• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi LUSTI NUR AZIZAH NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Skripsi LUSTI NUR AZIZAH NIM"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI DAN MODEL STRUKTUR KECEPATAN 1 DIMENSI

GELOMBANG P DENGAN MENGGUNAKAN

METODE COUPLED VELOCITY-HYPOCENTER DI DAERAH SULAWESI TENGAH DAN SEKITARNYA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)

LUSTI NUR AZIZAH NIM. 11140970000010

PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2018 M

(2)
(3)
(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya saya yang dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan saya memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 27 September 2018

Lusti Nur Azizah

(5)

v

ABSTRAK

Pulau Sulawesi tersusun atas tatanan tektonik yang kompleks. Sebagian besar aktivitas gempa bumi di Sulawesi dipengaruhi oleh Sesar Palu–Koro dan Sesar Matano. Sesar Palu–Koro dan Sesar Matano merupakan salah satu sesar yang terdapat di Sulawesi Tengah. Pergerakan aktif dari sesar tersebut mengakibatkan tingginya aktivitas gempa bumi di wilayah Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Hal tersebut menjadikan pentingnya parameter gempa bumi di daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Salah satu upaya untuk mengetahui informasi parameter gempa bumi dengan akurat adalah dengan melakukan relokasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan relokasi hiposenter gempa bumi dan menentukan struktur kecepatan 1-D gelombang P pada daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya menggunakan metode Coupled Velocity–Hypocenter dengan perangkat lunak Velest 3.3. Data yang digunakan adalah data gempa bumi tektonik mulai dari November 2009 sampai dengan Maret 2018, data stasiun pencatat, dan data kecepatan inisial. Hasil dari pengolahan data menggunakan perangkat lunak Velest 3.3 adalah sebagian dari hasil relokasi mendekati sesar, Vp hasil akhir pada kedalaman 9 km lebih lambat dibandingkan dengan Vp inisial, koreksi stasiun yang didapatkan pada perhitungan ini berada pada interval -0.81 sampai dengan +0.54.

Kata kunci: Metode Coupled Velocity–Hypocenter, Relokasi Hiposenter, Sulawesi Tengah, VELEST 3.3.

(6)

vi

ABSTRACT

Sulawesi Island is composed of complex tectonic arrangements. Most earthquake activities in Sulawesi are affected by the Palu-Koro Fault and Matano Fault. Palu-Koro Fault and Matano Fault are one of the faults in Central Sulawesi.

Active movement of the fault results in high earthquake activity in the region of Central Sulawesi and its surroundings. This makes the importance of earthquake parameters in Central Sulawesi and surrounding areas. One of the efforts to find out earthquake parameter information accurately is to relocate. The purpose of this study was to conduct hypocenter earthquake relocation and determine the 1-D velocity structure of P waves in Central and surrounding areas using the Coupled Velocity-Hypocenter method with Velest 3.3 software. The data used are tectonic earthquake data from November 2009 to March 2018, data recording stations, and initial speed data. The results of data processing using the Velest 3.3 software are that some of the results of the relocation are close to fault, the final Vp at a depth of 9 km is slower than the initial Vp, the correction of the station obtained in this calculation is in the interval -0.81 to +0.54.

Keyword: Central Sulawesi, Coupled Velocity–Hypocenter Method, Hypocenter Relocation, VELEST 3.3.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, Tuhan pemilik segalanya, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini tepat pada waktunya. Laporan tugas akhir ini berjudul

“RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI DAN MODEL STRUKTUR KECEPATAN 1 DIMENSI GELOMBANG P DENGAN MENGGUNAKAN

METODE COUPLED VELOCITY-HYPOCENTER DI DAERAH

SULAWESI TENGAH DAN SEKITARNYA”.

Laporan tugas akhir ini tidaklah dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat :

1. Kedua orang tua, M. Lustoro dan Hermawati beserta kedua adik saya, yang saya cintai, terima kasih karena telah mendoakan, memberikan dukungan baik moral maupun moril, dan menjadi penyemangat bagi penulis.

2. Bapak Agung Sabtaji, M.Si selaku dosen pembimbing lapangan yang selalu memberikan arahan dan mengajarkan penulis selama penelitian.

3. Bapak Arif Tjahjono, M.Si selaku dosen pembimbing dan Ketua Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan, kritik dan saran yang membangun, serta bimbingan dalam penulisan laporan tugas akhir.

(8)

viii

4. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Teman-teman Fisika UIN 2014, yaitu Ilma, Fawzan, Ari, Pras, Baim, Amaliyah, Millah, Qalisha, Indah, Purnama, Habib, Ilman, Muhlis, Fikri, Artoni, Siva, Suci, Ario, Bayu, Achmed, Nadhia, Alvin, Bella, Sutedi, Husain, Fahmi, Wahid, Mumtaz yang senantiasa memberikan semangat dan bantuannya kepada penulis.

6. Teman-teman DEMA FST periode 2014/2015, 2015/2016, 2016/2017 yang telah memberikan banyak pengalaman dalam berorganisasi.

7. Teman-teman Club Anti Kendur, yaitu Titik Tiara Sukma, Kak Enny Zuita, Sinta Dara P., M. Nur Aziz, Noval Abdillah, dan Rizkita Agung yang telah menjadi teman yang baik, serta penyemangat bagi penulis agar cepat menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, untuk kesempurnaannya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Diskusi dan kritik serta saran yang membangun dari pembaca dapat disampaikan melalui alamat surat elektronik penulis, [email protected]. Penulis berharap semoga Allah SWT memberkahi laporan tugas akhir ini dan laporan tugas akhir ini bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 6 September 2018

Penulis

(9)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Batasan Masalah... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Sistematika Penulisan ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1 Gempa Bumi ... 8

2.1.1 Gelombang Energi Gempa atau Gelombang Seismik ... 10

2.1.2 Klasifikasi Gempa Bumi ... 14

2.1.3 Parameter Gempa bumi ... 16

2.1.4 Metode Penentuan Epicenter Gempa Bumi ... 18

2.2 Tatanan Tektonik Pulau Sulawesi ... 21

2.3 Sesar di Daerah Sulawesi Tengah ... 24

(10)

x

2.4 Metode Coupled Velocity-Hypocenter ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

3.2 Alat dan Bahan ... 30

3.3 Diagram Alir ... 31

3.4 Proses Pengolahan Data ... 32

3.4.1 Pemilihan Data ... 32

3.4.2 Pengolahan Data Menggunakan VELEST 3.3 ... 33

3.4.3 Plotting Pemetaan Hasil Relokasi Hiposenter dan Model Kecepatan Gelombang P ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Hasil Relokasi Hiposenter ... 37

4.2 Hasil Model Kecepatan 1-D Gelombang P ... 45

BAB V KESIMPULAN ... 49

5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

LAMPIRAN ... 52

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya gempa bumi (Pawirodikromo, 2012) ... 9

Gambar 2.2 Penyebaran Gelombang Energi Gempa (Pawirodikromo, 2012) ... 11

Gambar 2.3 Macam-macam gelombang energi gempa (Pawirodikromo, 2012) .. 12

Gambar 2.4 Penjalaran gelombang P (sumber: (IRIS, iris.edu)) ... 12

Gambar 2.5 Penjalaran gelombang S (sumber: (IRIS)) ... 13

Gambar 2.6 Penjalaran gelombang permukaan (sumber: (IRIS)) ... 14

Gambar 2.7 Struktur Geologi Regional di Pulau Sulawesi (PuSGen, 2017) ... 23

Gambar 2.8 Peta sesar aktif di Sulawesi Bagian Tengah (PuSGen, 2017) ... 25

Gambar 2.9 Diagram alir software VELEST (Kissling, 1995) ... 29

Gambar 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data ... 31

Gambar 3.2 Data Input Gempa Bumi Berekstensi *.cnv Untuk Software VELEST Pada Notepad++ ... 32

Gambar 3.3 Data Input List Stasiun Untuk Software VELEST Pada Notepad++ .... ... 34

Gambar 3.4 Data Input Model Kecepatan Inisial Untuk Software VELEST Pada Notepad++ ... 34

Gambar 3.5 Kontrol Parameter Untuk Software VELEST Pada Notepad++ ... 35

Gambar 4.1 Sebaran 21 stasiun gempa bumi yang digunakan... 38

Gambar 4.2 Kurva Penurunan RMS hingga Iterasi ke 30 ... 39

Gambar 4.3 Persebaran epicenter gempa bumi sebelum di relokasi ... 40

Gambar 4.4 Peta sebaran hiposenter sebelum relokasi dengan irisan penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang ... 41

