• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuantifikasi Hasil Penebangan 1. Batang Komersial

TINJAUAN PUSTAKA

5.3. Kuantifikasi Hasil Penebangan 1. Batang Komersial

Batang utama atau batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada

68.96 10.34 6.89 3.44 10.34 0 10 20 30 40 50 60 70 80 52 - 81 81 - 110 110 - 139 139 - 168 168 - 197 P er se n ta se ( % ) Sebaran diameter (cm) 27.58 34.48 27.58 10.34 0 0 0 10.34 31.03 48.27 6.89 3.45 0 10 20 30 40 50 60 19-23 23-27 27-31 31-35 35-39 39-43 P e rs e n ta se ( % )

30

pengusahaan hutan alam. Dari total volume pohon yang diukur, yaitu 343,6 m3, kayu bulat yang dimanfaatkan sebesar 258,5 m3 atau 75,2%. Sisanya berupa limbah kayu bulat yang berasal dari tunggak, batang atas, cabang dan ranting, dan potongan pendek.

Berdasarkan kelompok jenisnya, kelompok jenis meranti memiliki tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok jenis non meranti. Dari kelompok jenis meranti, volume tebangan yang dimanfaatkan sebanyak 225,6 m3 atau 76,5% dari total volume. Sementara untuk kelompok jenis non meranti hanya sebesar 32,8 m3 atau 67,4% dari total volume. Besarnya tingkat pemanfaatan pohon yang diukur ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil kuantifikasi kayu bulat pemanenan di PT. MAM

Jenis Komersial Non Komersil Total

(m3) (%) (m3) (%) (m3) (%)

Semua Jenis 258,5 75,2 85,2 24,8 343,7 100

Meranti 225,6 76,5 69,3 23,5 294,9 100

Non meranti 32,8 67,4 15,9 32,6 48,7 100

Berdasarkan tabel di atas, dari total volume pohon yang diukur, sebesar 24,8% tidak dimanfaatkan dan berpotensi menjadi limbah pemanenan kayu, yaitu 23,5% dari kelompok meranti dan 32,6% dari kelompok non meranti.

5.3.2. Limbah Pemanenan Kayu

Pengertian limbah pemanenan kayu dalam penelitian ini adalah bagian pohon yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan pada saat ini dan biasanya dibiarkan ditinggalkan di dalam hutan. Bagian pohon tersebut tidak dimanfaatkan karena bukan menjadi target produksi PT. MAM. Limbah pemanenan ini berupa tunggak, bagian dari batang utama, bagian dari batang atas, cabang dan ranting, atau potongan pendek. Dari 29 pohon contoh yang diukur, volume limbah paling besar berupa potongan pendek sebesar 25,3 m3 (7,4%) dan volume limbah terkecil berupa cabang dan ranting sebesar 16,4 m3 (4,7%). Sisanya merupakan limbah dari batang atas sebesar 21,1 m3 (6,2%) dan limbah tunggak sebesar 22,4 m3 (6,2%). Volume limbah pemanenan berdasarkan bentuk sortimennya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Volume limbah pemanenan hutan di PT. MAM Volume Sortimen Limbah Jenis Papua Jambi* Semua Jenis Meranti Non meranti Semua Jenis Meranti Non meranti Tunggak (m3) 22,4 18,8 3,6 36,9 15,4 21,4 (%) 6,5 6,4 7,5 6,7 7,1 5,1 Batang Atas (m3) 21,1 15,9 5,2 67,5 28,5 39,0 (%) 6,1 5,4 10,6 12,2 13,0 2,3 Cabang dan Ranting (m3) 16,5 12,9 3,4 60,3 18,8 41,5 (%) 4,8 4,4 7,0 10,9 8,6 9,9 Potongan Pendek (m3) 25,3 21,7 3,7 54,7 28,0 26,7 (%) 7,4 7,3 7,5 9,9 12,8 21,6 Total (m 3 ) 85,2 69,3 15,9 219,4 90,7 128,6 (%) 24,8 23,5 32,6 39,5 41,6 39,0 *Sumber :Budiaman (2000).

