• Tidak ada hasil yang ditemukan

yakni Kiyai Haji Ahmad Dahlan . Kiyai Haji Ahmad Dahlan, lahir di Yogyakartapada tanggal 1

Agustus 1868

dan meninggal di

Yogyakarta

pada

tanggal

23 Februari 1923

ketika berumur 54 tahun,

dan kemudian ditetapkan sebagai seorang

Pahlawan Nasional Indonesia

.

Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar ini adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid

Kiyai Haji Ahmad Dahlan

Pendiri Muhammadiyah

Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Dengan surau di kediamannya yang berada di Kauman, Yogyakarta, bertujuan untuk memajukan pendidikan, meluaskan pengertian Islam dan cara hidup yang diselaraskan dengan kehidupan zaman modern28. Selama ini terkesan bahwa gerakan Muhammadiyah berada pada posisi beseberangan dengan kekuasaan Kerajaan Mataram Yogyakarta. Sebaliknya, pertentangan dan kadang konflik justru sering tejadi dengan ulama kerajaan yang notabene keluarga Kiyai Ahmad Dahlan sendiri. Konflik tersebut antara lain bisa dilihat ketika murid-murid Kiyai Ahmad Dahlan meluruskan kiblat

Masjid Besar Kauman Yogyakarta dengan memberi garis putih pada setiap shaf. Kanjeng Penghulu yang ketika itu dijabat Kiyai Kamaluddiningrat segera memerintahkan pegawainya untuk merobohkan surau yang didirkan Kiyai Ahmad Dahlan. Kesal dan seperti setengah putus asa akibat suraunya dirobohkan, secara diam-diam kiyai Ahmad Dahlan bersama istrinya berniat meninggalkan kota Yogyakarta. Namun kepergian Kiyai segera diketahui kakak iparnya, Kiyai Saleh, yang mencegah dan berjanji membangun kembali surau baru. Sesudah itu tidak lagi terjadi pertentangan tehadap berbagai gagasan Kiyai Ahmad Dahlan yang cukup berarti dari komunitas Kauman Yogyakarta, dan Muhammadiyah pun terus berkembang. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim,

28

Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kiyai Ilyas, Kiyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH.Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.

KH. Ahmad Dahlan dimakamkan

di KarangKajen, Yogyakarta, Situasi psikologis di awal pembaruan Kiyai Ahmad Dahlan tersebut di atas bisa menjadi bahan renungan mengenai peran gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah. Disinilah hikmah Muhammadiyah dan pesan-pesan terakhir Kiyai Ahmad

Dahlan yang relevan dijadikan bahan kajian mengenai bagaimana gerakan ini memainkan peran baru di tengah

hagemoni peradaban global yang kapitalisitik. Hikmah Muhammadiyah merupakan tradisi yang lahir secara kurang disadari tapi mewarnai pola hidup dan pengambilan kebijakan organisasi. Hikmah Muhammadiyah merupakan nisbat pandangan keagamaan dan penyebaran nilai-nilai kehidupan dari para pemimpin dan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Demikian pula pola kehidupan pendiri gerakan ini, Kiyai Ahmad Dahlan, yang hingga kini beberapa nasehatnya masih terus hidup dalam sanubari aktivis Muhammadiyah di pusat kota atau yang berada jauh di daerah terpencil. Pada tahun 1926 Kiyai Haji Muhamad Mansur diutusnya menghadiri dan mewakili Muhammadiyah ikut Muktamar

Al Islam di Mekkah. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Nurcholish Madjid, dimana salah satu program

ad hoc Muhammadiyah, atas nama reformasi dan pemurnian adalah memberantas kebiasaan pergi (ziarah) ke kuburan para wali yang dalam logikanya untuk minta syafa‘at (menjadikan ‗perantara‘ kepada Tuhan), adalah suatu pandangan tendensius yang tidak menerima akan syafa‘at, sehingga akhirnya menjadikan sumber perselisihan (konflik) dengan kelompok NU dan lainnya. Penafsiran semula seperti itu, dilihat dengan ‗kacamata‘

