• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muzzio et al. (2004) berpendapat bahwa di dalam seluruh kurikulum bidang engineering, proses yang bergantung pada pencampuran (seperti reaksi kimia, kristalisasi, dan pengisian) mengasumsikan bahwa campuran tersebut homogen. Khususnya untuk partikel yang ukurannya relatif kecil cenderung untuk terlihat lebih seragam jika dilihat dengan mata telanjang dibandingkan kondisi sebenarnya. Hal ini juga umumnya sering terjadi di dalam perilaku terhadap menandang tingkat kehomogenan campuran bubuk. Sayangnya di dalam kenyataan, campuran cenderung menunjukkan paling tidak sedikit tingkat keheterogenan membentuk tipe campuran yang berbeda yang dipengaruhi oleh salah satu dari tiga penyebab utama yaitu incomplete mixing, agglomeration, dan segregation.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 9. Skema Distribusi Campuran Partikel. (a) perfect mixture

(b) random mixture (c) perfect ordered mixture (d) random ordered mixture Sumber : Muzzio et al. (2004)

Konsep sistem homogen yang paling utama dan paling sederhana adalah campuran yang secara sempurna seragam pada seluruh bagian formasi (Gambar 9a). Formasi sempurna tersebut tidak akan pernah benar-benar terjadi di dalam kenyataan melainkan pada umumya kondisi terbaik terjadi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9b dengan acuan kesesuaian proporsi komponen-komponen di dalam campuran dengan proporsi masing-masing komponen bahan penyusun campuran tersebut. Untuk sistem kohesif yaitu terdapat gaya permukaan di antara partikel, umumnya teramati pembentukan aglomerat (partikel gabungan yang dianggap sebagai suatu sepesies partikel baru) yang terdiri dari beberapa partikel yang sejenis atau berbeda jenis bergantung pada gaya interaksi antar-partikel. Pada kondisi demikian, secara konsep disebut sebagai ordered mixture. Sama seperti konsep awal mengenai

22 kehomogenan, distribusi partikel gabungan dapat membentuk susunan ideal secara sempurna seragam seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9c atau secara acak dengan sedikit kurang homogen seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9d. Menurut Manjunath et al. (2004), ketika dua atau lebih komponen interaktif dicampur, sebuah struktur atau susunan dapat terbentuk sebagai hasil dari aglomerasi atau kohesi dari komponen yang satu dengan komponen yang lain. Ordered mixture yang sempurna dapat diperoleh dengan cara:

1. Aplikasi energi yang cukup untuk memecahkan gumpalan dan mendistribusikannya pada permukaan kosong partikel carrier.

2. Memastikan tercapainya pergerakan acak partikel carrier.

Bentuk campuran interactive dan noninteractive dapat menjadi dasar dari variasi tipe campuran yang lain. Jelas terdapat beberapa kombinasi yang memungkinkan, bergantung pada jumlah komponen dan bentuk interaksi mereka seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10. Dapat dikatakan bahwa densitas dan sifat mekanis dari berbagai campuran akan bergantung pada ukuran dan sifat permukaan dari partikel agregat yang harus diperlakukan seolah mereka adalah spesies partikel yang baru (Peleg, 2005).

Gambar 10. Skema Beberapa Tipe Campuran Partikel Sumber : Peleg (2005)

23 Menurut Peleg (2005), campuran dapat dibagi menjadi dua tipe utama dengan titik berat perbedaan struktur yaitu:

1. Noninteractive atau random mixtures. Umumnya bubuk atau material granular dengan ukuran partikel yang kurang lebih seragam. Partikel- partikel dapat bergerak dengan bebas dengan sedikit interupsi karena tidak ada gaya interaksi antar-partikel yang cukup signifikan. Akibatnya setiap partikel memiliki peluang yang sama untuk ditemukan di manapun di dalam curah. Selain itu, partikel dari setiap spesies yang ada lebih cenderung terdistribusi secara merata dan acak di sekitar partikel lainnya di dalam campuran. Jika perbedaan diantara komponen- komponen tersebut kecil atau tidak ada, campuran tersebut pada dasarnya stabil dan tidak akan terjadi segregasi.