(12)

xii

Gambar 4.5 Peta sebaran hiposenter setelah relokasi dengan irisan penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang ... 41 Gambar 4.6 Diagram kompas untuk menunjukkan arah dan jarak pergeseran hiposenter ... 42 Gambar 4.7 Diagram rose untuk menunjukkan arah pergeseran terbanyak ... 43 Gambar 4.8 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempa sebelum relokasi dengan Interval 5 km ... 44 Gambar 4.9 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempa sesudah relokasi dengan Interval 5 km ... 44 Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Vp Inisial dan Vp Perhitungan Akhir ... 46

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hubungan antara magnitudo dan intensitas gempa bumi

(Gracynthia,2015) ... 17 Tabel 3.1 Model awal kecepatan (Azizah, 2014 dalam Gracynthia,

2015)………..…………..35 Tabel 4.1 Lokasi Stasiun Pengamat Gempa Bumi………37 Tabel 4.2 Hasil Akhir Perhitungan 1-D Vp ... 46 Tabel 4.3 Nilai koreksi stasiun pencatat gempa bumi. Stasiun LUWI adalah stasiun referensi dengan tulisan cetak tebal. ... 48

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gempa bumi adalah suatu peristiwa alam yang ditandai dengan bergetarnya permukaan tanah karena pelepasan energi secara tiba-tiba akibat dari pecah/slipnya massa batuan di lapisan kerak bumi (Pawirodikromo, 2012). Energi yang dihasilkan berupa gelombang seismik yang menjalar ke segala arah dari sumber gempa melewati kerak bumi sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan (Zera, 2007). Semakin besar energi yang dilepaskan, maka semakin kuat guncangan yang terjadi.

Indonesia adalah negara yang sangat rawan akan bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi karena berada pada jalur Ring of Fire. Indonesia berada diatas jalur pertemuan tiga lempeng besar (lempeng mayor), yaitu Hindia-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Selain itu juga terdapat satu lempeng minor, yaitu lempeng Philipina (Gracynthia, 2015). Hal tersebut membuat Indonesia sering mengalami kejadian gempa bumi setiap tahunnya, baik gempa yang dirasakan maupun tidak dirasakan. Mengetahui hal tersebut, Indonesia membutuhkan beberapa persiapan dalam menghadapi kejadian tersebut. Contohnya seperti memberikan wawasan atau edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya dan dampak dari gempa bumi, melakukan upaya-upaya mitigasi, serta mengembangkan alat-alat teknologi untuk menunjang keakuratan informasi data gempa bumi yang terjadi. Upaya-upaya tersebut sangat dibutuhkan untuk meminimalisir dampak-dampak dari gempa

(15)

2

bumi seperti robohnya bangunan, tsunami, tanah longsor, dan kerusakan ringan.

Menurut Hall dkk (2011) (PuSGen, 2017), Sulawesi adalah bagian dari Kepulauan Indonesia yang tersusun oleh tatanan tektonik yang kompleks.

Pergerakan relatif dari setiap lempeng mengakibatkan terjadinya sesar-sesar yang dapat berkembang menjadi daerah pusat sumber gempa bumi (BMKG, 2010). Lempeng-lempeng pada Pulau Sulawesi masih aktif bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda sehingga mengakibatkan Sulawesi sering mengalami gempa bumi.

Beberapa sesar aktif yang berada di Sulawesi, diantaranya Sesar Palu- Koro, Subduksi Sulawesi Utara, Sesar Sorong, Sesar Matano, dan Sesar Gorontalo (PuSGen, 2017). Kondisi tektonik tersebut menunjukan betapa pentingnya ketepatan parameter gempa bumi di daerah Sulawesi. Informasi ketepatan parameter gempa bumi ini dapat berfungsi sebagai upaya mitigasi gempa bumi melalui kajian lanjut identifikasi sesar dan menentukan daerah potensi panas bumi (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari peta gempa nasional, di lokasi Sulawesi yang sebelumnya memiliki 12 sumber gempa, pada tahun 2017 bertambah menjadi 48 sumber (PuSGen, 2017).

Sebagian besar aktivitas gempa bumi di Sulawesi dipengaruhi oleh Sesar Palu-Koro dan Sesar Matano. Sesar Palu-Koro adalah salah satu sesar yang terdapat di Sulawesi Tengah yang memanjang dari utara (kota Palu) ke

(16)

3

selatan (Malili) hingga teluk Bone sepanjang  240 km yang bersifat sinistral dan aktif dengan kecepatan 25-30 mm/tahun (Kaharuddin, Hutagalung, &

Nurhamdan, 2011). Sesar Palu-Koro berhubungan dengan sesar Metano- Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedangkan di ujung utara melalui Selat Makassar berpotongan dengan zona subduksi lempeng Laut Sulawesi (Kaharuddin, Hutagalung, & Nurhamdan, 2011). Pergerakan aktif dari sesar tersebut mengakibatkan tingginya aktivitas gempa bumi di wilayah Sulawesi Tengah.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa telah terjadi gempa bumi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah dengan lokasi gempa 1,33 LS-120,41 BT berpusat di 38 Km Barat Laut Kab. Poso-Sulawesi Tengah berkekuatan 6,6 SR. Gempa bumi tersebut terjadi pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 21.35 dengan kedalaman 10 Km dibawah permukan laut. Akibat gempa bumi tersebut terjadi kerusakkan rumah warga sebanyak 164 rumah mengalami rusak berat dan 86 rumah mengalami rusak ringan (BNPB, 2017). Hal tersebut menjadikan pentingnya parameter gempa bumi di daerah tersebut. Beberapa parameter yang sering digunakan sebagai informasi ke masyarakat antara lain magnitude, origin time, episenter, dan kedalaman pusat gempa (Rochman, Santosa, & Rokhman, 2012).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengetahui informasi parameter gempa bumi dengan akurat adalah dengan melakukan relokasi

(17)

4

hiposenter gempa bumi. Relokasi hiposenter gempa bumi merupakan suatu metode menghitung ulang atau mengkoreksi posisi hiposenter gempa bumi menjadi lebih baik dan akurat. Relokasi hiposenter ini menghasilkan gambaran liniasi atau kemenerusan hiposenter yang merepresentasikan struktur sesar di bawah permukaan bumi (Gracynthia, 2015). Beberapa faktor penting dalam menentukan hiposenter gempa bumi adalah waktu tiba gelombang primer (tp), kecepatan gelombang primer (Vp) dan waktu kejadian gempa bumi (origin time) (Shohaya, Madlazim, & Rahmawati, 2014).

Metode yang dapat digunakan untuk melakukan relokasi gempa bumi salah satunya dengan metode Coupled Velocity-Hypocenter. Metode Coupled Velocity-Hypocenter ini merupakan metode relokasi gempa dan koreksi stasiun secara bersamaan menggunakan prinsip metode Geiger, di mana pembaharuan model kecepatan menggunakan persamaan Kissling (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014). Metode ini juga digunakan untuk menentukan model kecepatan 1-D gelombang. Menurut Puspito (1996) (Shohaya, Madlazim, & Rahmawati, 2014) penentuan model struktur kecepatan gelombang gempa semacam ini dikenal sebagai metode inversi dengan memanfaatkan data yang terekam pada seismogram, yaitu data waktu tiba (arrival time) atau waktu tempuh (travel time). Dalam menyelesaikan permasalahan metode Coupled Velocity-Hypocenter digunakan perangkat lunak Velest 3.3. Dengan perhitungan berulang yang dilakukan oleh perangkat lunak Velest 3.3 akan membuat hasil perhitungan relokasi hiposenter gempa bumi yang semakin akurat.

(18)

5

Berdasarkan pemaparan diatas, maka penelitian ini sangat perlu dilakukan di daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya untuk mendapatkan gambaran struktur sesar di bawah permukaan bumi melalui relokasi hiposenter gempa bumi dengan metode Coupled Velocity-Hypocenter. Hal ini perlu dilakukan karena daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya rawan akan bencana gempa bumi yang sebagian besar dipengaruhi oleh keberadaan Sesar Palu-Koro dan Sesar Matano. Selain itu, melalui metode ini juga didapat hasil model struktur kecepatan 1-D gelombang P dan koreksi stasiun dengan bantuan perangkat lunak Velest 3.3.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana hasil relokasi hiposenter gempa bumi dengan menggunakan metode Coupled Velocity-Hypocenter?

