Halaman 1 Spesifikasi Instrumen
3.2. Perolehan Data Penelitian 1 Data Pasang Surut
Data pasang surut diperoleh dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) yang diambil pada bulan Desembar 2010. Stasiun
pengamatan pasang surut terletak di perairan Ciwandan, Banten yaitu pada kordinat 6001’09” LS dan 105057’03” BT. Stasiun tersebut merupakan tempat yang sangat dekat dengan daerah peneliatian. Menurut Hasanudin (2009) data pasang surut yang digunakan sebaiknya data pasang surut lokasi penelitian atau dari lokasi yang terdekat dengan daerah penelitian. Instrumen yang digunakan adalah Tide Gauge Valeport 740 (Gambar 7), pengukuran dilakukan selama 30 hari dengan interval waktu pengambilan setiap 1 jam.
Pengukuran pasang surut dilakukan sesuai dengan ketetapan Special Publication No. 44 (S.44)-IHO yang mejelaskan bahwa pengukuran pasang surut dilakukan minimal 29 hari untuk mendapatkan data pasang surut yang akurat.
Gambar 7. Tide gauge valeport 740
3.2.2 Data Sampel Coring
Data sampel coring diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL). Pengambilan sampel tersebut dilakukan pada pertengahan bulan Maret sampai dengan awal bulan April tahun 2010. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan contoh sedimen permukaan dasar laut adalah Gravity core dan grab sampler (Gambar 8). Spesifikasi dari gravity core yang digunakan dapat terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi gravity core
No Spesifikasi Satuan Alat
1 Diameter tabung 2,5 inchi
2 Panjang 100 cm
3 Pemberat 60 kg
4 Panjang kabel 150 m
5 Penggerak winch (penggerak mesin)
Penggunaan gravity core dan grab sampler bergantung pada kondisi sedimen di lokasi pengambilan sampel. Penggunaan kedua peralatan dalam pengambilan sampel juga dilakukan untuk mendapatkan hasil sampel sedimen
yang maksimal, sehingga data yang dihasilkan dapat mewakili dan menginterpretasikan sebaran sedimen di perairan Selat Sunda.
Gambar 8. Peralatan sampling sedimen pada kapal survei PPPGL; (a)gravity core, (b) grab sampler
3.2.3 Data Pemeruman
Pengambilan data akustik atau pemeruman dilakukan dengan
menggunakan instrumen SEA BEAM 1050 D multibeam sonar yang dioperasikan dengan frekuensi 50 kHz. Sebelum dilakukan pemeruman, kapal yang digunakan harus dilakukan koreksi offset, yaitu penentuan titik referensi kapal. Nilai offset dari setiap sensor yang digunakan harus dihitung terhadap center line. Nilai offset tersebut penting untuk melakukan koreksi dari beberapa sensor yang digunakan terhadap sumbu salib kapal. Berikut merupakan offset dari multibeam ELAC SEA BEAM 1050 D, DGPS Sea star 8200 VB yang digunakan untuk penentuan posisi kapal dengan metode Real Time Differensial GPS (RTDGPS) dan Coda Octopus F180 yang berfungsi untuk melakukan koreksi terhadap pengaruh perubahan vertikal pada beam (heading, pitching dan rolling) (Gambar 9).
Gambar 9. Posisi offset sensor pada Kapal Baruna Jaya IV
Coda Octopus F180 diasumsikan berada tepat pada posisi center line. Mekanisme koreksi offset dilakukan dengan pendekatan jarak dari masing-masing instrumen tersebut dibuat nol sehingga ketiga instrumen tersebut diasumsikan berhimpit (Djunarsjah, 2005). Pada sumbu x nilai -0,530 m artinya posisi offset Seastar 8200 VB digeser ke arah kiri sejauh 0,530 m sedangkan pada sumbu z, draft transduser dinaikan sejauh 3,40 m sehingga diasumsikan berhimpit pada center line. Sistem navigasi yang digunakan dalam Kapal Baruna Jaya IV diatur dalam perangkat lunak Hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data multibeam ELAC SEA BEAM 1050D.
