• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bakteri Klebsiella pneumoniae sebagai Bakteri Dominan pada Pasien Pasca Hemimaksilektomi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Pasca Hemimaksilektomi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran

HASIL PENELITIAN

5.1 Bakteri Klebsiella pneumoniae sebagai Bakteri Dominan pada Pasien Pasca Hemimaksilektomi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Pasca Hemimaksilektomi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Sumatera Utara

Bahan cetak alginat mudah terkontaminasi bakteri karena komposisi, struktur, dan mekanisme hidrofilik setting, sehingga mudah terjadi perlekatan mikroorganisme ke permukaan cetakan (Anusavice, 2013). Pada pasien pasca hemimaksilektomi terjadi hubungan antara rongga hidung ke antrum dan nasofaring menjadi terbuka.

Pasien pasca hemimaksilektomi terdapat kerusakan mukosa rongga mulut sehingga saliva dapat bercampur dengan darah. Selama pembuatan cetakan, saliva dan darah masuk ke bahan cetak saat bahan cetak setting. Bahan cetak alginat yang berkontak dengan saliva dan darah berpotensi terkontaminasi berbagai macam mikroorganisme dari rongga mulut (Alwahab, 2012). Cetakan dan model yang diperoleh dengan mencetak rahang atas pasien terkontaminasi sejumlah mikroorganisme, termasuk Candida, MRSA, dan Pseudomonas aeruginosa, yang diketahui merupakan patogen oportunistik yang berperan pada infeksi nosokomial dan/atau membahayakan nyawa pasien dengan imunitas yang rendah (Egusa, 2008). Pada penelitian ini, cetakan pasien hemimaksilektomi terkontaminasi dengan sejumlah mikroorganisme yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Klebsiella pneumoniae. Hasil ini menunjukkan bahwa cetakan yang didapat dari pasien mampu mempertahankan mikroorganisme patogen. Organisme yang terdeteksi pada dasarnya patogen oportunistik, yang bersifat sementara yang ditemukan di rongga mulut.

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang habitatnya di kulit manusia, secara khusus dapat ditemukan di nares anterior atau pada rongga hidung manusia (Samaranayake, 2012). Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang banyak terdapat pada saliva, plak, dan rongga hidung. Staphylococcus aureus yang ditemukan di rongga mulut mampu bertahan sebagai flora mulut, yang terus menerus didistribusikan dari rongga hidung. Genotip isolat Staphylococcus aureus yang

ditemukan pada rongga mulut dan hidung menunjukkan klon identik atau kerabat dekat (Ohara-Nemoto, 2008).

Staphylococcus aureus tersebar melalui udara dan debu, dan selalu ada di lingkungan rumah sakit. Jalur transmisi biasanya melalui tangan dan ujung jari dengan tingkat pembawa paling tinggi pada pasien dan staf rumah sakit.

Staphylococcus aureus merupakan patogen umum menyebabkan angular cheilitis (bersama dengan jamur Candida) pada sudut mulut dan infeksi sistemik yang fatal/berat. Staphylococcus aureus memproduksi sejumlah toksin dan enzim sebagai virulence factor. Resistensi antibiotik terhadap Staphylococcus merupakan masalah di seluruh dunia yang telah menyebabkan munculnya Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA), dan antibiotic-‘tolerant’ isolates (Samaranayake, 2012). Staphylococcus aureus mempunyai membran sel yang tersusun dari lapisan peptidoglikan yang tebal, sebuah mikrokapsul (lapisan mukus yang tipis pada membran sel), dan ketahanan tinggi terhadap faktor lingkungan (tahan terhadap suhu tinggi sampai 70°C, disinfektan, dan larutan antiseptik) sehingga dapat bertahan selama 3 hari pada model gips (Zilinskas, 2014).

Escherichia coli adalah bagian dari mikroflora normal pada usus besar (Samaranayake, 2012). Namun, akibat kebersihan yang buruk Escherichia coli dapat memasuki rongga mulut dan dapat menyebabkan proses inflamasi supuratif.