2. Interactive atau ordered mixtures. Campuran tersebut biasanya

terbentuk ketika terdapat “carrier” (partikel yang relatif lebih besar ukurannya) dengan permukaan yang dapat berinteraksi dengan partikel yang lebih kecil ukurannya dan cenderung untuk menempel pada

carrier. Campuran semacam ini terbentuk seperti saat penambahan anti kempal ke dalam bubuk utama atau ketika pewarna pangan ditambahkan ke dalam campuran gula atau asam untuk membentuk bubuk kering minuman rasa buah. Dapat juga terjadi secara spontan seperti di dalam kasus penambahan partikel yang berukuran lebih kecil pada permukaan yang baru terbentuk selama atau sesaat setelah proses penggilingan. Prinsip dasarnya partikel yang lebih kecil ukurannya melekat pada permukaan carrier yang ukurannya lebih besar dan tidak bebas untuk bergerak. Partikel tersebut tetap terikat pada carrier dan tidak dapat bergerak acak secara individu di dalam curah.

G. KRISTALISASI LEMAK

Marangoni (2005) menyatakan bahwa lemak biasanya harus didinginkan di bawah titik lelehnya paling sedikit 5 sampai 10oC sebelum mulai terjadi kristalisasi. Jika baru mencapai beberapa derajat sedikit di bawah titik lelehnya, lelehan masih berada pada kondisi metastabil belum membentuk inti kristal. Semakin turun suhu di bawah titik lelehnya,

24 terbentuklah inti kristal stabil pada ukuran kritis yang spesifik. Molekul- molekul lemak harus membentuk konformasi yang spesifik untuk membentuk inti kristal yang stabil. Pengaruh kotoran (impurities) pada proses kristalisasi dapat meningkatkan pembentukan inti kristal atau menghambat karena terjadi gangguan pembentukan formasi yang stabil. Struktur kristal lemak memiliki pengaruh yang sangat besar pada sifat fisik lemak.

Gambar 11. Perubahan Polymorphic Kristalisasi dan Rekristalisasi Lemak Sumber: Wesdorp et al. (2005)

Kemampuan molekul-molekul lemak (trigliserida) untuk mengkristal dalam berbagai bentuk susunan kristal yang dipengaruhi oleh kondisi proses (laju pendinginan, suhu terjadinya kristalisai, laju pengadukan, dan komposisi lemak itu sendiri) disebut dengan polymorphism (Metin dan Hartel, 2005). Humphrey dan Narine (2005) juga menyatakan bahwa lemak fase padat dapat terbentuk dalam beberapa bentuk polymorph yang berbeda dan setiap jenis

polymorph dapat membentuk beberapa keadaan mikrostruktur yang berbeda. Adatiga bentuk polymorphic utama yang telah teridentifikasi di dalam lemak

dan minyak yaitu bentuk α, β’, dan β. Bentuk α adalah metastabil dan terus bertransformasi menjadi bentuk yang lebih stabil. Bentuk kristalin β lebih stabil daripada β’. Transformasi bentuk polymorphic dapat terjadi baik melalui atau tanpa melalui proses pelelehan (Marangoni, 2005). Transformasi tanpa melalui pelelehan hanya searah menuju formasi yang lebih stabil dan bersifat eksotermal (Rye et al., 2005).

Pada proses pemanasan (pencairan), lemak fase padat berbentuk kristal α memiliki titik leleh yang lebih rendah daripada bentuk β’. Bentuk β’ memiliki titik leleh yang lebih rendah dari bentuk β. Demikian juga dengan tingkat kepadatan dan kestabilan, bentuk kristal α paling kecil dan paling paling besar bentuk kristal β. Walaupun demikian dalam proses kristalisasi

25

lemak (pembekuan dengan penurunan suhu), bentuk α lebih cepat terbentuk

dibandingkan bentuk kristal β’dan β.

Menurut Wesdorp et al. (2005), pada setiap triacylglycerol (TAG) hanya terdapat tiga bentuk polymorphicyang berbeda yaitu bentuk α, β’, dan

β yang dapat dibentuk secara langsung dari lelehan dengan mengatur besarnya perbedaan suhu di bawah titik leleh. Menurut Sato dan Ueno (2001), sifat polymorphic lemak itu sendiri juga mempengaruhi laju kristalisasi selain kondisi perbedaan suhu di bawah titik leleh. Bentuk β’ adalah bentuk yang stabil untuk TAG berantai genap dan beberapa pada TAG berantai ganjil. Pada beberapa TAG lainnya berubah menjadi bentuk β dalam beberapa menit atau sampai beberapa jam. Dalam TAG campuran, perubahan ini sering tertunda sampai beberapa bulan atau tahun. Dengan demikian bentuk β’ adalah bentuk yang paling sering dijumpai dalam produk lemak umumnya. Bentuk β yang stabil lebih mudah terbentuk pada produk lemak yang memiliki komposisi TAG yang seragam.