Pengambilan sampel sedimen atau coring dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) pada pertengahan bulan Maret sanpai dengan awal bulan Mei 2010. Pengambilan sampel sedimen tersebut dilakukan dengan menggunakan Gravity core dan grab sampler. Secara umum
alat yang digunakan untuk mendapatkan data dan pengolahannya pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Perangkat Keras dan Perangkat Lunak
Perangkat Keras Perangkat lunak
Multibeam Sonar (SEA BEAM 1050 D) MB System (Basis Linux) Personal Computer (PC) Generic Mapping Tool (GMT)
Gravity core Caris HIPS & SIPS 6.1
Grab sampler ArcGis 7.2
Microsoft Excel 2007
Akuisisi data multibeam dilakukan menggunakan perangkat lunak
Hydrostar. Data yang telah diakuisisi selanjutnya diolah menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 dan MB Systems. Perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 digunakan untuk mengolah nilai kedalaman sehingga didapatkan produk akhir berupa peta batimetri yang divisualisasikan menggunakan perangkat lunak Generic Mapping Tool (GMT ) baik secara dua dimensi maupun tiga dimensi. Perangkat lunak MB Systems digunakan untuk melakukan klasifikasi dasar perairan dengan mencocokan nilai amplitudo yang sudah diinterpolasi dengan data hasil coring. Informasi yang telah didapatkan kemudian digunakan sebagai informasi utama dalam perencanaan peletakan tiang jembatan. Gambar 10 merupakan diagram alir sistem akuisisi dan pengolahan data multibeam ELAC SEABEAM 1050D.
Gambar 10. Diagram alir perolehan data multibeam sonar
3.3. Pemrosesan Data
3.3.1 Pemrosesan Data Pasang Surut
Data pasang surut diolah dengan menggunakan Metode admiralty. Metode admiralty merupakan metode pengolahan data pasut yang disederhanakan untuk menentukan amplitudo (A) dan fase (G) dari komponen-komponen utama pasang surut. Pengolahan data pada metode admiralty sangat sederhana yaitu hanya
dengan memasukkan nilai tinggi pasang surut pada program admiralty. Proses ini akan menghasilkan konstanta pasang surut yang akan digunakan dalam penentuan tipe pasut dengan bilangan formzahl. Penentuan tipe pasut dengan menggunakan rumus Formzahl adalah sebagai berikut :
XSE* Data Processing MB system
GMT 2D dan 3D GMT
XSE* Data Processing Caris HIPS and SIPS
Export Amplitudo Export Kedalaman (xyz) Akuisisi Data (Hydrostar) Navigasi (Hypack) CodaOctopus F 180 Sea star 8200 VBS Transducer LSE 237 CTD/SVP
……….…(4) Keterangan:
F = nilai Formzahl
K1 dan O1 = amplitudo komponen pasut diurnal
M2 dan S2 = amplitudo komponen pasut semidiurnal
Dengan kisaran nilai Formzahl:
0.00 < F ≤ 0,25 = tipe pasut semidiurnal
0,25 < F ≤ 1,50 = tipe pasut campuran cenderung semidiurnal 1,50 < F ≤ 3,00 = tipe pasut campuran cenderung diurnal F ≥ 3,00 = tipe pasut diurnal
Setelah bilangan formzahl diperoleh, maka dapat ditentukan tipe pasang surut pada lokasi penelitian. Secara garis besar langkah yang digunakan pada metode admiralty tampak seperti pada diagram alir di bawah ini.
Gambar 11. Diagram alir pengolahan data pasang surut dengan metode admiralty Tipe Pasang Surut
Lihat Kisaran
Bilangan Formzahl
Diperoleh Konstanta Pasang Surut Input Data Pasang Surut
Hitung Konstanta dengan
Rumus Formzahl
3.3.2 Pemrosesan Data Kedalaman
Pengolahan data kedalaman dilakukan menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS&SIPS 6.1 milik BPPT dengan nomor seri CW9605878. Tahap awal pengolahan data adalah pembuatan file kapal (Vessel file). Vessel file berisi nilai jarak setiap sensor yang direferensikan terhadap titik pusat kapal (centre line). Proses berikutnya, yaitu pembuatan proyek baru (create new project) denga menggunakan vessel file yang telah dibuat. Setelah proyek dibuat, data kedalaman dalam bentuk *XSE diubah menjadi hsfmenggunakan menu
Conversion Wizard sehingga data tersebut dapat diproses dalam perangkat lunak CARIS HIPS&SIPS 6.1.