Jika dilihat dari jenis pohon yang ditebang, data yang diperoleh menunjukkan bahwa limbah yang berasal dari kelompok non meranti lebih besar dibandingkan dengan kelompok jenis meranti. Hal ini disebabkan kelompok jenis yang dominan adalah kelompok non meranti. Sementara itu, dilihat dari asal limbah, limbah potongan pendek yang berasal dari kelompok jenis meranti dan non meranti relatif tidak berbeda jauh, yaitu berkisar dari 7,3% – 7,5%. Perbedaan cukup mencolok terlihat pada limbah yang berasal dari batang atas dan cabang dan ranting. Volume limbah batang atas dari kelompok jenis meranti mencapai 5,4%, sementara dari kelompok jenis non meranti sebesar 10,6%. Jika dibedakan berdasarkan jenisnya, limbah cabang dan ranting untuk kelompok jenis meranti lebih kecil dibandingkan volume cabang dan ranting dari kelompok jenis meranti, begitu pula untuk limbah potongan pendek.

Budiaman (2000) melaporkan bahwa limbah terbesar berasal dari batang atas, yaitu sebesar 12,2% dan volume limbah terkecil berasal dari tunggak sebesar 6,7%. Hasil ini berbeda dengan penelitian di PT. MAM dimana limbah terbesar merupakan limbah potongan pendek. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan arsitektur tegakan, dimana tegakan di Jambi memiliki batang atas yang lebih panjang dibandingkan dengan di Papua yang hanya memiliki panjang rata-rata

32

batang atas sebesar 5,7 meter, sehingga pada penelitian di Jambi limbah terbesar berasal dari batang atas. Sementara itu, tegakan di Papua memiliki rata-rata diameter yang cukup besar, yaitu 87,7 cm, sehingga semakin besar diameter akan menghasilkan volume yang besar. Pada PT. MAM, dilakukan pemotongan batang pada bagian pangkal pohon dengan rata-rata diameter yang cukup besar, sehingga berpengaruh pada volume limbah potongan pendek yang besar pula.

Limbah potongan pendek merupakan bagian dari batang utama yang sengaja ditinggalkan di dalam hutan atau tidak dimanfaatkan. Limbah potongan pendek banyak ditemukan di petak tebang karena adanya pemotongan batang pada bagian pangkal dan ujung. Potongan-potongan pendek terjadi pada saat penebang memotong batang baik pada bagian pangkal maupun ujung yang disebabkan adanya cacat alami maupun cacat mekanis pada saat penebangan untuk mendapatkan kayu gelondongan dengan kualitas tinggi. Potongan pendek pada pangkal dihitung dari batas potongan tunggak sampai batas potongan pangkal dan potongan pendek pada bagian ujung batang dihitung dari batas potongan sampai ke cabang pertama.

Limbah potongan pendek terjadi karena adanya kebijakan pemotongan batang yang dilakukan di petak tebang. Pada PT. MAM tidak dilakukan pembagian batang melainkan hanya pemotongan batang (trimming) pada bagian pangkal dan ujung batang. Besarnya limbah potongan pendek juga menunjukkan kurang terampilnya penebang dalam menentukan arah rebah pohon. Dalam menentukan arah rebah pohon perlu diperhatikan kondisi sekitar pohon, sehingga saat pohon rebah tidak terjadi cacat mekanis yang begitu besar pada batang seperti pecah atau belah. Trimming yang dilakukan pada bagian pangkal maupun ujung pohon untuk mengurangi cacat ini akan menghasilkan limbah potongan pendek dalam jumlah besar.

Selain penentuan arah rebah, kurang terampilnya penebang dalam membuat takik rebah dan takik balas menjadi salah satu penyebab besarnya jumlah limbah potongan pendek. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang tepat dapat menyebabkan kerusakan pada bagian pangkal seperti pecah dan retak. Hal ini tentu akan mengurangi nilai komersial batang yang dapat dimanfaatkan karena dilakukannya trimming pada bagian tersebut. Pada penelitian

ini tidak ditemukan adanya kayu gelondongan utuh yang menjadi limbah dikarenakan jatuh ke jurang atau mengalami cacat alami.

Limbah terkecil terdapat pada cabang dan ranting. Cabang dan ranting yang diukur dalam penelitian ini berdiameter sampai 10 cm tanpa batasan panjang. Cabang dan ranting yang ditemukan dalam penelitian rata – rata dalam keadaan hancur. Sementara limbah batang atas di areal penelitian memiliki diameter di atas 40 cm dengan panjang rata – rata mencapai 5,7 meter.

