• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Berdasarkan Hubungan Kedudukan

Dalam dokumen Penanggulangan Hilangnya Papila Interdental (Halaman 28-51)

BAB 3 : HILANGNYA PAPILA INTERDENTAL

3.3.2 Klasifikasi Berdasarkan Hubungan Kedudukan

Cemento-enamel junction (CEJ) dan Gigi yang Bersebelahan

Sistem klasifikasi dengan pemberian skor berdasarkan hubungan kedudukan di antara papila, cemento-enamel junction (CEJ) dan gigi disebelahnya dikenal dengan papilla presence index (PPI).11

Papila Presence Index skor 1 (PPI 1) : bila keberadaan papila sempurna dan perluasan koronal ke titik kontak mengisi embrasur interproksimal secara sempurna. Papila ini sama tinggi dengan papila gigi disebelah.11

Gambar 8 : Papila Presence Index skor 1 (PPI 1), keberadaan papila sempurna (Cardaropoli Daniele. J

Perio Rest Dent 2004; 24: 491)

Gambar 9 : Papila Presence Index skor 1 (PPI 1) dengan diastema interdental (Cardaropoli Daniele. J

Perio Rest Dent 2004; 24: 492)

Papila Presence Index skor 2 (PPI 2) : bila keberadaan papila kurang sempurna dan terletak apikal dari titik kontak. Papila ini tidak berada pada level yang sama dengan papila gigi yang disebelah. Embrasur tidak terisi secara sempurna, tetapi interproksimal CEJ ( iCEJ ) masih belum terlihat.11

Gambar 10 : Papila Presence Index skor 2 (PPI 2), keberadaan papila kurang sempurna, tetapi CEJ

interproksimal belum kelihatan (Cardaropoli Daniele. J Perio Rest Dent 2004; 24: 491)

Gambar 11 : Papila Presence Index skor 2 (PPI 2) dengan diastema interdental (Cardaropoli Daniele. J

Perio Rest Dent 2004; 24: 492)

Kedua skor PPI1 dan PPI2 dipersulit oleh kehadiran resesi gingiva bukal, diklasifikasikan sebagai PPI 1r dan PPI 2r.11

Papila Presence Index skor 3 (PPI 3) : bila keberadaan papila lebih apikal dan iCEJ menjadi terlihat. Keadaan ini sama dengan resesi jaringan lunak interdental dalam jumlah besar.11

Gambar 12 : Papila Presence Index skor 3 (PPI 3), keberadaan papila kurang sempurna dan CEJ

interproksimal dapat terlihat (Cardaropoli Daniele. J Perio Rest Dent 2004; 24: 491)

Gambar 13 : Papila Presence Index skor 3 (PPI 3) dengan diastema interdental (Cardaropoli Daniele. J

Perio Rest Dent 2004; 24: 492)

Papila Presence Index skor 4 (PPI 4) : bila papila terletak apikal dan kedua CEJ yakni interproksimal CEJ ( iCEJ ) dan bukal CEJ ( bCEJ ) dapat terlihat. Resesi jaringan lunak interproksimal terdapat bersamaan dengan resesi gingiva bukal dan estetik pasien digambarkan dramatis.11

Gambar 14 : Papila Presence Index skor 4 (PPI 4), keberadaan papila kurang sempurna dan kedua CEJ

yakni interproksimal dan bukal dapat terlihat (Cardaropoli Daniele. J Perio Rest Dent 2004; 24: 491)

Gambar 15 : Papila Presence Index skor 4 (PPI 4) dengan diastema interdental (Cardaropoli Daniele. J

Perio Rest Dent 2004; 24: 492)

Indeks klasifikasi yang dikemukakan di atas dapat memberikan penilaian yang mudah terhadap tinggi papila pada semua keadaan klinis dan memberikan perbandingan level papila pada saat awal dan setelah perawatan.11