Data kedalaman tersebut selanjutnya dikoreksi (Clean Auxiliary Sensor Data) menggunakan menu Swath Editor untuk menghilangkan ping yang
dianggap buruk, menu Altiutde Editor dan Navigation Editor kemudian digunakan untuk menghilangkan pengaruh pergerakan dan kecepatan kapal yang memiliki nilai diluar kisaran. Setelah koreksi data dilakukan kemudian masukan parameter yang mempengaruhi nilai kedalaman, yaitu pasang surut dan kecepatan
gelombang suara masing-masing melalui menu Load Tide dan Sound Velocity Correction. Data tersebut kemudian digabungkan (Merging) untuk mendapatkan hasil akhir berupa peta batimetri. Peta batimetri tersebut kemudian diexport kedalam bentuk ASCII sehingga dapat divisualisasikan menggunakan GMT secara tiga dimensi. Gambar 12 merupakan diagram alir pemrosesan data data kedalaman dengan CARIS HIPS&SIPS 6.1.
Gambar 12. Diagram alir pemrosesan data kedalaman pada perangkat lunak CARIS HIPS&SIPS 6.1
Swath Editor
Altitude Editor
Navigation Editor Clean Auxiliary Sensor
Data
Convert Raw Data Create New Project Create a Vessel File
GMT 3D Merge
Product Surface Base Surface New Field Sheet
Export to ASCII
Sound Velocity Correction
3.3.3 Pemrosesan Data Amplitudo
Data amplitudo yang diperoleh harus dilakukan beberapa kalibrasi menggunakan softwawe MB System. Beberapa kalibrasi yang dilakukan adalah kedalaman perairan, kecepatan suara dan navigasi kapal. Masing-masing beam akan memancarkan gelombang suara hingga mengenai dasar perairan yang kemudian dipantulkan kembali dan diterima oleh receiver. Sinyal yang diterima receiver akan disimpan dengan format *.XSE, data ini merupakan data mentah.
MBCLEAN merupakan proses penyaringan secara otomatis yang dilakukan oleh alat untuk beam yang menghasilkan nilai buruk. MBEDIT
merupakan tindak lanjut MBCLEAN dengan memberikan visualisasi terhadap nilai kedalaman yang akan dikoreksi. MBNAVEDIT merupakan kalibrasi yang
dilakukan terhadap gerakan kapal seperti heave, picth dan roll.
MBVELOCITYTOOL merupakan proses kalibrasi terhadap besarnya kecepatan suara selama pengambilan data berlangsung. MBBACKANGEL merupakan kalibrasi yang dilakukan dengan cara memunculkan tabel amplitudo dengan grazing angel yang digunakan sebagai acuan untuk nilai amplitudo dengan kedalaman. MBPROSES meruapakan proses yang dilakukan untuk mengabungkan semua kalibrasi dan menghasilkan keluaran data dengan format *.mb94.
Klasifikasi dasar perairan merupakan pemetaan sebaran jenis sedimen yang terdapat pada suatu perairan. Sedimen pada suatu perairan cenderung didominasi oleh satu atau beberapa jenis partikel, akan tetapi mereka tetap terdiri dari ukuran yang berbeda-beda (Hutabarat dan Evants, 1985). Setiap sampel meliliki posisi berupa bujur dan lintang, nilai amplitudo jenis sedimen dapat
diketahui dengan cara mencocokkan posisi atau kordinat pada sampel coring dengan data hasil ekstrak. Penentuan nilai amplitudo dilakukan pada titik kordinat pada beam yang memiliki kordinat sama dengan posisi sampel coring, kemudian diambil beberapa penarikan contoh nilai amplitudo di sekitar titik sampel coring serta pada ping sebelum dan sesudah pada beam yang sama di pengambilan coring.
Proses berikutnya adalah menampilkan peta sebaran sedimen berdasarkan nilai amplitudonya. Gambar 13 merupakan diagram alir pemrosesan nilai
amplitudo pada perangkat lunak MB System. Peletakan tiang jembatan Selat Sunda disesuaikan dengan melihat sebaran jenis sedimen yang ada pada perairan tersebut.
Gambar 13. Diagram alir pemrosesan data amplitudo pada perangkat lunak MB System
Output *mb94
Data Acoustic
Data Hasil Coring
MBBACKANGLE MBVELOCITYTOOL
MBCLEAN
MBEDIT
Koreksi (*XSE) MBPROCESS MBNAVEDIT
Raw Data (*XSE)
Peta klasifikasi dasar perairan
Klasifikasi jenis sedimen dasar laut
29 4.1. Pasang Surut
Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari dan bulan. Data hasil pengamatan diuraikan menjadi komponen harmonik. Hasil akhir perhitungan dengan menggunakan metode admiralty dapat dilihat pada Tablel 4 berikut.
