BAB IV EFEKTIFITAS MAUIDZOTULHASANAH PONDOK
4. Kisah
1. Pengertian Nasihat
Kata nasihat berasal dari bahasa arab, dari kata kerja “Nashaha” yang berarti khalasha yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga berarti “khata” yaitu penjahit. Dan dikatakan bahwa kta nasihat berasal dari kata Nashaha arjulahu tsaubahu (Orang itu menjahit pakaianya) apabila dia menjahitnya, maka mereka mengumpamakan perbuatan penasehat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasehatinya dengan jalan memperebaiki pakaiannya yang robek.
Sebagian ahli ilmu berkata nasihat adalah perhatian hati terhadap yang dinasehati siapapun dia. Nasihat adalah saru cara dari al-mauidzhah al-hasanah yang bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan akibat. Al-Asfahani memberikan pemahaman terhadap term tersebut dengan makna al-mauidzhoh merupakan tindakan mengingatkan seseorang dengan baik dan lemah lembut agar dapat melunakan hatinya. Dan apabila ditarik suatu pemahaman bahwa al-mauidzhoh hasanah merupakan salah satu manhaj dalam dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan cara menggunakan nasihat.
Secara terminology Nasihat adalah memerintah atau melarang atau menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Pengertian nasihat dalam Kamus Bahasa Indonesia Balai Pustaka adalah memberikan
petunjuk kepada jalan yang benar. Juga berarti mengatakan sesuatu yang benar dengan cara melunakan hati. Nasihat harus berkesan dalam jiwa atau mengikat jiwa dengan keoimanan dan petunjuk. Allah berfirman: (QS. Annisa: 66).
#
$ % & HI&: JK#L MNO #PR#S @ <&: * T$>@M V #P ()!WI&: &&: * $0X Y 7 Z P O[X/ \;Z $>@ > ] ^_ @ V #PaR b cZ * #$ % & #PaR;d&: * $>@ > ] Z <$e! $\ B 9 <V % 'S#X Y #PfgLh.N4&: & iEj k F
Artinya: “Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka tentulah hal yang demikian itu lebih baik bgi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”. (QS.an-Nisa:66)
A. Nasihat Dalam Perspektif Al-Qur’an
Perintah saling menasehati ini dapat kita lihat pada beberapa ayat al-Qur’an diantaranya:
Dalam Surah al-Ashr ayat 1-3
m
SF > % & FA ;<
Y7/()op5 qr %sS8h YFG ^_
CD V4t * $' Z
* $>@ & p/ @/uv%
* #$(w $ & 6x %
* #$(w $ & S#%uv%
F[
“Demi masa sesungguhnya manusia itu dalam kerugian
kecuali orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal soleh dan saling menasehati tentang kesabaran”. (Q.S. al-Ashr ayat 1-3)
Dalam ayat ini ada dua hal yang diminta untuk diwasiatkan yaitu al-haq dan as-shobru.
Al-haq dari segi bahasa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah apapun yang terjadi. Allah adalah al-haq karena tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai agma juga adalah al-haq. Seperti Nabi Mengatakan : agama itu adalah nasihat. Allah SWT. Adalah al-haq, karena itu sebagian para pakar tafsir, memahami kata al-haq dalam ayat ini dengan arti yakni bahwa manusia hendaknya saling ingat mengingatkan tentang keberadaan, kekuasaan, keesaan Allah serta sifat-sifat lain-Nya. Hal-hal yang diwasiatkan dalam al-Qur’an antara lain adalah :
a) Pelaksanaan agama, bersatu padu, tidak bercerai berai. b) Bertaqwa kepada-Nya. (Q.S. An-Nisa : 13)
c) Berbuat baik kepada orang tua, khususnya kepada ibu. (Q.S. Luqman : 1 d) Beberapa perincian ajaran agama seperti : pembagian harta warisan (Q.S.
An-Nisa : 11), Sholat dan zakat.
e) Sepuluh hal yang disebutkan dalam surah al-An’am ayat 151-153 yaitu : 1. Jangan mempersekutukan-Nya 2. Berbuat baik kepada ibu-bapak, 3. Jangan membunuh anak, 4. Jangan mendekati zinah. 5 Jangan membunuh kecuali dengan cara yang syah dan dibenarkan, 6. Jangan menyalah gunakan harta anak yatim, 7-8. Menyempurnakan timbangan dan takaran, 9. Percakapan atau sikap hendaklah secara benar dan adil, 10. Memenuhi perjanjian yang dikuatkan atas nama Allah.
