• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Gempa Bumi

Dalam dokumen Skripsi LUSTI NUR AZIZAH NIM (Halaman 27-0)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gempa Bumi

2.1.2 Klasifikasi Gempa Bumi

Berdasarkan hiposentrum, gempa bumi dibedakan menjadi 3, yaitu : a. Gempa bumi dalam (Deep Earthquake)

Gempa bumi dalam adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada lebih dari 300 km di bawah permukaan bumi. Gempa bumi dalam pada umumnya tidak terlalu berbahaya. Tempat yang pernah mengalami adalah dibawah Laut Jawa, Laut Sulawesi, dan Laut Flores.

b. Gempa bumi menengah (Intermediate Earthquake)

Gempa bumi menengah adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada antara 60 km sampai 300 km di bawah permukaan bumi. Gempa bumi menengah pada umumnya menimbulkan kerusakan ringan dan getarannya

15

lebih terasa. Tempat yang pernah terkena antara lain: sepanjang Pulau Sumatera bagian barat, Pulau Jawa bagian selatan, sepanjang Teluk Tomini, Laut Maluku, dan Kep.NusaTenggara.

c. Gempa bumi dangkal (Shallow Earthquake)

Gempa bumi dangkal adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada kurang dari 60 km dari permukaan bumi. Gempa bumi ini biasanya menimbulkan kerusakan yang besar. Tempat yang pernah terkena antara lain: Pulau Bali, Pulau Flores, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Sedangkan menurut kekuatannya (magnitude), gempa bumi dibedakan atas : a. Gempa bumi sangat besar dengan magnitude lebih besar dari 8 SR.

b. Gempa bumi besar magnitude antara 7 hingga 8 SR.

c. Gempa bumi sedang magnitude antara 5 hingga 6 SR.

d. Gempa bumi sedang magnitude antara 4 hingga 5 SR.

e. Gempa bumi kecil dengan magnitude antara 3 hingga 4 SR f. Gempa bumi mikro magnitude antara 1 hingga 3 SR.

g. Gempa bumi ultra mikro dengan magnitude lebih kecil dari 1 SR.

Lalu berdasarkan jarak episentrum, gempa bumi dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Gempa bumi lokal, yaitu episentrumnya kurang dari 10.000 km.

b. Gempa bumi jauh, yaitu episentrumnya sekitar 10.000 km.

c. Gempa bumi sangat jauh, yaitu episentrumnya lebih dari 10.000 km.

16 2.1.3 Parameter Gempa bumi

Gempa bumi merupakan peristiwa geologi yang dampaknya bersifat menyeluruh. Besarnya intensitas atau kekuatan gempa bumi diukur dengan suatu alat yang disebut seismograf dan data hasil pencatatan seismograf yang berupa grafik disebut seismogram. Besarnya intensitas gempa bumi tergantung pada (Khairani, 2016) :

a. Jarak Episenter

Episenter adalah posisi gempa tegak lurus terhadap hiposentrum ditarik ke permukaan bumi digambarkan dengan lintang dan bujur bumi.

b. Kedalaman pusat gempa bumi (Depth)

Pusat gempa bumi dikenal dengan hiposentrum, yaitu tempat terjadinya perubahan lapisan batuan atau dislokasi di dalam bumi sehingga menimbulkan gempa bumi. Hiposentrum memuat data lintang dan bujur gempa ditambah kedalaman dari gempa bumi tersebut.

c. Waktu terjadinya gempa bumi (Origin Time-OT)

Waktu terjadinya gempa bumi (Origin Time-OT) adalah waktu terlepasnya akumulasi tegangan (stress) yang berbentuk penjalaran gelombang gempa dan dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, detik dalam satuan UTC (Universal Time Coordinated).

d. Kekuatan gempa bumi (Magnitude)

Magnitude adalah ukuran kekuatan gempa, menggambarkan besarnya energi yang terlepas pada saat gempa terjadi dan merupakan hasil pengamatan seismograf. Di Indonesia (BMKG), Magnitude menggunakan

17

Skala Ritcher (SR). Konsep “Magnitudo Gempa” sebagai skala kekuatan relatif hasil dari pengukuran fase amplitude dikemukakan pertama kali oleh K. Wadati dan C. Ritcher sekitar tahun 1930 (Khairani, 2016).

e. Skala Gempa

Skala gempa merupakan suatu ukuran kekuatan gempa yang dapat diukur dengan secara kuantitatif dan kualitatif. Ada dua macam skala yang biasanya digunakan sebagai ukuran kekuatan gempa:

1. Skala kekuatan gempa bumi berdasarkan amplitude gelombang seismik (Skala Ritcher).

2. Skala intensitas gempa bumi yang bersifat subjektif dimana diambil berdasarkan goncangan (goyahnya bangunan), pecahnya kaca, retaknya tanah, dan larinya orang-orang keluar. MMI (Modified Mercally Intensity) atau SIG (Skala Intensitas Gempa bumi BMKG).

