• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Aspek-Aspek Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Konsep dan Aspek-Aspek Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Dalam sejarahnya, wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang dipelopori sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut “berkelanjutan” apabila mampu

melindungi Sumber Daya Perikanan dari kepunahan. Konsep ini memberikan sedikit perhatian pada tujuan manusia dalam melakukan kegiatan perikanan tersebut. (Adrianto, 2005).

Kemudian pada tahun 1950-an, dominasi paradigma konservasi ini mendapat tantangan dari paradigma lain yang disebut sebagai paradigma rasionalitas (rationalization paradigm). Paradigma ini memfokuskan pada keberlanjutan perikanan yang rasional secara ekonomi (economically rational or efficient fishery) dan mendasarkan argumentasinya pada konsep pencapaian keuntungan maksimal dari Sumberdaya Perikanan bagi pemilik sumberdaya (Adrianto, 2005).

Charles (2001) menambahkan wacana baru dalam konsep keberlanjutan disamping konsep keberlanjutan secara biologi-ekologi yang dilihat dari nilai MSY (maximum sustainable yield) yang merupakan paradigma konservasi dan keberlanjutan ekonomi yang dilihat dari nilai MEY (maximum economic yield) dan OSY (optimum sustainable yield) cerminan dari paradigma rasionalitas juga harus berlanjut maka diperlukan paradigma sosial dan komunitas. Dalam paradigma baru ini, keberlanjutan perikanan dicapai melalui pendekatan “kemasyarakatan”. Artinya, keberlanjutan perikanan diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas.

Konsep-konsep perikanan tradisional yang terbukti mampu melakukan kontrol terhadap hasil tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas perikanan, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka jangka panjang (long-term resilience) menjadi variabel yang penting dalam paradigma ini. Dengan demikian, perikanan yang berkelanjutan bukan semata- mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable community) yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung

16 tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan (Adrianto, 2005).

Konsep pembangunan berkelanjutan dalam bidang perikanan atau konsep pembangunan perikanan berkelanjutan memerlukan pemahaman terlebih dahulu pembangunan perikanan itu sendiri. Pembangunan perikanan dapat diartikan sebagai pembangunan atau suatu proses yang disengaja untuk mengarahkan sektor perikanan menuju lebih maju jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Pemahaman bidang perikanan memerlukan pemahaman terhadap struktur perikanan sehingga nantinya dapat dipahami konsep pembangunan perikanan berkelanjutan yang sesungguhnya. Berdasarkan jenis kegiatannya, perikanan dapat dapat dibagi menjadi perikanan tangkap (capture fishery) dan perikanan budidaya (culture fishery). Perikanan tangkap adalah aktivitas atau usaha dibidang perikanan yang dilakukan dengan cara memanen ikan dari alam (ekosistem). Di lain pihak perikanan budidaya adalah proses pemanenan ikan melalui suatu kegiatan yang terlebih dahulu dimulai dengan pemeliharaan ikan pada suatu wadah dan tempat yang terkontrol pada suatu ekosistem tertentu. Ekosistem yang menjadi wadah atau lahan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya dapat dikelompokkan menjadi lahan perairan laut, lahan pantai dan lahan air tawar (dalam hal ini termasuk sungai, rawa, waduk, danau, kolam dan genangan air lainnya).

Konsep pembangunan perikanan berkelanjutan secara teknis didefinisikan sebagai suatu upaya pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dan jasa- jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan laut dan pantai untuk kesejahteraan manusia, terutama pemanfaat-pemanfaat terkait dengan tingkat pemanfaatannya yang tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) wilayah perairan tersebut untuk menyediakannya. Dalam hal ini terdapat tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam kerangka pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Dahuri, 2004). Masing-masing aspek tersebut mempunyai persyaratan-persyaratan agar pembangunan suatu wilayah atau suatu sektor dapat berlangsung secara berkelanjutan. Integrasi seyogyanya terjadi antar aspek dan menjadikan pembangunan sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan prinsip- prinsip kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian

diharapkan generasi mendatang masih dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana generasi saat ini memenuhi kebutuhannya.

Menurut Dahuri (2004), Secara ekologi ada 5 persyaratan agar pembangunan suatu wilayah, termasuk pembangunan perikanan pada semua tingkatan wilayah administratif, baik pada tingkat kabupaten/kota, propinsi, negara atau dunia, agar dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Pertama adalah perlu adanya keharmonisan ruang (spatial harmony) untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan yang dituangkan dalam peta tata ruang. Suatu wilayah hendaknya dipilah menjadi 3 zona yaitu zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan. Masing-masing zona tersebut memiliki fungsi yang berbeda baik dari segi pemanfaatannya meskipun satu sama lainnya merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dengan demikian, terganggu atau rusaknya suatu zona akan mengakibatkan terganggunya fungsi zona yang lainnya. Oleh karena itu, ketiga zona tersebut harus dikelola secara bijaksana sesuai dengan fungsinya termasuk zona pemanfaatan. Dengan kata lain, zona pemanfaatan juga seyogyanya digunakan seabagai sumber ekonomi yang memperhatikan fungsi-fungsi ekologi ekosistem alam tersebut.