Limbah tunggak yang ditemukan di areal penelitian memiliki tinggi rata – rata 0,98 meter. Tinggi tunggak – tunggak ini lebih tinggi dari batas yang diberikan untuk hutan alam yaitu 50 cm di atas permukaan tanah sehingga akan menimbulkan limbah pemanenan kayu. Menurut Elias (1999), untuk mencapai pemanenan dengan sistem reduced impact logging (RIL), pemotongan tunggak harus dilakukan serendah mungkin untuk menghindari kerugian kayu, sehingga batas ketinggian maksimum yang paling optimal adalah 50 cm. Kelebihan tunggak ini disebabkan penebang memilih membuat takik balas yang lebih tinggi untuk memudahkan pada saat menebang, selain itu juga penebang enggan menebang dengan takik balas lebih rendah dikarenakan besarnya premi yang didapatkan tidak terlalu besar. Berikut dapat dilihat batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak untuk pemanenan RIL menurut Elias (1999).

Gambar 7 Batas ketinggian maksimum pemotongan tunggak dengan sitem RIL.

5.4. Karakteristik Limbah Kayu

Limbah pemanenan pada petak tebang berada dalam kondisi rusak atau cacat dan ada pula yang dalam kondisi baik. Cacat kayu adalah suatu kelainan yang terdapat pada kayu yang dapat mempengaruhi mutu kayu (SNI 1999). Dari total volume sortimen kayu bulat sebesar 258,5 m3, sebanyak 28,3 m3 atau 10,9%

34

merupakan batang yang mengandung cacat seperti pecah, belah, mata kayu dan gerowong. Untuk batang atas, sebesar 13,3 m3 atau 39,3% mengandung cacat berupa pecah batang dan sebesar 12,7 m3 atau 77,6% dari volume total cabang dan ranting mengalami pecah, hancur dan mata kayu. Sebaran kondisi kayu berdasarkan sortimen kayu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran kondisi kayu berdasarkan sortimen kayu di PT. MAM

Jenis Sortimen

Kondisi Kayu

Kuantifikasi Kayu Bulat

PT. MAM IUPHHK Jambi *

Volume (m3) Persentase (%) Volume (m3) Persentase (%) Batang Komersial Bebas cacat 258,5 90,1 335,6 93,8 Cacat 28,3 10,9 22,1 6,2 Total 286,7 100,0 357,7 100,0

Batang Atas Bebas cacat 7,8 60,7 40,5 60,0

Cacat 13,3 39,3 63,0 40,0 Total 21,1 100,0 67,5 100,0 Cabang dan ranting Bebas cacat 3,7 22,4 15,3 25,3 Cacat 12,7 77,6 45,0 74,7 Total 16,4 100,0 60,3 100,0 *Sumber : Budiaman (2001).

Cacat yang terjadi pada batang dapat berupa cacat alami maupun cacat mekanis. Cacat alami merupakan cacat atau kerusakan yang berasal dari keadaan pohon yang ditebang seperti mata kayu, busuk hati, gerowong dan sebagainya. Sedangkan cacat mekanis merupakan bentuk kerusakan pada kayu yang disebabkan kesalahan teknis pada saat penebangan, penyaradan maupun pemuatan. Cacat mekanis dapat berupa belah, pecah dan hancur. Limbah pemanenan merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami (defect) yang terjadi secara alami tidak memenuhi persyaratan yang diinginkan (Matangaran et al. 2000). Sementara menurut Budiaman (2001), cacat kayu dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu cacat yang mengurangi ketahanan kayu seperti busuk dan pecah, dan cacat yang mengurangi kekuatan penampakan dan membatasi penggunaan kayu seperti mata

kayu dan jamur. Besarnya volume limbah berdasarkan jenis cacat kayu ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Volume limbah di petak tebang berdasarkan jenis cacat kayu

Kondisi Limbah Volume total (m3) Volume rata – rata (m3 / plot) 1. Cacat alami Gerowong Mata Kayu 1,03 7,34 0,04 0,25 2. Cacat mekanis Pecah Belah Hancur 46,10 10,70 1,69 1,58 0,37 0,06 3. Baik 43,67 1,51

Jenis cacat alami yang ditemukan berupa mata kayu dan gerowong. Dalam menduga suatu batang mengalami gerowong atau tidak, biasanya penebang akan mengetukkan atau memukul pohon dengan parang. Jika pohon diduga memiliki gerowong yang cukup besar maka penebang akan membuat takik balas lebih tinggi dari perkiraan gerowong kayu, tetapi apabila gerowong diduga tidak begitu besar maka penebang akan menebang pohon seperti biasa dan kemudian akan memisahkan bagian gerowong dengan batang komersial pada saat pohon telah rebah. Bila ukuran gerowong melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh standar pemanfaatan dari perusahaan, maka pohon tersebut tidak perlu ditebang.