Tabel 2.1Hubungan antara magnitudo dan intensitas gempa bumi (Gracynthia, 2015)

18

Pada saat terjadi gempa bumi biasanya diiringi oleh beberapa macam goncangan antara lain:

a. Foreshock

Foreshock adalah deretan goncangan yang terjadi sebelum gempa bumi dimana tidak ada yang dapat memperkirakan berapa lama gempa bumi akan terjadi setelah foreshock ini.

b. Aftershock

Aftershock adalah deretan goncangan yang terjadi setelah gempa bumi yang dapat terjadi selama berbulan-bulan.

c. Swarm

Swarm adalah sejumlah besar goncangan kecil tanpa ada gempa bumi utama.

2.1.4 Metode Penentuan Epicenter Gempa Bumi (Salomo, 2012)

Lokasi pusat gempa adalah salah satu parameter gempa yang diperlukan oleh para ahli gempa untuk menghitung besarnya energi yang dilepaskan. Dalam menentukan lokasi epicenter gempa bumi diperlukan data waktu tiba gelombang seismik, sekurang-kurangnya 4 data waktu tiba gelombang P. Beberapa metode yang digunakan untuk menentukan epicenter gempa bumi adalah sebagai berikut :

a. Metode Lingkaran dengan Tiga Stasiun

Pada metode ini, dianggap ada tiga stasiun pencatat yang dimisalkan dengan S1, S2, dan S3. Menggunakan dua stasiun pencatat sebagai

19

pusatnya, yaitu S2 dan S3 maka epicenter yang dicari adalah pusat sebuah lingkaran yang melalui S1 dan menyinggung kedua lingkaran yang t = waktu tiba gelombang

Metode ini dilakukan secara berulang-ulang dengan membuat lingkaran ketiga sehingga didapatkan titik pusat yang terbaik. Hal ini membuat metode ini kurang dapat diandalkan, karena hasilnya bergantung pada ketelitian penggambaran ketiga lingkaran tersebut.

b. Metode Hiperbola

Pada metode ini, dianggap ebahwa kecepatan gelombang seismik (v) konstan dengan tiga stasiun, yaitu S1, S2, dan S3. Dari ketiga stasiun tersebut, masing-masing diukur waktu tiba gelombang seismiknya yang dinyatakan dengan t1, t2, dan t3, dimana t3 > t2 > t1. Maka dengan menggunakan pasangan stasiun S1 dan S2, episenternya harus terletak pada sebuah kurva dengan harga t2-t1 konstan. Kurva yang tebentuk akan berupa hiperbola dengan S1 dan S2 sebagai titik fokusnya. Karena telah diketahui t2 > t1, maka kurva hiperbolanya cekung ke arah titik S1. Setelah itu, dilakukan dengan cara yang sama terhadap pasangan stasiun S2 dan S3

20

serta S3 dan S1. Ketiga hiperbola ini berpotongan pada suatu titik dan titik potong ini adalah episenternya.

c. Metode Titik Berat

Dalam metode ini didapatkan 2 hal, yaitu koordinat episenter dan kedalaman fokusnya. Pada metode ini, jari-jari lingkaran adalah jarak hiposenter , dimana k adalah konstanta Omori yang besarnya tergantung pada kondisi geologi setempat dan sekitar 7,8.

Sedangkan (s-p) adalah selisih waktu tiba gelombang S dan P. koordinat episenter E merupakan perpotongan garis berat ketiga lingkaran tersebut.

Untuk menghitung kedalaman hiposenter (h), digunakan rumus Pythagoras:

d. Metode Gerak Partikel

Metode ini digunakan untuk menentukan hiposenter dengan menggunakan satu stasiun yang memiliki 3 komponen. Penentuan arah awal impuls ketiga komponen harus jelas serta variable yang dipakai adalah setengah amplitude awal impuls gelombang P dan beda waktu gelombang S dan P.

Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : menentukan arah impuls awal ketiga komponen, kemudian perhatikan rekaman komponen vertikal.

21

Jika komponen vertikal kompresi, maka pada komponen horizontalnya tandanya harus dibalik (C = minus, D = plus), sebaliknya jika komponen vertikal dilatasi maka komponen horizontalnya tandanya tetap (C = plus, D = minus). Dari bacaan amplitude komponen horizontal dibuat vektor resultannya, misalnya AH dan pada komponen vertikal (AV) dan AH dibuat vektor resultannya, misalnya AR.

e. Metode Geiger

Metode Geiger adalah metode yang menggunakan data waktu tiba gelombang P dan atau gelombang S dengan anggapan bahwa bumi terdiri dari lapisan datar yang homogen isotropic, sehingga waktu tiba gelombang akibat pemantulan dan pembiasan untuk setiap lapisan dapat dihitung.

Cara yang digunakan adalah dengan memberikan harga awal hiposenter, kemudian menghitung waktu rambat gelombang untuk setiap stasiun yang digunakan. Hasil dari perhitungan ini didapatkan residu, yaitu selisih antara waktu rambat gelombang yang diamati dengan waktu rambat gelombang yang dihitung untuk setiap stasiun.

2.2 Tatanan Tektonik Pulau Sulawesi

Sulawesi adalah bagian dari kepulauan Indonesia yang memiliki luas wilayah sebesar 174.600 km2 (Sompotan, 2012). Memiliki bentuk yang sangat unik, yaitu menyerupai huruf K dengan empat semenanjung yang mengarah ke timur, timur laut, tenggara dan selatan (Sompotan, 2012). Perkembangan tektonik di Sulawesi sudah berlangsung sejak zaman Tersier hingga sekarang

22

dan termasuk daerah teraktif di Indonesia (Kaharuddin, Hutagalung, &

Nurhamdan, 2011).

Sulawesi terletak pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia atau dikenal dengan triple junction (PuSGen, 2017). Tiga lempeng tersebut adalah lempeng Hindia-Australia yang bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan-tenggara. Adapun lempeng yang lebih kecil, yaitu lempeng Filipina (Sompotan, 2012).

Akibat triple junction inilah Pulau Sulawesi memiliki tatanan tektonik yang kompleks dan masih sangat aktif bergerak sampai saat ini sehingga sering menghasilkan gempa (PuSGen, 2017). Pergerakan dari lempeng-lempeng tersebut mengakibat terbentuknya sesar. Sesar adalah bidang rekahan yang disertai dengan adanya pergeseran relatif (displacement) satu blok terhadap blok batuan lainnya (Gracynthia, 2015). Oleh karena itu, Sulawesi memili pola deformasi yang kompleks baik dalam bentuk sesar datar (strike slip fault) maupun sesar naik (thrust fault) (PuSGen, 2017).

Terdapat empat sesar datar (sesar transcurrent) di kawasan Pulau Sulawesi, yaitu Sorong-Matano transcurrent yang bersifat sinistral (mengiri), Gorontalo transcurrent yang bersifat dekstral (menganan), Palu-Koro transcurrent dan Walanae transcurrent yang bersifat sinisral (Kaharuddin, Hutagalung, & Nurhamdan, 2011). Kecepatan dari setiap struktur geologi tersebut juga berbeda-beda (Gambar 2.7).

23

Gambar 2.7 Struktur Geologi Regional di Pulau Sulawesi (PuSGen, 2017)

North Sulawesi Subduction dengan kecepatan pergeseran 42-50 mm/th berada di sebelah utara Sulawesi (Socquet dkk., 2006 dalam (PuSGen, 2017)).

Sesar Gorontalo berada di darat dengan kecepatan pergeseran 11mm/th, lalu dari arah timur bergerak mendekat kemenerusan Sesar Sorong dengan kecepatan pergeseran 32 mm/th (Rangin dkk., 1999 dalam (PuSGen, 2017)).

Di bagian tengah terdapat Sesar Palu-Koro yang aktif bergerak dengan pergesaran 41-45 mm/th (Socquet dkk., 2006 dalam (PuSGen, 2017)), 34 mm/yr (Sarsito, 2010 dalam (PuSGen, 2017)) dan pergesaran geologi 29 mm/th (Bellier dkk., 2001 dalam (PuSGen, 2017)). Lalu ke arah timur ada

24

Sesar Matano dengan besar pergeseran sekitar 20 mm/th (Socquet dkk., 2006 dalam (PuSGen, 2017)).