BAB 4

PROSEDUR PERAWATAN UNTUK MENANGGULANGI PAPILA INTERDENTAL YANG HILANG

Beberapa upaya telah dilakukan untuk merawat dan memperbaiki kehilangan papila interproksimal. Bila hilangnya papila berhubungan hanya dengan kerusakan jaringan lunak, maka teknik rekonstruktif dapat memperbaikinya secara utuh. Bila hilangnya papila interdental disebabkan oleh suatu penyakit periodontal yang parah dengan resorpsi tulang interproksimal, maka tindakan rekonstruksi saja biasanya tidak akan berhasil untuk menanggulanginya.4

Pada bab ini akan dibahas mengenai prosedur perawatan untuk menanggulangi papila interdental yang hilang yakni meliputi prosedur periodonsia, kombinasi prosedur periodonsia dengan ortodonsia, prosedur konservasi, dan prosedur prostodonsia dalam menanggulangi hilangnya papila interdental.

4.1 Prosedur Periodonsia

Karena nilai estetis dari papila interproksimal, maka prosedur periodonsia yang terdiri dari beberapa teknik seperti kuretase berulang terhadap papila dan rekonstruksi papila dikemukakan untuk menanggulangi perusakan estetis.4

4.1.1 Kuretase Berulang Terhadap Papila

Suatu laporan kasus oleh A.Shapiro pada tahun 1985 menggambarkan suatu tindakan nonbedah untuk pembentukan kembali papila yang rusak oleh karena gingivitis nekrotis. Skeling / penyerutan akar (S-PA) dan kuretase berulang terhadap jaringan papila

dilakukan setiap 15 hari selama tiga bulan. Instrumentasi ini dapat menyebabkan reaksi inflamasi hiperplastik proliferatif dari papila.3,4 Dalam perkembangannya, tidak diperoleh data lebih lanjut terhadap teknik ini. Keterangan gambar di bawah ini diperoleh dari Prof. M. Caffabriga.

Gambar 16: Kiri atas: Hilangnya papila interdental di antara insisivus sentral dan lateral maksila. Kuretase berulang pada papila interdental dilakukan setiap 15 hari. Kanan atas: Kasus sama setelah satu bulan. Kiri bawah: Kasus sama setelah dua bulan. Kanan bawah: Kasus sama setelah tiga bulan. Regenerasi sempurna dari jaringan interdental tercapai. (Prato GPP. J Perio Rest Dent 2004;24:251.)

4.1.2 Rekonstruksi Papila

Sebelum dilakukan rekonstruksi papila, penting untuk menilai jarak vertikal di antara titik kontak dengan krista tulang alveolar dan jarak vertikal di antara titik kontak dengan tinggi jaringan lunak pada daerah interdental. Jika jarak di antara krista tulang dengan titik kontak ≤ 5 mm dan jarak antara papila dengan titik kontak ≤ 4 mm, maka dapat dilakukan tindakan bedah untuk meningkatkan volume papila dalam menanggulangi masalah black triangle interdental. Jika titik kontak berada pada jarak > 5 mm dari krista tulang akibat kehilangan jaringan periodontal pendukung atau

hubungan kontak interdental yang tidak tepat, berarti untuk memperpanjang titik kontak ke arah apikal dibutuhkan suatu teknik khusus bukannya suatu usaha yang berhubungan dengan pembedahan untuk memperbaiki topografi papila. Hingga kini, berbagai macam prosedur telah dikemukakan untuk merekonstruksi papila.3

Pada tahun 1996, Han dan Takei mengemukakan suatu tindakan berdasarkan penggunaan insisi semilunar pada mukosa alveolar daerah interdental. Insisi intrasulkular digabung dengan insisi semilunar untuk memungkinkan pembukaan flep ketebalan sebagian dan flep ditempatkan ke koronal pada gingivopapila. Cangkok jaringan ikat gingiva bebas subepitel ditempatkan di bawah jaringan interdental yang diposisikan secara koronal. Prosedur dapat diulang dua atau tiga kali setelah dua sampai tiga bulan penyembuhan untuk mencapai rekonstruksi papila.2-4

Gambar 17: Kiri atas: teknik untuk meninggikan papila interproksimal: insisi semilunar memungkinkan penempatan cangkok jaringan ikat di bawah jaringan interdental yang ditempatkan secara koronal. Kanan atas: papila interdental setelah dua minggu jahitan dilepas. Kiri bawah: penyembuhan setelah satu bulan. Kanan bawah: penyembuhan setelah tiga bulan. (Prato GPP. J Perio Rest Dent 2004;24:253.)