Adapun tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah.48
Di dalam al-Qur’an, kata tabsyir banyak disebutkan, menurut Muhammad Abdul Baqi’ kata tabsyir atau mubasyir disebutkan selama 18 kali.49 Dari sekian banyak tabsyir, semuanya diartikan dengan “kabar gembira atau berita pahala”, hanya saja bentuk berita gembiranya beragam, antara lain kabar gembira dengan syariat Islam, kabar gembira dengan datangnya Rasul, kabar gembira tentang akan turunya al-Qur’an dan kabar gembira tentang syurga. Dalam kontek dakwah, sesungguhnya bentuk kabar gembira tidak harus menggunakan kata tabsyir, tetapi apa saja yang bisa membawa rasa gembira bagi orang yang mendengarnya sehingga bisa dijadikan motivasi untuk meningkatkan beribadah dan amal shaleh.
Kata tandzir atau indzar secara bahasa berasal dari kata na-dza-ra menurut Ahmad bin faris adalah suatu kata yang menunjukan untuk penakutan (takhwif)50.
Adapun tandzir menurut istilah dakwah adalah penyampaian dakwah di mana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanyakehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya.51
48
Ali Mustafa Ya’kub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997), h. 50
49
Abdul Baqi’ Muhammad Fuad, al-mu;jam al-mufahras li alfadz al-Qur’an al-karim
(Cairo : Dar al-Kutub al-Misriyah) h. 120.
50
Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam al maqayis fi al-lugah, (Beirut : Dar Fikr, 1994), h. 1021
51
Ali Mustafaa Ya’kub, Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 1997), h. 49
Menurut pemakalah tandzir adalah ungkapan yanga mengandung unsur peringatan kepada orang yang tidak beriman atau kepada orang yang melakukan perbuatan dosa atau hanya untuk tindakan preventif agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dengan dengan bentuk ancaman berupa siksaan di hari kiamat.
Di dalam al-Qur’an istilah tandzir biasanya dilawankan dengan kata tabsyir (QS. AL-Baqarah : 19, al-Maidah : 19)
&&: y@z (vNO Y7 cZ
t ))% 9 ]
p/ {>@! 1.8 &
|#X & <$>@ > - }
3!c > /(w&: T C
PRd ~ Y7 cZ
x $uv% N
P#$ % €t &
•e >‚ CD[X W/ %
FAƒ FAƒ
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tewntang penghuni-penghuni neraka.
„ 6&…H/ \ 2@/ Eq % 8. V
#P O tV 7 ' %$
C c† \ #P %
LJ S ‡ ] Y7 cZ ˆX%
<&: * $ %$! Z
I tV 7O7 Z%SX ‰JŠ„_ &
%X\2 I * 8. ] P O tV 7
SX ‰JŠ ‹X\2 I & €t &
Œ O: 1N•‹X\ . V
FAƒ
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah dating kepada kamu Rasul kami, menjelaskan (Syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (Pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak ,mengatakan : “Tidak dating kepad kami bauk seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”. Sesumgguhnya telah dating kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
3. Wasiat
Pengertian wasiat secara etimologi berasal dari bahasa arab, terambil dari kata Washa-Washiya-Wasihiatan, yang berarti “pesan penting berhubungan dengan sesuatu hal.52
Pendapat lain mengatakan kata wasiat terambil dari kata Washa -Washiayyatan, yang berarti : berpesan kepada seseoang yang bermuatan pesan moral.53
Secara terminology ada beberapa yang akan dikemukakan berikut ini : - Wasiat : Sekumpulan kata-kata yang berupa peringatan, support dan
perbaikan”.54.
- Wasiat : Pelajaran tentang amar ma’ruf nahi mungkar atau berisi anjuran berbuat baik dan ancaman berbuat jahat.55
- Wasiat : Pesan kepada seseorang untuk melaksanakan sesuatu sesudah orang berwasiat meninggal disampaikan kepada seseorang.56 - Wasiat : Ucapan yang mengandung perintah tentang sesuatu yang
bermanfaat dan mencakup kebaikan yang banyak.57
52
Lois Ma’luf, Kamus Munjid, Fi lughah Wa al-A’lam, (Beirut : Dar al- Masyriq, 1986), h. 9091
53
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1984), h.1563
54
Selin bin Ie’d al-Hilali, Min Washaya al-Salafi, (Edisi Indinesia), (Jakarta : Pustaka Azzam, 1999), h. 14.