2. Bagaimana model struktur kecepatan 1-D gelombang P pada daerah tersebut?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Menentukan relokasi hiposenter gempa bumi dengan metode Coupled Velocity-Hypocenter menggunakan perangkat lunak VELEST 3.3.

2. Data gempa yang digunakan yaitu dari November 2009 sampai dengan Maret 2018 dengan daerah penelitian yaitu Sulawesi Tengah dan sekitarnya.

(19)

6

3. Melihat struktur kecepatan 1-D gelombang P pada daerah tersebut.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Melakukan relokasi hiposenter gempa bumi menggunakan metode Coupled Velocity-Hypocenter dan perangkat lunak Velest 3.3.

2. Menentukan struktur kecepatan 1-D gelombang P pada daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini adalah lokasi epicenter menjadi lebih akurat sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai model input untuk penentuan epicenter kedepannya dan sebagai bahan informasi oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mengenai relokasi hiposenter gempa bumi yang nantinya akan merepresentasikan sesar di daerah Sulawesi Tengah. Serta bahan informasi untuk masyarakat umum guna menambah pengetahuan awal mengenai relokasi hiposenter gempa bumi dan model struktur kecepatan 1-D gelombang.

1.6 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis membaginya ke dalam lima bab diantaranya:

 BAB I Pendahuluan

Pada bab ini berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

(20)

7

 BAB II Tinjauan Pustaka

Berisi tentang teori-teori gempa bumi, teori yang menyangkut metode dan rumus empiris yang digunakan, dan tinjauan geologi regional daerah penelitian.

 BAB III Metodologi Penelitian

Berisi tentang waktu dan tempat penelitian, data-data yang digunakan, peralatan yang digunakan, dan tahapan yang dilakukan selama proses pengolahan data.

 BAB IV Hasil dan Pembahasan

Berisi tentang analisis dan pembahasan yang disertai interpretasi dari hasil pengolahan data.

 BAB V Penutup

Berisi tentang kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan dari awal sampai akhir.

(21)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gempa Bumi

Gempa bumi adalah peristiwa bencana alam yang ditandai dengan adanya getaran pada permukaan bumi. Getaran yang terjadi berupa gelombang seismik yang menjalar ke segala arah sehingga dapat dirasakan hingga ke permukaan. Proses terjadinya gempa bumi adalah mula-mula massa batuan atau lempeng tektonik bergerak yang disebabkan oleh gaya gravitasi, peristiwa konveksi dan rotasi bumi. Akibat pergerakan tersebut, terjadilah akumulasi energi, karena tegangan maksimum sudah terlampaui maka pecahlah massa batuan pada daerah tersebut (sumber gempa), sehingga sebagian energi yang sudah terakumulasi tersebut dilepaskan (Pawirodikromo, 2012).

Teori yang menjelaskan bagaimana gempa bumi terjadi atau mekanisme terjadinya gempa bumi dikenal sebagai “Elastic Rebound Theory”

atau Teori Elastis Pegas (Pawirodikromo, 2012). Pada tahun 1998, Smith menyatakan bahwa pada tahun 1910 ahli seismologi Amerika H.F Reid mengajukan Elastic Rebound Theory yaitu teori yang berhubungan dengan accumulated strain energy, released energy dan elastic rebound pada sebelum, saat dan setelah kejadian gempa (Pawirodikromo, 2012).

Pada teori ini dijelaskan bahwa gempa bumi terjadi pada daerah atau area yang mengalami deformasi dimana terdapat dua buah lempeng dengan

(22)

9

massa yang besar dan gaya yang arahnya berlawanan bergerak saling beradu.

Energi yang tersimpan dalam deformasi berbentuk elastis strain dan akan terakumulasi sampai daya dukung batuan mencapai batas maksimum, hingga akhirnya menimbulkan rekahan atau patahan (Haris & Irjan, 2013). Saat terjadi rekahan atau patahan tersebut energi yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk gelombang ke segala arah, baik dalam bentuk gelombang longitudinal maupun gelombang transversal.

Berikut adalah penjelasan mengenai mekanisme terjadinya gempa bumi yang terdapat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya gempa bumi (Pawirodikromo, 2012)

Sebelum para ahli mengemukakan pendapat-pendapat mereka mengenai sebab-sebab terjadinya gempa bumi, Allah SWT telah memberikan petunjuk terlebih dahulu kepada umatnya tentang kejadian gempa bumi.

(23)

10

Seperti yang terdapat di dalam Al Qur'an surat An Naml ayat 88 (27:88), yaitu :

" Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesunggahnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Menurut pendapat para ahli dengan teori yang telah mereka kemukakan, ada beberapa sebab terjadinya gempa bumi selain kegiatan tektonik, yaitu runtuhnya gua-gua besar di bawah permukaan tanah, tabrakan meteor pada permukaan bumi, dan letusan gunung berapi. Dari berbagai teori tersebut, maka teori lempeng tektoniklah yang dianggap paling tepat.

2.1.1 Gelombang Energi Gempa atau Gelombang Seismik

Sebelum getaran sampai di permukaan dan menimbulkan berbagai dampak, ada beberapa tahapan yang perlu diketahui, yaitu : mekanisme terjadinya gempa, magnitudo dan intensitas gempa, gelombang energi gempa, kondisi geologi terhadap intensitas energi gempa, dan efek kondisi tanah setempat (site effects) (Pawirodikromo, 2012).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketika gempa bumi terjadi maka akan ada pelepasan energi (released energy) yang sangat besar

(24)

11

atau disebut juga energi gelombang gempa. Energi gelombang gempa tersebut akan menyebar dari sumber patahnya massa batuan menuju ke segala arah yang diantaranya akan mencapai permukaan tanah.

Gambar 2.2 Penyebaran Gelombang Energi Gempa (Pawirodikromo, 2012) Secara umum gelombang energi gempa atau gelombang seismik dibedakan menjadi dua, yaitu gelombang badan (body waves) dan gelombang permukaan atau (surface waves). Gelombang badan adalah gelombang yang menjalar di setiap lapisan bumi, sedangkan gelombang permukaan adalah gelombang yang menjalar pada lapisan permukaan bumi. Menurut penelitian para ahli, gelombang permukaan membawa energi yang lebih besar daripada gelombang badan, sedangkan kecepatan rambat gelombang badan jauh lebih besar daripada gelombang permukaan (Pawirodikromo, 2012).

Pada dasarnya, cepat rambat gelombang bergantung pada jenis batuan, kepadatan, tekanan dan temperatur batuan tesebut. Semakin padat batuan tersebut, maka kecepatan rambat gelombang akan semakin cepat. Gelombang badan terdiri dari dua macam gelombang, yaitu gelombang primer atau

(25)

12

primary wave (P-wave) dan gelombang sekunder atau secondary wave (S- wave). Sedangkan gelombang permukaan terdiri dari gelombang Rayleigh (R- wave) dan gelombang Love (L-wave).

Gambar 2.3 Macam-macam gelombang energi gempa (Pawirodikromo, 2012) Setiap gelombang mempunyai karakter yang berbeda-beda baik kecepatan, arah gerakan gelombang dan gerakan partikel. Gelombang primer (gelombang longitudinal) adalah gelombang/getaran yang merambat di lapisan bumi dengan kecepatan antara 7-14 km/detik. Getaran ini berasal dari hiposentrum sehingga waktu tiba gelombang ini paling awal diantara gelombang lainnya.

Gambar 2.4 Penjalaran gelombang P (sumber: (IRIS, iris.edu))

(26)

13

Gelombang sekunder (gelombang transversal) adalah gelombang atau getaran yang merambat seperti gelombang primer dengan kecepatan yang sudah berkurang yakni 4-7 km/detik. Gelombang sekunder tidak dapat merambat melalui lapisan cair.

Gambar 2.5 Penjalaran gelombang S (sumber: (IRIS))

Gelombang panjang (gelombang permukaan) adalah gelombang yang merambat melalui permukaan bumi dengan kecepatan 3-4 km/detik.

Gelombang ini berasal dari episentrum dan gelombang inilah yang banyak menimbulkan kerusakan di permukaan bumi. Gelombang yang paling cepat merambat adalah gelombang primer, kemudian disusul oleh gelombang sekunder, dan kemudian gelombang Rayleigh (Pawirodikromo, 2012).

