• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan PERJUANGAN ISLAM

I

su-isu yang berkembang saat ini dan menjadi buah perbincangan ramai dimasyarakat umum, khususnya kaum muslimin baik bersifat lokal, nasional, regional dan maupun global adalah menyangkut liberalis,

pluralis dan perjuangan Islam atau jihad Islam.

Liberalisme dan Pluralisme

Islam liberal tampaknya merupakan nama salah satu pemahaman kelompok Islam modern, terlepas dari pro-kontra tentangnya, karena kelompok ini memang nyata adanya serta hanyalah untuk lebih memudahkan analisis. Terdapat berbagai pendapat tentang kelompok ini, ada yang setuju ada yang tidak setuju, sehingga orang-orang yang dikategorikan dalam Islam

liberal itu sendiri cukup beragam, ada yang pendapatnya saling berjauhan bahkan yang satu mengkritik tajam yang lainnya. Misalnya, Ali Abdul Raziq dari Mesir yang menulis buku Al-Islam wa Ushulul Hukm dikritik tajam oleh Rasyid Ridha dan Dhiyauddin Rayis. Namun demikian yang dikritik maupun pengkritiknya, dari kedua belah pihak tersebut dimasukkan dalam kategori Islam

Liberal, sebagaimana ditulis oleh Charles Kurzman

dalam buku Liberal Islam: A Sourcebook. Padahal, di kalangan Islam revivalis (salafi), seperti Rasyid Ridha adalah seorang salaf, yang diakui sebagai ulama yang

menguasai Hadits. Demikian pula, Dr. Faraj Faudah35

(Mesir 1945-1993) adalah wakil dari kelompok

sekuler bersama Dr Muhammad Khalaf Allah dalam menghadapi wakil kelompok Islam lainnya. Debat pertama dilaksanakan 1987M / 1407H, yang menamakan sebagai pihak Islam diwakili Syekh Muhammad

Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qaradhawi berhadapan dengan

pihak sekuler yang diwakili Dr Fuad Zakaria. Lalu Syekh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma‟mun Al

-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah dalam acara debat

Islam dan Sekuler yang kedua, 1992. Kemudian dalam kasus terbunuhnya Dr Faraj Faudah April 1993, Syekh Muhammad Al-Ghazali didatangkan di pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam), Juli 1993 di Mesir. Kesaksian Syekh Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekuler, karena menurut Syekh Muhammad Al-Ghazali, sekuler itu hukumnya adalah keluar dari Islam. seorang tokoh sekuler yang mati ditembak pada April 1993 itu dinyatakan murtad oleh seorang ulama terkemuka Muhammad Al-Ghazali, yang oleh Kurzman dimasukkan dalam barisan Islam Liberal

yang menurutnya: secara tidak proporsional, menjadi korban kekerasan. Sebagaimana Dr Muhammad Khalaf

Allah (Mesir, lahir 1916) yang dalam acara debat Islam

dan sekuler di Mesir 1992 sebagai wakil kelompok

sekuler, oleh Kurzman yang memasukkannya dalam kelompok Islam Liberal teraniaya seperti Dr Faraj Faudah. Dia menyebutkan pula, dipaksa untuk membakar seluruh salinan karyanya dan dipaksa untuk menegaskan kembali keimanannya kepada Islam dan kembali memperbarui perjanjian perkawinannya.36 KH. Ahmad Dahlan

35

Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994M/ 1415H, hal 89

36

Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A Sourcebook, terjemahan Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, 2001, hal xxix.

1923M) pendiri Muhammadiyah pun dimasukkan dalam barisan Islam Liberal. Juga Nurcholish Madjid yang sejak tahun 1970-an mengemukakan pikiran

sekularisasinya dan dibantah oleh HM Rasjidi, dimasukkan pula dalam jajaran Islam Liberal. Kurzman, alumni Harvad dan Berkeley itu ‗menandai‘ para tokoh Islam Liberal ini yaitu sebagai orang-orang yang

