• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sedimen laut merupakan akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan- pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk melalui proses kimia yang terjadi di laut (Gross, 1999). Selat sunda mempunyai jenis sedimen yang beragam, menurut Helfinalis (2003) jenis sedimen di dasar perairan Selat Sunda terdiri atas clayey silt, sand, silty clay, clayey sand, silt, silty sand dan sandy silt.

Jenis sedimen clayey silt tersebar dari perairan barat Banten hingga ke sisi perairan timur Bakauhuni. Penyebaran tersebut sangat dipengaruhi oleh aktifitas arus yang melintasi perairan Selat Sunda.

Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dapat dilakukan dengan menggunakan nilai sebaran amplitudo, yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang diterima oleh receiver dalam bentuk energi listrik. Data amplitudo difilter dan diinterpolasi dengan menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi

pemeruman. Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data amplitudo dari setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi eksponensial dari arah antar beam dan normal factor. Nilai amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan, sudut datang, jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas permukaan (Urick, 1983).

Berdasarkan data survei PPPGL terdapat 22 stasiun pengambilan data sampel coring dengan jenis sedimen yang teridentifikitasi yaitu silty sand, sandy silt, sand dan rocks (Lampiran 4). Setiap sampel coring memiliki data posisi atau kordinat, kordinat tersebut dioverlay terhadap nilai amplitudo yang dihasilkan dari hasil pemeruman. Setiap jenis sedimen akan mempunyai kisaran amplitudo, nilai inilah yang digunakan untuk klasifikasi dasar perairan. Kisaran nilai amplitudo dari setiap jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Grafik sebaran nilai amplitudo berdasarkan data coring

Pengambilan data sampel coring dilakukan di sekitar jalur penelitian. Gambar 17 menunjukkan sebaran nilai ampltitudo dasar perairan yang diperoleh dari data pemeruman yang telah diekstrak dengan mencocokkan kordinat sampel coring. Berdasarkan hasil pencocokan tersebut diperoleh sebaran nilai amplitudo dengan nilai minimum sebesar 250 dan nilai maksimum sebesar 500. Kisaran nilai amplitudo tersebut didasarkan pada jenis sedimen yang ditemui dari hasil pengambilan sampel coring, dimana terdiri atas empat jenis sedimen yaitu, silty sand, sandy silt, sand dan rocks. Keempat jenis sedimen tersebut kemudian diplotkan kedalam peta klasifikasi dasar perairan.

Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen dasar laut menggunakan nilai amplitudo dicocokkan dengan hasil pengambilan sampel coring telah dilakukan oleh Aritonang pada tahun 2010 di perairan Labuhan Maringgai (Lampung)-Bojonegara (Banten) menggunakan data multibeam Elac Seabeam 1050 D. Penelitian yang sama dilakukan oleh Gumbira pada tahun 2011 sebagai

pertimbangan dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut di perairan Balongan, Indramayu. Hasil penelitian tersebut menujukkan sebaran sedimen di lokasi penelitain dengan kisaran ampltitudo tertentu yang bergantung pada jenis

sedimennya. Tabel 5 memperlihatkan kisaran ampltitudo dan jenis sedimen dari penelitian yang pernah dilakukan.

Tabel 5. Kisaran ampltitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian

Peneliti Kisaran

Amplitudo

Jenis Sedimen Ukuran Butiran

(mm) Aritonang (2010) 311-352 Silty clay 0,004-0,062 352-399 Clayey silt <0,004 399-428 Sandy silt 0,062-2 Gumbira (2011) 300-350 Silt 0,01-0,08 350-400 Silty clay 0,008-0,01 400-450 Clayey silt 0,001-0,01 Penelitian ini (2012) 250-297 Silty Sand 0,004-0,04 297-360 Sandy Silt 0,04-0,062 360-403 Sand 0,062-2 403-500 Rocks > 256

Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan

menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom perairan dan ukuran butiran sedimen yang berbeda (Urick, 1983). Nilai amplitudo yang berada di luar kisaran dianggap sebagai data yang tidak terdeteksi. Nilai amplitudo difilter sehingga hanya dihasilkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian. Nilai inilah yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat sebaran sedimen di lokasi penelitian. Gambar 18 merupakan perbedaan antara nilai ampltitudo yang belum difilter dan setelah difilter.

Gambar 18. Kisaran nilai amplitudo: (a) sebelum difilter, (b) setelah difilter

Gambar 18a merupakan kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian yang belum difilter. Pada gambar tersebut terdapat dua kisaran nilai amplitudo yang mempunyai selang sangat besar, pertama pada nilai amplitudo terendah yaitu pada selang -371,096 ke 267,273 dan kedua terdapat pada akhir selang yaitu dari 398,735 ke 1300,730. Nilai ini diindikasi berasal dari data yang tidak terdeteksi, sehingga untuk selanjutnya kisaran nilai ini tidak diperlukan. Kisaran nilai ampltitudo yang tidak diperlukan dibuang atau difilter melalui perangkat lunak MB System berbasis linux. Pemfilteran ini dilakukan secara manual dengan cara mengamati kisaran nilai amplitudo kemudian mengubah nilai dan selang

amplitudo yang benar-benar berasal dari lokasi penelitian. Setelah dilakukan pemfilteran kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian berada pada selang 250- 500 (Gambar 18b), nilai inilah yang kemudian dipakai untuk melihat sebaran sedimen.

a

b

Peta klasifikasi dasar perairan memperlihatkan sebaran jenis sedimen yang teramati secara spasial melalui pemeruman. Data hasil pemeruman yang diolah menjadi peta klasifikasi dasar perairan merupakan hasil olahan nilai amplitudo yang terdeteksi. Klasifikasi dasar perairan pada penelitian ini dimulai dari perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Kisaran nilai amplitudo dari 250-500 terdiri atas empat jenis sedimen, dimana setiap jenis sedimen mempunyai kisaran nilai amplitudo yang berbeda-beda.

Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik, hal demikian terlihat pada sebaran sedimen yang berbeda dengan perairan yang lain. Perairan Selat Sunda mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang mempunyai karakter berbeda yaitu Laut Jawa dan Samudera Hindia. Laut Jawa relatif mempunyai aktifitas oseanografi yang lemah, berbeda dengan perairan Samudera Hindia yang mempunyai aktifitas oseanografi yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut

berpengaruh terhadap sebaran sedimen di sekitar Pulau Sangiang, dimana pada sebelah barat pulau sangiang jenis sedimen didominasi oleh rocks dan di sebelah timur didominasi oleh sandy silt. Hal ini terjadi karena energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia lebih besar dari arus Laut Jawa yang bergerak ke arah perairan Selat Sunda, sehingga partikel yang berukuran kecil akan terbawa oleh energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia ke sebelah timur dan timur laut Pulau Sangiang. Gambar 19 merupakan peta

Gambar 19. Peta klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di lokasi penelitian

Klasifikasi jenis sedimen dasar perairan yang terlihat pada gambar di atas sebagian besar ditutupi oleh jenis sedimen sandy silt dengan persen penutupan

Silty sand Sandy silt Sand Rocks

P. Sangiang

5052’ S 5054’ S 5056’ S 5058’ S 6000’ S 60 02’ S 5052’ S 5054’ S 5056’ S 5058’ S 6000’ S 60 02’ S E E E E E E E E

sebesar 49%. Kisaran nilai amplitudo jenis sedimen ini berada pada 297-360. Sandy silt di lokasi penelitian menyebar secara merata yaitu dari perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Helfinalis (2003) menyatakan bahwa endapan sedimen di perairan Ciwandan dan perairan Anyer didominasi oleh kerikil dan pasir. Jenis sedimen berikutnya yaitu silty sand dengan persen penutupan sebesar 18,22%. Jenis sedimen ini terfokus pada perairan Selatan Lampung yaitu pada kordinat 5052’-5056’ LS dan 105047’-105050’ BT. Selain itu silty sand juga berada di sebelah selatan Pulau Sangiang. Rocks atau batuan hanya berada di sebelah barat Pulau Sangiang dengan persen penutupan sebesar 11,69%. Jenis batuan dari hasil coring merupakan batuan yang berupa pecahan- pecahan karang. Jenis sedimen yang terakhir yaitu sand dengan persen penutupan sebesar 16,82% yang berada di sekitar pulau Sangiang dan sebagian kecil

menyebar di sepanjang jalur penelitian.

Pada peta klasifikasi dasar perairan terdapat spot-spot yang berwarna hitam, bagian ini merupakan bagian yang tidak teridentikasi atau bagian yang tidak termasuk ke dalam selang nilai amplitudo yang ada. Nilai amplitudo yang lebih besar dari 500 diartikan bahwa jenis sedimen yang tidak teridentifikasi lebih keras dari jenis sedimen rocks sedangkan nilai amplitudo yang lebih kecil dari 250 diartikan bahwa jenis sedimen lebih lunak dari silty sand. Dengan demikian nilai amplitudo yang lebih besar dari 500 dan lebih kecil dari 250 dikatakan sebagai kelas yang tidak teridentifikasi. Jenis sedimen yang tidak teridentifikasi memiliki persen penutupan sebesar 4,27%. Gambar 20 merupakan presentasi sebaran sedimen di lokasi penelitian.

Gambar 20. Persentase sebaran sedimen di lokasi penelitian

Sedimen di laut tersusun oleh 4 komponen pokok yang diklasifikasikan berdasarkan asal-usulnya, yaitu sebagai sedimen terigenik (dari daratan dan lingkungan vulkanik), biogenik (dari aktifitas organisme), halmirogenik (dari reaksi inorgenik) dan kosmogenik (dari luar angkasa). Menurut Rubiman (2003), sedimen di perairan Selat Sunda tersusun dari endapan biogenik, terigenik dan halmirogenik. Jenis sedimen pada penelitian ini umumnya didominasi oleh jenis sedimen golongan biogenik yaitu jenis sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah mati terdiri atas remah-remah tulang, gigi-geligi dan cangkang- cangkang tanaman maupun hewan mikro. Hasil coring menunjukkan jenis sedimen pada lokasi penelitian berasal dari cangkang-cangkang organisme dan batuan berasal dari pecahan karang (Lampiran 5).

Dokumen terkait