Limbah yang terjadi sebagian besar karena cacat mekanis yang terjadi akibat kesalahan teknis pada saat penebangan. Limbah terbesar terjadi dalam keadaan pecah yaitu 1,58 m3/plot atau 41,71%. Limbah pecah ini berasal dari kegiatan trimming berupa potongan pangkal batang dan potongan ujung batang. Limbah pecah ini menunjukkan masih kurangnya keterampilan penebang dalam membuat takik rebah dan takik balas. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang tepat dapat menimbulkan kerusakan pada bagian pangkal berupa pecah pada pangkal dan akan timbul serabut pada pangkal (barber chair) sehingga harus dilakukan pemotongan pada bagian tersebut.

36

Selain itu juga limbah pecah dipengaruhi oleh kurangnya keterampilan penebang pada saat menentukan arah rebah. Penentuan arah rebah sangat penting dalam penebangan untuk menghindari atau mengurangi kerusakan atau cacat pada kayu seperti pecah sehingga diperoleh kayu – kayu dengan nilai yang tinggi dan juga untuk memudahkan dalam pengerjaan batang – batang pohon selanjutnya, bahkan sampai penghelaannya (Prastowo 1980). Perebahan pohon sebaiknya memperhatikan kondisi lapang di sekitar pohon, kondisi pohon, cacat fisik alami pohon, keadaan banir dan kondisi cuaca pada saat penebangan.

Limbah terkecil adalah limbah dalam keadaan hancur yaitu sebesar 1,69 m3/plot atau 1,53%. Limbah hancur ini berasal dari bagian cabang dan ranting yang berada di bagian bawah dan ujung pada saat pohon rebah. Cabang dan ranting mengalami hancur karena pada saat pohon rebah, cabang dan ranting pada bagian sisi bawah ketika pohon rebah akan menahan pohon dan menyentuh tanah. Sedangkan cabang dan ranting pada bagian ujung pohon biasanya pada saat pohon rebah akan menimpa batang pohon lain dan kemudian menyentuh tanah sehingga akan hancur. Persentase limbah berdasarkan kondisinya dapat dilihat pada Gambar 8. Disajikan pula persentase limbah pemanenan dari hasil penelitian Partiani (2010) di PT Salaki Suma Sejahtera (S3), Sumatera Barat.

Gambar 8 Persentase limbah berdasarkan jenis cacat kayu ( PT. MAM, PT S3)

Dalam penelitian ini, limbah dalam keadaan baik berupa limbah batang bebas cabang, batang atas serta limbah cabang dan ranting dalam keadaan baik dan memenuhi syarat kualita dengan diameter ≥ 30 cm dan panjang ≥ 4 meter

0.9 6.6 41.7 9.7 1.5 39.5 1.1 0 46.7 13.2 0.62 36.2 0 10 20 30 40 50

Gerowong Mata kayu Pecah Belah Hancur Bebas cacat

P e rs en ta se L im b a h ( % )