mengadakan pembaruan lewat pendidikan dan

dengan memakai sistem pendidikan Barat. Maka secara

umum, tokoh-tokoh Islam Liberal menurutnya dianggap adalah orang-orang modernis. Pengkategorian dan analisis dari Kurzman telah memilih nama Islam Liberal sebagai wadah, tanpa menilai tentang benar tidaknya gagasan-gagasan dari para tokoh dalam tulisannya yang dikumpulkan dari 39 penulis dari 19 negara, sejak tahun 1920-an. Namun dia memberikan pengantar tentang perjalanan tokoh-tokoh Islam Liberal sejak abad 18, dimulai oleh Syah Waliyullah (India, 1703-1762) yang dianggap sebagai cikal bakal Islam Liberal, karena walaupun pemahamannya revival (salaf) namun menurut Kurzman, lebih bersikap humanistik terhadap tradisi Islam adat, dibanding dengan kelompok kebangkitan Islam lainnya. Digambarkan, orang Islam Liberal angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20 mengakomodasi Barat dengan kurang begitu faham seluk beluk Barat. Tetapi kaum Liberalis angkatan setelah itu lebih-lebih semenjak 1970-an adalah orang-orang yang cukup faham dengan kondisi Barat karena kebanyakan dari mereka keluaran pendidikan Barat, seperti Eropa dan Amerika.37

Penyebutan Islam Liberal mendekati kepada realitas pemahaman, seperti apa yang dilakukan oleh Prof. Dr

Harun Nasution yang mengadopsi dari pemikiran Barat,

dan kemudian bukunya menjadi materi pokok di IAIN

37

dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau Pembaharu, dan dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam. Kemudian istilah itu populer dengan istilah yang disebut Periode Modern dalam Sejarah Islam. Harun Nasution menulis buku yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia, Pembaharuan dalam Islam –

Sejarah dan Gerakan, terbit pertama tahun 1975,

semuanya berisi pemikiran terbuka dengan pembaharuan atau modernis. Sampai-sampai ada yang menghalalkan dansa antara laki dan perempuan seperti Rifa‟at At

-Thahthawi (Mesir) semuanya dikategorikan sebagai

kaum Modernis. Mendiang Prof. Dr. Harun Nasution alumni MMcGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad38. Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826 -1831 M yang kemudian kembali ke Mesir dan mengatakan tentang dansa yang ia lihat di Paris sebagai sejenis seni atau keindahan belaka, dan dianggap tidak melanggar agama. Menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen

Syari'ah di Jami'ah Islam Madinah, berkomentar dengan mengambil sabda Rasulullah yang artinya: "Setiap bani

Adam ada potensi berzina: maka dua mata

berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji atau kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya‖ (Hadits Musnad

38

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 1975, hal 49

Ahmad juz 2 hal 243), dan Rifa'at Thahthawi ini dianggap berpikiran ala ke Barat-baratan 39 . Sedang kelompok revivalis (salafi) seperti Muhammad bin Abdul

Wahab berupaya mengembalikan Islam sebagaimana

ajaran awalnya ketika zaman Nabi, sahabat, tabi‘in dan tabi‘ittabi‘in. Ada kerancuan pemikiran antara pemikiran Islam liberal dengan para tokoh pemurnian (purifikasi) Islam, terkadang saling bersebrangan atau perbedaan yang mendalam, yang satu yaitu revivalis / salafi / pemurnian Islam disebut sebagai kaum Islam modernis, sedang yang lain, yang menerima nasionalisme, demokrasi, bahkan membolehkan dansa, disebut

Neo-Modernis. Beberapa nama kontributor dari Jaringan Islam

Liberal (JIL) diantaranya adalah sebagai berikut: Nurcholish Madjid (Universitas Paramadina Mulya, Jakarta); Charles Kurzman (University of North Carolina); Azyumardi Azra( IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta); Abdallah Laroui, Muhammad V (University,Maroko); Masdar F. Mas‘udi (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta); Goenawan Mohammad (Majalah Tempo, Jakarta); Edward Said Djohan Effendi (Deakin University, Australia); Abdullah Ahmad an-Naim (University of Khartoum (Sudan); Jalaluddin Rahmat (Yayasan Muthahhari, Bandung); Asghar Ali (Engineer); Nasaruddin Umar (IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta); Mohammed Arkoun ( University of Sorbone, Prancis); Komaruddin Hidayat (Yayasan Paramadina, Jakarta); Sadeq Jalal Azam (Damascus University, Suriah); Said Agil Siraj (PBNU atau Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta); Denny JA (Universitas Jayabaya, Jakarta); Rizal Mallarangeng (CSIS, Jakarta); Budi Munawar Rahman (Yayasan Paramadina, Jakarta); Ihsan Ali Fauzi (Ohio University, AS); Taufiq Adnan Amal (IAIN Alauddin, Ujung Pandang); Hamid Basyaib (Yayasan Aksara, Jakarta); Ulil Abshar Abdalla, (Lakpesdam-NU, Jakarta); Luthfi