Tabel 4. Konstanta harmonik di lokasi penelitian
S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1
A (cm) 136.5 21.65 10.88 3.04 12.24 4.66 0.26 0.94 2.94 4.04
G0 103.38 25.47 247.63 264.87 353.6 210.29 148.98 25.47 264.87
Keterangan :
A = Amplitudo harmonik ke-n G0 = Fase perlambatan
S0 = Muka laut rata-rata (mean sea level)
M2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh posisi bulan
S2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh posisi matahari
N2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh perubahan jarak bulan
K1 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari
O1 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan
M4 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh pengaruh ganda M2
MS4 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh interaksi antara M2 dan S2
K2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh perubahan jarak matahari
P1 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari
Konstanta harmonik tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan, yaitu koreksi batimetri. Menurut Sasmita (2008) untuk mengurangi kesalahan, nilai kedalaman yang didapatkan dari pemeruman dikoreksi dengan menggunakan nilai Mean Sea Level (MSL) sehingga menghasilkan data kedalaman yang akurat. Selain itu juga konstanta harmonik berguna untukmenghitung berbagai elevasi
atau chart datum yang dapat digunakan sebagai referensi ketinggian dengan diikatkan ke bench mark.
Berdasarkan konstanta harmonik di atas diperoleh nilai bilangan formzahl sebesar 0,52. Hal ini menujukkan bahwa pada lokasi penelitian mempunyai tipe pasang surut campuran. Hasil ini menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Witasari dan Rubiman (2003), menjelaskan pasang surut di perairan Selat Sunda memiliki tipe pasang surut campuran dominan ganda. Gambar 14 menunjukan pasang surut di lokasi
penelitian dengan sumbu x sebagai waktu pengambilan data dan sumbu y sebagai tinggi pasang surut. Nilai kisaran pasang surut di lokasi penelitian sebesar 0,85- 1,68 m.
Gambar 14. Pasang surut di lokasi penelitian pada bulan Desember 2010
Pasang surut tipe campuran merupakan tipe pasang surut yang
memungkinkan dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi dan periode yang berbeda. Data pasang surut pada suatu wilayah dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pembangunan infrastruktur,
khususnya dalam pemodelan desain konstruksi. Nilai MSL yang diperoleh 136,5 cm, nilai inilah yang digunakan dalam pengoreksian data kedalaman dari hasil
pemeruman. Nilai MSL diartikan sebagai tinggi muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata, elevasi ini sering digunakan sebagai referensi elevasi di daratan. Siswanto (2010) menyatakan bahwa tipe pasang surut campuran mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran dan distribusi sedimen permukaan dasar, sehingga hal demikian sesuai bila pada perairan ini akan dibangun sebuah jembatan.
4.2. Profil Batimetri
Profil batimetri dapat memberikan informasi mengenai struktur dan asal pembentukan dasar laut karena dasar perairan sendiri dapat berupa pasir, lumpur, atau batuan. Profil batimetri merupakan informasi awal dalam pertimbangan kegiatan bawah laut seperti pemasangan kabel dan peletakan pipa bawah laut. Kemiringan dan unsur yang menyusun dasar perairan merupakan hal yang sangat dipertimbangkan dalam kegiatan tersebut. Jalur pipa dan kabel bawah laut ditentukan secara optimal dengan mengacu pada peta geologi dasar laut.
Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik karena perairan tersebut mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang berbeda yaitu dari perairan Laut Jawa sebagai perairan dangkal dan dari perairan Samudra Hindia. Gambar 15 merupakan jalur atau track kapal survei batimetri yang dilakukan di lokasi penelitian oleh BPPT.
Gambar 15. Track kapal survei batimetri di lokasi penelitian
Profil batimetri perairan Selat Sunda mempunyai gradasi yang nyata, hal tersebut ditunjukkan dari hasil pemeruman kedalaman bervariasi antara 17,5 m sampai dengan 175 m. Perubahan kedalaman terjadi secara bergradasi mulai dari perairan Banten dan berangsur-angsur bertambah dalam menuju ke perairan Lampung.