Teknik yang paling umum dan secara luas digunakan adalah teknik yang dikemukakan oleh Azzi dkk pada tahun 1998 yang juga menggunakan cangkok jaringan ikat. Azzi dkk mengemukakan tiga teknik rekonstruksi yang berbeda.3,4

Teknik yang pertama bertujuan untuk merekonstruksi papila interdental dengan menggunakan flep ketebalan sebagian pada bagian bukal dan palatal serta cangkok jaringan ikat. Flep amplop (envelope flap) ketebalan sebagian dibuka ke arah bukal dan palatal untuk penempatan cangkok jaringan ikat yang diambil dari daerah tuberositas. Ukuran dan bentuk cangkokan dipotong sesuai dengan kebutuhan serta bentuk flep. Flep bukal dan palatal kemudian dijahit bersama-sama dengan jaringan ikat yang dicangkokkan pada bagian dalam.3,4

Teknik yang kedua dilakukan untuk memperoleh penutupan akar dan rekonstruksi papila pada resesi klas IV. Cangkok jaringan ikat subepitel yang diambil dari daerah tuberositas ditempatkan pada flep amplop yang dibuka dengan terlebih dahulu dilakukan insisi pada batas mukogingiva. Jaringan ikat dan pemindahan koronal dari flep memungkinkan perawatan bersama terhadap resesi gingiva dan kehilangan papila interproksimal.3,4

Teknik yang ketiga dilakukan untuk meningkatkan volume jaringan interdental dengan modifikasi teknik kedua antara lain dengan penggunaan cangkok tulang yang diambil dari daerah tuberositas dan cangkok jaringan ikat bebas palatal disisipkan pada flep amplop.3,4

Gambar 18: Gambaran skematis menggambarkan cangkok jaringan ikat yang disisipkan di bawah flep pada daerah interdental (Krishnan IS. J Prosthodont 2006;6:166.)

Berikut laporan kasus yang dikemukakan oleh Carnio J. yakni rekonstruksi bedah papila interdental dengan menggunakan cangkok jaringan ikat subepitel pada seorang wanita sehat dan tidak merokok berusia 20 tahun yang dirujuk kepadanya untuk melakukan rekonstruksi atas kehilangan papila interdental di antara gigi insisivus sentral dan lateral kiri maksila (Gambar 19 dan 20). Pasien dilaporkan telah mengalami prosedur bedah regenerasi jaringan terarah (GTR) pada daerah tersebut dengan tingkat keberhasilan yang terbatas. Pasien mengeluh akan masalah estetik dan fonetiknya. Hasil pemeriksaan klinis menemukan adanya garis senyum yang tinggi, resesi gingiva klas IV pada bagian bukal gigi insisivus sentral dan lateral kiri maksila, dan kehilangan papila klas III di antara gigi tersebut dengan destruksi pada daerah bukal/palatal. Jaringan lunak secara klinis terlihat sehat dengan kedalaman sulkus minimal dan terapi inisial hanya berupa instruksi oral higiene. Hasil pengukuran klinis awal dapat dilihat pada tabel berikut.2

Tabel 1: Hasil Pengukuran Klinis Awal dan Akhir (Carnio J.J Perio Rest Dent 2004; 24: 33.)

Hasil pengukuran awal dan akhir ( mm )

Pengukuran Awal Akhir

Resesi fasial ( gigi insisivus sentral ) 2,0 0,0 Resesi fasial ( gigi insisivus lateral ) 2,0 0,0 Jarak dari titik kontak ke margin gingiva 5,5 0,0 Jarak horizontal di antara kedua akar 3,5 0,0 Jarak dari titik kontak ke krista tulang alveolar 9,5 9,5

Gambar 19: Gambaran prabedah pada wanita berusia 20 tahun yang kehilangan papila interproksimal parah sebagai akibat kegagalan prosedur GTR (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 32.)

Gambar 20: Gambar radiografi prabedah memperlihatkan jarak 9,5 mm dari titik kontak ke krista tulang alveolar (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 32.)

Gambar 21: Pengukuran prabedah. A = resesi fasial pada insisivus sentralis kiri maksila; B = resesi fasial pada insisivus lateral kiri maksila; C = jarak dari titik kontak ke margin gingiva; D = jarak horizontal di antara akar; E = jarak dari titik kontak ke krista tulang alveolar (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 33.)

Setelah terapi inisial, jaringan gingiva yang mengelilingi insisivus sentral dan lateral maksila tampak sehat. Kemudian dilakukan pemberian anastesi lokal dan insisi semilunar ketebalan sebagian yang dibuat 2 mm dari koronal ke batas mukogingiva dan diperluas dari mesial insisivus sentral ke distal insisivus lateral. Dilanjutkan dengan insisi intrasulkular yang mengelilingi leher gigi dan diperluas dari bukal ke palatal. Papila yang ada dipertahankan sepenuhnya (Gambar 22). Setelah prosedur ini, dilakukan pengambilan jaringan donor yakni jaringan ikat palatal dengan ketebalan 2 mm dari daerah premolar. Kemudian dibentuk sesuai dengan daerah interproksimal dan dicelupkan dalam saline.2

Gambar 22: Insisi bukal semilunar dibuat 2 mm dari koronal ke batas mukogingiva dan diperluas dari bagian mesial insisivus sentral ke distal insisivus lateral. Insisi intrasulkular dipersiapkan sedemikian rupa sehingga mengelilingi leher gigi yang bersangkutan, perluasan dari bagian bukal ke palatal. Catatan: papila interproksimal yang ada dipertahankan sepenuhnya (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 34.)

Untuk melepaskan gingivopapila dari tulang, digunakan pisau Orban dengan membentuk flep ketebalan sebagian melalui insisi semilunar pada permukaan bukal yang diperluas ke arah palatal (Gambar 23). Dalam menjalankan prosedur ini sangat diperlukan ketelitian untuk mencegah perforasi jaringan palatal dan rusaknya papila interproksimal. Setelah insisi, jaringan lunak secara utuh dilepaskan dari akar dan tulang.

Suatu kekosongan (dead space) dapat terlihat di antara jaringan lunak dan struktur tulang (Gambar 24).2

Gambar 23: Pisau Orban digunakan untuk melepaskan gingivopapila dari tulang (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 34.)

Gambar 24: Kekosongan bukal/palatal diamati di antara jaringan lunak dan tulang (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 34.)

Cangkok jaringan ikat dimasukkan pada dead space dan distabilkan dengan menggunakan jahitan palatum – graf – palatum (Gambar 25). Mukosa alveolar kemudian diseksi agar jaringan dapat ditempatkan ke koronal tanpa memberikan tekanan berlebih pada struktur papila. Pada tahap awal dilakukan penjahitan insisi semilunar agar tercapai penutupan primer (Gambar 26). Perawatan pasca bedah berupa obat kumur klorheksidin 0,12 % digunakan tiga kali sehari selama empat minggu tanpa dilakukan pembersihan mekanis pada daerah interproksimal. Prosedur bedah dilakukan kembali dua kali dengan

tahapan prosedur yang sama pada daerah yang sama dengan interval waktu delapan minggu (Gambar 27).2

Gambar 25: Penempatan cangkok jaringan ikat subepitel diletakkan untuk mengisi ruang dan mempertahankan gingivopapila koronal. Bahan cangkokan dimasukkan dan distabilkan menggunakan jahitan palatum – graft – palatum (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 34.)