yang banyak mengambil ‗inspirasi‘ yakni dari gerakan

Wahabi dari Arab Saudi, dimana bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan apa-apa kecuali apa yang dikerjakan sendiri, tanggungjawab manusia di akherat semuanya bersifat ‗pribadi‘ dan ‗hubungan secara langsung‘, dan membuat kritik pro-kontra. Tetapi pemahaman dan pemikiran dari Muhamadiyah ini kemudian berkembang terus sesuai perkembangan masyarakatnya, ilmu pengetahuan, teknologi modern dan seni (IPTEKS). Belakangan tampak sungguh ‗ironis‘ dan justru kelompok ini pulalah yang paling banyak mendirikan wantilan yang indah-indah, mengagungkan dan bahkan membina

kuburan, bahkan kuburan Ibnu Taymiyah sendiri sebagai sumber doktrin Wahabi penuh dengan surat 29. Contoh lainnya: Taj Mahal di India, Kuburan para khalifah, para

syuhada, Imam-imam, Sunan Gunung Jati (di Indonesia). Dalam organisasi ini, juga menganut rasionalitas (kritis) dan menganut sistem demokratisasi hingga liberalis dan dalam setiap keputusan yang diambil, tak jarang pula keputusan pengurus pimpinan pusat ditentang oleh pengurus pimpinan di daerah. Tampaknya kini dalam spektrum keagamaan seperti isu-isu pluralisme menjadi wacana perbincangan dalam internal Muhammadiyah terutama pada generasi mudanya, mengutub dua kelompok yang pro dan kontra. Meminjam istilah Muhadjir Effendy, bahwa pemikiran di Muhammadiyah seakan-akan dipaksa menjadi dua kesebelasan yang saling berhadapan, dengan perang labelisasi dan stigma dalam mempersepsi diri maupun menilai pihak lain, misalnya tanpa ada tabayun (klarifikasi). Kondisi itulah yang akhirnya membuat dialektika antar pemikiran dalam Muhammadiyah sama-sama semakin menjauh sebagai efek samping dari perbedaan dan kesenjangan dalam pemahaman keislaman. Pengetahuan terhadap kubu lain sering sebatas stereotip, yang tentunya dapat menyuburkan pemahaman yang demonologis dengan cara mencitrakan pihak lain sebagai kelompok dianggap ''kurang'' beradab. Lalu kalangan ''liberal'' dalam organisasi ini mempersepsi diri sebagai pihak terbenar dan menganggap ''fundamentalis'' dalam organisasi yang sama sebagai pihak yang salah. Dan hal yang tidak berbeda juga dilakukan kalangan fundamentalis dalam menilai diri dan pihak yang berbeda. 30 Sehingga pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr.

29

Budi Munawar, Rachman, Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002, hal 55

30

Muh. Kholid A.S, Jawa Pos, Pluralisme Perspektif Muda Muhammadiyah, Minggu, 01 November 2009.

Dien Syamsuddin MA, yang menyatakan dalam kata

pengantar buku berjudul ―Pluralisme Keagamaan dalam

Perdebatan‖ (penulis Dr. Biyanto, M.Ag), mengatakan bahwa pluralisme (kemajemukan) merupakan suatu keniscayaan sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak.31

Bahkan kemajemukan bisa dipandang sebagai ketetapan

Allah (sunnatullah). Dalam konteks pluralisme itu, Allah

mengajarkan bahwa kaum beriman bersaudara berdasar kerangka kemajemukan.

2). Ahmadiyah:

Aliran Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1913 dari Pakistan. Sejak 1930 mendapatkan pengakuan dan badan hukum (rechtperson) dari kolonial Belanda, seperti Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), memberikan kontribusi terhadap gerakan Islam modern dalam dakwah dll. Ahmadiyah kemudian pecah menjadi dua yaitu

Amadiyah Lohare dan Ahmadiyah Qadian. Lohore di

31

Dr. Biyanto, M.Ag, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan, UMMP Press, Malang, 2009

