• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Identifikasi Masalah

5. Pengamatan Proses Produksi

Menurut Levy dan Kalman (2001), sifat curah (bulk properties) dari bubuk pangan adalah fungsi dari sejarah sistem secara keseluruhan. Sejarah yang dialami material curah (baik bahan baku, proses,

64 penanganan, dan penyimpanan) dapat berdampak besar terhadap sifat dan kelakuan material tersebut. Pemikiran serupa juga dinyatakan oleh Barbosa-Cánovas dan Juliano (2005) bahwa karakteristik fisik dari bubuk secara umum saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Perubahan apapun dari karakteristik bubuk dapat menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap densitas kamba bubuk (Peleg, 1983). Perubahan yang sangat kecil pada densitas kamba bubuk dapat menyebabkan perubahan kemudahan mengalir (flowability) yang besar (Levy dan Kalman, 2001). Oleh sebab itu pengamatan proses produksi secara menyeluruh dapat memberikan gambaran aktual bagaimana produksi bumbu dilakukan dan sekaligus menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fenomena karakteristik bumbu yang kohesif beserta penyebab fluktuasi tingkat kelengketan (cohesiveness) bumbu yang berdampak buruk terhadap sistem penakaran mesin pengemas.

a. Parameter Waktu Proses Mixing

Pengukuran waktu mixing pada hari pertama menunjukkan bahwa proses mixing belum terkendali dengan baik. Standar perusahaan untuk proses mixing bumbu varian Ayam adalah 25% waktu mixing

untuk tahap pertama (Mixing I) dan 75% sisa waktu mixing untuk tahap berikutnya (Mixing II). Sebagian besar proses mixing sudah diselesaikan dengan dilakukannya unloading bumbu sebelum timer

mencapai titik akhir proses yang telah ditentukan. Hanya ada 4 dari 20

batch bumbu yang di-unloading setelah timer mencapai titik akhir. Selain itu sebagian besar parameter waktu proses Mixing I juga belum mencapai standar. Waktu Mixing I pada batch ke-16 lebih dari 25% karena lemak nabati belum siap saat mixer sudah dijalankan. Pengukuran hari ke-2 juga menunjukkan proses mixing yang belum terkendali. Hanya ada 3 dari 20 batch bumbu yang mencapai titik akhir

timer. Hasil pengukuran waktu mixing dapat dilihat pada Gambar 25 dan Gambar 26.

Pencapaian kesesuaian parameter waktu proses mixing tidak hanya pencapaian waktu total mixing saja melainkan proporsi durasi

65 waktu tahap Mixing I dan Mixing II juga merupakan variabel waktu yang berpengaruh terhadap mutu output. Kesesuaian parameter- parameter waktu tersebut sangat penting dicapai mengingat di dalam proses mixing secara tidak langsung terjadi urutan tahapan proses yaitu pencampuran premix bubuk kering, pencampuran lemak nabati cair, dan homogenisasi.

Gambar 25. Waktu Mixing Hari ke-1

Tahap Mixing I mencampur seluruh bahan bubuk kering menjadi sebuah campuran pada kondisi ketercampuran tertentu sebelum dimasukkan lemak nabati cair. Proses mixing bumbu varian Ayam melibatkan 15 jenis bahan bubuk kering yang memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda termasuk ukuran partikel. Menurut Harnby dan Edwards (1992), jika terdapat partikel halus dan kasar dalam suatu campuran maka partikel yang lebih halus akan menyelubungi permukaan partikel yang lebih besar dan kasar. Pada situasi ini, partikel yang kecil dan halus tersebut kehilangan gaya gerak individualnya. Pengamatan kualitatif terhadap bahan baku racikan (BTP dan flavor) mengindikasikan ukuran partikel yang relatif lebih kecil dan halus

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% 55% 60% 65% 70% 75% 80% 85% 90% 95% 100% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 K e cu ku p an Pr o ses

66 dibandingkan bahan baku utama yaitu garam, gula, dan MSG. Bahan baku racikan cenderung lebih mudah menimbulkan debu saat kegiatan produksi berlangsung. Selain itu terdapat bahan cair yang digunakan dalam produksi yaitu lemak nabati fraksi stearin yang dipanaskan (80- 90°C). Keberadaan cairan di dalam campuran bumbu tersebut dapat meningkatkan gaya interaksi antar-partikel yang dijelaskan oleh Fitzpatrick (2005). Dengan demikian dapat diprediksi bahwa campuran bumbu setelah proses mixing akan membentuk campuran tipe ordered mixtures karena perbedaan ukuran bahan baku dan keberadaan gaya interaksi antar-partikel yang besar seperti yang telah dijelaskan oleh Peleg (2005) dan Muzzio et al. (2004).