(27)

14

Gambar 2.6 Penjalaran gelombang permukaan (sumber: (IRIS))

2.1.2 Klasifikasi Gempa Bumi

Berdasarkan hiposentrum, gempa bumi dibedakan menjadi 3, yaitu : a. Gempa bumi dalam (Deep Earthquake)

Gempa bumi dalam adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada lebih dari 300 km di bawah permukaan bumi. Gempa bumi dalam pada umumnya tidak terlalu berbahaya. Tempat yang pernah mengalami adalah dibawah Laut Jawa, Laut Sulawesi, dan Laut Flores.

b. Gempa bumi menengah (Intermediate Earthquake)

Gempa bumi menengah adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada antara 60 km sampai 300 km di bawah permukaan bumi. Gempa bumi menengah pada umumnya menimbulkan kerusakan ringan dan getarannya

(28)

15

lebih terasa. Tempat yang pernah terkena antara lain: sepanjang Pulau Sumatera bagian barat, Pulau Jawa bagian selatan, sepanjang Teluk Tomini, Laut Maluku, dan Kep.NusaTenggara.

c. Gempa bumi dangkal (Shallow Earthquake)

Gempa bumi dangkal adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada kurang dari 60 km dari permukaan bumi. Gempa bumi ini biasanya menimbulkan kerusakan yang besar. Tempat yang pernah terkena antara lain: Pulau Bali, Pulau Flores, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Sedangkan menurut kekuatannya (magnitude), gempa bumi dibedakan atas : a. Gempa bumi sangat besar dengan magnitude lebih besar dari 8 SR.

b. Gempa bumi besar magnitude antara 7 hingga 8 SR.

c. Gempa bumi sedang magnitude antara 5 hingga 6 SR.

d. Gempa bumi sedang magnitude antara 4 hingga 5 SR.

e. Gempa bumi kecil dengan magnitude antara 3 hingga 4 SR f. Gempa bumi mikro magnitude antara 1 hingga 3 SR.

g. Gempa bumi ultra mikro dengan magnitude lebih kecil dari 1 SR.

Lalu berdasarkan jarak episentrum, gempa bumi dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Gempa bumi lokal, yaitu episentrumnya kurang dari 10.000 km.

b. Gempa bumi jauh, yaitu episentrumnya sekitar 10.000 km.

c. Gempa bumi sangat jauh, yaitu episentrumnya lebih dari 10.000 km.

(29)

16 2.1.3 Parameter Gempa bumi

Gempa bumi merupakan peristiwa geologi yang dampaknya bersifat menyeluruh. Besarnya intensitas atau kekuatan gempa bumi diukur dengan suatu alat yang disebut seismograf dan data hasil pencatatan seismograf yang berupa grafik disebut seismogram. Besarnya intensitas gempa bumi tergantung pada (Khairani, 2016) :

a. Jarak Episenter

Episenter adalah posisi gempa tegak lurus terhadap hiposentrum ditarik ke permukaan bumi digambarkan dengan lintang dan bujur bumi.

b. Kedalaman pusat gempa bumi (Depth)

Pusat gempa bumi dikenal dengan hiposentrum, yaitu tempat terjadinya perubahan lapisan batuan atau dislokasi di dalam bumi sehingga menimbulkan gempa bumi. Hiposentrum memuat data lintang dan bujur gempa ditambah kedalaman dari gempa bumi tersebut.

c. Waktu terjadinya gempa bumi (Origin Time-OT)

Waktu terjadinya gempa bumi (Origin Time-OT) adalah waktu terlepasnya akumulasi tegangan (stress) yang berbentuk penjalaran gelombang gempa dan dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, detik dalam satuan UTC (Universal Time Coordinated).

d. Kekuatan gempa bumi (Magnitude)

Magnitude adalah ukuran kekuatan gempa, menggambarkan besarnya energi yang terlepas pada saat gempa terjadi dan merupakan hasil pengamatan seismograf. Di Indonesia (BMKG), Magnitude menggunakan

(30)

17

Skala Ritcher (SR). Konsep “Magnitudo Gempa” sebagai skala kekuatan relatif hasil dari pengukuran fase amplitude dikemukakan pertama kali oleh K. Wadati dan C. Ritcher sekitar tahun 1930 (Khairani, 2016).

e. Skala Gempa

Skala gempa merupakan suatu ukuran kekuatan gempa yang dapat diukur dengan secara kuantitatif dan kualitatif. Ada dua macam skala yang biasanya digunakan sebagai ukuran kekuatan gempa:

1. Skala kekuatan gempa bumi berdasarkan amplitude gelombang seismik (Skala Ritcher).

2. Skala intensitas gempa bumi yang bersifat subjektif dimana diambil berdasarkan goncangan (goyahnya bangunan), pecahnya kaca, retaknya tanah, dan larinya orang-orang keluar. MMI (Modified Mercally Intensity) atau SIG (Skala Intensitas Gempa bumi BMKG).

Tabel 2.1Hubungan antara magnitudo dan intensitas gempa bumi (Gracynthia, 2015)

(31)

18

Pada saat terjadi gempa bumi biasanya diiringi oleh beberapa macam goncangan antara lain:

a. Foreshock

Foreshock adalah deretan goncangan yang terjadi sebelum gempa bumi dimana tidak ada yang dapat memperkirakan berapa lama gempa bumi akan terjadi setelah foreshock ini.

b. Aftershock

Aftershock adalah deretan goncangan yang terjadi setelah gempa bumi yang dapat terjadi selama berbulan-bulan.

c. Swarm

Swarm adalah sejumlah besar goncangan kecil tanpa ada gempa bumi utama.

2.1.4 Metode Penentuan Epicenter Gempa Bumi (Salomo, 2012)

Lokasi pusat gempa adalah salah satu parameter gempa yang diperlukan oleh para ahli gempa untuk menghitung besarnya energi yang dilepaskan. Dalam menentukan lokasi epicenter gempa bumi diperlukan data waktu tiba gelombang seismik, sekurang-kurangnya 4 data waktu tiba gelombang P. Beberapa metode yang digunakan untuk menentukan epicenter gempa bumi adalah sebagai berikut :

a. Metode Lingkaran dengan Tiga Stasiun

Pada metode ini, dianggap ada tiga stasiun pencatat yang dimisalkan dengan S1, S2, dan S3. Menggunakan dua stasiun pencatat sebagai

(32)

19

pusatnya, yaitu S2 dan S3 maka epicenter yang dicari adalah pusat sebuah lingkaran yang melalui S1 dan menyinggung kedua lingkaran yang berpusat di S2 dan S3. Lingkaran S2 dan S3 dibuat dengan jari-jari sebagai berikut :

Dengan : r = jari-jari lingkaran

v = kecepatan gelombang t = waktu tiba gelombang

Metode ini dilakukan secara berulang-ulang dengan membuat lingkaran ketiga sehingga didapatkan titik pusat yang terbaik. Hal ini membuat metode ini kurang dapat diandalkan, karena hasilnya bergantung pada ketelitian penggambaran ketiga lingkaran tersebut.

b. Metode Hiperbola

Pada metode ini, dianggap ebahwa kecepatan gelombang seismik (v) konstan dengan tiga stasiun, yaitu S1, S2, dan S3. Dari ketiga stasiun tersebut, masing-masing diukur waktu tiba gelombang seismiknya yang dinyatakan dengan t1, t2, dan t3, dimana t3 > t2 > t1. Maka dengan menggunakan pasangan stasiun S1 dan S2, episenternya harus terletak pada sebuah kurva dengan harga t2-t1 konstan. Kurva yang tebentuk akan berupa hiperbola dengan S1 dan S2 sebagai titik fokusnya. Karena telah diketahui t2 > t1, maka kurva hiperbolanya cekung ke arah titik S1. Setelah itu, dilakukan dengan cara yang sama terhadap pasangan stasiun S2 dan S3

(33)

20

serta S3 dan S1. Ketiga hiperbola ini berpotongan pada suatu titik dan titik potong ini adalah episenternya.

c. Metode Titik Berat

Dalam metode ini didapatkan 2 hal, yaitu koordinat episenter dan kedalaman fokusnya. Pada metode ini, jari-jari lingkaran adalah jarak hiposenter , dimana k adalah konstanta Omori yang besarnya tergantung pada kondisi geologi setempat dan sekitar 7,8.

Sedangkan (s-p) adalah selisih waktu tiba gelombang S dan P. koordinat episenter E merupakan perpotongan garis berat ketiga lingkaran tersebut.