Gambar 26: Insisi semilunar dijahit untuk meningkatkan penyembuhan sebagai tujuan prosedur pertama (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 34.)

Gambar 27: Gambaran pascabedah, 8 minggu setelah prosedur pertama (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 34.)

Pada tahap lanjutan, pemulihan pada ketiga prosedur bedah tidak memperlihatkan timbulnya masalah yang berarti (Gambar 28). Empat tahun setelah prosedur bedah, ruang interproksimal masih terisi sempurna. Tinggi dan volume papila yang direkonstruksi dapat dipertahankan. Resesi bukal yang ada sebelumnya pada gigi insisivus sentral dan lateral kiri maksila menjadi tertutup dan kedalaman sulkus disekeliling gigi tersebut tidak melebihi 2,5 mm (Gambar 29).2

Gambar 28: Pengulangan prosedur bedah memberikan hasil adanya migrasi koronal yang banyak dari margin gingiva (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 35.)

Gambar 29: Hasil akhir setelah 4 tahun menunjukkan rekonstruksi papila yang sempurna (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 35.)

Gambar 30: Gambaran radiografi akhir. Krista tulang alveolar berada pada level yang sama dengan level awal (Carnio J. J Perio Rest Dent 2004; 24: 35.)

4.2 Kombinasi Prosedur Periodonsia dengan Ortodonsia

Pada keadaan diastema, titik kontak hilang dan menyebabkan papila interdental menjadi tiada. Jika keadaan periodontal sehat, jaringan gingiva interproksimal melekat dengan erat pada gigi dan tulang alveolar. Tindakan ortodonsia diindikasikan pada keadaan ini. Tujuannya adalah untuk mengurangi diastema dan menciptakan titik kontak di antara gigi yang bersebelahan.3,4 Sesungguhnya, penutupan yang tepat dari diastema menyebabkan jaringan gingiva interproksimal beberapa derajat bergerak ke arah koronal (Gambar 31 dan 32). 4

Gambar 31: Modifikasi ruang interdental yang ditujukan untuk perawatan ortodonti : kasus klinis sebelum terapi (Prato GPP. J Perio Rest Dent 2004;24:250.)

Gambar 32: Penutupan diastema menyebabkan pergerakan ke koronal dari jaringan gingiva interproksimal (Prato GPP. J Perio Rest Dent 2004;24:250.)

Migrasi patologis pada gigi anterior maksila oleh karena hilangnya dukungan periodontal merupakan hal yang lazim. Migrasi ini dapat mengakibatkan ekstrusi gigi, kehilangan titik kontak, kehilangan papila, dan penampilan yang kurang estetis. Papila menjadi menyusut dalam ketiadaan kontak di antara gigi yang bersebelahan. 12,13

Berikut laporan kasus yang dikemukakan oleh Cardaropoli D. dan Re S. yakni prosedur augmentasi papila interdental yang diikuti perawatan ortodonsia pada seorang pasien periodontitis kronis lanjutan yang sebelumnya telah dirawat dengan skeling dan penyerutan akar (S – PA) dan memperlihatkan oral higiene baik dengan skor plak mulut ≤ 15 %. Keberadaan saku infraboni pada gigi insisivus sentral maksila dan kedalaman probing ≥ 6 mm menjadi indikasi untuk dilakukannya terapi bedah periodontal. Adanya migrasi dan ekstrusi pada gigi insisivus sentral dengan pembukaan diastema dan hilangnya papila interdental menjadi indikasi untuk dilakukannya perawatan ortodonsia (Gambar 33).5

Gambar 33 : Kiri: Migrasi gigi anterior, pembukaan diastema dan hilangnya papila midline. Kanan: Radiografi intraoral dini memperlihatkan hilangnya tulang interproksimal dengan cacat vertikal pada sisi mesial insisivus sentralis kiri (kanan) (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 656.)

