• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PAULUS DAN PENGALAMAN PERTOBATANNYA

A. Kisah Hidup Paulus

1. Kisah Hidup Paulus secara Singkat

Hari Kustono dalam buku kecil tulisannya yang berjudul Paulus dari Tarsus mengisahkan kehidupan masa kecil Rasul Paulus. Paulus yang dahulu bernama Saulus lahir di Tarsus, propinsi Kilikia, di luar wilayah Palestina, wilayah Asia Kecil sebelah selatan (Kustono, 2012: 9). Kisah Para Rasul juga mengatakan bahwa Paulus berasal dari Tarsus, “Aku adalah orang Yahudi, dari Tarsus, warga dari kota yang terkenal di Kilikia…” (Kis 21:39 ; 22:3). Paulus lahir sekitar tahun 5-15 Masehi. Sejak kecil Paulus sudah disunat, sebagai tanda bahwa ia dimasukkan ke dalam lingkungan iman Abraham (Purwa Hadiwardoyo, 2012: 12).

Terkadang orang sering menerka-nerka seperti apa Paulus itu, kemudian mulai membayangkan ciri-ciri dan bentuk fisik Paulus melalui gambarnya yang dipasang pada lukisan, buku ataupun patung. Mengenai hal ini, William Barclay (1985: 2) mengatakan bahwa Kitab Perjanjian Baru pun tidak menggambarkan bagaimana rupa Paulus. Barclay (1985:2) juga menceritakan bahwa sekitar tahun 160 T.M.(Tarikh Masehi) seorang Kristen dari Asia yang tidak disebutkan namanya menulis semacam novel sejarah yang berjudul “Kisah Paulus”. Novel tersebut secara singkat mengisahkan sosok Paulus. “Dia bertubuh pendek, rambutnya mulai menipis, kakinya agak bengkok, perawakannya kekar, alisnya lebat hingga saling bertemu, hidungnya sedikit lengkung dan tindak tanduknya anggun, kadang-kadang dia nampak sebagai manusia, dan kadang-kadang wajahnya mirip seorang malaikat”. Dengan mengetahui

rupa dan ciri-ciri Paulus seperti di atas, umat semakin dibantu untuk mengenali tokoh Paulus dan ikut merasakan pengalaman Paulus dalam menjalani kehidupannya yang dengan gigih mewartakan Yesus.

Paulus adalah seorang Yahudi, termasuk golongan orang Farisi. Dari ayahnya Paulus mewarisi kewarganegaraan Romawi, tetapi ia dididik dalam budaya Yunani (Helenis). Walaupun begitu, ia berpegang kuat pada imannya sebagai orang Yahudi (Hari Kustono, 2012: 10). Ayah Paulus berasal dari suku Benyamin, maka dari itu ia memberikan nama anak laki-lakinya Saulus, sama dengan nama raja pertama Israel yaitu Saul yang juga berasal dari suku Benyamin. Kewarganegaraan Romawi yang dimiliki orang tua Paulus barangkali karena bekerja untuk birokrasi di bawah pemerintahan Romawi. Pada saat itu, orang-orang yang memiliki kewarganegaraan Romawi memperoleh beberapa hak sipil seperti orang-orang keturunan Romawi, misalnya di bidang pengadilan berhak naik banding sampai Mahkamah Agung di Roma (Purwa Hadiwardoyo, 2012: 12).

Mempelajari kisah hidup Paulus bukan hanya sekedar mengenal pribadinya saja tetapi juga diimbangi dengan mengetahui situasi yang membentuk diri Paulus. Oleh karena itu, Purwa Hadiwardoyo (2012: 11-12) menggambarkan situasinya demikian:

Semenjak Israel utara dikalahkan Assyria pada abad ke-8 SM dan Israel selatan dikalahkan Babilonia pada abad ke-6 SM, banyak orang Yahudi yang menetap di luar Israel, salah satunya kedua orang tua Paulus. Mereka tinggal di Tarsus (dulu disebut Silisia, sekarang disebut Turki). Mayoritas penduduk di kota tersebut adalah orang-orang Yunani. Paulus serta kedua orang tuanya tetap beragama Yahudi tetapi fasih berbahasa Yunani.