Gambar 26. Waktu Mixing Hari ke-2

Aglomerasi partikel dapat terjadi dengan keberadaan cairan (Stanley-Wood, 2008), seperti yang terjadi pada kondisi mixing bumbu ketika lemak nabati cair dimasukkan ke dalam mixer. Jika lebih dari satu jenis bubuk diperlakukan tumble agglomeration, tiap komponen harus terukur jumlahnya dan dalam bentuk premix (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Waktu proses tahap Mixing I yang belum terkontrol

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50% 55% 60% 65% 70% 75% 80% 85% 90% 95% 100% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 K e cu ku p an Pr o ses

67 berpengaruh terhadap tingkat kehomogenan campuran bahan yang akan memasuki tahap pemasukan lemak nabati cair dimasukkan ke dalam

mixer yang seharusnya saat waktu proses mixing mencapai 25%. Proses homogenisasi bisa saja dibutuhkan untuk menghindari resiko terjadinya aglomerasi selektif akibat keterlibatan ukuran partikel yang beragam (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Oleh karena itu pencapaian standar waktu proses tahap Mixing I perlu diterapkan secara konsisten pada semua batch bumbu yang diproduksi untuk mendukung tercapainya tingkat kehomogenan campuran bumbu yang tinggi, termasuk persebaran lemak nabati yang baik.

Pada tahap Mixing II terjadi secara simultan proses aglomerasi, pemecahan aglomerasi akibat pengadukan dan kerja chopper, serta homogenisasi campuran bumbu. Penambahan lemak nabati cair ini tidak memiliki tujuan khusus (seperti proses aglomerasi atau coating) di dalam proses mixing melainkan sebagai salah satu komponen formulasi bumbu yang idealnya terdistribusi secara merata di dalam campuran bumbu. Walaupun demikian proses aglomerasi terjadi akibat kenaikan gaya interaksi antar partikel yang disebabkan oleh pembasahan dan pemerataan lemak nabati cair pada partikel-partikel di dalam campuran bumbu. Terbentuk agregasi partikel yang merupakan partikel-partikel baru yang termasuk tipe interactive atau ordered mixture pada tingkat kehomogenan tertentu.Setelah proses penuangan lemak nabati, agitator dan chopper terus bekerja mengaduk selama sisa waktu sampai timer

menghentikan proses mixing. Selama sisa waktu tersebut terus terjadi homogenisasi partikel-partikel komponen penyusun bumbu, termasuk pemerataan lemak nabati. Dengan demikian, durasi waktu tahap Mixing

II berdampak besar terhadap tingkat kehomogenan bumbu dalam hal karakteristik fisik terutama persebaran lemak nabati dan distribusi ukuran partikel bumbu di akhir proses mixing.

Berdasarkan kondisi proses yang terjadi di dalam proses mixing, sangat besar peluang terjadinya perubahan karakteristik fisik bumbu seperti densitas, ukuran partikel, distribusi ukuran partikel, dan

68 komposisi ukuran partikel secara menyeluruh pada campuran bumbu tersebut akibat agregasi partikel. Fluktuasi dan ketidaksesuaian dengan prosedur parameter waktu proses mixing yang teridentifikasi selama pengamatan diduga kuat menyebabkan fluktuasi tingkat kehomogenan karakteristik fisik bumbu. Tentunya hal tersebut dapat mempengaruhi proses penakaran yang mengarah kepada inkonsistensi proses penakaran. Titik kritis yang perlu lebih dicermati adalah persebaran lemak nabati di dalam campuran bumbu mengingat terdapat proses

aging pada tahap produksi selanjutnya. Di dalam proses aging terjadi kristalisasi lemak sehingga berubah menjadi fase padat yang kecepatan dan kestabilannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah konsentrasi lemak yang telah dijelaskan oleh (Metin dan Hartel, 2005)