39

Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya, Jakarta); Saiful Mujani (Ohio State University, AS); Ade Armando (Universitas Indonesia, Depok –Jakarta); Syamsurizal Panggabean (Universitas Gajahmada, Yogyakarta). Mereka semua berupaya mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan

inklusif. Program itu mereka sebut ―Jaringan Islam

Liberal‖ (JIL). Penyebaran gagasan keagamaan yang

pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah. Di dunia maya seperti internet, juga Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, menghormati semua agama. Sedang faham inklusif

adalah sama dengan pluralis.

Sementara dalam diskursus pemikiran Islam,

pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan

pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.

Tantangan yang ummat Islam hadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial

dan budaya, akan tetapi berupa tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber juga bersumber dari pemikiran kritis. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah dibidang pemikiran keagamaan (pemahaman). Tantangan yang sudah lama disadari itu adalah tantangan internal yang berupa kejumudan, fanatisme, taklid buta, bid'ah,

kurafat, dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang dan harus hadapi saat ini adalah masuknya pemahaman liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama-agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan keislaman. Hal ini disebabkan oleh melemahnya daya tahan ummat Islam dalam menghadapi arus dan gelombang globalisasi dengan segala macam bawaannya. Pembahasan salah satu tantangan eksternal dengan fokus pada makna

pluralisme agama beserta faktor-faktor penyebaran, dampak dan solusinya. Mengingat paham ini telah begitu menyebar dan telah merasuk kedalam wacana keagamaan Islam dan di adopsi tanpa sikap kritis oleh beberapa kalangan termasuk mahasiswa.

Apa itu Pluralisme Agama? Dalam hal ini Depag dan MUI (Majelis Ulama indonesia) mengartikan

pluralisme agama sebagai sebuah paham yang

mengajarkan bahwa semua agama adalah sama kedudukannya dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanyalah yang paling benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua agama mengajak untuk bisa masuk surga / nirwana, bahagia lahir-batin atau dunia-akherat atau mencapai kebahagiaan tertinggi / moksah. Dalam Wikipedia, The Free Encyclopedia (1 Februari 2008) pada entry Religious Pluralism dituliskan

istilah bagi hubungan-hubungan damai antara beragam agama atau pluralisme agama yang menggambarkan pandangan bahwa agama seseorang bukanlah satu-satunya dan secara eksklusif menjadikan sumber kebenaran40 dan karenanya pluralisme agama meyakini bahwa kebenaran itu bisa saja tersebar di agama-agama yang lain. Dr. Anis Malik Thoha, dalam tulisannya

―Menengarai Implikasi Faham Pluralisme Agama‖

menjelaskan bahwa Professor John Hick, seorang teolog

dan filosof Kristen Kontemporer, memberikan definisi

pluralisme agama-agama adalah berupa pandangannya bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, serta secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna atau Sang Pencipta dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakekat

terjadi secara nyata hingga pada batas yang dianggap sama. Dalam buku ‘‘Tren Pluralisme Agama‘‘, tulisan Dr. Anis Malik Thoha, tertera pula dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah dianggap sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan sama yaitu Tuhan, dan

dengan demikian, semuanya merupakan ―authentic

manifestations of the Real‖. Ringkasnya, semua agama secara relatif dianggap sama, dan tak ada satu pun

agama yang berhak mengklaim diri ―uniqueness of truth

and salvation‖ (sebagai satusatunya kebenaran atau satu -satunya jalan menuju keselamatan). Pemahaman John Hick ini dibangun dengan makna agama dalam perspektif

40

sekular dan positivisme yang mengingkari perkara-perkara yang gaib (metafisik) dengan alasan tidak bisa membuktikan secara empiris (risetnya belum tuntas!).