Dalam hal ini terlihat jelas situasi yang membentuk pribadi Paulus. Kekalahan bangsa Israel oleh Assyria dan Babilonia ini membuat Paulus fasih berbahasa Yunani karena Paulus seketika itu menetap di Tarsus dan tinggal pada lingkungan yang mayoritas adalah orang-orang Yunani.

Kota Tarsus berada di luar Israel. Setelah Israel Utara dan Selatan mengalami kekalahan, Paulus beserta keluarga menetap di Tarsus. Eko Riyadi (2012: 23-24) juga menggambarkan situasi tempat tinggal Paulus yang baru sebagai berikut:

Tarsus pada masa itu merupakan sebuah kota pelabuhan internasional. Perdagangan internasional juga berkembang pesat di sana. Pada masa pemerintahan Markus Antonius, Tarsus dijadikan ibu kota Kilikia dan menjadi kota yang memiliki kebebasan. Banyak orang-orang Yahudi di Tarsus yang hidup dengan bebas. Orang Yunani, orang Timur, orang Yahudi dan kaum nomaden hidup berdampingan dalam kebebasan penuh. Selain perdagangan internasional, Tarsus juga terkenal sebagai kota yang memiliki tradisi pedagogik dan intelektual yang unggul. Pada abad pertama, kota Tarsus menjadi pusat sekolah filsafat yang terkenal.

Dari sini kita tahu bahwa masyarakat Tarsus itu sangat maju. Kemajuan masyarakat Tarsus selain dari perdagangan internasionalnya juga dari sikap masyarakat Tarsus yang selalu dapat hidup bebas berdampingan dengan siapapun. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Tarsus bersedia belajar dari siapapun dan memiliki sikap terbuka. Kota Tarsus pada abad pertama sudah mempunyai sekolah filsafat yang terkenal, maka Tarsus juga dikatakan sebagai kota yang memiliki tradisi pedagogik dan intelektual yang unggul karena Tarsus merupakan salah satu kota pelajar atau kota pendidikan Yunani pada zaman itu.

b. Pendidikan Paulus di Yerusalem

Berkaitan dengan pendidikan Paulus di Yerusalem, Kardinal Augustinus Bea (1975: 9-10) mengatakan keluarga Paulus termasuk golongan orang Farisi yang sangat terkenal akan penghayatan secara cermat hukum Musa. Mereka menyadari bahwa hukum yang dihidupi masih terlalu keras dan kaku. Ayah Paulus melihat bahwa putranya sangat berbakat. Oleh sebab itu, ayahnya ingin memberikan putranya suatu pendidikan yang mendalam guna menjamin masa depan anaknya. Maka Pauluspun segera dikirim oleh ayahnya ke Yerusalem. Yerusalem merupakan kota suci dan pusat masyarakat Yahudi. Di daerah Yerusalem terdapat dua sekolah teologi yang terbaik, yakni Hillel dan Shammai. Jika dibandingkan, sekolah Hillel lebih banyak diminati oleh orang Yahudi saat itu, alasannya yakni sekolah Rabbi Shammai sangat keras dan kaku dan cenderung nasionalistis, sedangkan sekolah Hillel mempunyai pengaruh yang paling besar. Murid-murid Shammai yang keras menolak setiap kerja sama politik dengan Roma. Mereka selalu merasa dirinya terpanggil untuk membela hukum Yahudi dan memperjuangkan kemerdekaan Yahudi. Hal ini membuat murid-murid Shammai tidak disenangai oleh kedua imam agung Annas dan Kaifas. Annas dan Kaifas berusaha supaya disenangi dan mendapat penghargaan dari walinegeri yakni Ponsius Pilatus. Kaifas berusaha keras menciptakan pengaruh sekolah Hillel di dalam Sanhendrin. Oleh karena itu menjadi jelas mengapa para orang tua termasuk ayah Saulus lebih suka memasukkan anak mereka di sekolah Hillel meskipun hal itu mungkin bertentangan dengan wataknya dan pendidikannya dahulu.