Ketua Umum PP Muhammadiyah

Prof. Dr. Dien Syamsuddin MA

Yogyakarta dipimpin oleh Mirza Wali Ahmad Beig yang pernah membantu Cokroaminoto dalam menterjemahkan Al Qur‘an dan mendapatkan tantangan,

Qadian di Jakarta dibawa oleh Maulvi Rahmat Ali,

didirikan De Ahmadiah Beweging Indonesia pada September 1929 dan kongres di Purwokerto Juni 1930, warganya Sudewo menterjemahkan Al-Qur‘an dalam bahasa Belanda dengan Judul De Heillige Qoer-an (Qur‘an yang Keramat) 193432. Karena aliran Ahmadiyah ini kemudian menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad (pendirinya) sebagai Nabi dan bukannya sebagai ―guru‖

atau ―mursyid‖, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI)

mengeluarkan sebelas fatwa (legal opinion) dalam Munas VII 29 Juli 2005 menjadi gerakan keagamaan yang terlarang dan dipandang berada di luar Islam (menyimpang), sebagai penegasan fatwa MUI sejak 1980 s.d 1984, akibatnya timbul anarkisme yang menghampiri pengikutnya.

Pemerintah RI berusaha meluruskan dan berkompromi berbagai pihak terkait serta membuat kesepakatan, setelah dilakukan serangkaian dialog, dimana kini tidak ada lagi yang namanya Nabi (risalah Muhammad sebagai Nabi penutup), yang ada hanyalah ―Ulama pewaris ilmu

Rasulullah‖ atau Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai

32

Ensiklopedi Umum, P.N. Kanisius, 1991, hal 24-25

Mirza Ghulam Ahmad Pendiri Ahmadiyah

Guru / Wali / Mursyid, dan Tadzkirah bukanlah kitab suci, namun kesepakatan tidak dipatuhi dan gagal dilaksanakan para pengikutnya, lalu disinyalir dapat meresahkan ummat Islam, maka pada akhirnya dibekukanlah kegiatan organisasi ini oleh pemerintah RI tahun 2007. Sebagai tindak lanjut rekomendasi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), pemerintah RI menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani Jaksa Agung, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, yang isinya tentang pembubaran ajaran Ahmadiyah di Indonesia, sebagai tanda berakhirnya sejarah perkembangan Ahmadiyah di Indonesia33.

3).Nahdlatul Ulama * :

Mengantar para Kiyai untuk tetap mengabdi pada

Allah SWT dan Negara RI‘. Nahdlatul Ulama (NU) berarti

‗kebangkitan ulama‘. Dibidangi oleh tokoh-tokoh ulama

seperti Hadhratus Syekh Kiyai Haji Muhammad Hasyim Asy‟ari (1871-1947) dan KH. Abdul Wahab

Hasbullah (1888-1971).

33

Jawa Pos, tanggal 22 & 25-4-2008

K.H. Hasyim Asy'arie Rais Akbar (ketua)

NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya dan kini menjadi salah satu organisasi dan gerakan Islam terbesar di Indonesia. NU lahir dari Komite Hijaz yang bertujuan mengupayakan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat (Hanafi, Syafi‘i, Hambali dan

Maliki). Sebagian besar yang mendominasi gerakan ini adalah mazhab Syafi‘i. Berbasiskan massa pesantren di seluruh Nusantara, NU mencorong menjadi sebuah gerakan kultural yang sangat berkembang. Soliditas di kalangan NU juga sedikit banyak dipengaruhi oleh

kuatnya kekerabatan internal, baik yang disebabkan

oleh seperguruan dalam menimba ilmu agama (pesantren sebagai tempat belajar), sebab nasab (keturunan), dan juga silaturahim yang dijalin. Dan tentu saja ukhuwah Islamiyah dan kesatuan aqidah. Nahdatul Ulama (NU), semula berupa partai politik keagamaan berasas Islam yang berdiri di Surabaya bulan Desember 1926, kemudian bergerak sebagai organisasi kemasyarakatan berasaskan Islam yang bertujuan menegakkan ‗syariat‘

dan ‗hukum Islam‘ serta yang menghawatirkan akan

masuknya aliran Wahabi dengan jalan menghadang pengaruh dari aliran Wahabi (dari Hedjaz) tersebut dan perubahannya melalui tabligh-tabligh dan pengajian-pengajian setelah dalam kongres Surabaya Oktober 1928.