Untuk menghitung kedalaman hiposenter (h), digunakan rumus Pythagoras:

Dimana :

h = rata-rata dari h1, h2 dan h3

d. Metode Gerak Partikel

Metode ini digunakan untuk menentukan hiposenter dengan menggunakan satu stasiun yang memiliki 3 komponen. Penentuan arah awal impuls ketiga komponen harus jelas serta variable yang dipakai adalah setengah amplitude awal impuls gelombang P dan beda waktu gelombang S dan P.

Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : menentukan arah impuls awal ketiga komponen, kemudian perhatikan rekaman komponen vertikal.

(34)

21

Jika komponen vertikal kompresi, maka pada komponen horizontalnya tandanya harus dibalik (C = minus, D = plus), sebaliknya jika komponen vertikal dilatasi maka komponen horizontalnya tandanya tetap (C = plus, D = minus). Dari bacaan amplitude komponen horizontal dibuat vektor resultannya, misalnya AH dan pada komponen vertikal (AV) dan AH dibuat vektor resultannya, misalnya AR.

e. Metode Geiger

Metode Geiger adalah metode yang menggunakan data waktu tiba gelombang P dan atau gelombang S dengan anggapan bahwa bumi terdiri dari lapisan datar yang homogen isotropic, sehingga waktu tiba gelombang akibat pemantulan dan pembiasan untuk setiap lapisan dapat dihitung.

Cara yang digunakan adalah dengan memberikan harga awal hiposenter, kemudian menghitung waktu rambat gelombang untuk setiap stasiun yang digunakan. Hasil dari perhitungan ini didapatkan residu, yaitu selisih antara waktu rambat gelombang yang diamati dengan waktu rambat gelombang yang dihitung untuk setiap stasiun.

2.2 Tatanan Tektonik Pulau Sulawesi

Sulawesi adalah bagian dari kepulauan Indonesia yang memiliki luas wilayah sebesar 174.600 km2 (Sompotan, 2012). Memiliki bentuk yang sangat unik, yaitu menyerupai huruf K dengan empat semenanjung yang mengarah ke timur, timur laut, tenggara dan selatan (Sompotan, 2012). Perkembangan tektonik di Sulawesi sudah berlangsung sejak zaman Tersier hingga sekarang

(35)

22

dan termasuk daerah teraktif di Indonesia (Kaharuddin, Hutagalung, &

Nurhamdan, 2011).

Sulawesi terletak pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia atau dikenal dengan triple junction (PuSGen, 2017). Tiga lempeng tersebut adalah lempeng Hindia-Australia yang bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan-tenggara. Adapun lempeng yang lebih kecil, yaitu lempeng Filipina (Sompotan, 2012).

Akibat triple junction inilah Pulau Sulawesi memiliki tatanan tektonik yang kompleks dan masih sangat aktif bergerak sampai saat ini sehingga sering menghasilkan gempa (PuSGen, 2017). Pergerakan dari lempeng- lempeng tersebut mengakibat terbentuknya sesar. Sesar adalah bidang rekahan yang disertai dengan adanya pergeseran relatif (displacement) satu blok terhadap blok batuan lainnya (Gracynthia, 2015). Oleh karena itu, Sulawesi memili pola deformasi yang kompleks baik dalam bentuk sesar datar (strike slip fault) maupun sesar naik (thrust fault) (PuSGen, 2017).

Terdapat empat sesar datar (sesar transcurrent) di kawasan Pulau Sulawesi, yaitu Sorong-Matano transcurrent yang bersifat sinistral (mengiri), Gorontalo transcurrent yang bersifat dekstral (menganan), Palu-Koro transcurrent dan Walanae transcurrent yang bersifat sinisral (Kaharuddin, Hutagalung, & Nurhamdan, 2011). Kecepatan dari setiap struktur geologi tersebut juga berbeda-beda (Gambar 2.7).

(36)

23

Gambar 2.7 Struktur Geologi Regional di Pulau Sulawesi (PuSGen, 2017)

North Sulawesi Subduction dengan kecepatan pergeseran 42-50 mm/th berada di sebelah utara Sulawesi (Socquet dkk., 2006 dalam (PuSGen, 2017)).

Sesar Gorontalo berada di darat dengan kecepatan pergeseran 11mm/th, lalu dari arah timur bergerak mendekat kemenerusan Sesar Sorong dengan kecepatan pergeseran 32 mm/th (Rangin dkk., 1999 dalam (PuSGen, 2017)).

Di bagian tengah terdapat Sesar Palu-Koro yang aktif bergerak dengan pergesaran 41-45 mm/th (Socquet dkk., 2006 dalam (PuSGen, 2017)), 34 mm/yr (Sarsito, 2010 dalam (PuSGen, 2017)) dan pergesaran geologi 29 mm/th (Bellier dkk., 2001 dalam (PuSGen, 2017)). Lalu ke arah timur ada

(37)

24

Sesar Matano dengan besar pergeseran sekitar 20 mm/th (Socquet dkk., 2006 dalam (PuSGen, 2017)).

2.3 Sesar di Daerah Sulawesi Tengah

Kota Palu yang berada di Sulawesi Tengah merupakan salah satu kota yang sangat rentan akan bencana gempa bumi (ACT, 2015). Sesar Palu-Koro merupakan sesar utama di Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut Ballier dkk.

(2001) Sesar Palu-Koro adalah sesar mendatar dengan besar pergeseran tinggi dan tingkat kegempaan yang tinggi. Sesar Palu-Koro memanjang dari utara (Palu) ke Selatan (Malili) hingga teluk bone sepanjang  240 km dengan sifat sinistral. Sesar Palu-Koro juga aktif bergerak dengan kecepatan 25-30 mm/th (Kaharuddin, Hutagalung, & Nurhamdan, 2011). Selain itu, sesar Palu-Koro berhubungan dengan sesar Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedang di ujung utara melalui Selat Makassar berpotongan dengan zona subduksi lempeng Laut Sulawesi (Kaharuddin, Hutagalung, & Nurhamdan, 2011).

Selain sesar Palu-Koro, terdapat juga sesar Matano yang merupakan sesar aktif di Sulawesi Tengah yang memanjang dengan arah barat laut- tenggara. Sesar ini memiliki panjang 170 km terukur dari daerah pantai Bahodopi di Teluk Tolo, ke arah barat laut melewati sepanjang lembah Sungai Larangsangi ke area di sebelah utara Desa Lampesue, Petea, sepanjang pantai Danau Matano, Desa Matano dan menyambung di barat laut dengan lembah Sungai Kalaena. Sesar ini bersifat sinistral dengan arah pergeseran relative 5 mm/tahun (IAGI, 2017).

(38)

25

Di Sulawesi Tengah dan sekitarnya juga banyak terdapat sesar-sesar aktif lain, yaitu Sesar Palolo, Sausu, Tokararu, Napu Thrust, Besoa Fault, bada Fault, Maleei Fault, Poso Fault, Loa Fault dan Weluki Fault. Mekanisme dari sesar-sesar tersebut rata-rata adalah sesar normal dan sesar naik (reverse) (PuSGen, 2017).

Gambar 2.8 Peta sesar aktif di Sulawesi Bagian Tengah (PuSGen, 2017)

Hal tersebut yang membuat tingkat kegempaan di Sulawesi Tengah dan sekitarnya cukup tinggi. Beberapa catatan sejarah gempa berdasarkan informasi BMKG yaitu gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Watusampu, Palu pada tahun 1927, Pantai Barat Donggala 1930, Parigi 1938, Tambu 1968, Toli-Toli dan Palu 1996, Palu 2005, dan Sigi pada tanggal 18 Agustus 2012 dengan kekuatan gempa 6,2 SR (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014).

(39)

26

Gempa bumi terakhir yang terjadi di Sulawesi Tengah adalah gempa bumi dengan kekuatan 6,6 SR di Poso pada tahun 2017. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa telah terjadi gempa bumi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah dengan lokasi gempa 1,33 LS-120,41 BT berpusat di 38 Km Barat Laut Kab. Poso- Sulawesi Tengah berkekuatan 6,6 SR. Gempa bumi tersebut terjadi pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 21.35 dengan kedalaman 10 Km dibawah permukan laut. Akibat gempa bumi tersebut terjadi kerusakkan rumah warga sebanyak 164 rumah mengalami rusak berat dan 86 rumah mengalami rusak ringan (BNPB, 2017).