2.3 Sesar di Daerah Sulawesi Tengah

Kota Palu yang berada di Sulawesi Tengah merupakan salah satu kota yang sangat rentan akan bencana gempa bumi (ACT, 2015). Sesar Palu-Koro merupakan sesar utama di Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut Ballier dkk.

(2001) Sesar Palu-Koro adalah sesar mendatar dengan besar pergeseran tinggi dan tingkat kegempaan yang tinggi. Sesar Palu-Koro memanjang dari utara (Palu) ke Selatan (Malili) hingga teluk bone sepanjang  240 km dengan sifat sinistral. Sesar Palu-Koro juga aktif bergerak dengan kecepatan 25-30 mm/th (Kaharuddin, Hutagalung, & Nurhamdan, 2011). Selain itu, sesar Palu-Koro berhubungan dengan sesar Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedang di ujung utara melalui Selat Makassar berpotongan dengan zona subduksi lempeng Laut Sulawesi (Kaharuddin, Hutagalung, & Nurhamdan, 2011).

Selain sesar Palu-Koro, terdapat juga sesar Matano yang merupakan sesar aktif di Sulawesi Tengah yang memanjang dengan arah barat laut-tenggara. Sesar ini memiliki panjang 170 km terukur dari daerah pantai Bahodopi di Teluk Tolo, ke arah barat laut melewati sepanjang lembah Sungai Larangsangi ke area di sebelah utara Desa Lampesue, Petea, sepanjang pantai Danau Matano, Desa Matano dan menyambung di barat laut dengan lembah Sungai Kalaena. Sesar ini bersifat sinistral dengan arah pergeseran relative 5 mm/tahun (IAGI, 2017).

25

Di Sulawesi Tengah dan sekitarnya juga banyak terdapat sesar-sesar aktif lain, yaitu Sesar Palolo, Sausu, Tokararu, Napu Thrust, Besoa Fault, bada Fault, Maleei Fault, Poso Fault, Loa Fault dan Weluki Fault. Mekanisme dari sesar-sesar tersebut rata-rata adalah sesar normal dan sesar naik (reverse) (PuSGen, 2017).

Gambar 2.8 Peta sesar aktif di Sulawesi Bagian Tengah (PuSGen, 2017)

Hal tersebut yang membuat tingkat kegempaan di Sulawesi Tengah dan sekitarnya cukup tinggi. Beberapa catatan sejarah gempa berdasarkan informasi BMKG yaitu gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Watusampu, Palu pada tahun 1927, Pantai Barat Donggala 1930, Parigi 1938, Tambu 1968, Toli-Toli dan Palu 1996, Palu 2005, dan Sigi pada tanggal 18 Agustus 2012 dengan kekuatan gempa 6,2 SR (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014).

26

Gempa bumi terakhir yang terjadi di Sulawesi Tengah adalah gempa bumi dengan kekuatan 6,6 SR di Poso pada tahun 2017. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa telah terjadi gempa bumi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah dengan lokasi gempa 1,33 LS-120,41 BT berpusat di 38 Km Barat Laut Kab. Poso-Sulawesi Tengah berkekuatan 6,6 SR. Gempa bumi tersebut terjadi pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 21.35 dengan kedalaman 10 Km dibawah permukan laut. Akibat gempa bumi tersebut terjadi kerusakkan rumah warga sebanyak 164 rumah mengalami rusak berat dan 86 rumah mengalami rusak ringan (BNPB, 2017).

2.4 Metode Coupled Velocity-Hypocenter

Relokasi gempa bumi adalah melakukan perhitungan ulang atau koreksi terhadap posisi hiposenter gempa bumi. Data hiposenter gempa bumi yang akurat dapat digunakan untuk mengidentifikasi zona sesar, menganalisis statistic spasial-temporal gempa, serta pencitraan tomografi (PuSGen, 2017).

Salah satu metode yang digunakan untuk relokasi hiposenter gempa bumi adalah metode coupled velocity-hypocenter.