Escherichia coli merupakan bakteri yang tidak mempunyai kapsul menyebabkannya lebih rentan terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan sehingga hanya dapat bertahan selama 2 hari pada model gips (Zilinskas, 2014).

Pseudomonas aeruginosa merupakan kontaminan nosokomial dan epidemi dapat ditemukan pada instrumen di lingkungan rumah sakit. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang dapat tumbuh pada suhu ruangan. Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap banyak antimikroba, sensitif terhadap aminoglycosides dan -lactams (misalnya acylureidopenicillins), cephalosporins, dan polymixin.

Pencegahan dapat dilakukan dengan asepsis yang baik di rumah sakit dan terapi

antibiotik yang rasional (untuk mencegah bahaya dari isolat-isolat resisten) (Samaranayake, 2012).

Pada penelitian ini bakteri Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien pasca hemimaksilektomi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang diisolasi dari orofaring pada 5% orang sehat dan isolasi yang lebih tinggi pada orang yang dirawat di rumah sakit. Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan infeksi pada beberapa bagian tubuh manusia, seperti paru-paru, kandung kemih, hati, otak, dan aliran darah. Klebsiella pneumoniae menyebabkan infeksi yang luas, termasuk pneumonia, infeksi saluran kemih, abses hati, meningitis, dan bakteremia. Bila Klebsiella pneumoniae masuk ke saluran pernapasan bagian bawah dapat menyebabkan pneumonia. Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan penyakit berat pada pasien dengan daya tahan tubuh yang lemah, khususnya yang dirawat di rumah sakit (infeksi nosokomial) (Paczosa, 2016).

Klebsiella pneumoniae mempunyai lapisan mukus yang tebal berasal dari polisakarida membentuk kapsul yang menjamin untuk bertahan hidup 5 hari pada model gips (Zilinskas, 2014).

Penggunaan antibiotik spektrum luas yang sering pada pasien yang dirawat di rumah sakit telah menyebabkan peningkatan pengangkutan Klebsiella pneumoniae dan, selanjutnya, pengembangan strain multidrug resistant yang menghasilkan beta-laktamase spektrum luas (extended-spectrum beta-lactamase/ ESBL). Infeksi dari Klebsiella pneumoniae menyebabkan bakteremia dan peningkatan mortalitas yang signifikan. Selain penggunaan antibiotik sebelumnya, faktor risiko infeksi meliputi adanya kateter, feeding tube, atau kateter vena sentral; status kesehatan yang buruk;

dan perawatan di unit perawatan intensif (intensive care unit) (Samaranayake, 2012).

Keberadaan patogen yang bertahan pada cetakan ini membuat risiko penularan ke dokter gigi, asisten, perawat, dan tekniker gigi. Kemungkinan adanya kolonisasi lebih lanjut dapat terjadi dan dapat menyebabkan infeksi serius (Egusa, 2008). Oleh karena itu penting agar semua cetakan didisinfeksi sebelum dicor untuk menghasilkan model. Berdasarkan data di atas, cetakan yang didapat dari pasien

pasca hemimaksilektomi dengan pencetakan rahang atas terdapat Klebsiella pneumoniae dan perlu didisinfeksi secara tepat untuk mencegah infeksi silang dari pasien ke dokter gigi, asisten, perawat, dan tekniker gigi. Membilas cetakan dengan air akan membantu untuk menyingkirkan saliva, darah, dan debris tetapi tidak efektif menyingkirkan bakteri patogen dan sejumlah bakteri akan tetap bertahan pada permukaan cetakan. Oleh karena itu tidak adekuat hanya membilas cetakan tanpa penggunaan disinfektan (Egusa, 2008). Penelitian Haralur (2012) yang hanya melakukan pembilasan cetakan alginat menunjukkan penurunan rerata jumlah bakteri aerob menjadi 74,82 CFU bila dibandingkan dengan tanpa dibilas dengan air terdapat rerata jumlah bakteri aerob 105,64 CFU, pembilasan dengan air merupakan tindakan yang masih dilakukan oleh kebanyakan klinisi. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2003) dan British Dental Association (BDA) (2009) mempublikasikan bahwa cetakan harus dibersihkan dan disinfeksi.

