TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Klasifikasi Limbah Pemanenan Hutan
Menurut Budiaman (2000), limbah pemanenan dapat berupa semua kayu bulat yang berupa bagian dari batang komersial, potongan pendek, tunggak, cabang dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam.
2.Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (komersial).
3.Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama.
4.Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada dibawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas.
5.Potongan kecil adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik kayu.
8
Limbah pohon diklasifikasikan berdasarkan sumbernya untuk mengetahui dari bagian pohon yang mana limbah berasal, yaitu dengan klasifikasi berdasarkan sumber limbah itu sendiri dan terbatas pada areal tebangan. Sumber limbah berasal dari pohon yang ditebang, pohon lain yang rusak akibat penebangan dan penyaradan, sedangkan limbah yang berasal dari pohon yang ditebang berasal dari tunggak, limbah batang bebas cabang, batang kayu di atas cabang pertama (Simarmata & Haryono 1986).
Hidayat (2000) menggolongkan limbah berdasarkan : 1. Bentuknya
a. Berupa pohon hidup yang bernilai komersial namun tidak dipanen meskipun dari segi teknis memungkinkan.
b. Berupa bagian batang bebas cabang yang terbuang akibat berbagai faktor, seperti teknis, fisik, biologis, dan lain-lain.
c. Berupa sisa bagian pohon yakni dahan, ranting, maupun tungak. d. Berupa sisa bagian produksi atau akibat proses produksi. 2. Pengerjaan kayunya
a. Limbah pemanenan yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan kayu yang dapat berupa kayu-kayu yang tertinggal di hutan, TPn, dan TPK.
b. Limbah pengolahan kayu yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri kayu seperti pabrik gergajian, plywood dan lain-lain.
3. Tempat terjadinya
a. Limbah yang terjadi di tempat penebangan,
b. Limbah yang terjadi di tempat penimbunan kayu (TPn) c. Limbah yang terjadi di tempat penngumpulan kayu (TPK)
Dalam Keputusan menteri Kehutanan Nomor 6886 tahun 2002 disebutkan batasan limbah pemanena berupa sisa pembagian batang termasuk cabang, ranting, pucuk, tunggak atau kayu bulat dengan ukuran ≤ 30 cm atau panjang tidak lebih dari 2 meter. Kayu yang termasuk dalam kelompok kayu mewah dan kayu indah tidak termasuk dalam limbah pembalakan.
Soewito (1980) mengemukakan bahwa limbah kayu akibat pemanenan di areal tebangan berasal dari dua sumber, yaitu bagian dari pohon yang ditebang yang seharusnya dapat dimanfaatkan, tetapi tidak diambil dan berasal dari tegakan
tinggal yang rusak akibat dilakukannya kegiatan pemanenan kayu. Limbah dari pohon yang ditebang terjadi karena pengusaha hanya mengambil bagian kayu yang dianggap terbaik saja sesuai dengan persyaratan ukuran dan kualita. Widarmana (1973) menjelaskan bahwa macam atau bentuk serta volume limbah pemanenan kayu itu berbeda-beda, tergantung pada :
1.Tingkat efisiensi pemanenan (secara manual atau mekanis).
2.Tujuan pemanenannya, kayu untuk industri dalam negeri, mendapatkan kayu untuk keperluan lokal, atau kayu untuk ekspor.
3.Jenis serta nilai kayunya (jati, rimba alam atau rimba tanaman).
4.Tempat atau lokasi serta fasilitas prasarana, misalnya jalan angkutan. Semakin tinggi tingkat efisiensi pemanenan kayu, limbah yang dihasilkan akan semakin berkurang, begitu pula bila nilai ekonomis kayu dan aksesibilitas hutan tinggi.
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah Kayu
Menurut Sukadaryati dan Yuniawati (2007), secara umum limbah pemanenan yang terjadi di hutan alam maupun hutan tanaman dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1.Teknik pemanenan yang dilakukan, dimana pemanenan yang dilakukan tanpa perencanaan matang akan banyak menimbulkan limbah baik pada saat kegiatan penebangan, penyaradan maupun pengangkutan.