Menyelenggarakan Muktamar di masa penjajahan tentu tidak semudah di masa sekarang. Untuk penentuan

Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul

tempat saja tidak cukup izin meminta kepada pemerintah setempat. Bahkan sering pemerintah setempat melarang daerahnya dijadikan tempat Muktamar atau kegiatan keagamaan yang terbuka. Menjelang Muktamar NU ke 4 di Semarang tahun 1929, ini untuk pertama kalinya

Muktamar diselenggarakan di luar kota kelahiran NU Surabaya. Karena itu maklum kalau perizinan sulit diperoleh dari pemerintah kolonial. Apalagi saat itu SI sedang bergolak di tempat itu. Menghadapi persoalan ini

Kiyai Wahab Chasbullah akhirnya pergi ke Batavia untuk

menemui Adviseur voor Inlandsche Zaken (Menteri Urusan Pribumi) yang dijabat oleh orientalis terkemuka

Van der Plas. Ia tinggal di Jalan Cikini No 12 Menteng di

rumahnya itulah ia menerima Kiyai Wahab. Komunikasi berlangsung dalam bahasa Arab, maklumlah pengganti Snouck Horgronye ini juga pernah menduduki posisi Snouck sebagai wakil Belanda di Jeddah. Kiyai Wahab meminta izin dilaksanakannya Muktamar di Semarang dan diumumkannya hasil Muktamar di Masjid Jami' kota itu. Kiai Wahab beralasan bahwa yang akan disampaikan itu bukan persoalan politik yang mengganggu ketenteraman umum, seperti yang dikhawatirkan pemerintah, tetapi murni masalah diniyah ijtimaiyah. Selain itu ada beberapa persoalan yang dibawa antara lain soal pembatasan gerakan NU di beberapa tempat, seperti di Mojokerto, dan Pekalongan yang dibatasi hanya 50 orang, sementara anggota NU di kota-kota tersebut lebih dari 2500 orang. Selain itu, Kiyai Wahab juga mengusulkan agar dalam menunjuk hoof -penghulu benar-benar memilih orang yang allamah yakni yang paham betul dalam ilmu keislaman. Berkat kelihaian Kiyai Wahab dalam melobi akhirnya pengumuman hasil Muktamar diperbolehkan untuk

disampaikan di Masjid Jami‘ Semarang, demikian juga

pengajian diperbolehkan dilaksanakan di beberapa masjid kota besar di Jawa. Sejak saat itulah NU berkembang semakin pesat melalui pesantren dan

masjid-masjid besar yang ada di setiap kota (Tulisan ini disarikan dari Oetoesan Nahdlatul Oelama, 1 Rodjab 1347 H, tahun I). Di akhir penjajahan Belanda, NU telah mempunyai 120 cabang se Indonesia, lalu menjadi anggota Masyumi pada kongres Ummat Islam Yogyakarta 7 Nopember 1945, lalu ikut revolusi mempertahankan tanah air Indonesia, dan perang mempertahankan kemerdekaan RI yang terkenal dengan revolusi jihad-nya (wajib bagi pengikutnya dan hukumnya fardlu‘ain) pada 22 Nopember 1945.

NU juga mendirikan pesantren-pesantren, madrasah-madrasah dan Liga Muslimin Indonesia pada 30 Agustus 1952. Dan cabang-cabang NU sejak 1 Agustus 1954 menjadi 180-an, serta menggabungkan NU dengan partai politik Tarekat Islam yang anggotanya 750 ribu dari Bukittinggi.34

Keterbelakangan baik mental-spiritual, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, adalah akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk bisa memperjuangkan martabat bangsa ini, tentunya melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Menjadikan kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri"

34

(kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Suatu ketika Raja Ibnu Saud

berkehendak untuk menerapkan asas tunggal yakni

mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini konsisten untuk tetap membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab

Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru ummat Islam di dunia, maka akhirnya Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren kali pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat

embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiyai,

akhirnya muncullah kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari

sebagai Rais Akbar s.d tahun 1947. Berikut ini adalah ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama: KH Abdul Wahab Chasbullah 1947 s.d 1971, KH Bisri Syansuri 1971 s.d 1980, KH Muhammad Ali Maksum 1980 s.d 1984, KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq 1984 s.d 1991, KH Ali Yafie (pjs) 1991 s.d 1992, KH Mohammad Ilyas Ruhiat 1992 s.d 1999 dan selanjutnya KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang

mengambil ‗jalan tengah‘ antara ekstrem aqli (rasionalis)

dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an-sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan

Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam

bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lainya: Imam Hanafi,

Imam Maliki, dan Imam Hambali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah.

Sementara dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan

metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang

mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fiqih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara RI. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Kepengurusan Nahdlatul Ulama terdiri atas: Mustasyar (berfungsi sebagai Badan Penasehat), Syuriah (berfungsi sebagai pimpinan tertinggi) dan Tanfidziyah (yang berfungsi sebagai Pelaksana Harian). Kepengurusan NU juga dilengkapi dengan berbagai lajnah, lembaga dan badan otonomi. Dalam kehidupan politik, Nahdlatul Ulama ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. Semula, Nahdlatul Ulama aktif sebagai anggota Majelis Islam A‘la Indonesia (MIAI), kemudian

Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), baik yang dibentuk di zaman Jepang maupun yang didirikan oleh seluruh organisasi Islam setelah merdeka sebagai satu-satunya partai politik ummat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan, pada tahun 1952 Nahdlatul Ulama, menyusul PSII, menyatakan menarik diri dari keanggotaan istimewa Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik. Nahdlatul Ulama bersama dengan PSII dan Perti membentuk Liga Muslimin Indonesia sebagai wadah kerja sama partai politik dan organisasi Islam. Dalam pemilihan umum tahun 1955 Nahdlatul Ulama muncul sebagai partai politik besar ketiga. Pada masa Orde Baru Nahdlatul Ulama bersama partai politik lainnya (PSII, Parmusi. Perti) berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian sejak tahun 1984 NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926, yaitu

melepaskan diri dari kegiatan politik dan menjadi organisasi sosial keagamaan. Meski Khittah 1926 NU pada mulanya diilhami oleh suatu pemikiran bahwa keterlibatan secara langsung dalam kancah politik praktis ternyata tidak memberikan ‗keuntungan‘ yang signifikan bagi kelangsungan hidup organisasi. Perjalanan NU kemudian tampak lebih didominasi oleh aktivitas politik. Inilah yang kemudian memunculkan ide untuk kembali ke

khittah 1926. Bukan berarti NU harus meninggalkan dunia politik, namun netralitas politik tetap menjadi pilihan NU. Karena itu, untuk menjaga sikap netral itu, dapat dimaklumi jika PBNU melarang adanya rangkap jabatan bagi segenap pengurusnya dengan jabatan politik. Dalam praktiknya, anggota NU masih ada yang di PPP, tak sedikit yang menyeberang ke Golkar, dan tidak dilarang juga masuk PDI. Ini terjadi dalam kurun sekitar 1984-1998. Sampai kemudian pada tahun 1999 saat gelombang reformasi menyeruak, NU bisa berkampanye untuk rumahnya sendiri‘ yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Langkah ini dianggap sebagai langkah ―non politik‖ dari ―politik‖ NU, di mana NU tidak mengubah bentuk menjadi organisasi politik secara ―langsung‖ (karena berarti ini mencederai khittah 1926) namun menampilkan representasi organisasinya yang memiliki kekuatan sosial cukup signifikan di Indonesia dalam jaket PKB. Meski bukan satu-satunya partai bentukan warga NU, di masa inilah PKB meraih simpati massa—khususnya dari kalangan santri—Islam yang cukup besar, hingga mampu menduduki peringkat lima besar partai pemenang pemilu 1999. Sebagai cucu dari pendiri NU,

Dokumen terkait