2.4 Metode Coupled Velocity-Hypocenter

Relokasi gempa bumi adalah melakukan perhitungan ulang atau koreksi terhadap posisi hiposenter gempa bumi. Data hiposenter gempa bumi yang akurat dapat digunakan untuk mengidentifikasi zona sesar, menganalisis statistic spasial-temporal gempa, serta pencitraan tomografi (PuSGen, 2017).

Salah satu metode yang digunakan untuk relokasi hiposenter gempa bumi adalah metode coupled velocity-hypocenter.

Metode coupled velocity-hypocenter merupakan metode relokasi gempa, penentuan model kecepatan 1-D gelombang bawah permukaan, dan koreksi stasiun secara bersamaan menggunakan prinsip metode Geiger, di mana pembaharuan model kecepatan menggunakan persamaan Kissling (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014). Metode Geiger merupakan metode penentuan hiposenter tunggal dengan cara menghitung waktu residual yaitu

(40)

27

selisih antara waktu pengamatan (observed time) dan waktu perhitungan (calculated time) (Garini, Madlazim, & Rahmawati, 2014).

Dalam menyelesaikan metode coupled velocity-hypocenter digunakan software Velest 3.3. Beberapa data yang digunakan, yaitu data gempa bumi, model awal kecepatan yang sesuai dengan daerah penelitan, dan lokasi stasiun di sekitar daerah penelitian (Gracynthia, 2015). Pada penelitian ini dilakukan perhitungan model kecepatan 1-D gelombang P. Perhitungan model kecepatan 1-D gelombang bawah permukaan ini digunakan sebagai prosedur penentuan lokasi gempa dan sebagai model acuan untuk tomografi seismik (Kissling, 1995).

Pada metode ini dianggap bahwa bumi terdiri dari lapisan datar yang homogen isotropik, hal ini dilakukan agar waktu tiba gelombang yang terjadi karena pemantulan dan pembiasan pada setiap lapisan dapat dihitung (Gracynthia, 2015). Dalam melakukan pengamatan waktu tiba gelombang dapat dinyatakan dalam suatu formula tobs, yaitu tobs = f (s, h, m), dimana s, h, dan m adalah koordinat stasiun, parameter hiposenter (origin time dan lokasi koordinat hiposenter) dan model kecepatan, sedangkan fungsi f adalah fungsi nonlinear dari parameter h dan m yang tidak diketahui sebelumnya (Sabtaji, 2017). Dengan dapat dihitungnya waktu tiba gelombang tcal untuk setiap stasiun, maka di peroleh pembaharuan model kecepatan menggunakan persamaan Kissling (Gracynthia, 2015; Sabtaji, 2017) :

(41)

28

Keterangan :

tres = residual atau selisih waktu tempuh

tobs = waktu tempuh observasi; tcal = waktu tempuh perhitungan

f = fungsi terhadap lokasi stasiun (s), lokasi hiposenter dan origin time (h), dan model kecepatan (m)

e = koreksi stasiun k = jumlah hiposenter i = jumlah stasiun

Dalam melakukan satu iterasi, tahapan yang dilakukan adalah melakukan forward modeling terhadap parameter hiposenter, model kecepatan gelombang seismik 1-D, dan koreksi stasiun dengan ray tracing dari gempa ke stasiun untuk memperoleh Tcal. Kemudian inverse modeling dilakukan dengan menyelesaikan matriks damped least square [At A + L] (A = Matriks Jacobi, At = transpos Matriks Jacobi; L = Matriks damping). Penggunaan nilai damping akan mempengaruhi nilai perturbasi parameter model (Δm), dengan hubungan antara besarnya damping dan nilai Δm adalah berkebalikan (Akbar, Nugraha, & Sule, 2012).

Setelah dilakukan inverse modeling, maka didapat hasil berupa vektor perbaikan parameter model (Δm) yang kemudian akan diperoleh nilai

(42)

29

parameter hiposenter, model kecepatan gelombang seismic 1-D, dan koreksi stasiun. Tahapan berikutnya, nilai-nilai tersebut kemudian di forward modeling kembali untuk mendapatkan nilai Tcal baru yang akan dibandingkan misfitnya dengan Tcal sebelumnya dan berakhirlah tahapan dalam satu iterasi.

Pada setiap iterasi terdapat nilai RMS antara Tobs dan Tcal untuk mengatur jumlah iterasi hingga mencapai nilai RMS yang diharapkan (Akbar, Nugraha,

& Sule, 2012).

Gambar 2.9 Diagram alir software VELEST (Kissling, 1995)

(43)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah II, Ciputat. Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2018-Agustus 2018.

3.2 Alat dan Bahan

Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan adalah data gempa bumi tektonik hasil analisis dari BMKG Pusat mulai dari November 2009 sampai dengan Maret 2018. Selain itu dibutuhkan data stasiun-stasiun pencatat gempa bumi disekitar daerah Sulawasi Tengah dan data model kecepatan inisial yang akan digunakan. Data gempa bumi untuk model kecepatan 1-D gelombang P dan data stasiun-stasiun pencatat yang digunakan didapat dari katalog Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Beberapa peranti lunak pun digunakan dalam penelitian ini, yaitu software VELEST 3.3, Ms. Excel, Matlab R2014b, GMT, dan notepad++.

(44)

31 3.3 Diagram Alir

Mengumpulkan Data Gempa Bumi Wilayah Sulawesi Tengah dan Sekitarnya dari Katalog BMKG tahun 2009-2018

Memasukkan Data pada Software VELEST 3.3

Memperbarui model kecepatan dan merelokasi hiposenter menggunakan Metode Coupled Velocity-Hypocenter

Parameter hasil relokasi (Lat, Long, Depth, RMS, GAP)

Parameter hasil relokasi, model kecepatan akhir gelombang P, dan koreksi stasiun

Plotting model kecepatan inisial dan model kecepatan akhir gelombang P menggunakan Software Matlab R2014b dan memetakan parameter setelah direlokasi

menggunakan software GMT

HASIL

STOP

Pemilihan data sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan.

RMS  1 Tidak

Ya START

Menentukan Daerah Penelitian (Sulawesi Tengah dan Sekitarnya)

Gambar 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data

(45)

32 3.4 Proses Pengolahan Data

Pada penelitian ini ada beberapa tahap yang dilakukan untuk proses pengolahan data, yaitu :

3.4.1 Pemilihan Data

Dilakukan pemilihan data input terbaik berdasarkan batasan-batasan yang telah ditentukan dengan melakukan 1 kali tes iterasi menggunakan software VELEST 3.3. dalam penelitian ini juga digunakan 21 data stasiun, yaitu : BKB, SMKI, SGKI, KMSI, GTOI, SMSI, MRSI, TOLI, TOLI2, MPSI, APSI, LUWI, SRSI, KDI, KKSI, BNSI, SPSI, PMSI, TTSI, MMSI, dan PCI.

Beberapa kriteria kejadian gempa yang digunakan dalam memilih data adalah besar nilai azimuth gap ≤ 190 dan jumlah fase stasiun tiap kejadian gempa berjumlah  10 fase gelombang P. Berdasarkan kriteria tersebut, maka data yang sudah terpilih berjumlah 594 kejadian gempa. Data inilah yang akan digunakan untuk relokasi dan perhitungan model kecepatan 1-D gelombang P.

Gambar 3.2 Data Input Gempa Bumi Berekstensi *.cnv Untuk Software VELEST Pada Notepad++

(46)

33

3.4.2 Pengolahan Data Menggunakan VELEST 3.3

Pengolahan data menggunakan software VELEST 3.3 membutuhkan beberapa data input dengan file berekstensi sebagai berikut :

 *.cmn merupakan ekstensi file untuk kontrol parameter

 *.sta merupakan ekstensi file untuk list stasiun

 *.mod merupakan ekstensi file untuk model kecepatan inisial

 *.cnv merupakan ekstensi file untuk data gempa bumi

Setelah data input tersebut diolah, maka data output yang dihasilkan berupa relokasi hiposenter yang baru dan travel time, model kecepatan 1-D gelombang P yang baru dan koreksi stasiun dengan file berekstensi, yaitu :

 *.out (main print output)

Berikut merupakan file data input yang digunakan dalam software VELEST, penulisan data harus sesuai dengan format yang digunakan oleh software VELEST. Berikut penulisan untuk data input list stasiun dengan ekstensi file *.sta adalah :

(47)

34

Gambar 3.3 Data Input List Stasiun Untuk Software VELEST Pada Notepad++

Selain itu untuk penulisan data model kecepatan inisial dengan ekstensi file

*.mod adalah :

Gambar 3.4 Data Input Model Kecepatan Inisial Untuk Software VELEST Pada Notepad++

Berikut adalah model awal kecepatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

(48)

35

Untuk penulisan kontrol parameter dengan ekstensi file *.cmn adalah :

Gambar 3.5 Kontrol Parameter Untuk Software VELEST Pada Notepad++

Tabel 3.1 Model awal kecepatan (Azizah, 2014 dalam Gracynthia, 2015)

Kedalaman (km)

Kecepatan Gelombang P

(km/s)

-1.0 3.28

3.0 5.50

6.0 5.70

9.0 6.20

20.0 6.45

23.0 6.75

25.0 7.20

28.0 7.45

(49)

36

Setelah semua data sesuai dengan format yang dibutuhkan oleh program VELEST 3.3, maka langkah yang dilakukan adalah menyesuaikan antara data yang digunakan dengan control parameter (berekstensi *.cmn).