Kedua adalah bahwa tingkat atau laju (rate) pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya kelautan dan perikanan atau hutan mangrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam terminologi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, kemampuan pulih yang dimaksudkan dikenal dengan istilah hasil tangkapan maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY). Nilai MSY ini diperhitungkan berdasarkan perkiraan jumlah populasi ikan yang terdapat pada suatu wilayah atau ekosistem dibagi dengan jumlah upaya (baik dalam bentuk jumlah alat tangkap atau jumlah kapal yang digunakan untuk melaksanakan penangkapan ikan) di wilayah tersebut. Pada perikanan budidaya prinsip pemanfaatan yang sesuai dengan kapasitas dukung lingkungan ini dapat dikemukakan dalam bentuk angka jumlah keramba yang maksimum dapat ditampung dalam luasan kawasan budidaya di suatu ekosistem tertentu. Perhitungan kapasitas dukungnya didasarkan kepada kemampuan lingkungan budidaya tersebut untuk dapat menampung limbah kegiatan budidaya tersebut. Pemanfaatan yang melebuhi kapasitasnya dapat mengakibatkan terjadinya suatu gangguan terhadap lingkungan budidaya yang ada, yang pada

18 Ketiga, jika kita mengeksploitasi sumberdaya kelautan misalnya bahan tambang dan mineral (sumberdaya tidak dapat pulih) harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan agar tidak mematikan kelayakan usaha (viability) sektor pembangunan (ekonomi) lainnya. Sebagai contoh misalnya penambangan terhadap pasir laut telah diketahui dapat mengakibatkan adanya pulau yang hilang. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan penambangan pasir laut tersebut dilaksanakan tanpa menggunakan kaidah pembangunan berkelanjutan karena merusak lingkungan hidup lainnya. Dalam hal ini, seyogyanya penambangan pasir laut tersebut memperhatikan kaidah ekologi seperti kondisi arus, kondisi fisik dasar laut dan kondisi ekologis lainnya sehingga tidak mengakibatkan rusaknya ekosistem laut lainnya. Kemudian, sebagian keuntungan (economic rent) dari usaha pertambangan tersebut sudah sepantasnya diinvestasikan untuk mengembangkan bahan (sumberdaya) substitusinya dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic activities). Dalam hal ini misalnya dapat saja berupa penyediaan mata pencaharian alternatif bagi penduduk disekitar sumberdaya kelautan yang dimanfaatkan tersebut. Masyarakat sekitar merasakan manfaat dari pemanfaatan sumberdaya kelautan tersebut. dan tidak hanya menerima akibat pemanfaatan sumberdaya saja. Contoh lainnya misalnya dapat saja digunakan untuk mengembangkan sub-sektor pariwisata, industri pengolahan produk perikanan, serta industri rumah tangga (home industries) yang berbasis sumberdaya dapat pulih di sekitar lokasi tersebut.

Keempat, membuang limbah ke suatu lingkungan ekosistem harus disesuaikan dengan kapasitas asimilasi lingkungannya baik berupa limbah organik maupun unsur hara yang sifatnya dapat teruraikan oleh alam (biodegradable). Juga, jika membuang limbah ke lingkungan laut dan lingkungan perikanan lainnya, maka jenis limbah yang dibuang bukan yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya Beracun), tetapi jenis limbah yang dapat diuraikan di alam (biodegradable). Jumlah limbah non- B3 yang dibuang ke laut tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan laut. Bahkan, semua limbah B3 tidak diperkenankan dibuang ke lingkungan alam (termasuk pesisir dan lautan), tetapi harus diolah di fasilitas Pengolahan Limbah B3. Dampaknya, lingkungan hidup dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan fungsinya dalam keterkaitan suatu ekosistem baik secara alami maupun buatan. Terganggunya suatu fungsi lingkungan ekosistem akan mengakibatkan terganggunya fungsi alami bagian ekosistem lainnya, sehingga fungsi ekosistem tersebut menjadi tidak optimal.

Kelima, dalam merancang dan membangun kawasan yang terkait dengan sumberdaya kelautan dan perikanan, misalnya wilayah pesisir dan laut harus sesuai dengan kaidah-kaidah alam atau kaidah yang tidak merusak secara ekologis (design and construction with nature). Sebagai contoh misalnya dalam membangun dermaga (jetty), pemecah gelombang (breakwaters), pelabuhan laut, hotel, anjungan minyak (oil rigs), marina, dan infrastruktur lainnya, maka dalam pelaksanaan pembangunannya harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir dan lautan tersebut, seperti pola arus, pasang surut, sifat geologi dan geomorfologi (sediment budget), serta sifat biologis dan kimiawi. Apabila pembangunan yang dilakukan mengacu pada hal di atas maka pembangunan yang dilakukan tidak mengganggu atau merusak keseimbangan ekologi.

Selanjutnya Dahuri (2004) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosial-ekonomi adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola permintaan total (agregate demand) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa- jasa lingkungan agar tidak melampaui kemampuan suatu wilayah misalnya pesisir dan lautan untuk menyediakannya dalam suatu kurun waktu tertentu. Sebagai contoh misalnya jumlah ikan yang dipanen pada suatu wilayah perairan tertentu haruslah mempertimbangkan daya dukung perairan tersebut untuk menyediakan ikan tersebut dalam suatu jangka waktu tertentu, sehingga panen ikan berikutnya dilakukan setelah datang saatnya. Panen ikan pada suatu perairan tertentu harus diatur berdasarkan jangka waktu pemanennya sesuai dengan waktu yang dibutuhkan untuk pemulihannya.

Dokumen terkait