55
Madji al-Syayid Ibrahim, 50 Washiyyat min Washaya al-Rasulullah li al-Nisa’ (Edisi Indonesia). (Semarang : Cahaya Indah, 1994), h. ix-x.
56
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), h. 584
Berdasarkan definisi di atas maka wasiat dapat dibagi pada dua katagori, yaitu : 1) Wasiat orang masih hidup kepada orang hidup, yaitu berupa ucapan, pelajaran, arahan tentang sesuatu.58 2) Wasiat orang yang telah meninggal (ketika menjelang ajalnya tiba) kepada orang masih hidup berupa ucapan atau berupa harta benda atau warisan.
Oleh karena itu, pengertian wasiat dalam konteks dakwah adalah : Ucapan berupa arahan.(taujih) kepada orang lain (mad’u) terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi (amran sayaqa Mua’yan).
Materi Wasiat
Ketepatan memberikan materi wasiat juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Materi wasiat yang diberikan kepada objek dakwah adalah materi wasiat berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, maka materi wasiat dapat dikatagorikan sebagai berikut :
a. Materi secara umum
Materi secara umum adalah materi yang berupaya menggiring mad’u menuju ketakwaan, yang pada giliranya mampu berorientasi hidup bersih. Hal ini berdasarkan pada QS. : an-Nisa : 1 dan 131 dan al-ahzab : 1.
b. Materi secara khusus
57
M. Qurais Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid II, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), h. 584
58
Abu Abdullah bin Furaihan al-Harits, Al-Ajwibah al-mufidat ‘an-al-asillah al-Manahij al-jadidah, (Edisi Indinesia), (Surakarta : Yayasan Madinah, 1997), h. 31.
Materi secara khusus wasiat berdasarkan QS. Al-hasr : 3. Wasiat ini menurut para musafir diperuntukan bagi umat masa lalu dan umat masa sekarang.59 Diantara Materi wasiat itu adalah:
1. Larangan menyekutukan Allah 2. Berbuat baik kepada kedua orang tua 3. Larangan menghilangkan nyawa orang lain
4. Larangan berbuat keji baik terang-terangan maupun tersembunyi 5. Larangan menggunakan harta anak yatim dengan jalan yang tidak
benar
6. Perintah menepati janji 7. Perintah berkata dengan baik 8. Perintah bersabar
9. Perintah menegakkan kebenaran 10.Perintah saling menyayangi
Perlu diperhatikan dalam penyampaikan materi tersebut harus menyentuh akal dan perasaan. Seorang da’i harus menggugah daya nalar mad’u dan menggugah daya ingat untuk selalu berbuat kebaikan. Begitu juga seorang da’i harus mampu menajamkan perasaan mad’u untuk selalu istiqomah dalam menjalani perintah Allah.
4. Kisah
A. Pengertian Qashash
59
Secara epistimologis lafadz qashash merupakan bentuk jamak dari kata Qishah, lafazh ini merupakan bentuk masdar dari dari kata qassa ya qussu.60
Dari lafazh qashash berarti menceritakan 2. lafazh qashash mengandung arti menelusuri/mengikuti jejak.
Makna qashash dalam sebagian besar ayat-ayat berartikan kisah atau cerita,61 sedangkan ayat-ayat yang berbicara menggunakan lafazh qashash ternyata juga muncul dalam konteks cerita atau kisah tentang nabi musa as.
Secara terminologis qashash berarti :
1. Menurut Abdul Karim al-Khatib, kisah-kisah al-Qur’an adalah berita al-Qur’an tentang umat terdahulu.62
2. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang menceritakan ihwal umat-umat terdahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.63
B. Macam-macam kisah
Al- Qur’an bagi umat Islam merupakan petunjuk untuk orang-orang yang bertakwa dan juga sebagai sebuah pedoman hidup, ajaran-ajaran yang dikemukakan dalam berbagai bentuk seperti perintah, larangan
60
Ibnu Mandzur Lisanul Arab 12/148
61
DR. Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori pendidikan berdasarkan Al-qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta 1994, Cet II), H. 205.