Nilai keakuratan data yang diperoleh selama akuisisi dijaga agar selalu tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta batimetri yang akurat. Berdasarkan ketentuan IHO Tahun 2008, lokasi penelitian termasuk dalam orde dua dengan ketelitian horizontal sebesar 150 meter. Spasi lajur perum maksimum orde ini yaitu empat kali kedalaman rata-rata. Special Publication No. 44 (S.44)- IHO Tahun 1998 menjelaskan bahwa skala pemeruman menentukan resolusi dari
peta batimetri yang dihasilkan (Lampiran 3). Gambar 16 merupakan profil tiga dimensi batimetri lokasi penelitian.
Gambar 16. Profil 3 dimensi batimetri lokasi penelitian
E E E E 50 52’ S 50 54’ S 5056’ S 50 58’ S 6000’ S 6002’ S E E E E 50 52’ S 50 54’ S 5056’ S 50 58’ S 6000’ S 6002’ S
P. Sangiang
Gambar 16 menunjukkan profil batimetri Selat Sunda yang diperoleh dari hasil pemeruman, dimana pada gambar tersebut terlihat pola batimetri yang tidak rata. Hasil pemeruman menujukkan bahwa perairan ini termasuk dalam kategori perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata antara 35-52,5 m. Kedalaman perairan yang terdeteksi menunjukkan adanya variasi kedalaman yang berbeda untuk setiap posisi lintang dan bujur, ada yang berupa paparan dan ada juga yang berupa slope.
Kedalaman tertinggi berada kordinat 5054’32,14” LS dan 105047’19,21” BT
dengan nilai kedalaman antara 157,5-175,5 m. Posisi tersebut merupakan sebuah
palung, yaitu dasarlaut yang dalam yang biasanya diakibatkan oleh menyusupnya lempeng samudera ke bawah lempeng benua. Jadi lokasi palung berada di
daerah-daerah tumbukan lempeng benua dan samudera. Kedalaman palung sangat berbeda dengan kedalaman di daerah sekitarnya. Selain itu juga palung terdapat pada kordinat 6000’58,12” LS dan 105051’46,38” BT. Palung pada kordinat ini terbentuk lebih lebar namun memiliki kedalaman yang berbeda, yakni lebih dangkal berkisar antara 140-157,5 m.
4.3. Klasifikasi Dasar Perairan
Sedimen laut merupakan akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan- pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk melalui proses kimia yang terjadi di laut (Gross, 1999). Selat sunda mempunyai jenis sedimen yang beragam, menurut Helfinalis (2003) jenis sedimen di dasar perairan Selat Sunda terdiri atas clayey silt, sand, silty clay, clayey sand, silt, silty sand dan sandy silt.
Jenis sedimen clayey silt tersebar dari perairan barat Banten hingga ke sisi perairan timur Bakauhuni. Penyebaran tersebut sangat dipengaruhi oleh aktifitas arus yang melintasi perairan Selat Sunda.
Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dapat dilakukan dengan menggunakan nilai sebaran amplitudo, yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang diterima oleh receiver dalam bentuk energi listrik. Data amplitudo difilter dan diinterpolasi dengan menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi
pemeruman. Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data amplitudo dari setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi eksponensial dari arah antar beam dan normal factor. Nilai amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan, sudut datang, jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas permukaan (Urick, 1983).
Berdasarkan data survei PPPGL terdapat 22 stasiun pengambilan data sampel coring dengan jenis sedimen yang teridentifikitasi yaitu silty sand, sandy silt, sand dan rocks (Lampiran 4). Setiap sampel coring memiliki data posisi atau kordinat, kordinat tersebut dioverlay terhadap nilai amplitudo yang dihasilkan dari hasil pemeruman. Setiap jenis sedimen akan mempunyai kisaran amplitudo, nilai inilah yang digunakan untuk klasifikasi dasar perairan. Kisaran nilai amplitudo dari setiap jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik sebaran nilai amplitudo berdasarkan data coring
Pengambilan data sampel coring dilakukan di sekitar jalur penelitian. Gambar 17 menunjukkan sebaran nilai ampltitudo dasar perairan yang diperoleh dari data pemeruman yang telah diekstrak dengan mencocokkan kordinat sampel coring. Berdasarkan hasil pencocokan tersebut diperoleh sebaran nilai amplitudo dengan nilai minimum sebesar 250 dan nilai maksimum sebesar 500. Kisaran nilai amplitudo tersebut didasarkan pada jenis sedimen yang ditemui dari hasil pengambilan sampel coring, dimana terdiri atas empat jenis sedimen yaitu, silty sand, sandy silt, sand dan rocks. Keempat jenis sedimen tersebut kemudian diplotkan kedalam peta klasifikasi dasar perairan.
Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen dasar laut menggunakan nilai amplitudo dicocokkan dengan hasil pengambilan sampel coring telah dilakukan oleh Aritonang pada tahun 2010 di perairan Labuhan Maringgai (Lampung)-Bojonegara (Banten) menggunakan data multibeam Elac Seabeam 1050 D. Penelitian yang sama dilakukan oleh Gumbira pada tahun 2011 sebagai
pertimbangan dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut di perairan Balongan, Indramayu. Hasil penelitian tersebut menujukkan sebaran sedimen di lokasi penelitain dengan kisaran ampltitudo tertentu yang bergantung pada jenis
sedimennya. Tabel 5 memperlihatkan kisaran ampltitudo dan jenis sedimen dari penelitian yang pernah dilakukan.
Tabel 5. Kisaran ampltitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian
Peneliti Kisaran
Amplitudo
Jenis Sedimen Ukuran Butiran
(mm) Aritonang (2010) 311-352 Silty clay 0,004-0,062 352-399 Clayey silt <0,004 399-428 Sandy silt 0,062-2 Gumbira (2011) 300-350 Silt 0,01-0,08 350-400 Silty clay 0,008-0,01 400-450 Clayey silt 0,001-0,01 Penelitian ini (2012) 250-297 Silty Sand 0,004-0,04 297-360 Sandy Silt 0,04-0,062 360-403 Sand 0,062-2 403-500 Rocks > 256
Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan
menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom perairan dan ukuran butiran sedimen yang berbeda (Urick, 1983). Nilai amplitudo yang berada di luar kisaran dianggap sebagai data yang tidak terdeteksi. Nilai amplitudo difilter sehingga hanya dihasilkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian. Nilai inilah yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat sebaran sedimen di lokasi penelitian. Gambar 18 merupakan perbedaan antara nilai ampltitudo yang belum difilter dan setelah difilter.
Gambar 18. Kisaran nilai amplitudo: (a) sebelum difilter, (b) setelah difilter
Gambar 18a merupakan kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian yang belum difilter. Pada gambar tersebut terdapat dua kisaran nilai amplitudo yang mempunyai selang sangat besar, pertama pada nilai amplitudo terendah yaitu pada selang -371,096 ke 267,273 dan kedua terdapat pada akhir selang yaitu dari 398,735 ke 1300,730. Nilai ini diindikasi berasal dari data yang tidak terdeteksi, sehingga untuk selanjutnya kisaran nilai ini tidak diperlukan. Kisaran nilai ampltitudo yang tidak diperlukan dibuang atau difilter melalui perangkat lunak MB System berbasis linux. Pemfilteran ini dilakukan secara manual dengan cara mengamati kisaran nilai amplitudo kemudian mengubah nilai dan selang
amplitudo yang benar-benar berasal dari lokasi penelitian. Setelah dilakukan pemfilteran kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian berada pada selang 250- 500 (Gambar 18b), nilai inilah yang kemudian dipakai untuk melihat sebaran sedimen.
a
b
Peta klasifikasi dasar perairan memperlihatkan sebaran jenis sedimen yang teramati secara spasial melalui pemeruman. Data hasil pemeruman yang diolah menjadi peta klasifikasi dasar perairan merupakan hasil olahan nilai amplitudo yang terdeteksi. Klasifikasi dasar perairan pada penelitian ini dimulai dari perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Kisaran nilai amplitudo dari 250-500 terdiri atas empat jenis sedimen, dimana setiap jenis sedimen mempunyai kisaran nilai amplitudo yang berbeda-beda.
Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik, hal demikian terlihat pada sebaran sedimen yang berbeda dengan perairan yang lain. Perairan Selat Sunda mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang mempunyai karakter berbeda yaitu Laut Jawa dan Samudera Hindia. Laut Jawa relatif mempunyai aktifitas oseanografi yang lemah, berbeda dengan perairan Samudera Hindia yang mempunyai aktifitas oseanografi yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut