatat pendapatan bunga terbesar yang mencapai Rp 18,4 triliun, jauh diatas BRI yang sebesar Rp 15,5 triliun, BNI Rp 11,9 triliun, BCA Rp 11,5 triliun dan Bank Danamon Rp 5,7 triliun. Sementara 5 bank lainnya yakni BII, Bank Permata, BTN, Bank Niaga, dan Lippo Bank, menghasilkan pendapatan bunga masing-masing berturut-turut sebesar Rp 2,9 triliun, Rp 2,9 triliun, Rp 2,8 triliun, Rp 2,5 triliun dan Rp 1,8 triliun. Dari pendapatan tersebut Bank Mandiri berhasil mencetak laba sebesar Rp 5,3 triliun, terbesar diantara 9 bank besar lainnya. Laba kedua terbesar dihasilkan BRI sebesar Rp 3,6 triliun, diikuti BCA Rp 3,2 triliun, BNI Rp 3,1 triliun dan Bank Danamon Rp 2,4 triliun.

Tingkat profitabilitas bank yang semakin membaik (tercermin dari peningkatan return on asset/ROA), memperlihatkan bahwa perbankan khususnya bank papan atas telah mampu mengoptimalkan aktiva produktifnya untuk mencetak pendapatan. Namun, membaiknya profitabilitas bank-bank besar belum mencerminkan kinerja yang sesungguhnya mengingat sekitar 40% dari pendapatan masih bersumber dari surat-surat berharga yang bersifat zero risk asset (SBI dan obligasi rekap). Bahkan BCA nilai SBI & Obligasi-nya mencapai 58% dari total aktiva produktifnya.

Namun, terlepas dari komponen sumber pendapatan, rasio ROA bank-bank besar telah mencapai tingkat yang cukup memuaskan. BRI merupakan bank yang paling profitable dengan ROA sebesar 5,8%, diikuti Bank Danamon 4,5% dan Lippo Bank 3,3%. Sementara Bank Mandiri berada pada peringkat keempat sebesar 3,2%, diikuti BCA 3,2%, Bank Niaga 2,9%, BNI 2,5%, BII 2,4%, Bank Permata 2,3% dan BTN 1,8%.

Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) yang mencerminkan tingkat efisiensi operasional bank juga menunjukkan perbaikan. Bank Danamon bekerja dengan BO/PO 52,3% menjadikannya sebagai bank yang paling efisien. Berikutnya BCA 65,7%, Bank Mandiri 66,6%, dan BRI 67,0%. Sementara 6 bank besar lainnya memiliki rasio BO/PO diatas 70%, yakni BNI 78,6%, Bank Niaga 79,4%, BII 79,7%, Lippo Bank 81,6%, Bank Permata 83,1% dan BTN 84,2%.

Dalam perspektif rasio kecukupan modal dan rasio kualitas kredit, rata-rata bank papan atas telah menunjukkan kinerja yang cukup baik yakni memiliki CAR

diatas 8% dan NPLs dibawah 5%. Namun, Bank Mandiri dan Lippo Bank memiliki kualitas kredit belum baik dengan NPLs masing-masing 7,4% dan 6,8%.

Secara umum kondisi perbankan sampai dengan triwulan II 2005 telah menunjukkan perkembangan yang membaik. Beberapa indikator perbankan sampai dengan bulan Mei menunjukkan indikasi positif. Total aset, Dana Pihak Ketiga (DPK), modal dan total kredit yang disalurkan menunjukkan kenaikan. Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Non Performing Loan (NPL) juga mengalami perbaikan. Total asset meningkat menjadi Rp 1325 triliun dan DPK meningkat menjadi Rp 986,7 triliun. Demikian juga jumlah kredit yang disalurkan meningkat menjadi Rp 650,8 triliun. Indikator lainnya, Loan to Deposit Ratio (LDR) pada bulan Mei membaik sebesar 1,6% dari 51,3% pada bulan April menjadi 52,9%. Selain itu, NPL baik secara gross maupun net juga mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1,6% dan 1,8% menjadi 7,30% (NPL gross) dan 3,60% (NPL net). Disamping mengalami perbaikkan, beberapa indikator penting seperti CAR dan Net Interest Margin (NIM) masih mengalami penurunan kinerja. Pada bulan Mei, rasio CAR menurun 1,2% dari 21,2% pada bulan April menjadi 20%. Sedangkan NIM menurun tipis sebesar 0,4% pada bulan Mei menjadi 5,6%. Perkembangan yang sama terjadi pula pada modal perbankan yang selama bulan Mei menurun sebesar Rp 0,4 triliun dan berada pada posisi Rp 117,2 triliun. Ditambah lagi, satu hal yang sangat memprihatinkan adalah belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Hal ini terlihat jelas masih besarnya dana yang menganggur (idlle fund) di perbankan. Walaupun jumlah kredit yang disalurkan mengalami kenaikkan, namun sayangnya kenaikan tersebut lebih di

dominasi oleh kenaikan pada kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Kredit modal kerja bulan Mei mencapai Rp 311,74 triliun atau meningkat 4,33%. Disusul kredit konsumsi juga meningkat Rp 6,13 triliun (3,66%) dari Rp 167,50 triliun menjadi Rp 173,63 triliun. Sementara kredit investasi hanya meningkat Rp 2,44 triliun (2,01%) dari Rp 121,52 triliun menjadi Rp 123,96 triliun. Dengan tidak adanya investasi baru, artinya tambahan kesempatan kerja yang dapat diciptakan juga akan sangat minim sekali (Bisnis Ekonomi dan Politik, 2005).

Dokumen terkait