Contohnya menyamakan jumlah data yang digunakan dengan yang tertera pada control parameter. Selanjutnya yaitu dilakukan running data pada program. Setelah dilakukan running data maka tahap yang terakhir dilakukan adalah menganalisis output dari running data tersebut.

Apabila didapatkan hasil RMS akhir lebih besar dari satu, maka harus dilakukan perhitungan ulang dengan memperbanyak iterasi atau melakukan pemilihan data kembali dengan mengubah kriteria yang digunakan sebelumnya. Namun bila telah didapatkan hasil RMS akhir lebih kecil dari satu, maka dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

3.4.3 Plotting Pemetaan Hasil Relokasi Hiposenter dan Model Kecepatan Gelombang P

Setelah dilakukan pengolahan data menggunakan software VELEST, maka didapat hasil longitude, latitude, dan depth yang baru. Data-data tersebut lalu dipetakan menggunakan software GMT dan dibandingkan dengan hiposenter sebelum relokasi. Untuk melihat hasil relokasi, maka dibuat peta cross section untuk melihat perubahan yang terjadi setelah di relokasi.

Sedangkan model kecepatan gelombang P inisial dan model kecepatan gelombang P yang baru di plotting menggunakan software Matlab R2014b.

(50)

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Relokasi Hiposenter

Pada penelitian ini dilakukan relokasi gempa bumi dan penentuan model kecepatan 1-D gelombang P menggunakan software VELEST 3.3.

Penelitian ini menggunakan data kejadian gempa bumi di daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya dari tahun 2009 sampai dengan 2018. Data kejadian gempa bumi yang digunakan sebanyak 594 kejadian dengan 21 stasiun. Data- data tersebut didapatkan dari katalog BMKG. Berikut adalah 21 stasiun yang digunakan, yaitu :

Tabel 4.1 Lokasi Stasiun Pengamat Gempa Bumi

Stasiun Nama Stasiun Latitude Longitude

BKB

Balikpapan, Kalimantan

Selatan, Indonesia 1.1073S 116.9048E

SMKI

Samarinda, Kalimantan

Timur Indonesia 0.4461S 117.2085E

SGKI

Sangata, Kalimantan Timur,

Indonesia 0.5302N 117.6043E

KMSI

Kotamubogo, Sulawesi

Utara, Indonesia 0.5745N 123.9806E

GTOI Gorontalo 0.7628N 122.8700E

SMSI

Sumalata, Gorontalo,

Indonesia 0.9885N 122.3654E

MRSI

Marissa, Gorontalo, Sulawesi

Utara, Indonesia 0.4770N 121.9405E

TOLI Toli-Toli, Sulawesi Tengah 1.1213N 120.7944E TOL2 Toli-Toli, Sulawesi Tengah 1.1213N 120.7944E

MPSI

Mapaga, Donggola, Sulawesi

Tengah 0.3374N 119.8980E

APSI

Ampana, Sulawesi Tengah,

Indonesia 0.9107S 121.6486E

LUWI Luwuk, Sulawesi Tengah 1.0418S 122.7716E

SRSI Sorowako 2.5315S 120.8700E

KDI Kendari, Sulawesi Tenggara, 3.9574S 122.6192E

(51)

38 Indonesia

KKSI

Kolaka, Sulawesi Tenggara,

Indonesia 4.1717S 121.6512E

BNSI

Bone, Sulawesi Selatan,

Indonesia 4.4005S 120.1065E

SPSI

Sidrap Palu, Sulawesi

Selatan, Indonesia 3.9646S 119.7691E

PMSI

Majene, Sulawesi Barat,

Indonesia 3.5008S 118.9149E

TTSI

Tana Toraja, Sulawesi

Selatan, Indonesia 3.0451S 119.8190E

MMSI Mamuju 2.6892S 118.9090E

PCI

Palu, Sulawesi Tengah,

Indonesia 0.9054S 119.8366E

Gambar 4.1 Sebaran 21 stasiun gempa bumi yang digunakan

Data gempa yang digunakan adalah gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 km. Untuk perhitungan relokasi dan penentuan model kecepatan 1-D gelombang P ini dilakukan proses inversi sebanyak 30 iterasi, hingga mendapatkan nilai RMS  1. Hal tersebut sangat jelas terlihat pada

(52)

39

grafik (Gambar 4.2), bahwa pada awal iterasi nilai RMS yang didapatkan sebesar 1.122406, sedangkan pada iterasi terakhir nilai RMS yang didapatkan sebesar 0.778645. Menurut Azizah, Susilo, & Rachman (2014), nilai RMS kecil menunjukkan kualitas picking arrival time gelombang P yang baik.

Semakin kecil RMS, maka akan semakin kecil pula nilai kesalahan yang terjadi pada hasil relokasi yang didapat.

Gambar 4.2 Kurva Penurunan RMS hingga Iterasi ke 30

Hasil dari relokasi hiposenter gempa bumi setelah diolah menggunakan software VELEST dengan metode coupled velocity-hypocenter, didapat pergeseran posisi baik latitude, longitude, maupun depth dari setiap kejadian gempa bumi. Sebelum di relokasi tampak persebaran epicenter gempa seperti yang terdapat pada gambar 4.3.

(53)

40

Gambar 4.3 Persebaran epicenter gempa bumi sebelum di relokasi

Setelah di relokasi, berdasarkan peta sebaran hiposenter dengan irisan penampang vertikal sebelum dan sesudah di relokasi, maka akan terlihat perubahan posisi hiposenter. Sebelum di relokasi, persebaran hiposenter banyak berada di kedalaman 10 km, tetapi ketika sudah di relokasi persebaran hiposenter di kedalaman 10 km berkurang dari sebelumnya atau boleh dikatakan hiposenter gempa terlihat lebih bervariasi. Selain itu, setelah di relokasi juga akan terlihat pergeseran posisi hiposenter yang lebih mendekati sesar seperti yang ada pada lingkaran kuning.

(54)

41

Gambar 4.4 Peta sebaran hiposenter sebelum relokasi dengan irisan penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang

Gambar 4.5 Peta sebaran hiposenter setelah relokasi dengan irisan penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang

(55)

42

Untuk melihat perubahan posisi hiposenter ini juga dapat terlihat dengan menggunakan diagram kompas dan diagram rose. Diagram kompas digunakan untuk menunjukkan arah dan jarak pergeseran hiposenter gempa, sedangkan diagram rose digunakan untuk menunjukkan arah pergeseran terbanyak. Dilihat dari diagram kompas, terdapat 10 kejadian gempa bumi yang berpindah sejauh 10 km, sedangkan dilihat dari diagram rose arah pergeseran kejadian gempa bumi lebih banyak berarah tenggara dan barat laut.

Gambar 4.6 Diagram kompas untuk menunjukkan arah dan jarak pergeseran hiposenter

(56)

43

Gambar 4.7 Diagram rose untuk menunjukkan arah pergeseran terbanyak

Perbandingan kedalaman gempa bumi pun dilakukan untuk melihat hasil relokasi gempa bumi di daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Pada gambar 4.8, terlihat frekuensi kejadian gempa bumi sebelum di relokasi dengan kedalaman 10 km sangat banyak. Hal ini disebabkan oleh otomatisasi penentuan kedalaman gempa bumi oleh perangkat lunak Seiscomp3 yang digunakan BMKG. Apabila hasil analisis kedalaman tidak terpusat dengan baik, maka software Seiscomp3 secara otomatis akan membuat kedalaman kejadian gempa bumi tersebut pada kedalaman 10 km atau dikenal dengan fix depth.