tetapi tidak dimanfaatkan atau ditinggal di dalam hutan. Volume limbah dalam kondisi baik sebesar 39,51 % atau 1,51 m3/plot dari total limbah yang terjadi. Banyaknya limbah dalam kondisi baik disebabkan belum adanya pemanfaatan dari batang berdiameter kecil terutama dari batang bagian atas serta cabang dan ranting. Untuk itu perlu dicari alternatif dalam memanfaatkan limbah baik ini guna meningkatkan nilai tambah kayu dan upaya penekanan meminimalkan limbah pemanenan kayu. Di PT. MAM, pemanfaatan limbah selama ini hanya dilakukan pada limbah tunggak yang berasal dari pohon merbau. Tunggak merbau ini diekspor ke Jepang dan Malaysia sebagai bahan baku molding dan flooring. Limbah kayu bulat berdiameter kecil merupakan sumber kayu bulat yang cukup potensial. Dari berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata lebih dari 1/3 kayu yang ditebang di negara tropis dibiarkan di hutan dan tidak dimanfaatkan. Hasil penelitian di hutan tropis Malaysia menunjukkan bahwa bagian kayu bulat yang ditinggalkan di hutan besarnya sekitar 2 kali lipat dari volume kayu yang dikeluarkan dari hutan (Danced Project 1999), sedangkan di Indonesia volume kayu ini diperkirakan sebesar 40% - 50% dari volume kayu potensial (Budiaman 2000). Pemanfaatan limbah kayu bulat berdiameter kecil masih kurang mendapat perhatian dari pemegang kebijakan dan industri yang menggunakan kayu bulat sebagai bahan utama. Hal ini disebabkan pemanfaatan kayu bulat kecil memerlukan biaya penanganan yang lebih besar dan pengetahuan tentang teknologi pemanfaatan kayu bulat kecil yang masih sangat terbatas. Indonesia saat ini mengalami kekurangan pasokan kayu bulat sebagai bahan baku industri. Semakin lama pasokan kayu bulat tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan industri perkayuan. Kelangkaan kayu bulat besar yang berlebihan menuntut adanya pergeseran pola pemanfaatan dan teknologi dari pemanfaatan kayu bulat berdimater besar ke arah kayu bulat berdiameter kecil, baik kayu kecil dari hutan tanaman maupun kayu bulat berdiameter kecil dari limbah pemanenan sehingga pemanfaatan kayu dapat lebih efisien dan dapat menjadi alternatif dalam menanggulangi kekurangan pasokan bahan baku kayu bulat. Budiaman (2000) menyatakan bahwa 43% dari limbah pemanenan di hutan alam dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk lanjutan dan 44% diantaranya

38

digunakan sebagai bahan baku kayu gergajian, core veneer, dan chip, dan 42 % dari limbah batang layak dikeluarkan sebagai log.

Widarmana (1973) mengemukakan bahwa kayu limbah tebangan berdiameter 10 cm ke atas masih dapat dimanfaatkan. Selain itu Dardiyanto (1988) mengemukakan bahwa kayu – kayu limbah tebangan yang berdiameter 30 cm ke atas dapat digunakan untuk industri sawmill. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan (1990), menyatakan bahwa limbah pemanenan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku finir (veneer), kayu gergajian (sawn timber), papan blok (block board), papan partikel (partikel board) dan peti pengemas.

5.5. Faktor Eksploitasi

Pada penelitian ini faktor eksploitasi dimaksudkan sebagai suatu indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfaatkan dari volume pohon yang ditebang. Menurut Dulsalam (1995) pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat pemanenan kayu yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan. Penentuan faktor eksploitasi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan pohon berdiri dan pendekatan persen limbah pemanenan. Besar faktor eksploitasi dari pohon contoh dengan menggunakan pendekatan pohon berdiri dan pendekatan persen limbah dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Faktor eksploitasi dengan pendekatan pohon berdiri dan pendekatan persen limbah di PT.MAM.

Berdasarkan hasil penelitian di areal PT. MAM, besarnya faktor eksploitasi yang dihasilkan dari perbandingan volume kayu yang dapat

74 73 72.5 73 73.5 74 74.5 Pendekatan pohon berdiri Pendekatan persen limbah kayu F a k to r e k sp lo it a si (%)

dimanfaatkan dengan volume kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan atau volume pohon berdiri adalah sebesar 0,74. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kayu di PT. MAM sebesar 74% dari total kayu yang ditebang dengan limbah kayu sebesar 26%.

Limbah pemanenan kayu dapat terjadi karena faktor alam, keadaan pohon atau karena kesalahan teknis penebangan sehingga mengurangi volume yang seharusnya dimanfaatkan dari suatu pohon. Nilai faktor eksploitasi berdasarkan pendekatan persen limbah pemanenan adalah 0,73. Angka ini berarti pemanfaatan kayu yang ditebang sebesar 73% dan limbah yang dihasilkan sebesar 27%. Hasil perhitungan faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah disajikan pada Lampiran 6.

Nilai faktor eksploitasi menggunakan pendekatan persen limbah lebih kecil dibandingkan dengan pendekatan pohon berdiri. Faktor eksploitasi dengan pendekatan persen limbah pemanenan kayu memiliki nilai yang lebih kecil karena terdapat faktor angka bentuk dimana sortimen kayu yang diukur tidak silindris. Sementara dengan pendekatan pohon berdiri, perhitungan faktor eksploitasi secara langsung menghitung volume batang komersil terhadap volume berdiri pohon sehingga tidak memperhatikan angka bentuk. Perhitungan dengan menggunakan pendekatan pendekatan persen limbah juga lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan pohon berdiri. Hal ini dikarenakan pada pendekatan persen limbah, dimensi sortimen kayu diukur berdasarkan bagian - bagian sortimennya, yaitu tunggak, potongan pendek, batang utama, batang atas, cabang dan ranting.

Akan tetapi nilai faktor eksploitasi dari kedua pendekatan ini tidak berbeda jauh dengan angka yang ditetapkan Departemen Kehutanan yaitu 0,70. Elias (2002) menyatakan bahwa besarnya faktor eksploitasi ditentukan oleh dua faktor dominan, yaitu :

1.Efisiensi pemanenan kayu, yang dipengaruhi oleh sistem dan teknik pemanenan kayu

2.Kerusakan biologis pada pohon yang dipanen, pada pohon terkena yang penyakit atau gerowong akan mengurangi besarnya bagian volume yang seharusnya dapat dimanfaatkan.

40

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai faktor eksploitasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Kuswandi (2000) di areal IUPHHK-HA PT. MAM. Hasil penelitian Kuswandi (2000) mendapatkan besarnya faktor eksploitasi 0,78. Hal ini disebabkan metode penelitian yang berbeda. Pada penelitian sebelumnya penelitian faktor eksploitasi dilakukan dengan berdasarkan jenis pohon. Disajikan pula hasil penelitian faktor eksploitasi di Papua dan Sumatera Barat pada Tabel 8.

Tabel 8 Faktor Eksploitasi di Papua dan Sumatera Barat

Lokasi

Dimensi Pohon Faktor

Eksplotasi Rata-rata diameter(cm) Rata-rata Tinggi (m3) Rata-rata volume (m3) Papua 87,7 25,82 14,06 0,74 Sumatera Barat* 61,5 19,8 23,37 0,74 Sumatera Barat** 77,7 28,04 11,43 0,75

*Sumber : Wahyuni (2009) **Sumber : Partiani (2010)

Faktor eksploitasi yang terjadi di PT. MAM tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Sumatera Barat, yaitu berkisar antara 0,74 – 0,75. Hal ini berarti nilai faktor eksploitasi dari kedua tempat tersebut tidak berbeda jauh, sehingga dapat dijelaskan bahwa baik di wilayah barat Indonesia maupun di Papua memiliki teknik pemanenan yang sama dan tingkat pemanfaatan yang tidak berbeda jauh.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1.Volume kayu yang dimanfaatkan di PT. MAM sebesar 258,46 m3 atau 75,21% dari total volume pohon yang diukur.

2.Dari total volume kayu yang diukur, yaitu sebesar 343,63 m3, limbah pemanenan kayu yang terjadi akibat penebangan di PT. MAM sebesar 85,17 m3 atau 24,8%, yang terdiri atas 25,32 m3 limbah potongan pendek, 22,43 m3 limbah tunggak, 21,07 m3 limbah batang atas dan 16,35 m3 limbah cabang dan ranting

3.Besarnya faktor eksploitasi berdasarkan pendekatan volume pohon berdiri sebesar 0,74 dan pendekatan persen limbah sebesar 0,73.

6.2. Saran

1.Perlu adanya peningkatan keterampilan tenaga kerja terutama bagi operator chainsaw dan penyarad melalui pelatihan atau kursus secara berkala mengenai teknik penebangan dan pemotongan batang sehingga dapat meminimalisir jumlah limbah akibat cacat mekanis.

2.Memperbaiki sistem manajemen, terutama peningkatan pengawasan dan koordinasi kerja di lapangan atau sistem mekanisme (SOP) yang mengatur setiap kegiatan sehingga meskipun nilai pemanfaatan cukup tinggi, keseimbangan aspek lingkungan dan produksi tetap terjaga.

3.Perlu dilakukan kajian terhadap pemanfaatan limbah yang terjadi baik dari segi teknis maupun ekonomis. Salah satu bentuk alternatif pemanfaatan yang mungkin dilakukan dengan mengolah kayu limbah menjadi produk kayu gergajian yang disesuaikan dengan diameter limbah seperti portable sawmill,

log sawmill dan particle board dengan adanya mekanisme yang mengatur

LIMBAH PENEBANGAN DAN FAKTOR EKSPLOITASI