2.Daur tebang yang terabaikan, dimana kegiatan penebangan kayu tidak lagi memperhatikan daur masak tebang.
3.Penggunaan alat pemanenan yang tidak sesuai dengan kondisi hutan, baik yang menyangkut kemampuan mesin maupun kapasitasnya sehingga menyebabkan tingginya limbah yang dihasilkan.
4.Kebijakan pemerintah, berkaitan dengan sistem pembayaran DR (Dana Reboisasi) dan IHH (Iuran Hasil Hutan) yang diterapkan berdasarkan volume kayu yang diperdagangkan sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan pemborosan kayu.
5.Permintaan pasar ukuran standar untuk memenuhi persyaratan kebutuhan bahan baku tertentu.
10
6.Maraknya penebangan liar yang menyebabkan rusaknya potensi hutan karena pemanenan yang dilakukan tidak terkendali bahkan cenderung memboroskan sumber daya hutan.
Menurut Direktorat Pengolahan Hasil Hutan (1989) limbah pemanenan kayu terjadi karena kesalahan teknis, yaitu :
1.Menebang terlalu tinggi sehingga menghasilkan limbah tunggak yang besar. 2.Pembagian batang pada umumnya disesuaikan dengan jenis dan kapasitas alat
angkut, bukan pada sortimen yang dibutuhkan industri.
3.Pohon-pohon yang rusak sebagai akibat penebangan dan penyaradan.
Faktor penyebab terjadinya limbah antara lain kelemahan-kelemahan dalam peraturan dan disiplin penerapannya, sumberdaya manusia, penguasaan teknologi pemanenan hutan dan tidak adanya diversifikasi industri pengolahan kayu (Tinambunan 2001).
Timbulnya limbah juga dipengaruhi oleh syarat-syarat pasar, jenis, dan nilai kayunya, tempat serta fasilitas pasarnya pada saat itu. Dengan demikian ukuran serta kualitas yang tidak memenuhi syarat pada saat itu akan menjadi limbah. Faktor penyebab limbah yang tidak dapat dikuasai adalah faktor alam, yaitu kayu tidak dapat dimanfaatkan karena letaknya tidak memungkinkan pemanenan secara ekonomis antara lain di dalam jurang, atau pada lereng-lereng yang curam, juga apabila pohon yang ditebang ternyata busuk, berlubang atau cacat (Soemitro 1980).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya limbah menurut Lembaga Penelitian Hasil Hutan (1980) adalah:
a. Teknik dan peralatan pemanenan yang kurang tepat. b. Manajemen pengusahaan hutan yang masih lemah.
c. Kesadaran dan keterampilan pelaksana yang masih perlu ditingkatkan dalam proses yang berhubungan dengan kegiatan pengusahaan hutan.
d. Pengawasan yang masih perlu ditingkatkan.
Sastrodimejo dan Simarmata (1981) menyatakan bahwa limbah pemanenan kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1.Topografi berkaitan dengan kemungkinan dapat atau tidaknya kayu untuk ditebang dan dimanfaatkan, kesulitan dalam mengeluarkan kayu sehingga ditinggal dan tidak dimanfaatkan.
2.Musim berpengaruh terhadap keretakan batang-batang yang baru ditebang. Pada musim kemarau kayu akan lebih mudah pecah karena udara kering. 3.Peralatan, pemilihan jenis dan kapasitas alat yang keliru dapat menyebabkan
kayu tidak dapat dimanfaatkan seluruhnya.
4.Cara kerja, penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi.
5.Sistem upah yang menarik akan memberikan rangsang yang baik terhadap para pekerja sehingga yang bersangkutan bersedia melaksanakan sesuai yang diharapkan.
6.Kurangnya sinkronisasi antara kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya dapat menyebabkan tidak lancarnya kegiatan.