Metode coupled velocity-hypocenter merupakan metode relokasi gempa, penentuan model kecepatan 1-D gelombang bawah permukaan, dan koreksi stasiun secara bersamaan menggunakan prinsip metode Geiger, di mana pembaharuan model kecepatan menggunakan persamaan Kissling (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014). Metode Geiger merupakan metode penentuan hiposenter tunggal dengan cara menghitung waktu residual yaitu

27

selisih antara waktu pengamatan (observed time) dan waktu perhitungan (calculated time) (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014).

Dalam menyelesaikan metode coupled velocity-hypocenter digunakan software Velest 3.3. Beberapa data yang digunakan, yaitu data gempa bumi, model awal kecepatan yang sesuai dengan daerah penelitan, dan lokasi stasiun di sekitar daerah penelitian (Gracynthia, 2015). Pada penelitian ini dilakukan perhitungan model kecepatan 1-D gelombang P. Perhitungan model kecepatan 1-D gelombang bawah permukaan ini digunakan sebagai prosedur penentuan lokasi gempa dan sebagai model acuan untuk tomografi seismik (Kissling, 1995).

Pada metode ini dianggap bahwa bumi terdiri dari lapisan datar yang homogen isotropik, hal ini dilakukan agar waktu tiba gelombang yang terjadi karena pemantulan dan pembiasan pada setiap lapisan dapat dihitung (Gracynthia, 2015). Dalam melakukan pengamatan waktu tiba gelombang dapat dinyatakan dalam suatu formula tobs, yaitu tobs = f (s, h, m), dimana s, h, dan m adalah koordinat stasiun, parameter hiposenter (origin time dan lokasi koordinat hiposenter) dan model kecepatan, sedangkan fungsi f adalah fungsi nonlinear dari parameter h dan m yang tidak diketahui sebelumnya (Sabtaji, 2017). Dengan dapat dihitungnya waktu tiba gelombang tcal untuk setiap stasiun, maka di peroleh pembaharuan model kecepatan menggunakan persamaan Kissling (Gracynthia, 2015; Sabtaji, 2017) :

28

tres = residual atau selisih waktu tempuh

tobs = waktu tempuh observasi; tcal = waktu tempuh perhitungan

f = fungsi terhadap lokasi stasiun (s), lokasi hiposenter dan origin time (h), dan model kecepatan (m)

e = koreksi stasiun k = jumlah hiposenter i = jumlah stasiun

Dalam melakukan satu iterasi, tahapan yang dilakukan adalah melakukan forward modeling terhadap parameter hiposenter, model kecepatan gelombang seismik 1-D, dan koreksi stasiun dengan ray tracing dari gempa ke stasiun untuk memperoleh Tcal. Kemudian inverse modeling dilakukan dengan menyelesaikan matriks damped least square [At A + L] (A = Matriks Jacobi, At = transpos Matriks Jacobi; L = Matriks damping). Penggunaan nilai damping akan mempengaruhi nilai perturbasi parameter model (Δm), dengan hubungan antara besarnya damping dan nilai Δm adalah berkebalikan (Akbar, Nugraha, & Sule, 2012).

Setelah dilakukan inverse modeling, maka didapat hasil berupa vektor perbaikan parameter model (Δm) yang kemudian akan diperoleh nilai

29

parameter hiposenter, model kecepatan gelombang seismic 1-D, dan koreksi stasiun. Tahapan berikutnya, nilai-nilai tersebut kemudian di forward modeling kembali untuk mendapatkan nilai Tcal baru yang akan dibandingkan misfitnya dengan Tcal sebelumnya dan berakhirlah tahapan dalam satu iterasi.

Pada setiap iterasi terdapat nilai RMS antara Tobs dan Tcal untuk mengatur jumlah iterasi hingga mencapai nilai RMS yang diharapkan (Akbar, Nugraha,

& Sule, 2012).

Gambar 2.9 Diagram alir software VELEST (Kissling, 1995)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah II, Ciputat. Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2018-Agustus 2018.

3.2 Alat dan Bahan

Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan adalah data gempa bumi tektonik hasil analisis dari BMKG Pusat mulai dari November 2009 sampai dengan Maret 2018. Selain itu dibutuhkan data stasiun-stasiun pencatat gempa bumi disekitar daerah Sulawasi Tengah dan data model kecepatan inisial yang akan digunakan. Data gempa bumi untuk model kecepatan 1-D gelombang P dan data stasiun-stasiun pencatat yang digunakan didapat dari katalog Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Beberapa peranti lunak pun digunakan dalam penelitian ini, yaitu software VELEST 3.3, Ms. Excel, Matlab R2014b, GMT, dan notepad++.

31 3.3 Diagram Alir

Mengumpulkan Data Gempa Bumi Wilayah Sulawesi Tengah dan Sekitarnya dari Katalog BMKG tahun 2009-2018

Memasukkan Data pada Software VELEST 3.3

Memperbarui model kecepatan dan merelokasi hiposenter menggunakan Metode Coupled Velocity-Hypocenter

Parameter hasil relokasi (Lat, Long, Depth, RMS, GAP)

Parameter hasil relokasi, model kecepatan akhir gelombang P, dan koreksi stasiun

Plotting model kecepatan inisial dan model kecepatan akhir gelombang P menggunakan Software Matlab R2014b dan memetakan parameter setelah direlokasi

menggunakan software GMT

HASIL

STOP

Pemilihan data sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan.

RMS  1 Tidak

Ya START

Menentukan Daerah Penelitian (Sulawesi Tengah dan Sekitarnya)

Gambar 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data

32 3.4 Proses Pengolahan Data

Pada penelitian ini ada beberapa tahap yang dilakukan untuk proses pengolahan data, yaitu :

3.4.1 Pemilihan Data

Dilakukan pemilihan data input terbaik berdasarkan batasan-batasan yang telah ditentukan dengan melakukan 1 kali tes iterasi menggunakan software VELEST 3.3. dalam penelitian ini juga digunakan 21 data stasiun, yaitu : BKB, SMKI, SGKI, KMSI, GTOI, SMSI, MRSI, TOLI, TOLI2, MPSI, APSI, LUWI, SRSI, KDI, KKSI, BNSI, SPSI, PMSI, TTSI, MMSI, dan PCI.

Beberapa kriteria kejadian gempa yang digunakan dalam memilih data adalah besar nilai azimuth gap ≤ 190 dan jumlah fase stasiun tiap kejadian gempa berjumlah  10 fase gelombang P. Berdasarkan kriteria tersebut, maka data yang sudah terpilih berjumlah 594 kejadian gempa. Data inilah yang akan digunakan untuk relokasi dan perhitungan model kecepatan 1-D gelombang P.

Gambar 3.2 Data Input Gempa Bumi Berekstensi *.cnv Untuk Software VELEST Pada Notepad++

33

3.4.2 Pengolahan Data Menggunakan VELEST 3.3

Pengolahan data menggunakan software VELEST 3.3 membutuhkan beberapa data input dengan file berekstensi sebagai berikut :

 *.cmn merupakan ekstensi file untuk kontrol parameter

 *.sta merupakan ekstensi file untuk list stasiun

 *.mod merupakan ekstensi file untuk model kecepatan inisial

 *.cnv merupakan ekstensi file untuk data gempa bumi

Setelah data input tersebut diolah, maka data output yang dihasilkan berupa relokasi hiposenter yang baru dan travel time, model kecepatan 1-D gelombang P yang baru dan koreksi stasiun dengan file berekstensi, yaitu :

 *.out (main print output)

Berikut merupakan file data input yang digunakan dalam software VELEST, penulisan data harus sesuai dengan format yang digunakan oleh software VELEST. Berikut penulisan untuk data input list stasiun dengan ekstensi file *.sta adalah :

34

Gambar 3.3 Data Input List Stasiun Untuk Software VELEST Pada Notepad++

Selain itu untuk penulisan data model kecepatan inisial dengan ekstensi file

*.mod adalah :

Gambar 3.4 Data Input Model Kecepatan Inisial Untuk Software VELEST Pada Notepad++

Berikut adalah model awal kecepatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

35

Untuk penulisan kontrol parameter dengan ekstensi file *.cmn adalah :

Gambar 3.5 Kontrol Parameter Untuk Software VELEST Pada Notepad++

Tabel 3.1 Model awal kecepatan (Azizah, 2014 dalam Gracynthia, 2015)

Kedalaman (km)

Kecepatan Gelombang P

(km/s)

-1.0 3.28

3.0 5.50

6.0 5.70

9.0 6.20

20.0 6.45

23.0 6.75

25.0 7.20

28.0 7.45

36

Setelah semua data sesuai dengan format yang dibutuhkan oleh program VELEST 3.3, maka langkah yang dilakukan adalah menyesuaikan antara data yang digunakan dengan control parameter (berekstensi *.cmn).