Pasien menjalani bedah setelah dilakukan pemberian anastesi lokal articain 4 % ditambah epinephrine 1/100.000. Tipe akses bedah yang dipilih adalah teknik preservasi papila. Desain flep periodontal yang digunakan adalah insisi flep ketebalan penuh yang dibuat agar dapat mempertahankan jaringan selama akses ke daerah cacat tulang dan insisi interdental pada bagian bukal atau lingual (Gambar 34). Kemampuan untuk akses ke daerah cacat tulang, penerapan teknologi regeneratif dan penutupan luka merupakan kunci dari prosedur. Perluasan flep yang menghubungkan sisi distal dari kedua insisivus lateral dan insisi vertikal hanya dilakukan bila dibutuhkan akses bedah yang lebih baik (Gambar 35). Kemudian, jaringan granulasi disingkirkan secara sempurna dari cacat tulang dengan menggunakan kuret dan skeler, peralatan ultrasonik konvensional dan bur diamond yang dipasang pada handpiece contra-angled low-speed. Setelah itu, dilakukan debridement pada permukaan radikular. Pada tahap ini, daerah cacat diaugmentasi dengan menggunakan bahan cangkok tulang (collagen bovine bone mineral) tanpa menggunakan membran barrier (Gambar 36). Teknik penjahitan dipilih sesuai dengan anatomi dari kerusakan tulang supaya penutupan pasif pada margin luka tercapai dengan

membebaskan tarikan flep (Gambar 37). Kombinasi antara jahitan mattress horizontal dan jahitan interrupted dapat digunakan.5

Gambar 34: Flep dibuat berdasarkan modifikasi teknik preservasi papila (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 657.)

Gambar 35: Pandangan bukal intraoperatif dari cacat infraboni (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 657.)

Gambar 36: Cacat infraboni diaugmentasi dengan meletakkan bahan cangkok tulang (collagen bovine bone

mineral) (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 657.)

Gambar 37: Kombinasi antara jahitan mattress dan interrupted digunakan untuk memperoleh penutupan primer dari flep (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 657.)

Pasca bedah, pasien diberi analgesik non steroid seperti nimesulide 100 mg dua kali sehari selama lima hari, antibiotik oral seperti amoksisilin / potasium klavulanat 1 gr dua kali sehari selama enam hari dan berkumur dengan klorheksidin 0,2 % tiga kali sehari hingga pelepasan jahitan yakni dua minggu setelah bedah.5

Beberapa hari setelah jahitan dilepas, perawatan ortodonti aktif boleh dilakukan. Penggunaan teknik per segmen direkomendasikan karena kemampuannya memberi kekuatan yang ringan dan berkelanjutan (10 – 15 gr per gigi) dan menciptakan kekuatan pada pusat tahanan. Mekanisme intrusif dapat terdiri dari lengkung dasar atau dua kantilever yang terbuat dari kawat 0,017” x 0,025” TMA, penjangkaran dibuat dari lengkung palatal dan dua stainless steel 0,036” dihubungkan pada gigi posterior. Pesawat cekat harus dapat menahan migrasinya gigi dan menutup diastema dengan pergerakan 0,5 – 1 mm per bulan.5

Selama terapi ortodonsia, pesawat harus dikontrol setiap dua minggu. Untuk pemeliharaan oral higiene dengan profilaksis profesional dapat dilakukan setiap tiga bulan. Di akhir perawatan, gigi telah tertata kembali dengan jaringan lunak yang optimal dan migrasinya papila ke koronal mengisi embrasur interdental.5

Gambar 38: Kiri: Di akhir perawatan ortodonsia, jaringan lunak telah mengisi embrasur interproksimal. Kanan: Radiografi intraoral akhir memperlihatkan resolusi dari cacat infraboni (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 658.)

Gambar 39: Gambaran skematis migrasi gigi dengan diastema, hilangnya papila interdental dan keberadaan cacat infraboni (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 658.)