7.Permintaan pasar
Lempang et al. (1995) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya limbah pemanenan yang terjadi adalah sebagai berikut :
1.Panjang kayu di tempat tebangan 2.Rata-rata diameter di tempat tebangan 3.Volume kayu di tempat tebangan 4.Panjang kayu di TPn
Limbah pemanenan dianggap dapat dihindari bila bagian dari batang kayu, yang memenuhi standar penggunaan perusahaan, tetapi ditinggalkan di hutan karena praktek penebangan dan penyaradan yang tidak tepat (Klassen 2006). Penyebab-penyebab terjadinya limbah dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar :
1.Secara alami, yaitu kayu ditinggalkan karena ada cacat alami sehingga tidak dapat dipasarkan pada saat ini, seperti kayu berlubang, busuk, dan gerowong. 2.Secara mekanis, yaitu kayu ditinggalkan karena ada kerusakan pada kayu
akibat kegiatan pemanenan, seperti pecah, patah, dan lain-lain.
2.6. Potensi Limbah Pemanenan di Hutan Alam
Budiaman (2001) menyatakan potensi limbah pemanenan yang terdapat di hutan relatif besar, yaitu mencapai 40% dengan diameter yang diturunkan sampai 10 cm. Apabila seluruh limbah pemanenan dihitung, tidak hanya single trees,
12
diperkirakan limbah pemanenan mencapai lebih dari 50% dari kayu bulat yang dikeluarkan.
Wahyudi (2000) menyatakan bahwa biomassa sisa pohon tebang yang berasal dari hutan alam yang belum dimanfaatkan adalah sebesar 43,5%, yang terdiri atas tunggak, bagian atas bebas cabang, cabang dan ranting serta bontos kayu. Limbah pembalakan yang terjadi dari pohon yang ditebang berupa kayu sampai dengan diameter 15 cm adalah sebesar 57% sehingga log yang dapat dimanfaatkan dari pohon tersebut adalah 43% (Dulsalam et al. 2000). Lim (1992) menyebutkan bahwa limbah dapat ditentukan berdasarkan volume total kayu yang dipanen dan berdasarkan volume total limbah pemanenan kayu. Limbah berdasarkan total kayu yang dipanen sebesar 41,31%, sedangkan limbah berdasarkan total limbah yang terjadi, yaitu limbah berupa tunggak sebesar 6,74%, limbah berupa batang atas sebesar 15,52% dan limbah dahan sebsar 16,34%.
Sasmita (2003) melaporkan bahwa besarnya limbah pemanenan kayu yang terjadi di hutan alam di IUPHHK PT. Sumalindo Lestari Jaya mencapai 26,28 m3/ha. Besarnya volume limbah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan mencapai 36% dari keseluruhan volume kayu yang ditebang, limbah ini terdiri atas limbah yang terjadi di petak tebang adalah 33,15%, limbah yang terjadi TPn 2,68% dan limbah terjadi di TPK sebesar 0,98%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009) menunjukkan bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan penebangan di hutan alam mencapai 6,64 m3/pohon, limbah terbesar berasal dari limbah cabang dan ranting sebesar 41,3 m3/pohon atau 62,2%dari total limbah yang terjadi. Limbah lainnya berasal dari tunggak sebesar 1,09 m3/pohon (16,42%) dan batang bebas cabang sebesar 1,42 m3/pohon (21,39%).
2.7. Faktor Eksploitasi
Faktor eksploitasi merupakan perbandingan antara banyaknya produksi kayu yang dihasilkan dari suatu areal hutan dengan potensi standingstock-nya, yaitu sebesar 0,7 dan dimasukkan dalam penentuan target produksi (Matangaran
dimanfaatkan dengan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Batang yang dimanfaatkan adalah bagian batang yang sampai di logpond dan siap dipasarkan, sedangkan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan adalah bagian batang dari atas tunggak yang diizinkan sampai cabang pertama (Dulsalam 1995).
Sianturi et al. (1984) mendefinisikan faktor eksploitasi adalah indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfatkan dari volume pohon yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut limbah. Oleh karena itu, persentase pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100 persen. Faktor eksploitasi merupakan suatu faktor yang menentukan besarnya target tebangan tahunan. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan. Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu di suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksir besarnya royalti yang harus dibayar di hutan tersebut.