Gambar 12. Hubungan yang Mempengaruhi Karakteristik Makro Kristal Lemak Sumber: Rye et al. (2005)

Pengendalian kristalisasi dapat dilakukan dengan memahami karakter dari lemak yang bersangkutan dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses kristalisasi. Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik

26 makro lemak padat dapat dilihat pada Gambar 12. Sifat fisik dari fase padat komponen berantai panjang dipengaruhi oleh struktur kristal, oleh karena itu teknologi untuk membuat fase padat yang sesuai dengan yang diharapkan memiliki peranan yang penting di dalam industri (Kaneko, 2001). Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak diantaranya adalah komposisi kimia, perbedaan suhu di bawah titik leleh, laju penurunan suhu, pengadukan, kemurnian, dan skala operasi (Metin dan Hartel, 2005).

H. DESAIN PERALATAN

Desain peralatan seperti silo, hopper dan bin biasanya bukanlah tujuan utama dalam melakukan desain pabrik karena mereka tidak banyak berkontribusi dalam proses yang bernilai tambah (Schulze, 2008). Walaupun demikian desain yang tidak sesuai dapat menyebabkan masalah aliran bahan yang berdampak terhadap kualitas produk dan gangguan proses produksi. Indikasi umum terjadinya masalah aliran bahan adalah teramatinya bekas pemukulan pada dinding hopper seperti yang terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Bekas Pemukulan Mengindikasikan Masalah Aliran Bahan Sumber: Schulze (2008)

Desain hopper dan feeder yang kurang baik menyebabkan pengeluaran bubuk yang tidak seragam seperti yang terjadi pada pola aliran

funnel flow. Masalah-masalah aliran dapat terjadi akibat faktor peralatan (seperti desain hopper dan feeder) dan juga faktor karakteristik (seperti friksi

27 terhadap peralatan dan kelengketan) dari material (Schulze, 2008). Pertama- tama perlu diketahui karakteristik material untuk melakukan kegiatan desain silo, hopper, dan bin. Industri yang menangani material bubuk curah secara rutin mengalami downtime yang tidak terjadwal, sebagian besar disebabkan oleh kegagalan proses akibat kondisi mampet (hang-up) dan terhentinya aliran (stagnant flow) karena oleh sifat aliran kohesif dan desain peralatan yang tidak sesuai (Johanson, 2005).

Menurut Barbosa-Cánovas et al. (2005), berdasarkan sudut pandang pola aliran terdapat tiga macam bentuk dasar yang dapat terjadi di dalam

hopper yang simetris ukurannya yaitu mass flow, funnel flow, dan expanded flow. Masing-masing pola aliran dapat dilihat pada Gambar 14. Pola aliran yang terbentuk dalam hopper dipengaruhi oleh faktor desain hopper dan

feeder yang menjadi sebuah kesatuan.

Gambar 14. Skema Pola Aliran di Dalam Hopper Sumber: Barbosa-Cánovas et al. (2005)

28 Pada pola aliran mass flow, hopper cukup curam dan halus untuk menyebabkan terjadi aliran dari semua partikel tanpa daerah stagnan atau stabil selama pengeluaran bahan. Semua partikel pada semua titik bergerak di dalam hopper saat terjadi pengeluaran material dari outlet. Pola mass flow

dapat menjamin terjadinya pengeluaran seluruh isi bin dengan laju aliran

yang seragam, pola urutan “first-in, first-out” (FIFO), dan meminimalkan terjadinya segregasi. Pola mass flow secara umum dianjurkan untuk bahan yang kohesif, berubah seiring waktu, bubuk berukuran partikel kecil, dan bubuk yang tidak boleh mengalami segregasi.

Pola aliran funnel flow terjadi ketika hopper tidak cukup curam atau halus untuk menyebabkan bumbu mengalir di sepanjang dinding hopper. Pola ini juga terjadi jika outlet tidak cukup efektif mengeluarkan bahan dari dalam

hopper. Pada funnel flow bahan mengalir hanya pada daerah tertentu dan sebagian daerah lainnya tidak bergerak. Pola aliran ini cocok untuk material dengan ukuran partikel yang besar dan bersifat mudah mengalir. Pola urutan pengeluaran material yaitu “first-in last-out” tidak cocok untuk material yang

berukuran partikel kecil dan mengalami perubahan seiring waktu. Peluang masalah aliran seperti mampet dan terjadi segregasi terhadap material yang dikeluarkan lebih besar pada pola aliran funnel flow dibandingkan mass flow.