b. Metode Pemasukan Lemak Nabati Cair

Metode pemasukan lemak nabati cair menggunakan corong pembantu menimbulkan akumulasi lemak nabati fase semi-solid atau fase padat di sekitar inlet mixer. Ilustrasi metode pemasukan lemak nabati dapat dilihat pada Gambar 27. Tidak seluruh pancuran lemak nabati dari corong pembantu langsung jatuh masuk ke dalam mixer. Pancuran pada bagian tepi corong membasahi sisi dalam inlet mixer. Penutup inlet mixer juga terbasahi oleh pancuran lemak nabati dari bagian tengah corong pembantu. Ceceran lemak nabati segera mengalami proses pembekuan saat kontak langsung pada permukaan

inlet mixer atau lapisan lemak nabati yang telah terbentuk sebelumnya yang bersuhu relatif lebih rendah daripada suhu pancuran lemak nabati cair yang baru dituangkan tersebut. Pada siklus batch berikutnya sedikit bahan baku melekat pada lemak nabati yang masih dalam fase semi- solid saat bahan baku dimasukkan melalui inlet mixer. Kembali terjadi lapisan lemak nabati padat dari ceceran di sekitar bagian dalam inlet mixer saat pemasukan lemak nabati cair. Siklus ini terus terjadi dan berakumulasi membentuk bongkahan padat dengan komposisi sebagian

69 besar lemak nabati dan sebagian kecil bahan baku bumbu. Bongkahan tersebut dapat mencapai ketebalan 6,2 cm.

Gambar 27. Skema Pemasukan Lemak Nabati Cair

Bongkahan yang sebagian besar mengandung lemak nabati tersebut dapat masuk ke dalam mixer akibat pembersihan yang dilakukan operator mixer atau jatuh dengan sendirinya saat ukurannya sudah cukup besar. Mengingat prinsip kerja mixer dan adanya sepasang

chopper, bongkahan tersebut dapat hancur dan tercampur dalam campuran bumbu. Walaupun demikian partikel-partikel yang berasal dari bongkahan tersebut merupakan partikel dengan kadar lemak nabati yang tinggi. Selain berpeluang menambahkan kadar lemak secara total di dalam campuran bumbu batch tertentu, kemampuan partikel-partikel lemak nabati fase padat dan semi-solid tersebut relatif lebih rendah untuk terdistribusi merata dibandingkan lemak yang masuk ke dalam

mixer dalam keadaan fase cair.

Bongkahan lemak nabati dari inlet mixer yang diberikan gaya tekan dan gesek lebih cenderung mengalami deformasi dan bersifat plastis daripada mengalami patahan. Partikel-partikel lemak nabati

70 padat yang merupakan reduksi ukuran dari bongkahan lemak nabati padat tersebut memiliki karakteristik fisik yang tidak jauh berbeda. Dalam proses penakaran pada mesin pengemas terjadi paparan gaya gesek dan tekan dalam sistem auger yang tidak dapat dihindari. Keberadaan partikel-partikel berkadar lemak tinggi yang karakteristiknya cenderung berdeformasi dan plastis tersebut di dalam campuran bumbu berperan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya fenomena caking di sekitar hopperfilling unit dan inletauger.

Pancuran lemak nabati cair yang dihasilkan oleh corong pembantu masih belum ideal untuk membantu menghasilkan persebaran lemak nabati yang baik di dalam proses mixing. Ukuran pancuran yang dihasilkan relatif jauh lebih besar daripada ukuran partikel-partikel komponen penyusun bumbu. Hal ini diperburuk oleh terjadinya pancuran gabungan yang disertai pertambahan debit aliran dan ukuran

droplet yang relatif lebih besar daripada pancuran awal yang dihasilkan dari corong pembantu. Beberapa pancuran gabungan dapat terbentuk dari dua atau lebih pancuran awal yang bertabrakan. Pola pancuran dari corong pembantu tidak seluruhnya tegak lurus ke bawah, sebagian pancuran ada yang membentuk lengkungan dan tidak teratur. Pola pancuran demikian menyebabkan pembentukan pancuran gabungan, selain menyebabkan ceceran lemak nabati di sekitar inletmixer.

Bumbu yang terpapar pancuran lemak nabati cair dengan kondisi seperti yang disebutkan di atas juga menjadi salah satu faktor penyebab persebaran lemak nabati di dalam campuran bumbu kurang seragam. Persebaran lemak nabati yang kurang seragam dalam batch

bumbu dapat diartikan bahwa pada bagian tertentu terdapat bumbu dengan kadar lemak nabati yang relatif tinggi dan pada bagian tertentu lainnya terdapat bumbu dengan kadar lemak nabati yang relatif rendah. Untuk proses pembasahan yang optimum, ukuran droplet pembasah harus sama atau lebih kecil dari ukuran partikel bubuk kering (Barbosa- Cánovas et al., 2005).