Karenanya, tidak mengherankan ―agama-agama‖,

menurut mereka, merupakan respon manusia saja atau ―religious experience‖ yakni pengalaman keagamaan / pengalaman sepiritual dan tidak mengakui adanya wahyu agama dari Tuhan (Allah). Sehingga menurut John Hick, Sang Wujud itu tunggal, tetapi manusia memiliki persepsi bermacam-macam tentang Sang Wujud tersebut, seperti Islam menyebut Sang Wujud dengan Allah, Yahudi dengan Yahweh, Nashrani dengan trinitas dan lainnya. Namun perlu diketahui bahwa menurut definisi resmi mereka (para penganut paham ini) pluralisme adalah teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth) itu sendiri. Terkadang juga

disebut sebagai ‗Agama Baru Bernama Pluralisme41

seakan sebuah proyek gabungan Orientalisme dan

Kolonialisme terdapat ide-ide dan pemikiran yang disengaja disebarkan ketengah masyarakat Islam. Diantara ide-ide dan pemikiran tersebut adalah

liberalisme, pluralisme agama-agama, kawin beda agama, relativisme, persamaan, feminisme (kesetaraan

gender), individualisme, demokrasi42, globalisasi, dan lain-lainnya. Kemudian dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are equally true). Dalam aplikasinya terhadap agama maka pandangan ini pun berpendapat bahwa semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Paham pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu: aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global

41

Singgih Saptadi, Pengelola situs: singgihs.web.id 42

theology). Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung gerakan globalisasi, dan paham yang kedua inilah yang kini menjadi ujung tombak gerakan westernisasi. Karena

pluralisme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, telah masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam.

Kemudian, di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir mistik Barat-Muslim, seperti

Abdul Wahid Yahya (Rene Guenon) dan Isa Nuruddin

Ahmad (Frithjof Schuon). Karya-karya mereka ini sangat

sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana

pluralisme agama di kalangan ummat Islam. Barangkali

Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi‘ah

moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan

pluralisme agama di kalangan Islam tradisional–suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang dianggap sangat bergengsi.

Respon Islam terhadap Pluralisme agama, sebagaimana telah diketahui bahwa, paham pluralisme

agama adalah sebagai sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah setara atau sama kedudukannya dalam masyarakat yang majemuk dan karenanya kebenaran setiap agama kemudian dianggap relatif. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama diharapkan untuk tidak mengklaim bahwa hanya agamanyalah yang paling benar sedangkan yang lain salah, ini sebagai bentuk penghormatan. Kata semua agama sama, berarti ini akan berimbas pada penyamaan semua konsep-konsep dalam setiap agama-agama, baik itu konsep-konsep

ketuhanan, ama, ilmu, dan lain sebagainya, ini merupakan pokok permasalahan dan menimbulkan pro-kontra antar ummat Islam. Padahal konsep-konsep dalam Islam jauh lebih sempurna dari pada konsep-konsep dalam agama lain, yang dikarenakan Islam sebagai agama penutup agama-agama dan secara otomatis menjadi pelengkap dan penyempurna dari konsep agama sebelumnya. Sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik. Tidak sama pula dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; serta tidak sama dengan apa yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat.

Faktor-faktor timbulnya pluralisme agama adalah sebagai berikut:

Faktor pertama, keyakinan konsep ketuhanan adalah

paling benar (Truth Claim). Jika dibandingkan dengan agama-agama langit, seperti Yahudi, Nashrani dan Islam, maka ditemukan konsep tentang tuhan yang berbeda-beda. Yahudi memiliki konsep yang begitu

rasis, sehingga Yahweh adalah tuhan ―khos‖ bagi mereka. Nashrani memiliki keyakinan tuhan yang berinkarnasi (menitis) dalam bentuk manusia. Islam berkeyakinan Allah adalah tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh makhluk. Apalagi jika ditambah dengan berbagai agama lainnya, konsep ketuhanan ini semakin banyak ragamnya.

Faktor kedua, keyakinan bahwa agamanyalah yang

menjadi jalan keselamatan. Tidak hanya agama langit, Yahudi, Nashrani dan Islam, agama-agama didunia lainnya pun (Hindu, Konghucu, Budha, Kepercayaan) telah meyakini bahwa jalan keselamatan ada pada agama mereka.

Faktor ketiga, keyakinan bahwa mereka adalah ummat pilihan. Penganut Yahudi merasa dirinya sebagai orang-orang yang mendapat anugerah untuk mengelola dunia. Kaum Nashrani juga memiliki berkeyakinan serupa. Kaum Muslim juga tidak berbeda, bahkan Al Qur‘an dan seorang pemikir Muslim kontemporer asal Amerika,

Muhammad Longhausen, menceritakan bahwa dia

pernah mengikuti perdebatan tentang ―apakah seluruh agama berada dalam kebenaran‖ yang diadakan antara

Seyyed Hossein Nasr dan John Hick (tokoh pluralisme

antar agama-agama). Mereka berdua berbeda pendapat dalam poin penting tersebut. John Hick berusaha untuk menyelesaikan kontradiksi yang ada, yang mengharuskannya untuk membenarkan aqidah-aqidah

Kristen (al-‗aqâ‘id al-Masîhiyyah). Sementara itu, Hossein Nasr membela ―keyakinan‖ bahwa pluralisme

mengharuskannya memendam dan menguasai kontradiksi tersebut. Artinya, memang belum ada titik final di antara pendukung pluralisme agama ini, yang memberikan justifikasi bahwa kaum Muslim adalah ummat pilihan, meski tidak bisa dilupakan, bahwa Al

Qur‘an menjelaskan syarat-syarat sebagai ummat pilihan tersebut.43 Berdasarkan ketiga faktor ini, para penggagas pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga persepsi tentang ketuhanan, jalan keselamatan dan ummat pilihan harus didefinisikan ulang, sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif.

Faktor keempat, ada pergeseran cara pandang kajian

terhadap agama-agama. Dalam kajian agama yang seharusnya berpijak pada keyakinan, kajian ilmiah modern yang memposisikan agama sebagai obyek

43

Dr. Muhammad Longhausen dalam jurnal Hayât Thayyibah,

al-Ta‗addudiyyah bayna al-Islâm wa Librâliyyah: Hiwâr fî Bunyi wa al-Munthaliqâ tt, (Lebanon-Beirut: al-Hayât al-Thayyibah, edisi ke-11, thn. ke-4, 2003/1423), hal. 24.

kajian yang sama dan setara, sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada unsur keraguan. Cara pandang kajian ilmiah terhadap agama yang dipenuhi dengan keraguan bisa jadi sangat pas dan ―klop‖ bagi agama selain Islam, namun tidak untuk Islam yang juga harus ada unsur amaliah, karena ada rukun iman dan rukun Islam serta ikhsan.

Faktor kelima, kepentingan ideologis dari kapitalisme

untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, menjadikan pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus menerus disuarakan oleh kapitalisme global yang digalang untuk menghalangi kebangkitan radikalisme Islam.

Kalaupun ada kemiripan yang mungkin ditemukan antara sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam dengan berbagai macam konsepsi agama lain, maka itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi tersebut yang merupakan suatu keseluruhan, atau super system, tidak sama antara satu dengan yang lain. Ini juga berarti bahwa tidak ada kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Bahkan istilah kesatuan transenden agama-agama itu sendiri cukup menyesatkan, sebuah istilah yang boleh jadi lebih merupakan suatu motif untuk agenda terselubung, ketimbang keyakinan yang mereka percayai kebenarannya. Klaim kepercayaan yang ada pada mereka mengenai kesatuan transenden agama-agama sebenarnya merupakan hasil rekaan imajinasi induktif belaka, dan semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual saja, bukan dari pengalaman kongkret. Jika asumsi ini ditolak, dan mengingat jika

asumsi ini ditolak, serta mengingat klaim-klaim yang berasal dari pengalaman orang lain (bukan pengalaman sendiri), maka bisa dikatakan bahwa, perasaan kesatuan yang dialami bukanlah agama langit, tapi merupakan budaya atau derajat yang berbeda-beda dari pengalaman religius individu yang tidak bisa digiring pada asumsi, bahwa agama-agama secara individu, yang mengalami

Dokumen terkait