Lempang et al. (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh :
1.Faktor non teknis, yang terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran
2.Faktor teknis yang dibagi meliputi :
a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencanaan hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan.
b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran
c. Kebijakan pemerintah dan aturan – aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.
Efisiensi pemanenan kayu atau faktor eksploitasi erat hubungannya dengan limbah pemanenan kayu. Efisiensi penebangan yang dihasilkan di PT. Asialog (Provinsi Jambi) yang dilakukan secara konvensional dan terkendali berturut-turut rata-rata sebsar 81,15% dan 87,27%. Tingginya efisiensi penebangan tersebut
14
diikuti dengan rendahnya limbah yang terjadi, yaitu berturut-turut 18,86% dan 12,73% (Sukadaryati 2002).
Makin tinggi tingkat efisiensi penebangan kayu maka limbah yang terjadi akan semakin kecil. Efisiensi pemanenan kayu ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran kayu, jenis kayu, topografi dan kondisi lapangan, peralatan yang digunakan, keterampilan tenaga kerja dan sistem pengupahan yang diberlakukan. Menurut Dulsalam (1995) pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan.
Pada tahun 1970 hingga tahun 1990, faktor eksploitasi yang digunakan untuk perhitungan jatah tebangan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hak Pengusahaan Hutan (IUPHHK) di seluruh Indonesia adalah 0,70. Mulai tahun 1990, Departemen Kehutanan menaikkan faktor eksploitasi tersebut namun tidak diberlakukan untuk setiap IUPHHK di seluruh Indonesia dengan alasan masih banyak pemegang IUPHHK yang efisiensi pemanenan kayunya masih rendah, sehingga hanya IUPHHK yang dinilai tingkat efisiensi pemanenannya telah baik yang dapat diberikan peningkatan faktor eksploitasinya sebesar 0,70 – 0,90. Hingga saat ini penentuan besarnya faktor eksploitasi oleh Dinas Kehutanan dan kanwil Kehutanan di tingkat propinsi sebenarnya masih dengan cara pendugaan tanpa adanya informasi yang memadai mengenai besarnya faktor eksploitasi di setiap IUPHHK (Elias 2002).
Salah satu indikator pemanenan kayu dapat dilihat dari indikator faktor eksploitasi. Faktor eksploitasi besar kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Makin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi berarti faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam 1995). Pada tahun 1970 hingga 1990 faktor eksploitasi yang digunakan untuk menghitung jatah tebang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di seluruh Indonesia adalah 0,70.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Partiani (2010), besarnya faktor eksploitasi di hutan alam Sumatera Barat adalah 0,754 dengan pendekatan persen limbah. Besarnya faktor eksploitasi dengan pendekatan indeks tebang, indeks
sarad dan indeks angkut sebesar 0,754. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009) besarnya rata-rata faktor eksploitasi pada hutan alam di Kalimantan Tengah adalah 0,80. Penelitian Lempang et al. (1995) menghasilkan faktor eksploitasi pada hutan alam di Sulawesi Selatan sebesar 0,80.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan TempatPenelitian ini dilaksanakan di IUPHHK-HA PT MAM, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua pada bulan Mei sampai dengan Juli 2012.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan di salah satu petak tebang terpilih, pohon yang ditebang dan kayu bulat hasil penebangan. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pita meter untuk mengukur panjang kayu dan keliling kayu b. Meteran untuk mengukur panjang pohon rebah dan sortimen c. Kapur atau label untuk menandai pohon contoh dan kayu bulat d. Kamera untuk dokumentasi
e. Alat-alat bantu lainnya seperti tally sheet, kalkulatordan alat tulis.
3.3. Prosedur Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan. Pengambilan data primer dilakukan di petak tebang 37QQ RKT 2012. Data primer yang dikumpulkan adalah diameter, tinggi, dimensi dan jenis pohon. Data sekunder merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung penelitian ini dan diperoleh melalui pengutipan data perusahaan dan hasil penelitian yang dipublikasikan. Data sekunder yang dikumpulkan berupa kondisi umum perusahaan, Laporan Hasil Cruising (LHC) dan peta areal kerja PT MAM.
3.3.1. Penentuan Jumlah Pohon Contoh
Penentuan jumlah pohon contoh dilakukan dengan menggunakan rumus Cochran (1977) :
Keterangan : t(α/2,dbf) = nilai tabel t-student (dianggap 2) Sy = simpangan baku contoh
SE = sampling error maksimum Y = rata-rata contoh
Penentuan jumlah pohon dihitung berdasarkan LHC pada petak tebang yang diteliti. Pada penelitian ini digunakan sampling error (SE) sebesar 10%. Berdasarkan LHC petak tebang yang diteliti terdapat 1060 pohon layak tebang berdiameter rata – rata 55,93 cm dengan simpangan baku sebesar 0,57 m3. Dengan
sampling error sebesar tidak lebih dari 10%, maka jumlah pohon contoh yang
didapatkan adalah 29 pohon. Ke-29 pohon contoh ini adalah pohon yang ditebang oleh penebang di petak 37QQ.
3.3.2. Pengukuran Tinggi dan Diameter Pohon
Setelah jumlah pohon contoh ditetapkan, selanjutnya dilakukan pengukuran dimensi pohon. Kegiatan yang dilakukan adalah pencatatan nomor pohon, jenis pohon, diameter pohon, tinggi pohon bebas cabang dan tinggi pohon total. Tinggi pohon yang diukur adalah tinggi pohon rebah, sehingga pengukuran diameter setinggi dada diukur dari tunggak sepanjang 1,3 meter.
Tinggi pohon contoh diukur dari tunggak sampai tajuk pohon rebah, di mana tinggi total pohon merupakan penjumlahan dari tinggi tunggak dan panjang pohon dari batang komersil sampai ujung tajuk. Sementara tinggi bebas cabang merupakan penjumlahan tinggi tunggak dan panjang batang komersil. Pengukuran tinggi pohon pada pohon rebah lebih akurat dibandingkan pengukuran saat pohon masih berdiri, karena tinggi pohon yang diukur adalah tinggi aktual.
3.3.3. Pengukuran Sortimen Kayu Bulat Hasil Tebangan
Setelah penebangan, selanjutnya dilakukan pengukuran dimensi sortimen kayu bulat yang dihasilkan. Sortimen kayu bulat terdiri atas dua kelompok, yaitu bagian di bawah cabang pertama dan bagian di atas cabang pertama. Bagian di bawah cabang pertama terdiri atas tunggak dan batang bebas cabang. Bagian di atas cabang pertama terdiri dari batang atas, cabang dan ranting. Pada penelitian ini, pengukuran dimensi sortimen kayu bulat dilakukan pada kayu bulat
18
berdiameter sampai dengan 10 cm, selain batang utama. Sortimen kayu bulat yang diukur adalah :
1.Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada di bawah takik rebah dan takik balas. Dimensi yang diukur adalah diameter dan tinggi tunggak. Teknik pengukuran dimensi tunggak dapat dilihat pada Gambar 1.
Keterangan : H = tinggi tunggak D1 = diameter terbesar D2 = diameter terkecil Gambar 1 Pengukuran tunggak.
2. Batang komersial adalah batang utama dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam. Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang. Potongan pendek juga merupakan bagian dari batang komersial. Potongan pendek adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan pendek juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik kayu. Pengukuran batang komersial dan potongan pendek dapat dilihat pada Gambar 2.
3. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (komersil). Dimensi yang diukur yaitu diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang batang yang dijelaskan pada Gambar 3.
4. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada di atas cabang pertama. Teknik pengukuran cabang dan ranting dapat dilihat pada Gambar 3.
Keterangan : L = panjang sortimen kayu D1 = diameter terbesar D2 = diameter terkecil
Gambar 2 Pengukuran batang komersial dan potongan pendek.
Keterangan : L = panjang sortimen kayu D1 = diameter terbesar D2 = diameter terkecil
Gambar 3 Pengukuran volume batang atas, cabang dan ranting.
3.4. Pengolahan Data