71 c. Waktu Aging

Teramati batch bumbu tidak mengalami waktu proses aging

yang sama antara batch yang satu dengan yang lainnya. Standar perusahaan adalah bumbu minimal mengalami proses aging 15 menit sebelum dimasukkan ke dalam hopper feeder. Bumbu mengalami proses aging di dalam kantong plastik yang ditumpuk di atas pallet dapat berkisar antara 0 sampai 270 menit. Waktu aging tergantung dari kondisi jumlah stok bumbu dan kebutuhan mesin pengemas. Ketika stok bumbu sedikit, bumbu yang baru selesai tahap mixing langsung dimasukkan ke dalam hopper feeder yang kosong tanpa melaui proses

aging karena upaya pemenuhan kebutuhan suplai bumbu mesin pengemas.

Tidak ada perlakuan khusus selama proses aging. Terdapat area kosong pada ruang produksi yang dialokasikan untuk meletakkan palet- palet tumpukan bumbu yang menunggu untuk memasuki tahap produksi berikutnya yaitu pemasukan bumbu ke dalam hopper feeder. Saat menunggu pada area tersebut bumbu mengalami proses aging di dalam kantong-kantong plastik yang tersusun di atas palet masing- masing batch. Apabila stok bumbu cukup banyak maka bumbu terus mengalami proses aging selama menunggu antrian sehingga durasi waktu proses aging cukup panjang seiring dengan lamanya waktu tunggu antrian. Selama menunggu antiran, suhu bumbu terus menurun akibat perbedaan suhu bumbu dan ruang produksi. Selama penurunan suhu bumbu ini juga terjadi proses kristalisasi lemak nabati lebih lanjut.

Inkonsistensi parameter waktu proses aging dengan asumsi suhu ruang produksi yang terkendali menyebabkan fluktuasi tingkat kristalisasi lemak nabati di dalam campuran bumbu. Apabila pencapaian tingkat kristaliasi lemak belum tercapai dengan baik, maka masih terdapat lemak nabati dalam bentuk fase cair di dalam campuran bumbu. Keberadaan lemak fase cair tersebut menyebabkan tingginya tingkat kohesi bumbu yang telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi sumber masalah bagi sistem penakaran mesin pengemas. Fluktuasi

72 waktu proses aging berdampak terhadap fluktuasi karakteristik fisik bumbu terutama tingkat kelengketan (cohesiveness) dan kemudahan mengalir (flowability) bumbu. Dengan demikian parameter waktu aging

penting untuk dikendalikan dan dioptimalkan dengan baik untuk memastikan kristalisasi lemak telah tercapai sebelum bumbu memasuki tahap proses selanjutnya.

d. Suhu Aging

Pengukuran suhu bumbu dilakukan dalam kantong bumbu yang baru dikeluarkan dari mixer. Peningkatan suhu bumbu antara kantong terjadi seiring dengan urutan pengeluaran dari mixer. Suhu bumbu kantong awal memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan kantong- kantong berikutnya dan suhu tertinggi pada kantong terakhir dalam satu

batch bumbu. Suhu bumbu pada masing-masing kantong tersebut merupakan suhu awal proses aging pada masing-masing kantong. Data pengukuran suhu proses aging dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengukuran Suhu Aging

Ulangan Waktu (menit)

Awal Tengah Akhir

Laju Penurunan Suhu (oC/menit) Pinggir Tengah Pinggir

Suhu (oC) 1 0 40,7 41,9 43,8 0,035 0,009 0,044 120 36,5 40,8 38,5 2 0 40,4 41,4 43,2 0,035 0,007 0,038 120 36,2 40,5 38,7 3 0 39,8 40,4 42,5 0,027 0,006 0,052 120 36,6 39,7 36,3

Pengukuran juga menunjukkan bahwa posisi penumpukan berpengaruh terhadap laju penurunan suhu. Penurunan suhu kantong yang ditumpuk pada bagian pinggir relatif lebih besar dibandingkan kantong yang ditumpuk pada bagian tengah. Hal ini disebabkan faktor perbedaan luas kontak permukaan kantong bumbu dengan udara ruang produksi. Pada bagian pinggir luas permukaan kantong bumbu yang kontak langsung dengan udara ruang produksi lebih besar dibandingkan

73 kantong yang berada pada tumpukan tengah. Dengan demikian laju pindah panas kantong bumbu yang berada pada pinggir tumpukan lebih besar sehingga dalam durasi waktu aging yang sama, kantong yang berada di tumpukan pinggir memiliki suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan suhu kantong yang ditumpuk pada bagian tengah.