(57)

44

Gambar 4.8 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempa sebelum relokasi dengan Interval 5 km

Pada gambar 4.9, setelah dilakukan relokasi terlihat perubahan frekuensi kejadian gempa bumi pada kedalaman 10 km sangat signifikan.

Sebelum di relokasi, frekuensi gempa pada fix depth berjumlah lebih dari 400, tetapi setelah di relokasi frekuensi gempa pada fix depth hanya berjumlah lebih dari 150.

Gambar 4.9 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempa sesudah relokasi dengan Interval 5 km

(58)

45

4.2 Hasil Model Kecepatan 1-D Gelombang P

Selain mendapatkan hasil relokasi hiposenter, didapat juga hasil penentuan model kecepatan 1-D gelombang P menggunakan model kecepatan yang digunakan oleh Gracynthia (2015). Seperti yang di ungkapkan oleh Garini, Madlazim, & Rahmawati (2014) bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil relokasi gempa bumi adalah model kecepatan yang digunakan pada saat penelitian. Apabila model kecepatan yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi bawah permukaan daerah penelitian, maka akan menyebabkan hasil relokasi tidak akan sesuai dengan kondisi tektoniknya.

Berikut adalah hasil model kecepatan yang didapatkan setelah direlokasi, terlihat pada kedalaman 9 km didapatkan hasil akhir Vp lebih lambat dibandingkan Vp inisial. Sedangkan pada kedalaman lainnya, didapatkan hasil Vp yang lebih cepat dibandingkan Vp inisial.

Seperti yang diungkapkan oleh Sabtaji (2017) akibat dari model Vp yang lebih cepat, maka penentuan hiposenter gempa bumi akan menjadi lebih dalam dibandingkan hiposenter menggunakan Vp inisial. Selain itu kecepatan yang melambat juga dapat terjadi dikarenakan luas cakupan daerah penelitian yang digunakan pada saat penelitian berbeda. Selain itu kejadian gempa bumi dan stasiun pencatat yang digunakan juga berbeda sehingga mengakibatkan terjadinya perbedaan kecepatan 1-D gelombang P antara Vp inisial dan Vp akhir. Faktor lain yang mempengaruhi adalah penentuan waktu tiba gelombang P (picking arrival time) yang berbeda sehingga mengakibatkan terjadinya perbedaan.

(59)

46

Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Vp Inisial dan Vp Perhitungan Akhir

Tabel 4.2 Hasil Akhir Perhitungan 1-D Vp

Kedalaman (km)

Kecepatan Gelombang P Inisial (km/s)

Kecepatan Gelombang P

Hasil (km/s)

Jumlah Gempa

-1.00… 3.00 3.28 4.23 0

3.00… 6.00 5.50 5.74 0

6.00… 9.00 5.70 6.31 42

9.00… 20.00 6.20 4.29 529

20.00…23.00 6.45 7.50 15

23.00…25.00 6.75 7.01 4

25.00…28.00 7.20 7.59 2

28.00… 7.45 7.86 2

(60)

47

Software VELEST 3.3 tidak hanya memperoleh hasil berupa model kecepatan 1-D gelombang P dan relokasi hiposenter baru, tetapi software ini juga menghasilkan hasil berupa koreksi stasiun. Nilai koreksi stasiun yang didapat dari hasil pengolahan data adalah interval -0.81 sampai dengan +0.54 detik (Tabel 4.3). Seperti yang diungkapkan oleh Sabtaji (2017), koreksi stasiun merupakan koreksi stasiun relatif terhadap stasiun referensi, yaitu stasiun LUWI dengan stasiun ini akan memiliki nilai koreksi tetap atau nol.

Apabila kecepatan gelombang P hasil observasi lebih cepat dibandingkan hasil kalkulasi, maka koreksi stasiun akan bernilai negatif. Hal ini disebabkan lapisan bawah permukaan pada stasiun pengamat yang dilalui oleh gelombang sumber gempa berupa tanah atau batuan yang padat (hardrock). Akibatnya, arrival time gelombang P hasil observasi lebih awal sampai ke stasiun pengamat dibandingkan waktu kalkulasi.

Begitu pun sebaliknya, koreksi stasiun akan bernilai positif jika kecepatan gelombang P hasil observasi lebih lambat dibandingkan hasil kalkulasi. Penyebabnya adalah lapisan bawah permukaan pada stasiun pengamat yang dilalui gelombang sumber gempa berupa tanah atau batuan yang tersusun dari sedimen (Sabtaji, 2017). Dengan adanya nilai koreksi stasiun ini, maka pembacaan waktu tiba gelombang P harus ditambahkan dengan nilai koreksi stasiun jika nilai koreksinya positif atau dikurangkan dengan nilai koreksi stasiun jika nilai koreksinya negatif (Sabtaji, 2017).

(61)

48

Tabel 4.3 Nilai koreksi stasiun pencatat gempa bumi. Stasiun LUWI adalah stasiun referensi dengan tulisan cetak tebal.

Nama Stasiun Latitude Longitude Koreksi (derajat) (derajat) Stasiun TOLI 1.1213N 120.7944E 0.54

PCI 0.9054S 119.8366E 0.35 PMSI 3.5008S 118.9149E 0.31 TOL2 1.1213N 120.7944E 0.14 BNSI 4.4005S 120.1065E 0.07 SMSI 0.9885N 122.3654E 0.06

LUWI 1.0418S 122.7716E 0

KMSI 0.5745N 123.9806E -0.01 MMSI 2.6892S 118.9090E -0.07 BKB 1.1073S 116.9048E -0.08 KKSI 4.1717S 121.6512E -0.12 KDI 3.9574S 122.6192E -0.14 SMKI 0.4461S 117.2085E -0.17 SPSI 3.9646S 119.7691E -0.2 APSI 0.9107S 121.6486E -0.35 GTOI 0.7628N 122.8700E -0.45 TTSI 3.0451S 119.8190E -0.58 MRSI 0.4770N 121.9405E -0.63 MPSI 0.3374N 119.8980E -0.63 SGKI 0.5302N 117.6043E -0.77 SRSI 2.5315S 120.8700E -0.81

(62)

49

BAB V KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Hasil relokasi menghasilkan perubahan kedalaman dari kedalaman fix depth (10 km) menjadi bervariasi dan lebih dalam serta sebagian dari hasil relokasi mendekati sesar.

2. Vp hasil akhir pada kedalaman 9 km lebih lambat dibandingkan Vp inisial yang terdapat pada referensi Gracynthia (2015), sedangkan pada kedalaman sisanya lebih cepat.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini yaitu perlu dilakukannya perhitungan relokasi dan penentuan model kecepatan menggunakan gelombang S dan dilakukannya perhitungan dengan menggunakan cakupan luas wilayah yang lebih sempit atau daerah regional.

Gambar

Gambar  4.5  Peta  sebaran  hiposenter  setelah  relokasi  dengan  irisan  penampang  vertikal berdasarkan bujur dan lintang ..........................................
Tabel 2.1 Hubungan antara magnitudo dan intensitas gempa bumi
Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya gempa bumi (Pawirodikromo, 2012)
Gambar 2.2 Penyebaran Gelombang Energi Gempa (Pawirodikromo, 2012)  Secara  umum  gelombang  energi  gempa  atau  gelombang  seismik  dibedakan menjadi dua, yaitu gelombang badan (body waves) dan gelombang  permukaan  atau  (surface  waves)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive, yaitu metode penentuan lokasi penelitian secara sengaja dengan pertimbangan bahwa (1) CV Sari Alam Pegunungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Motivasi belajar siswa kelas XII di SMK N 6 Yogyakarta sebagian besar dalam kategori cukup baik sebanyak 37 siswa

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk mengetahui bagaimana Pengaruh Tingkat Kepercayaan Nasabah Tentang Bagi Hasil Terhadap Loyalitas Nasabah Bank

Bagi guru: hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan perhatian para guru untuk mampu memberikan stimulus yang dapat meningkatkan motivasi siswa serta

Hasil pengujian outer model yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hubungan antara variabel wirausaha tidak memiliki pengaruh terhadap variabel produk makanan halal

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden adalah seorang ibu rumah tangga (50,7%) dan jika dilihat dari distribusi frekuensi proporsi antara jenis pekerjaan

Bagi Peneliti Berikutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan data primer untuk penelitian selanjutnya, dapat meneliti masalah faktor-faktor yang menjadi prediktor

d Bagi Penelitian yang Akan Datang Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahn wacana di bidang manajemen keuangan sehingga bisa bermanfaat untuk kedepannya selanjutnya sehubungan