Pola aliran expanded flow terjadi akibat penggabungan bagian hopper mass flow dan funnel flow. Pada bagian atas hopper terjadi pola funnel flow

sementara pada bagian bawah terjadi pola mass flow. Pola aliran ini dianjurkan untuk penyimpanan material yang tidak berdegradasi dalam jumlah yang besar (beberapa ton). Pola aliran seperti ini dilakukan untuk mempertimbangkan ketinggian hopper sehingga kekuatan dinding hopper

cukup kuat menahan beban yang besar.

Berdasarkan bentuknya, sebagian besar hopper dapat digolongkan dalam bentuk conical atau planar. Hopper bentuk pyramidal dimasukkan ke dalam golongan conical berdasarkan sudut pandang alirannya (Marinelli, 2005). Bentuk planar lebih mampu mengakomodasi material pada rentang karakteristik flowability yang lebih lebar dibandingkan bentuk conical. Acuan pertimbangan desain hopper antara bentuk conical dan wedge dapat dilihat

29 pada Gambar 15. Semakin kohesif material dan semakin besar gaya gesek yang terjadi antara material dan dinding hopper maka nilai φw semakin besar. Nilai φw hanya dapat ditentukan melalui shear test dan tidak ada cara lain yang dapat menyajikan informasi tersebut (Carson, 2008). Beberapa macam bentuk hopper dapat dilihat pada Gambar 16. Bentuk pyramidal (e) sering ditemukan di industri tidak direkomendasikan karena material harus melewati himpitan dinding hopper sehingga gesekan terjadi pada kedua sisi (Schwedes, 2001).

Gambar 15. Grafik Acuan Desain Bentuk Hopper Sumber: Carson(2008)

Gambar 16. Beberapa Desain Bentuk Hopper. (a) conical (b) wedge

(c) transition (d) chisel (e) pyramidal (f) transition Sumber: Schwedes (2001)

30 Desain juga feeder perlu menunjang terjadinya pola aliran pola aliran

mass flow walaupun hopper telah didesain dengan baik. Jika feeder tidak mendukung maka pola aliran akan tetap dalam pola funnel flow. Menurut Schulze (2008), terdapat dua aturan utama mengenai feeder agar hopper dapat menghasilkan mass flow yaitu:

1. Segala macam lempengan yang kurang curam sehingga dapat menyebabkan timbul daerah stagnan harus dihindari.

2. Feeder harus mampu mengeluarkan material dari seluruh bagian bukaan

31

IV.

METODOLOGI

A. LANGKAH KERJA

1. Observasi

Pengamatan langsung di area produksi dan wawancara kepada karyawan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh proses produksi dan metode kerja dalam kegiatan produksi bumbu pelezat serbaguna. Pengamatan intensif dilakukan pada mesin pengemas, kegiatan produksi bumbu secara menyeluruh, karakteristik bumbu sebelum masuk ke dalam mesin pengemas, bahan baku, dan metode kerja. Pengamatan dan penelusuran masalah dilakukan terhadap varian Ayam saja dengan pertimbangan kestabilan dan besarnya volume produksi varian tersebut dibandingkan varian yang lain.

2. Identifikasi Faktor Penyebab Masalah

Identifikasi faktor penyebab masalah ditentukan berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan. Pengkondisian khusus pada proses produksi tidak memungkinkan dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan produksi yang cukup tinggi dan kompleksitas proses produksi yang tidak dapat dikendalikan. Standar perusahaan, literatur, dan hubungan sebab akibat menjadi acuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah. Uji laboratorium tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan tidak mampu menggambarkan kondisi sebenarnya yang terjadi pada proses produksi.

3. Analisis Langkah Perbaikan

Penentuan pilihan langkah perbaikan dilandasi analisis faktor penyebab masalah yang telah teridentifikasi dan pertimbangan hasil perbaikan yang dapat diperoleh dari tindakan perbaikan yang dilakukan. Langkah perbaikan lebih terarah untuk menyelesaikan akar permasalahan yang menyebabkan masalah inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas.

32

Dokumen terkait