Berdasarkan penjelasan di atas, didapati bahwa kondisi proses

aging tidak seragam antara kantong bumbu yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam hal suhu awal dan laju penurunan suhu. Suhu awal proses aging ditentukan oleh suhu bumbu saat keluar dari mixer. Laju penurunan suhu pada kantong-kantong yang berada pada bagian pinggir dalam tumpukan relatif lebih besar dibandingkan kantong-kantong yang berada di bagian tengah tumpukan.

Besarnya suhu dan variasi suhu setelah proses aging dalam durasi waktu 120 menit menunjukkan kondisi aging belum optimal. Perlakuan waktu proses aging tersebut jauh lebih lama dibandingkan standar perusahaan yaitu minimal 15 menit. Menurut Marangoni (2005), lemak biasanya harus didinginkan di bawah titik lelehnya paling sedikit 5 sampai 10oC sebelum mulai terjadi kristalisasi dan semakin stabil dengan semakin turunnya suhu di bawah titik lelehnya. Selain faktor suhu, lemak memerlukan waktu untuk mengkristal dengan baik terkait fenomena polymorphic yang dijelaskan oleh Humphrey dan Narine (2005). Data pengukuran menunjukkan bahwa kondisi suhu bumbu sebesar 39,9 ± 2,4oC setelah dilakukan proses aging selama 120 menit mengindikasikan bahwa kristalisasi lemak di dalam campuran bumbu belum tercapai dengan baik. Pada kisaran suhu tersebut lemak baru mulai mengalami proses kristalisasi dan masih dalam fase semi- solid yang belum membentuk struktur kristal yang stabil. Keberadaan komponen-komponen penyusun formula bumbu sangat mungkin bersifat sebagai pengotor (impurities) yang mengganggu proses kristalisasi lemak seperti yang dijelaskan oleh Metin dan Hartel (2005) dan Marangoni (2005). Dengan demikian dapat diketahui bahwa dengan metode dan kondisi proses aging aktual belum dapat

74 mengakomodir tercapainya kristalisasi lemak yang baik di dalam campuran bumbu.

Dari data ulangan, variasi laju penurunan suhu pada kantong tumpukan bumbu bagian tepi sebesar 22,33% mengindikasikan suhu ruangan produksi tempat berlangsungnya proses aging belum terkendali dengan baik. Kondisi demikian mempengaruhi proses kristalisasi lemak sesuai dengan penjelasan Metin dan Hartel (2005) dan Rye et al.

(2005), yang mempengaruhi tingkat kristalisasi lemak yang secara nyata terhadap karakteristik fisik bumbu. Untuk memastikan kondisi kestabilan suhu ruang produksi dapat dilakukan pengukuran suhu ruangan lebih lanjut. Apabila suhu ruangan produksi tidak stabil maka perlu dilakukan upaya pengendalian agar tujuan proses aging yaitu kristalisasi lemak dapat tercapai dengan baik. Standar waktu proses biasanya mengasumsikan kondisi tertentu sehingga diperoleh durasi waktu tertentu yang dibutuhkan agar tujuan proses tercapai. Apabila suhu ruangan produksi tidak terkendali maka masih ada peluang tidak tercapainya kristalisasi lemak walaupun proses aging dilakukan sesuai dengan standar waktu proses. Variasi suhu bumbu antar-kantong akibat metode penumpukan juga sebaiknya dipertimbangkan mengingat laju penurunan suhu pada bagian tengah tumpukan relatif jauh lebih kecil daripada bagian pinggir tumpukan.

e. HopperFeeder

Pengamatan menunjukkan bahwa aliran bumbu dalam hopper feeder membentuk pola aliran funnel flow yang dapat dilihat pada Gambar 28. Aliran vertikal bumbu menuju feeder cenderung hanya pada bumbu bagian tengah hopper saja. Bumbu pada bagian pinggir

hopper cukup stabil sehingga tidak mengalir mengisi ruang bagian tengah yang mulai membentuk terowongan. Sebagian kecil bumbu pada bagian pinggir dapat jatuh ke rongga bagian tengah akibat getaran dari

vibrator yang dipasang pada dinding luar hopper. Walaupun demikian jumlah bumbu yang jatuh ke bagian tengah tersebut tidak cukup banyak untuk mengisi rongga kosong yang terbentuk.

