• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

C. Kista Endometrium

Endometriosis merupakan penyakit di mana kelenjar endometrial dan stroma tumbuh di luar area uterus. Tempat-tempat di mana pertumbuhan kelenjar ini ditemukan antara lain daerah peritoneal (termasuk rahim, kuldesak, uterosakral, ligamen, tuba falopi, kolon, dan apendiks), namun lesi endometriosis dapat ditemukan di tempat-tempat lainnya seperti otot, ginjal, bladder, hati, bahkan dapat juga ditemukan pada pria (Alford, Taylor, dan DeCherney, 2010).

Lesi yang terbentuk sering disebut sebagai kista endometrium. Kista endometrium termasuk kista abnormal, yang berarti kista yang tidak biasanya muncul atau tumbuh. Kista endometrium terbentuk dari pertumbuhan jaringan endometrium, menempel di ovarium, dan berkembang menjadi kista. Kista jenis ini disebut kista coklat karena kista berisi darah berwarna merah-coklat (Caroline, 2010).

Gambar 1. Lokasi umum terbentuknya lesi endometriosis (Alford, Taylor, dan DeCherney, 2010)

Endometrium merupakan salah satu masalah penting di bidang Ginekologi, berkenaan dengan timbulnya dampak dan progresifitasnya yang berjalan terus sepanjang kehidupan seorang wanita. Endometriosis adalah susunan mirip endometrium yang menampilkan perubahan klinis seperti endometrium normal kavum uteri yang dapat tumbuh di hampir semua organ tubuh (Simatupang, 2003).

Terdapat tiga tipe lesi endometriosis: 1) superficial peritoneal dan implan ovarian, 2) endometriomas (kista ovari yang mirip mukosa endomtrioid), dan 3) deep infiltrating endometriosis (berupa nodus kompleks yang terdiri dari jaringan endemetrium, jaringan adipose, dan jaringan fibromuskular). Lokasi anatomi dan penyebab radang dari lesi tersebut dipercaya sebagi penyebab gejala-gejala dan tanda adanya suatu penyakit berkenaan dengan endometrium (Alford, Taylor, dan DeCherney, 2010).

Gambar 2. Kista coklat (Natur, 2009) 2. Epidemiologi dan Etiologi

Penyakit kista endometrium mempengaruhi kesehatan 10-15% dari semua wanita pada tahun-tahun reproduksi. Insiden ini 40-60% terjadi pada wanita dengan dismenorea dan 20-30% pada mereka dengan subfertilitas. Faktor risiko sudah termasuk beban menstruasi berat (dikarenakan siklus pendek atau panjang

dan durasi aliran; lancar atau tidak lancar). Kemungkinan saudara perempuan dan anak perempuan dapat terkena dampak endometrium sebesar 6-9 kali lebih besar, selain itu biaya yang diperlukan untuk melakukan pengobatan dan perawatan baik langsung ataupun tidak langsung, cukup besar (Rambulagi, 2002).

Patogenesis endometrium tidak ada yang pasti. Teori yang ada mencakup menstruasi retrograde, metaplasia selomik, dan penyebaran hematogen atau limfatik. Endometrium biasanya ditemukan sebelum menarke dan mengalami regresi secara khas setelah menopause (Norwitz dan Schorge, 2008).

Sejumlah hipotesis telah dimunculkan untuk menjelaskan etiologi endometrium dan sampai saat ini hipotesis yang paling mendominasi adalah teori menstruasi retrograde, yaitu adanya bagian dari sel-sel endometrium yang hidup di sepanjang saluran tuba ke dalam panggul pada saat sedang menstruasi (Gao, Outley, Botteman, Spalding, Simon, dan Pashos, 2006).

Menstruasi retrograde dapat menyerang semua wanita usia produktif. Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya fungsi yang menyimpang dari pertumbuhan sel endometrium di dalam rongga peritoneal. Maka, sistem patofisiologi (kekebalan, klirens, dan angiogenesis) mempunyai peran dalam proses implantasi sel endometrium ini (Somigliana, Vigano, Parazzini, Stoppelli, Giambattista, dan Vercellini, 2006).

Penyakit ini dapat menyebabkan peradangan kronis, fibrosis, adhesi, dan pembentukan kista ovarium. Endometrium dapat dikaitkan dengan riwayat kesehatan, misalnya pernah mengalami kanker ovarium, kanker payudara, melanoma, dan limfoma non-Hodgkin (Somigliana et. al., 2006).

3. Patofisiologi

Endometrium dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Wanita yang memiliki ibu atau saudara perempuan yang menderita endometrium memiliki risiko lebih besar terkena penyakit ini. Hal ini disebabkan adanya gen abnormal yang diturunkan dalam tubuh wanita tersebut (Scott, 2002; Sperof, 2005).

Kista endometrium yang sudah terbentuk akan berkembang seiring pertumbuhan lapisan jaringan endometrium. Hal ini yang menyebabkan sensasi nyeri pada perut bagian bawah. Sensasi nyeri yang timbul ini merupakan respons dari tingginya konsentrasi dari hormon yang mengeluarkan darah selama terjadinya siklus menstruasi (Caroline, 2010).

Selain teori menstruasi retrograde, terdapat beberapa teori lain yang menjelaskan bagaimana endometrium itu dapat terjadi, antara lain: teori transplantasi dan regurgitasi, teori metaplasia, teori induksi, teori hormonal, teori lingkungan (racun), teori genetik, dan teori imunologi (Simatupang, 2003).

Gangguan menstruasi seperti hipermenorea dan menoragia dapat mempengaruhi sistem hormonal tubuh. Tubuh akan memberikan respon berupa gangguan sekresi estrogen dan progesteron yang menyebabkan gangguan pertumbuhan sel endometrium. Sama halnya dengan pertumbuhan sel endometrium biasa, sel-sel endometrium ini akan tumbuh seiring peningkatan kadar estrogen dan progesteron di dalam tubuh (Scott, 2002; Sperof, 2005).

Jaringan endometrium yang tumbuh di luar uterus terdiri dari fragmen endometrial. Fragmen endometrial tersebut dilemparkan dari infundibulum tuba

falopi menuju ke ovarium yang akan menjadi tempat tumbuhnya endometrium (Scott, 2002; Sperof, 2005).

Penegakan diagnosa endometrium tidak mudah. Hal ini disebabkan karena gold standar-nya adalah laparoskopi, yaitu sebuah tindakan yang masih cukup mahal untuk kebanyakan orang Indonesia. Umumnya ditemukan secara tidak sengaja pada laparatomi (Andriana, 2006).

USG dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kista endometrium. Alat peraba (transducer) digunakan untuk mengirim dan menerima gelombang suara frekuensi tinggi (ultrasound) yang menembus bagian panggul, dan menampilkan gambaran rahim dan ovarium di layar monitor. Kemudian, gambaran yang ditunjukkan oleh alat tersebut akan dicetak untuk dianalisis lebih lanjut guna memastikan adanya kista, mengenali lokasi, dan untuk menentukan apakah kista berisi cairan atau material padat (Natur, 2009).

4. Faktor Risiko

Endometrium bisa diturunkan dan lebih sering ditemukan pada keturunan pertama (ibu, anak perempuan, saudara perempuan). Faktor lain yang meningkatkan risiko terjadinya endometrium adalah memiliki rahim yang abnormal dan melahirkan pertama kali pada usia di atas 30 tahun. Endometrium diperkirakan terjadi pada 10-15% wanita subur yang berusia 25-44 tahun, 25-50% wanita mandul dan bisa juga terjadi pada usia remaja. Endometrium yang berat bisa menyebabkan kemandulan karena menghalangi jalannya sel telur dari ovarium ke rahim (Gao et. al., 2006).

Faktor lain berupa toksik dari sampah-sampah perkotaan menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam tubuh. Mikroorganisme tersebut akan menghasilkan makrofag yang menyebabkan respon imun menurun. Hal ini akan meningkatkan faktor pertumbuhan sel-sel abnormal seiring dengan meningkatnya perkembangbiakan sel abnormal (Scott, 2002; Sperof, 2005).

Kista endometrium bisa juga terjadi akibat proses kiret yang tidak bersih. Kiret atau kuret (kuretase) merupakan serangkaian proses pelepasan jaringan yang melekat pada dinding kavum uteri, sendok kuret akan melepaskan jaringan tersebut dengan teknik pengerokan secara sistemik. Prosedur ini akan dilakukan dengan pertimbangan tertentu, yang apabila suatu kehamilan dilanjutkan akan membahayakan keselamatan ibu. Komplikasi kuretase antara lain perdarahan, perforasi, infeksi, dan robekan pada uterus (Sarwono, cit. Setyorini, 2010).