5.2 Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Pasien Pasca Hemimaksilektomi dengan Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% Selama 1, 3, dan 5 Menit terhadap Pertumbuhan Jumlah Klebsiella pneumoniae pada Cetakan Alginat

Pada tabel 4.3 persentase penurunan jumlah koloni Klebsiella pneumoniae pada kelompok sampel disinfeksi 1 menit dengan nilai rerata 34,01%. Penurunan jumlah koloni Klebsiella pneumoniae pada kelompok sampel disinfeksi 3 menit dengan nilai rerata 86,11%. Cetakan alginat pasien pasca hemimaksilektomi yang didisinfeksi dengan sodium hipoklorit 0,5% selama 1 dan 3 menit menunjukkan penurunan jumlah Klebsiella pneumoniae tetapi belum cukup untuk membunuh bakteri Klebsiella pneumoniae sehingga masih terdapat Klebsiella pneumoniae pada cetakan alginat. Penurunan jumlah koloni Klebsiella pneumoniae pada kelompok disinfeksi 5 menit dengan nilai rerata 100%. Sodium hipoklorit 0,525% mempunyai efek antimikroba yang kuat dan cepat, harga relatif murah, dan mudah didapat.

Perendaman lebih aman daripada penyemprotan karena semua bagian terpapar larutan disinfektan (Kotsiomiti, 2008). Waktu perendaman 5 menit mampu membunuh

semua bakteri yang terdapat pada cetakan alginat sehingga tidak terdapat lagi Klebsiella pneumoniae pada cetakan alginat. Mekanisme kerja sodium hipoklorit terhadap mikroorganisme adalah berdasarkan kemampuan penetrasi ke dalam sel mikroorganisme melalui dinding sel dan membran plasma dengan menghambat aktivitas enzim yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme dan merusak membran plasma dan DNA mikroorganisme (Fukuzaki, 2006). Lama waktu perendaman merupakan salah satu faktor yang memengaruhi efektivitas bakteri Klebsiella pneumoniae. Bahan cetak alginat harus ditangani dengan hati-hati untuk mencegah distorsi selama prosedur disinfeksi. Cetakan alginat dengan waktu kontak paling singkat akan menyebabkan distorsi lebih sedikit selama proses disinfeksi (Haralur, 2012).

Pada tabel 4.4 uji Kruskal-Wallis terdapat pengaruh perendaman cetakan alginat pasien pasca hemimaksilektomi dengan sodium hipoklorit 0,5% selama 1,3,5 menit terhadap jumlah Klebsiella pneumoniae p=0,009 (p<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa perendaman cetakan alginat pasien pasca hemimaksilektomi dengan menggunakan sodium hipoklorit 0,5% selama 1,3,5 menit dapat membunuh jumlah Klebsiella pneumoniae pada cetakan sehingga terjadi penurunan jumlah bakteri Klebsiella pneumoniae. Perendaman cetakan alginat pasien pasca hemimaksilektomi dengan menggunakan sodium hipoklorit 0,5% selama 5 menit paling baik dan dapat efektif membunuh jumlah Klebsiella pneumoniae pada cetakan sehingga tidak terdapat lagi bakteri Klebsiella pneumoniae. Cetakan harus selalu didisinfeksi untuk mencegah infeksi silang. Cetakan alginat setelah dikeluarkan dari rongga mulut sebaiknya dibilas dengan air terlebih dahulu untuk menghilangkan darah, saliva, atau debris yang dapat menghalangi permukaan cetakan dari paparan disinfektan (Al Jabrah, 2007). Cetakan alginat yang tidak didisinfeksi secara adekuat akan terkontaminasi bakteri. Model yang dibuat dari cetakan tersebut akan terdapat jumlah bakteri yang signifikan (Haralur, 2012). Sodium hipoklorit merupakan disinfektan tingkat sedang (intermediate-level disinfectant) yang tidak dapat menginaktivasi spora tetapi dapat membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif, Mycobacterium tuberculosis, HIV, dan HBV (Fukuzaki, 2006; Egusa, 2008).

