• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kinerja Sektor Publik

22 Menurut Mahsun (2006), sektor publik seringkali dipahami sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan umum dan penyediaan barang atau jasa kepada publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan negara lain yang diatur hukum. Oleh karena area sektor publik sangat luas cakupannya, maka dalam penyelenggaraannya sering diserahkan kepada pasar, namun pemerintah tetap mengawasinya dengan sejumlah regulasi. Bahkan beberapa bidang sektor publik dikelola dengan menggunakan sumber pendanaan dari sumbangan atau dana amal (charities)

Selanjutnya, Mahusn (2006) menyatakan bahwa sektor publik eksis karena dibutuhkan. Keberadaan sektor publik di tengah masyarakat tidak bisa dihindarkan. Masyarakat membutuhkan regulasi yang mengatur pemakaian barang-barang publik. Dalam perkembangannya, sektor publik sangat berperan dalam pengaturan public goods tersebut sehingga dapat didistribusikan kepada segenap masyarakat secara adil dan merata.

Menurut Jones (1993) diacu Mahsun (2006), peran utama sektor publik mencakup tiga hal, yaitu:

(1) Regulatory Rule. Regulasi-regulasi yang dibutuhkan masyarakat agar mereka secara bersama-sama bisa mengasumsi dan menggunakan barang-barang publik. Sektor publik sangat berperan dalam menciptakan segala aturan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Tanpa ada aturan oleh organisasi- organisasi di lingkungan sektor publik maka ketimpangan akan terjadi di masyarakat. Sebagian masyarakat pasti akan dirugikan karena tidak mampu memperoleh barang atau layanan yang sebetulnya untuk umum.

(2) Enabling Rule. Tujuan akhir dari sebagian besar regulasi adalah memungkinkannya segala aktivitas masyarakat berjalan secara aman, tertib dan lancar. Sektor publik mempunyai peran yang cukup besar dalam memperlancar aktivitas masyarakat yang beraneka ragam tersebut.

(3) Direct Provision of Goods and Service. Makna barang publik murni atau pure public goods sulit untuk dipisahkan secara tegas dengan quasi public goods. Selain semakin kompleks dan meluasnya area sektor publik maka sebagian sebagian sektor publik mulai dilakukan privatisasi. Privatisasi mengharuskan sektor publik masuk dalam mekanisme pasar. Sektor publik berperan dalam

mengatur berbagai kegiatan produksi dan penjualan barang atau jasa, public goods dan quasi public goods, meskipun sudah diprivatisasi atau dikelola oleh swasta. Peran sektor publik dalam hal ini adalah ikut serta mengendalikan dan mengawasi dengan sejumlah regulasi yang tidak merugikan publik.

2.4.2. Pengukuran kinerja sektor publik

Sektor publik tidak bisa lepas dari kepentingan umum sehingga pengukuran kinerja mutlak diperlukan untuk mengetahui seberapa berhasil misi sektor publik tersebut dapat dicapai penyedia jasa dan barang-barang publik. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (sektor publik) yang tertuang dalam rencana strategisnya. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: (1) efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan barang dan jasa; (2) kualitas barang dan jasa atau seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan; (3) hasil kegiatan dibandingkan dengan tujuan yang diinginkan; dan (4) efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson, 2002 dalam Mahsun, 2006).

Selanjutnya, Mahsun (2006) menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer suatu organisasi di sektor publik, diantaranya instansi pemerintah, menilai pencapaian suatu strategi. Sistem pengukuran kinerja dirancang untuk bisa memberikan manfaat jangka panjang. Sebelum proses pengukuran kinerja dilakukan, berbagai aktivitas manajemen strategi harus sudah didesain dan dilaksanakan, yaitu perencanaan strategis, penyusunan program, penyusunan anggaran dan implementasi. Dalam suatu manajemen strategi, pengukuran kinerja berfungsi sebagai alat penilai apakah strategi yang sudah ditetapkan telah berhasil dicapai. Dari hasil pengukuran kinerja dilakukan evaluasi untuk menghasilkan suatu umpan balik (feedback) yang memberikan informasi yang berguna untuk memperbaiki kinerja organisasi secara berkelanjutan.

24 2.4.3. Evaluasi kebijakan publik

Pada tataran manajemen strategis dan pengukuran kinerja, kebijakan memiliki pengertian pedoman untuk melaksanakan falsafah, nilai-nilai etis yang ditanamkan di organisasi sektor publik untuk menanamkan perilaku anggota dan organisasi itu sendiri dalam membentuk budaya organisasi.

Menurut Wibawa et al (1993), evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi yaitu:

(1) Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

(2) Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

(3) Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

(4) Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mngenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik.

Di pihak lain, evaluasi dapat dilakukan sebelum maupun sesudah kebijakan dilaksanakan. Keduanya disebut evaluasi summatif dan formatif. Selain berusaha memberikan penjelasan tentang berbagai fenomena kebijakan, evaluator mempunyai maksud lain: memberikan rekomendasi kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan tentang tindakan apa yang perlu diambil terhadap kebijakan yang dievaluasinya Dunn (2000).

Menurut Wibawa, et al., 1994, dari berbagai persoalan tersebut, evaluasi kebijakan kiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek, yaitu (1) proses pembuatan kebijakan; (2) proses implementasi; (3) konsekuensi kebijakan dan (4) efektivitas dampak kebijakan.

Seorang evaluator kebijakan harus mengetahui secara jelas aspek-aspek apa yang perlu dikaji. Disamping itu ia harus mengetahui sumber-sumber informasi yang perlu dikejarnya untuk memperoleh data yang valid, selain mengetahui teknik analisis yang tepat untuk melakukan evaluasi. Kemampuan evaluator sangat menentukan apakah evaluasinya dijadikan oleh pembuat kebijakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan apakah kebijakannya akan diteruskan, diubah atau dihentikan (Wibawa, et al., 1994).

Rustiadi (2001) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan program, kinerja program perlu dievaluasi. Evaluasi terhadap kinerja harus dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian sampai dampak yang dihasilkan. Evaluasi merupakan suatu proses untuk melihat kebelakang apa yang telah dikerjakan. Evaluasi merupakan tindakan korektif untuk perbaikan kinerja menuju yang lebih baik, sehingga tercapai lingkaran yang semakin membesar kearah yang lebih baik.

Evaluasi akan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Hal ini akan membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2000). Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.

Menurut Nugroho (2003), evaluasi kebijakan biasanya ditujukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai serta untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Evaluasi kebijakan publik tidak hanya berkenaan dengan implementasinya, melainkan berkenaan dengan perumusan,

26 Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat empat “tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal efektivitas implementasi yaitu :

(1) Apakah kebijakan tersebut sudah tepat yang dinilai dari sejauhmana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Apakah kebijakan sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan yang sesuai dengan karakter kebijakannya.

(2) Tepat pelaksananya. Ada tiga pelaksana yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat/ swasta dan implementasi yang diswastakan. (3) Tepat target. Berkenaan dengan tiga hal yaitu : 1) apakah target yang

diintervensi sesuai dengan yang direncanakan?, 2) apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau 3) apakah tidak bertentangan dengan kebijakan lain?.

(4) Tepat lingkungan. Terdapat dua lingkungan yang mempengaruhi yaitu lingkungan kebijakan dan lingkungan eksternal kebijakan. Lingkungan yang pertama yaitu interaksi antara perumus kebijakan dan pelaksana dengan lembaga lain yang terkait.

Menurut Edward III dalam Nugroho (2003), menyatakan agar implementasi kebijakan dapat efektif maka harus ada komunikasi, ketersediaan sumberdaya untuk melaksanakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Dokumen terkait