5. Gejala

Gejala-gejala yang menandai endometrium adalah sebagai berikut:

a. nyeri panggul dan infertilitas; gejala inilah yang paling sering terjadi, namun banyak pasien yang asimtomatik,

b. nyeri dengan pola siklik; merupakan tanda utama endometrium termasuk dismenorea sekunder (dimulai saat menstruasi dan memuncak pada saat aliran menstruasi maksimal), dispareunia dalam (rasa nyeri saat berhubungan seksual), dan nyeri punggung di bagian sacrum saat menstruasi. Gejala juga dapat terjadi akibat keterlibatan rektum, uretra, atau kandung kemih,

c. keparahan gejala tidak harus berkorelasi dengan derajat penyakit panggul. Banyak wanita dengan endometrium minimal mengalami keluhan nyeri panggul yang parah,

d. infertilitas mungkin akibat distorsi anatomis arsitektur panggul akibat endometrium yang luas dan lengket (Norwitz dan Schorge, 2008).

6. Tata Laksana

Tata laksana kista endometrium ada beberapa jenis, yaitu dengan medikamentosa maupun pembedahan (pembedahan konservatif dan pembedahan definitif) (Norwitz dan Schorge, 2008).

a. Tata Laksana Medikamentosa

Terapi ini dilakukan berdasarkan pengalaman empiris dengan kontrasepsi oral. Pelaksanaan terapi ini direkomendasikan untuk pasien yang simtomatik. Pereda simtomatik untuk dismenorea, dispareunia, dan/ atau nyeri panggul biasanya berhasil dengan menggunakan obat-obatan, meskipun peredaan ini biasanya hanya bertahan dalam waktu singkat (Norwitz dan Schorge, 2008).

Lini pertama pengobatan adalah penggunaan anti inflamasi non steroid disertai dengan atau tanpa kontrsepsi oral atau progestin. Walaupun bukti yang diperoleh masih terbatas, namun secara teoritis, penggunaan agen kontrasepsi oral masih dapat diteruskan (Alford, Taylor, dan DeCherney, 2010).

b. Pembedahan Konservatif

Dilakukan apabila perlengketan panggul dan endometrioma berukuran besar (>2cm), dan lebih dilakukan dengan proses pembedahan. Tujuan pembedahan ini adalah untuk mengangkat atau menghancurkan endometrium sebanyak mungkin dan pada saat bersamaan mengembalikan anatomi normal serta menyisakan sebanyak mungkin jaringan ovarium normal (Norwitz dan Schorge, 2008).

c. Pembedahan Definitif

Pada pembedahan ini cara yang efektif adalah histerektomi dengan salpigo-ooforektomi bilateral. Dengan melakukan pembedahan ini salah satu atau kedua ovarium dapat dipertahankan dengan 20% risiko akan menjalani operasi lain untuk meredakan nyeri yang berkepanjangan (Norwitz dan Schorge, 2008).

Tata laksana untuk mengatasi kasus infertilitas yang terjadi akibat kista endometrium adalah dengan inseminasi. Untuk kista endometrium stage 1 dan stage 2 dapat didahului dengan laparoskopi, kemudian dilanjutkan pemberian stimulasi ovari dengan inseminasi intrauteri, kemudian dilakukan fertilisasi in vitro. Untuk kista endometrium stage 3 dan stage 4 langsung dilakukan stimulasi ovari dengan inseminasi intrauteri, dilanjutkan dengan fertilisasi in vitro (Alford, Taylor, dan DeCherney, 2010).

Terapi non farmakologis yang memungkinkan untuk dilakukan adalah pengobatan alternatif atau CAM (complementary altenative medicine). Penggunaan terapi ini antara lain untuk mendapatkan fungsi antioksidan,

meredakan nyeri, dan mengurangi terjadinya radang. Terapi yang cukup sering dilakukan antara lain akupuntur, konsumsi vitamin B1, refleksiologi, dan pengobatan herbal. Walaupun bukti keberhasilan terapi ini masih minimal, namun terapi jenis ini dianjurkan karena risiko minimal. Terapi lain yang dapat digunakan adalah terapi psikologis yaitu kemauan pasien sendiri untuk sembuh dan adanya dukungan dari orang-orang di sekitar pasien (Alford, Taylor, dan DeCherney, 2010).

Dokumen terkait