Penelitian ini menunjukkan bahwa disinfeksi cetakan pasien pasca hemimaksilektomi penting dilakukan dengan tepat untuk mencegah infeksi silang di klinik dan laboratorium dental.

5.3 Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat dengan Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% Selama 1, 3, dan 5 Menit terhadap Surface Detail Cetakan Alginat

Disinfeksi cetakan dengan perendaman dalam larutan sodium hipoklorit 0,5%

saat ini dipercaya efektif untuk kontrol infeksi. Perendaman cetakan dalam sodium hipoklorit 0,5% telah diterima sebagai metode disinfeksi dengan efek yang minimal pada cetakan dan model (Amin, 2009). Disinfeksi cetakan alginat secara umum tidak berpengaruh pada cetakan dan model meskipun signifikan berbeda secara statistik (Kotsiomiti, 2008).

Spesifikasi ISO 1563 menyatakan cetakan alginat harus dapat mereproduksi garis 50 µm tanpa cacat jika cetakan tersebut akan diuji untuk reproduksi surface detail. Gambar 4.6 semua sampel secara visual mampu mereproduksi garis 20, 50, 75 µm dan tampak lebih jelas dengan pembesaran 7× menggunakan stereomikroskop dengan skor 4 (garis tidak terputus, detail jelas). Pada penelitian ini, tidak ada pengaruh pada reproduksi dari garis 20, 50, 75 µm sebelum dan sesudah cetakan alginat didisinfeksi dengan sodium hipoklorit 0,5% selama 1,3,5 menit. Hal ini disebabkan bahan cetak yang diaduk dengan menggunakan alat centrifuge mixing akan menghasilkan surface detail cetakan alginat yang lebih baik daripada pengadukan manual (Culhaoglu, 2014). Pengadukan manual cenderung banyak masuk udara dalam alginat. Pengadukan dengan alat centrifuge mixing menghasilkan hasil cetakan yang paling konsisten dan signifikan lebih sedikit porous pada permukaan dan bagian dalam bila dibandingkan dengan pengadukan manual.

Pengadukan dengan alat centrifuge mixing memerlukan waktu paling singkat yaitu sekitar 10 detik sehingga dapat menghemat waktu praktisi untuk membuat cetakan alginat (Mc Daniel, 2013).

Ketika cetakan direndam dalam larutan disinfektan, ion atau molekul dari larutan masuk ke dalam semua permukaan cetakan yang akan memengaruhi permukaan cetakan (Aeran, 2014). Jumlah air yang diabsorbsi berbeda tergantung konsentrasi dan jenis bahan disinfektan. Hal ini terjadi karena air diganti karena respon terhadap perbedaan tekanan osmotik antara cetakan dan larutan disinfektan, sama seperti aksi kimiawi dari disinfektan terhadap cetakan. Bahan cetak alginat menyerap disinfektan yang pada akhirnya dapat dilihat menimbulkan sebuah kerusakan pada permukaan cetakan alginat (Amin, 2009). Perendaman cetakan alginat ke dalam disinfektan akan menyebabkan fenomena absorpsi cairan dalam hal ini disebut bahan cetak hidrofilik, terutama setelah perendaman yang lama (Kotsiomiti, 2008). Reproduksi surface detail pada model tidak dipengaruhi oleh pemilihan larutan disinfektan atau merek bahan cetak alginat (Guiraldo, 2012).

Perendaman cetakan alginat dalam sodium hipoklorit 1% selama 15 menit tidak signifikan berpengaruh pada reproduksi cetakan alginat yang terlihat pada model (Aeran, 2014). Perendaman cetakan alginat dalam larutan sodium hipoklorit 0,5%

selama 10 menit tidak signifikan memengaruhi permukaan cetakan alginat (Amin, 2009). Selain keakuratan dimensi, reproduksi surface detail merupakan hal yang penting untuk mendapatkan reproduksi yang benar dan akurat mengenai struktur anatomis rongga mulut terutama pada pasien pasca hemimaksilektomi. Cetakan anatomis yang dicor dengan dental stone dapat digunakan untuk pembuatan rencana perawatan yang tepat.

Dokumen terkait