62
Mustafa Muhammad Sulaiman, Al-Qishash fi al-Qur’an al-Karim, (Mesir: Mathbah al- Amanah, 1994) h. 4.
63
dan lain-lain dikemukakan secara langsung maupun tidak langsung.64 Bentuk ajaran langsung dapat dilihat dari ayat-ayat perintah atau larangan sedang yang tidak langsung dapat dilihat dari besarnya bagian al-Qur’an yang dikemukakan dalam bentuk kisah.65
Dalam bentuk kisah yang bermacam-macam maka para ahli mewngklasifikasikan muatan kisah-kisah dalam al-Qur’an.
Manna Khalil al-Qatthan membagi kisah-kisah al-Qur’an ke dalam tiga bentuk :
1. Kisah para nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan serta perkembangannya, mukjizat mereka, posisi para penentang, akibat orang-orang yang percaya dan yang mendustakan mereka dan lain-lain.
2. Kisah peristiwa-peristiwa masa lalu dan pribadi-pribadi yang tidak diketahui secara pasti apakah mereka nabi atau bukan, misalnya kisah Thalut vs jalut.
3. Kisah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Seperti perang badar, uhud khandak dan lain-lain.66
Dalam hal serupa dikemukakan oleh Abd. Djalil tentang pembagian kisah sebagai berikut:
a. Qashash jika ditinjau dari segi waktu
64
M. Quraish Shihab, Secerca Cahaya Ilahi, (Jakarta: Mizan, 2000, Cet. I), h. 13
65
A. Hanafi MA, Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka al-Husna 1984), h. 317
66
Mustafa Muhammad Sulaiman Al-Qishas fi Qur’an Karim (Mesir :Maktabah al-Amanah, 1994), h. 21
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam al-Qur’an ada tiga macam :
Kisah hal-hal gaib pada masa lalu, yaitu kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra, dan terjadi dimasa lampau, seperti kisah-kisah para nabi.67
Kisah hal-hal yang gaib pada masa kini, yaitu kisah yang menerangkan hal-hal yang gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak dahulu dan masih akan tetap ada sampai pada masa yang akan datang), dan yang mengingkap rahasia orang-orang munafik.68
Kisah hal-hal yang gaib pada masa yang akan datang yang belum pernah terjadi pada waktu turunya al-Qur’an, kemudian peristiwa itu betul-betul terjadi.69
b. Qashash ditinjau dari segi materi
Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka dan pemenang serta pengikut mereka.
Kisah orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu, seperti kisah Lukmanul Hakim, Ashabul Kahfi dan lain-lain.
C. Akhlak Santri
67
Kisah Nabi Adam al-Baqarah : 30-39., Saleh, Luth, Musa : al-A’raf : 59-171.
68
Kisah-kisah ini mencakup kisah yang mewnceritakan tentang Allah dan segala sifat-Nya (Surah al-Mu’minun : 91 dan al-Baqarah : 156) dan sebagainya.
69
1. Pengertian Akhlak Santri
Secara etimologi akhlak adalah bentuk jamak dari “khuluq” yang bermakna budipekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.70
Istilah tersebut juga memiliki segi-segi persesuaian dengan istilah “khuluq” sebagai masdar yang berkaitan dengan isim fa’ilnya yakni juga berhubungan dengan isim maf’ulnya ”makhluqun” ditinjau dari vertikal dan horizontal.71
Menurut Syekh Saleh Syadi, akhlak adalah agama, karena siapa-siapa yang yang akan memberi bekal tentang akhlak berarti ia telah memberi bekal dengan agama.
Menurut Baginda Rosulullah SAW.” Bahwa akhlaknya adalah al-Qur’an. Sebagaimana Allah Berfirman dalam surah al-Qolam ayat 4 yang artinya: ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar budi pekerti yang Agung”. (QS. Al-Qolam: 4).