Contohnya menyamakan jumlah data yang digunakan dengan yang tertera pada control parameter. Selanjutnya yaitu dilakukan running data pada program. Setelah dilakukan running data maka tahap yang terakhir dilakukan adalah menganalisis output dari running data tersebut.

Apabila didapatkan hasil RMS akhir lebih besar dari satu, maka harus dilakukan perhitungan ulang dengan memperbanyak iterasi atau melakukan pemilihan data kembali dengan mengubah kriteria yang digunakan sebelumnya. Namun bila telah didapatkan hasil RMS akhir lebih kecil dari satu, maka dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

3.4.3 Plotting Pemetaan Hasil Relokasi Hiposenter dan Model Kecepatan Gelombang P

Setelah dilakukan pengolahan data menggunakan software VELEST, maka didapat hasil longitude, latitude, dan depth yang baru. Data-data tersebut lalu dipetakan menggunakan software GMT dan dibandingkan dengan hiposenter sebelum relokasi. Untuk melihat hasil relokasi, maka dibuat peta cross section untuk melihat perubahan yang terjadi setelah di relokasi.

Sedangkan model kecepatan gelombang P inisial dan model kecepatan gelombang P yang baru di plotting menggunakan software Matlab R2014b.

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Relokasi Hiposenter

Pada penelitian ini dilakukan relokasi gempa bumi dan penentuan model kecepatan 1-D gelombang P menggunakan software VELEST 3.3.

Penelitian ini menggunakan data kejadian gempa bumi di daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya dari tahun 2009 sampai dengan 2018. Data kejadian gempa bumi yang digunakan sebanyak 594 kejadian dengan 21 stasiun. Data-data tersebut didapatkan dari katalog BMKG. Berikut adalah 21 stasiun yang digunakan, yaitu :

Tabel 4.1 Lokasi Stasiun Pengamat Gempa Bumi

Stasiun Nama Stasiun Latitude Longitude

BKB

Balikpapan, Kalimantan

Selatan, Indonesia 1.1073S 116.9048E

SMKI

Samarinda, Kalimantan

Timur Indonesia 0.4461S 117.2085E

SGKI

Sangata, Kalimantan Timur,

Indonesia 0.5302N 117.6043E

KMSI

Kotamubogo, Sulawesi

Utara, Indonesia 0.5745N 123.9806E

GTOI Gorontalo 0.7628N 122.8700E

SMSI

Sumalata, Gorontalo,

Indonesia 0.9885N 122.3654E

MRSI

Marissa, Gorontalo, Sulawesi

Utara, Indonesia 0.4770N 121.9405E

TOLI Toli-Toli, Sulawesi Tengah 1.1213N 120.7944E TOL2 Toli-Toli, Sulawesi Tengah 1.1213N 120.7944E

MPSI

Mapaga, Donggola, Sulawesi

Tengah 0.3374N 119.8980E

APSI

Ampana, Sulawesi Tengah,

Indonesia 0.9107S 121.6486E

LUWI Luwuk, Sulawesi Tengah 1.0418S 122.7716E

SRSI Sorowako 2.5315S 120.8700E

KDI Kendari, Sulawesi Tenggara, 3.9574S 122.6192E

38 Indonesia

KKSI

Kolaka, Sulawesi Tenggara,

Indonesia 4.1717S 121.6512E

BNSI

Bone, Sulawesi Selatan,

Indonesia 4.4005S 120.1065E

SPSI

Sidrap Palu, Sulawesi

Selatan, Indonesia 3.9646S 119.7691E

PMSI

Majene, Sulawesi Barat,

Indonesia 3.5008S 118.9149E

TTSI

Tana Toraja, Sulawesi

Selatan, Indonesia 3.0451S 119.8190E

MMSI Mamuju 2.6892S 118.9090E

PCI

Palu, Sulawesi Tengah,

Indonesia 0.9054S 119.8366E

Gambar 4.1 Sebaran 21 stasiun gempa bumi yang digunakan

Data gempa yang digunakan adalah gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 km. Untuk perhitungan relokasi dan penentuan model

Data gempa yang digunakan adalah gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 km. Untuk perhitungan relokasi dan penentuan model

Dalam dokumen Skripsi LUSTI NUR AZIZAH NIM (Halaman 27-0)

Dokumen terkait