Gambar 40: Gambaran skematis dari objek perawatan. Gigi digerakkan secara ortodonsia pada cacat yang diaugmentasi dan sel ligamen periodontal distimulasi untuk berpindah ke permukaan akar. Penutupan diastema mendorong papila ke arah koronal ke dalam ruang interdental (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 659.)

Gambar 41: Gambaran skematis dari hasil akhir. Cacat infraboni diisi dengan prosedur augmentasi tulang dan pergerakan ortodonti. Papila yang distimulasi telah mengisi embrasur dan didukung oleh regenerasi krista tulang interdental. Jarak normal antara krista tulang dan titik kontak tercapai (Cardaropoli Daniele. J Periodontol 2005; 76: 659.)

4.3 Prosedur Konservasi

Jika black triangles disebabkan oleh anatomi mahkota gigi yang triangular, maka dibutuhkan perawatan rekonturing permukaan mahkota aproksimal untuk memperluas titik kontak dan memindahkan titik kontak ke servikal untuk mengisi ruang interdental. Resin komposit biasa digunakan sebagai bahan restorasi yang disisipkan sedikit ke dalam sulkus gingiva yang berfungsi sebagai arsitektur dento-gingiva yang menuntun bentuk interdental papila.9

Meskipun demikian, penggunaan bahan komposit harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ketebalan yang tidak semestinya yang dapat menyebabkan retensi plak, penekanan pada papila, inflamasi dan mengakibatkan masalah estetik.9

Gambar 42: Gambaran skematis dari perpindahan titik kontak (Prato GPP. J Perio Rest Dent 2004;24:250.)

4.4 Prosedur Prostodonsia

Ketika gigi diekstraksi, bentuk embrasur gingiva menjadi hilang. Respon normal papila terhadap hilangnya embrasur adalah dengan resesi jaringan 1,5 sampai 2,0 mm. Resesi ini dapat dicegah dengan penyisipan bentuk pontik yang benar yakni 2,5 mm ke dalam bagian yang diekstraksi pada hari yang sama dengan ekstraksi gigi. Bentuk embrasur gingiva dan papila dapat dipelihara (Gambar 43 dan 44). Setelah empat minggu, perluasan 2,5 mm dari pontik dikurangi menjadi 1,0 – 1,5 mm untuk memudahkan higiene oral. Prosedur ini dapat memelihara papila disamping gigi abutment selama tulang pada gigi tersebut berada pada level normal (Gambar 45 dan 46).14 Pontik ovate memberikan penampilan yang baik dan bantuan terhadap pemeliharaan papila interdental pasca ekstraksi (Gambar 47).3

Gambar 43: Kunci untuk memelihara papila interproksimal adalah dengan perluasan pontik ovate 2,5 mm ke dalam bagian yang diekstraksi pada hari yang sama dengan ektraksi gigi. Hal ini akan memelihara bentuk embrasur gingiva dan tinggi papila interproksimal (Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. Carannza’s Clinical Periodontology 2006:1063.)

Gambar 44: Gambaran penempatan restorasi sementara pada hari yang sama dengan ekstraksi gigi. Pontik dimasukkan ke dalam soket 2,5 mm. Terbentuknya ruang untuk pemulihan kembali papila ke arah koronal. (Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. Carannza’s Clinical Periodontology 2006:1063.)

Gambar 45: Sembilan bulan setelah penempatan restorasi sementara (Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. Carannza’s Clinical Periodontology 2006:1063.)

Gambar 46: Gambaran dua tahun setelah penggunaan protesa tetap yang memperlihatkan bagaimana pontik ovate telah memelihara bentuk papilla (Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. Carannza’s Clinical Periodontology 2006:1063.)

Gambar 47: Gambaran skematis ilustrasi hubungan antara pontik ovate dan papila interdental (Krishnan IS. J Prosthodont 2006;6:167.)

--- ooOoo ---

Dalam dokumen Penanggulangan Hilangnya Papila Interdental (Halaman 28-51)

Dokumen terkait