Sedangkan menurut Zakiyah Dradjat. Akhlak adalah kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebisaaan yang menyatu bentuk satu kesatuan tindak akhlak yang ditaati dalam kenyataan hidup sehingga dapat membedakan mana yang bik dan mana yang buruk.72
70
Louis Ma’luf, al-Mnjid fial-lughah Waal-i’lam, (Beirut: Dar i-masyiriq, 1989), Cet. Ke-28, h. 164
71
Sudarsino, Etika Islam Tentang KenakalanRemaja, (Jakrta: Bina Aksara, 1989), Cet. Ke—I, h. 125
72 Zakiyah Dradjat, Pendidikan Islam dalam keluarga dan sekolah, (Jakarta: CV Ruhama, 1995), Cet. Ke-2, h.10.
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulum Ad-Din” mengatakan: “Akhlak ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan segala perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertumbuhan”.73
Dan menurut Aris Ibrahim dalam bukunya “Al-Akhlaq” merumuskan penertian akhlak sebagai berikut: Akhlak adalah kebisaaan kehendak yang dibisaakan, yakni bahwa kehendak itu juga dibisakan akan sesuatu, maka kebisaan itu disebut akhlak.74
Akan tetapi, pada dasarnya tidak ada perbedaan sama sekali antara beberapa definisi yang dikemukakan di atas, bahwa akhlak diartikan dengan penilaian baik atau buruknya terhadap perbuatan manusia. Dan akhlak dan budi pekerti dsapat dikatakan sebagai kondisi-kondisi sifat yang telah meresap dalam jiwa yag menjadi kepribadian. Apabila dari kondisi ini menimbulkan. Perbuatan baik dan terpuji, maka ia akan dinamakan budi pekerti yang mulia (akhlakul karimah), apabila dari kondisi menimbulkan perbuatan buruk maka dinamakan budi pekerti yang jahat dan tercela (akhlakul-karimah).
Sedangkan keutamaan akhlak yaitu didalam keseluruhan ajaran Islam akhlak menepati kedudukan yang paling istimewa dan sangat penting. Dan ini menjadi ciri utama bagi seorang muslim didalam kehidupannya. Seperti keutamaan Nabi yang diutus untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Dimuka bumi ini sabda Rasulullah
73
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989), Jilid III, h.58.
74
dalam sebuah hadist yang artinya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.75
Apabila mempelajari seluruh ajaran Islam, tentu akan memperoleh hikmah. Hikamah yang terkandung didalamnya, dan akan mendapatkan kesimpulan bahwa seluruh ajaran Islam menuju kepada satu tujuan, yakni menyempurnakan akhlak agar lebih baik didalam kehidupan sehari-hari.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Menurut H.M Arifin dalam bukunya filsfat pendidikan Islam berpendapat bahwa: “faktor yang mempengaruhi akhlak anak ada dua fisik yang meliputi faktor dalam yaitu intelektual dalam hati (rohaniyah) yang dibawa anak sejak lahir dan faktor dari luar adalah kedua orang tua dirumah, guru disekolah serta tokoh-tokoh, serta kerja sama yang baik antara tiga lembaga pendidikan tersebut. Maka aspek kognotif (pengetahun) dan psikomotorik (pengalaman) ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak. Dan inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah manusia seutuhnya.76
Menurut Abudin Nata, bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan akhlak dapa khususnya dan pendidikan pada umumnya, terdapat tiga aliran. Pertama aliran Nativisme, kedua empirisme, dan ketiga konvergensi.
75
M. Ali Ustman, Hadist qudsi, (bandung: CV diponegoro. 1975), cet. Ke-20, h. 357
76
H. M. Arifin, filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Cet. Ke-IV, h. 60
a. Menurut aliran Nativisme, bahwa faktor-faktor yang paling mempengaruhi terhadap diri seseorang itu adalah faktor pembawaan dari dalam, berupa kecenderungan, bakat, akal dan lain-lain. Jika seseorang sejak lahir memiliki kecenderungan terhadap yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut akan baik.
b. Aliran Empirisme, mengatakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor luar, yakni lingkungan sosial, meliputi pembinaan dan pendidikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan pada anak itui baik, maka akan baiklah anak tersebut dan demikian juga sebaliknya.
c. Aliran konvergensi, mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan akhlak yakni faktor internal yaitu pembawaan si anak dan faktor dari luar yaitu pendidikan yang diadakan secara khusus.77
Dari ketiga aliran diatas, dapat disimpulkan bahwa aliran Nativisme, kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan, karena cukup menyakini potensi batin yang ada dalam dirinya. Dan aliran Empirisme tampak percaya terhadap peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran. Sedangkan aliran konvergensi tampak sesuai dengan ajaran Islam dan dapat difahami dari ayat (QS. An-Nahl:16:78), bahwasanya Allah SWT memberi petunjuk kepada umatnya yang memiliki potensi untuk dididik dengan baik, yaitu penglihatan,
77
pendengaran, dan hati sanubari, dengan ajaran-ajarannya dan pendidikannya.