Sekolah Hillel mempunyai guru yang sangat terkenal yakni Rabbi Gamaliel. Ketika menjadi guru di sekolah Hillel, Rabbi Gamaliel sudah tidak lagi muda. Ia merupakan keponakan dari Hillel, pendiri sekolah itu. Bea (1975: 10) mengatakan bahwa dalam Kisah Para Rasul, Rabbi Gamaliel dikenal sebagai seorang tokoh yang bijaksana, saleh dan sangat dihormati oleh rakyat (Kis 5:34). Tetapi Paulus yang muda itu tidak mengikuti jejak gurunya yang toleran dan luwes terhadap jemaat Kristen. Kebencian Paulus terhadap jemaat Kristen cepat tumbuh dalam pribadi Paulus yang masih muda itu. Ternyata sudah lama Paulus menunggu kesempatan untuk membela hukum Musa terhadap para penganut Yesus yang Saulus yakini sebagai penghina hukum dan ajaran serta meremehkan tradisi para rabi.

c. Paulus di Kalangan Orang Yahudi

Di dalam Kisah Para Rasul, Saulus muncul pertama kali sebagai seorang Yahudi fanatik yang mengejar-ngejar jemaat Kristen untuk ditangkap dan diserahkan kepada pengadilan Mahkamah Agung Yahudi. Menurut Eko Riyadi (2012: 12) Paulus tampil pertama kalinya ketika ia hadir pada waktu orang-orang Yahudi membunuh Stefanus (Kis 7). Paulus menyetujui bahwa Stefanus mati dibunuh. Menurut Eko Riyadi (2012: 13) Paulus setuju jika Stefanus dibunuh karena kemungkinan besar Paulus termasuk orang yang sangat tertusuk hatinya karena mendengar khotbah Stefanus.

Pewartaan Stefanus yang bersemangat mengenai Kristus dan kritiknya terhadap penghormatan akan kenisah dan Taurat tampaknya terarah pada kelompok Yahudi hellenis yang lain (yang belum Kristen). Itulah sebabnya Stefanus mendapat tantangan

yang kuat bahkan kemudian diputuskan supaya Stefanus disingkirkan. Saulus mendapatkan tugas untuk menjadi saksi atas peristiwa pembunuhan Stefanus (Darmawijaya, 1997: 38)

Eko Riyadi (2012: 13) mengatakan bahwa mulai sejak itu, Saulus terlibat dalam pengejaran dan penganiayaan terhadap jemaat Kristen dari Yerusalem sampai ke luar wilayah Palestina. Hatinya berkobar untuk membunuh murid-murid Yesus (Kis 9:1). Lalu Saulus datang kepada Imam Besar supaya ia mempunyai kekuatan legal untuk menangkap pengikut Yesus. Saulus pun meminta surat kuasa yang akan dibawanya kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik.

Eko Riyadi (2012: 14) mengatakan bahwa perhatian orang pada zaman dahulu lebih mengarah pada figur Paulus sebagai seorang Yunani (Hellenis) karena cara berfikir, cara hidup dan cara menulis Paulus merupakan cara-cara Yunani sehingga perhatian para peneliti lebih terpusat pada elemen-elemen Yunani yang membangun kekhasan diri Paulus. Tetapi sekarang, tekanan tidak lagi pada figur Paulus sebagai seorang hellenis tetapi sebagai seorang Yahudi. Walaupun dia hidup dalam kebudayaan dan cara hellenis tetapi Paulus pada dasarnya adalah seorang Yahudi.

Para ahli kemudian mencermati surat-surat Paulus, misalnya dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, ia menunjukkan identitasnya sebagai seorang Yahudi :

Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum aku orang Farisi, tentang

kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat aku tidak bercela” (Flp: 3:4-6).