75 Gambar 28. Skema Pola Aliran Bumbu Aktual di Dalam Hopper Feeder

Ada kalanya operator mesin pengemas atau pekerja yang bertanggung jawab mengisi hopper feeder tersebut harus mengetuk- ngetuk dinding hopper dengan cukup kuat agar bumbu pada bagian pinggir hopper tersebut jatuh ke rongga aliran bumbu yang kosong. Bahkan jika cara demikian tidak berhasil maka bagian atas hopper yang merupakan inlet sekaligus ayakan 8 mesh dibuka kemudian gundukan bumbu stabil tersebut gemburkan hingga terhambur memenuhi rongga kosong yang ada. Perilaku bumbu yang tidak mudah mengalir dan membentuk gundukan stabil tersebut mengindikasikan sifat bumbu yang kohesif selain faktor design hopper feeder yang tidak dapat mengakomodir aliran bumbu yang baik.

Pada Gambar 28, gradasi warna merah adalah bumbu yang lebih dahulu masuk ke dalam hopper feeder dan gradasi kuning adalah bumbu yang lebih akhir memasuki hopper feeder. Perlu diingat bahwa proses aging masih terjadi di dalam hopper feeder apabila kristalisasi lemak nabati belum tecapai dengan baik di dalam tahap proses aging

sebelumnya. Dengan pola aliran funnel flow maka bumbu yang dialirkan menuju hopper filling unit mesin pengemas berpeluang tidak

76 seluruhnya berasal dari kelompok bumbu yang mengalami durasi proses

aging yang sama. Dengan demikian fenomena aliran bumbu di dalam

hopper feeder dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi karakteristik fisik bumbu di dalam filling unit mesin pengemas yang tentunya berdampak terhadap inkonsistensi proses penakaran. Menurut Carson (2008), jika ketidakseragaman proses terjadi ketika bin digunakan sebagai wadah proses, hal tersebut adalah indikasi perlunya merubah pola aliran funnel flow menjadi mass flow.

Gambar 29. Pengaruh ScrewFeeder Terhadap Arus Aliran Sumber : Barbosa-Cánovas et al. (2005)

Faktor penyebab terjadinya pola aliran funnel flow pada hopper feeder mesin pengemas selain karakteristik bumbu adalah faktor desain

hopper dan desain screw feeder. Desain hopper aktual adalah bentuk

pyramidal tergolong dalam kategori hopper yang cenderung menghasilkan pola aliran funnel flow. Secara umum bentuk pyramidal

harus dihindari jika pola mass flow dibutuhkan (Carson, 2008). Screw feeder konvensional tidak dapat mengakomodir pengeluaran bumbu secara merata di seluruh area outlet hopper sehingga aliran bumbu di

77 dalam hopper hanya pada bagian tertentu saja. Bentuk hopper dan desain feeder aktual sangat mendukung terjadinya pola aliran funnel flow. Keadaan yang sama seperti Gambar 28 dan Gambar 29 juga dijelaskan oleh Schulze (2008), screw sudah terisi pada bagian ujung belakang feeder sehingga tidak akan ada lagi bubuk yang mampu masuk di sepanjang bagian sisa screw. Karakteristik bumbu yang lengket dan tidak mudah mengalir memperburuk kondisi yang disebabkan oleh faktor desain. Ketidaksesuaian antara karakteristik produk dan desain hopper feeder adalah penyebab masalah aliran bumbu di dalam hopperfeeder.

Masalah aliran bumbu di dalam hopper feeder seperti penjabaran di atas berpeluang menimbulkan masalah bagi sistem penakaran di mesin pengemas. Gangguan suplai bumbu dari hopper feeder dapat mengakibatkan kekurangan bumbu di dalam filling unit

mesin pengemas sehingga menyebabkan gangguan proses penakaran. Pola funnel flow juga dapat menyebabkan perubahan karakteristik fisik

Dokumen terkait