Perasaan akhlak atau budi pekerti sesungguhnya sudah dimiliki pada manusia sejak lahir yang disebut dengan fitrah.
Ada beberapa fitrah yang dibawa oleh manusia ketika lahir didunia ini yaitu:
a. Perasaan Agama b. Perasaan Intelektual c. Perasaan Akhlak d. Perasaan Keindahan78
Pada dasarnya potensi akhlak yang dibawa oleh seorang anak itu ada baik, namun tergantung, kepada orang tuanya di dalam memelihara dan mendidik mereka menjadi orang yang berbudi pekerti luhur. Sebagaimana dalam hadist Rosulullah SAW yang artinya “Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menyahudikan atau menasranikan memajusikannya.” (H.R. Muslim).79
Sedangkan menurut Rahmat Djatmika ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam prilakunya berakhlak, yakni:
1. Faktor yang berasal dari dirinya sendiri, yakni: - Instink dan akalnya - Keinginan-keinginan - Adat - Hawa Nafsu
78
Aisya, Dachlan Dekadensi moral dan penanggulangannya. (Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia), h. 100
79
Mahyidin al-Nawawi, sahih muslim bi syarh al-Nawawi, (Kairo: al-Sya’btt), Jilid XVI, h. 209
- Kepercayaan - Hati Nurani 2. Faktor dari luar dirinya yang meliputi:
- Keturunan - Lingkungan - Keluarga - Sekolah - Pergaulan
- Dan Penguasa/ Pemimpin80
Semua faktor-faktor diatas, dapat membentuk dan mempengaruhi nilai-nilai akhlak yang dimiliki seseorang. Yang kuat akan lebih banyak memberi corak pada mentalnya. Misalnya antara faktor yang akan mewarnai perasaan akhlak, dengan pendidikan dan pergaulan dan jika berbeda caranya, maka yang lebih kuat membentuk akhlak yang baik itu tidak mudah, maka diperlukan upaya yang maksimal.
3. CAKUPAN AKHLAK SANTRI A. AKHLAK TERHADAP ALLAH SWT
Orang muslim melihat dalam dirinya nikmat-nikmat Allah SWT. Yang tidak bisa dikalkulasikan sejak ia masih berupa sperma di perut ibunya hingga ia menghadap Allah SWT Oleh karena itu, ia wajib bersyukur kepandanya atas nikmat-nikmat tersebut dengan lisannya dengan mengujinya dan menyanjungnya, karena dia berhak mendapatkan sanjungan dan ia wajib bersyukur dengan anggota badannya dengan menggunakannya dalam ketaatan kepadanya. Ini etikanya
80
Rahmat Djatmika, Sistem Etika Islam, (Jakarta: pustaka. Panjimas, 1992), Cet. Ke-I, h. 73.
terhadap Allah SWT, sebab tidaklah etis mengingkari nikmat, menentang keutamaan pemberi nikmat, memungkiri nikmat-nikmat-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl: 18 dan 53, serta surat al-Baqoroh: 152
< & * & .> > I •t „_
t 6$ev ŽZ ^• 4t ‹ $!W %
ƒ+ 9• FA
“Dan sgala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepadanyalah kamu meminta tolong.”
Orang muslim mengakui bahwa Allah SWT. maha mengetahui kepadanya dan terhadap seluruh kondisinya, kemudian hatinya penuh dengan ketakutan kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya. Ia malu bermaksiat kepada-Nya, menentang-nya dan tidak taat kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Allah SWT, sebab sangat tidak etis seorang hamba mempertontonkannya kemaksiatannya kepada tuhannya atau mempersembahkan keburukan kepadanya, padahal dia melihatnya dan menyaksikannya. Allah SWT berfirman dalam surat Nuh ayat