Dari ayat tersebut nampak bahwa Paulus menunjukkan hal-hal yang bersifat lahiriah yakni hal yang kelihatan yang dapat menunjukkan statusnya sebagai seorang Yahudi. Paulus juga mengatakan bahwa ia termasuk suku Benyamin (Rm 11:1; 2Kor 11:22). Suku Benyamin adalah suku paling kecil di antara dua belas suku Israel, tetapi suku Benyamin tetap setia kepada raja-raja dari wangsa Daud setelah perpecahan dua kerajaan Israel dan Yehuda. Setelah pembuangan Babilonia, Benyamin dan Yudea menjadi pusat keyahudian. Selanjutnya Paulus menyatakan diri sebagai orang Ibrani asli. Dalam tulisannya Eko Riyadi (2012:16-17) mengatakan bahwa maksud dari perkataan Paulus tersebut tidaklah langsung jelas, barangkali Paulus mau mengatakan bahwa ia adalah seorang Yahudi sejati meskipun dilahirkan di Tarsus-Kilikia.

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus juga menyatakan kualitas yang dimilikinya sebagai seorang Yahudi, misalnya: Paulus mengatakan bahwa ia disunat pada hari ke delapan. Eko Riyadi (2012:16) mengatakan bahwa sunat pada hari ke delapan merupakan ketaatan religius berdasarkan ketetapan dalam Kej 17:10-12. Di dalam kitab Kejadian itu, Allah menetapkan sunat sebagai tanda perjanjian antara Allah dan Abraham (Kej 17:12).

Paulus adalah orang Yahudi yang berbahasa Ibrani yang dibedakan dari orang Yahudi yang berbahasa Yunani dan tidak lagi berbicara dengan bahasa Ibrani. Menurut Eko Riyadi (2012: 17) yang dimaksud dengan bahasa Ibrani adalah bahasa Aram yang sudah menjadi bahasa sehari-hari orang Israel pada zaman itu. Paulus merupakan orang

Yahudi sinkretik atau hellenistik, yakni orang Yahudi yang dilahirkan di daerah diaspora (di luar Palestina). Sosok Paulus dibedakan dengan orang-orang Yahudi yang lahir di Palestina yang merasa diri menjadi Yahudi lebih asli. Tetapi Paulus di sini justru menyatakan diri sebagai orang Yahudi yang masih berbahasa Ibrani meskipun dia dilahirkan di luar Palestina. Inilah yang menjadi kekuatan Paulus.

Di dalam suratnya, Paulus menulis bahwa ia seorang Farisi terkait dengan pendiriannya terhadap hukum Taurat (Flp 3:5). Menurut Eko Riyadi (2012:19) yang dimaksud Taurat disini bukan hanya yang tertulis, tetapi juga Taurat lisan yang menjadi pegangan bagi kelompok Farisi. Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus menyatakan bahwa ia sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangnya (Gal 1:14). Eko Riyadi (2012: 19) menyatakan bahwa adat istiadat digunakan untuk menerjemahkan paradosis yang oleh orang Farisi dimengerti sebagai Taurat lisan.

Dalam suratnya, Paulus juga menyatakan bahwa ia adalah penganiaya jemaat (Flp 3:6). Sebagai seorang Farisi, Paulus memusuhi Injil Yesus Kristus. Ia bahkan menganiaya pengikut Yesus. Hal ini disebabkan oleh ketaatan Paulus terhadap hukum Taurat serta keinginannya menjaga adat istiadat nenek moyang. Paulus menyatakan ketaatannya terhadap Taurat tidak bercela (Flp 3:6). Kehendaknya untuk memelihara adat istiadat nenek moyang mengantarnya pada konfrontasi total dengan inti iman Kristen yang mengakui Yesus Kristus sebagai mesias, anak Allah (Eko Riyadi, 2012: 20)

Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus juga menulis tentang kualitas ke-Yahudiannya yang tidak sembarangan (Gal 1:14; Kis 22:3). Dalam hal ini Eko Riyadi (2012: 21) mengatakan :

Dari beberapa pernyataan Paulus, bisa dimengerti bahwa sebelum ia berjumpa dengan iman Kristen, Paulus adalah seorang Yahudi yang unggul. Ia bukan orang Yahudi yang setengah-setengah. Ia unggul dibandingkan dengan teman sebayanya. Ia hidup dalam Yudaisme Perjanjian Lama. Allah yang imaninya adalah Allah para leluhur yang dikenal dalam sejarah perjalanan bangsa Israel sampai pada zamannya.

Semasa mudanya Paulus dididik dalam semangat dan tradisi Yahudi. Tak ada teman sebayanya yang melebihi dia mengenai hukum Taurat dan ketaatannya. Kehebatan yang dimilikinya itu membuat semangat Paulus berkobar terhadap kehidupan agamanya sehingga ia dengan kejam menganiaya pengikut Kristus.

Semua itu berubah ketika perjumpaannya dengan Kristus di jalan menuju Damsyik. Dan peristiwa itu ia tuliskan dalam suratnya kepada jemaat di Galatia “tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaat pun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia (Gal 1:15-16)”. Di sini dapat dilihat bahwa Allah telah merencanakan untuk memakai Paulus menjadi jurubicara-Nya yang khusus sejak permulaan, sejak Paulus masih dalam kandungan. Paulus memahami bahwa semua ini sudah rencana Allah dan ia pun juga telah memahami arti sepenuhnya dari pengalamannya waktu bertobat. Ia harus mewartakan kabar gembira kepada orang bukan Yahudi.

Pada saat itu Paulus mengalami kesulitan. Paulus harus bergulat melawan orang Kristen Yahudi yang konservatif (Jacobs, 2012: 24). Paulus juga mengalami penolakan sehingga diusir dan ia harus pergi ke tempat baru lagi, bahkan ia sampai dipenjarakan. Dengan mempunyai bekal iman akan Kristus yang kuat, Paulus tetap memberi kesaksian mengenai imannya. Walaupun banyak tantangan, Paulus percaya dan yakin bahwa Roh Kudus selalu menyertainya.

d. Masa Tua Paulus

Semua orang pasti mendambakan masa tua yang damai, tenang dan membahagiakan. Tetapi tidak dengan yang dirasakan Paulus. Suharyo (2012: 35) mengatakan bahwa Paulus mengalami masa tua yang kesepian. Suharyo mengajak pembaca untuk mencermati beberapa baris dalam surat Paulus yang kedua kepada Timotius :

Berusahalah supaya segera datang kepadaku, karena Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku. Ia telah berangkat ke Tesalonika. Kreskes telah pergi ke Galatia dan Titus ke Dalmatia. Hanya Lukas yang tinggal dengan aku. Jemputlah Markus dan bawalah ia kemari, karena pelayanannya penting bagiku … Aleksander tukang tembaga itu, telah banyak berbuat kejahatan terhadap aku. Tuhan akan membalasnya menurut perbuatannya … Pada waktu pembelaanku yang pertama tidak seorang pun yang membantu aku, semuanya meninggalkan aku (2Tim 4:9-16).

Dalam kata-kata itu kita dapat merasakan kerinduan Paulus akan seorang teman ketika Paulus berada di penjara. Dalam ayat tersebut juga terlihat bahwa Paulus kecewa dengan teman-teman yang diharapkannya menyertai dia dalam keadaan sulit tetapi malah pergi meninggalkannya. Suharyo (2012:36) juga menuliskan bahwa kekecewaan Paulus yang pernah ia rasakan dahulu yakni harus sendirian membela diri dan teringat

Alexsander yang telah berbuat jahat kepadanya sehingga belum dapat mengampuni. Di sini Suharyo (2012: 36) ingin mengatakan bahwa Paulus tidak mampu menghilangkan ingatan tentang pengalaman ini dari lembaran hidupnya. Syukurlah Paulus mempunyai sahabat seperti Barnabas dan jemaat-jemaatnya yang memulihkan semangat hidupnya ketika Paulus merasa diri tidak berarti. Sahabat Paulus itu juga setia, menopangnya di dalam karyanya dan menemani ketika Paulus merasa sendirian. Dengan dukungan dari sahabatnya itulah, Paulus dapat memahami pengalaman ketidakberdayaannya itu. Menurut Suharyo, pengalaman ketidakberdayaan ini membantu Paulus untuk bebas dari kesombongan dan keterikatan pada masa lampau yang membelenggu dan menjeratnya.

2. Paulus sebagai Pewarta Injil

Dokumen terkait