• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. KAJIAN PUSTAKA

2.2. Kerajaaan Inggris

2.6.3 Kode-Kode Sosial dalam film “The King Speech”

Unit analisis yang digunakan oleh peneliti meliputi level realiitas. level representasi dan level ideologi. Kode kode tersebut adalah: Level realitas dengan kode:

a. Kostum (dress)

Setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang dikenakan oleh seseorang akan menyampaikan penanda sosial (social sign) tentang si pemakai. Pakaian merupakan 'bahasa diam" (silent language) yang berkomunikasi melalui pemakaian simbol-simbol verbal. Pakaian merupakan indikator yang tepat dalam menyatakan kepribadian dan gaya hidup seseorang yang mengenakan pakaian tertentu. (Sobur. 2006)

"Dalam hal lainnya. pakaian adalah cara yang digunakan individu untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan menyatakan beberapa bentuk keunikan" (Barnard, 2006, p.85). Setiap orang, memiliki selera dan maksud tertentu ketika ia memilih suatu pakaian tertentu untuk digunakan. Pakaian yang kita kenakan juga dapat menjelaskan banyak hal. Misalnya, ketika seorang wanita berpakaian gaun panjang berwama hitam, tentu dia akan menghadiri suatu pesta, tidak mungkin dia ingin berbelanja sayur di pasar. Atau ketika seorang remaja mengenakan jas kulit dan kaos berwarna hitam, lengkap dengan celana jeans gelap yang sobek-sobek akan memperlihatkan bahwa remaja itu suka dengan musik beraliran rock yang keras dan macho. Setiap fase dalam kehidupan kita pun ditandai dengan busana tertentu. (Mulyana, 2007). Misalkan, seragam putih merah adalah seragam sekolah tingkat dasar, toga dikenakan oleh para sarjana ketika wisuda, dan lain sebagainya. Bahkan, pilihan seseorang atas pakaian yang ia kenakan mencerminkan

kepribadiannya. Pakaian juga digunakan unttik memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemakainya.

Faktor-faktor yang mampu mempengaruhi cara kita berdandan antara lain. nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan. dan tujuan pencitraan.

b. Penampilan (appearance)

Tidak dapat kita pungkiri, bahwa pertama kali kita menilai atau melihat seseorang adalah melalui penampilan fisiknya. Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rarnbut dan sebagainya (Mulyana, 2007). "Begitu pentingnya sebuah penampilan, maka ada yang mengatakan bahwa penampilan adalah segalanya" (Chaney,2003, p. 15).

Beberapa kelompok masyarakat beranggapan bahwa penampilan bagi dirinya merupakan suatu yang mutlak. Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa penampilan merupakan kebutuhan yang mutlak untuk dipenuhi. Ketika kita melihat penampilan seseorang, maka kita akan mempersepsi kehidupan orang tersebut. Misalnya, seorang laki-laki berpenampilan kumuh. Baju yang ia kenakan tampak kotor, tubuhnya kurus dan bongkok, rambutnya tumbuh tak beraturan, mukanya dipenuhi dengan kumis dan jenggot panjang berwarna putih. Maka kita akan mempersepsi bahwa laki-laki tua itu adalah seorang pemulung atau orang jalanan. Maka dari itu, penampilan menjadi kode sosial yang peneliti

pilih untuk menggali makna pesan yang ingin disampaikan dari representasi seorang Raja yang gagap dalam film “The King Specch”.

c. Perilaku (behavior)

Perilaku atau behavior merupakan sebuah tindakan seseorang. Dalam kode sosial ini, peneliti ingin melihat perilaku dalam kehidupan feminisme yang terdapat dalam film ini.

d. Ekspresi (expression)

Banyak orang beranggapan bahwa perilaku nonverbal yang paling banyak "berbicara" adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun mulut tidak berbicara. (Mulyana, 2007). Menurut Albert Mehrabian dalam Mulyana berpendapat andil wajah bagi pengaruh pesan adalah 55%. sementara vokal 30%, dan verbal hanya 7%.

"Kontak mata yang merupakan bagian terbesar dari ekspresi memiliki dua fungsi, fungsi pengatur yaitu untuk memberi tahu orang lain apakah kita akan melakukan hubungan dengan orang itu atau menghindarinya. Fungsi yang kedua adalah fungsi ekspresif, yaitu memberi tahu orang lain bagaimana perasaan kita terhadapnya" (Mulyana, 2007, p.373).

Ekspresi wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar mengakui terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan oleh ekspres) wajah yang tampaknya dipahami secara universal:

kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keterkejutan, kemarahan, kejijikan, dan minat. Level representasi dengan kode: Musik (music)

Menurut Muir Mathieson, pcnulis buku The Techniqite of Film Music dalam Sumarno, musik bukan hanya merupakan bagian kecil dari seluruh film. tetapi musik memiliki peranan yang besar sama seperti arsitek untuk sebuah rumah. Musik punya efek yang luar biasa, sangat memperkaya dan memperbesar reaksi keseluruhan kita terhadap hampir ke setiap film.

Menurut Marselli Sumarno. dalam bukunya yang berjudul Dasar- Dasar Apresiasi Film, ada 8 fungsi musik, yaitu:

1 Membantu mcrangkaikan adegan sehingga menimbulkan kesan adanya kesatuan.

2 Menutupi kelemahan atau keeaeatan sebuah film. Kelemahan tersebut biasanya terdapat pada akting yang lemah atau dialog yang dangkal sehingga dapat diubah menjadi lebih dramatik jika diiringi musik yang tepat.

3 Menunjukkan suasana batin tokoh-tokoh utama film.

4 Menunjukkan suasana waktu dan tempat. Misalnya, penggunaan gitar akustik, gamelan Jawa. gitar Hawaii dan selain sebagainya akan dengan mudah membuat penonton mempersepsi lokasi tertentu.

5 Mengiringi kemunculan susunan kerabat kerja ycreJii tiile). 6 Mengiri adegan dengan ritme cepat. Misalnya, adegan kejar- kejaran antara penjahat dengan polisi. Ketika ditambah musik beritme cepat, maka adegan akan tampak lebih seru.

7 Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk kelegangan dramatik.

8 Menegaskan karakter lewat musik. Misalnya tokoh utaina wanita diberi iringan musik yang lembut.

b. Kerja kamera ceamera movement) (Naratama, 2004):

Film memiliki dua elemen, yaitu audio dan visual. Sehingga lidak dapat dipungkiri jika kamera sebagai alat untuk menyajikan elemen visual kepada penonton memiliki peranan yang penting dalam penyampaian pesan. Teknik pengambilan gambar memiliki tujuan serta mengandung makna pesan yang ingin disampaikan. Komposisi gambar yang baik akan mampu membuat gambar menyampaikan pesan dengan sendirinya. Komposisi itu antara lain framing (pembingkaian gambar), lllusion of Deptk (kedalaman dalam dimensi gambar), subject or object (subjek atau objek gambar), dan colour (warna).

Sementara itu, ada beberapa teknik pengambilan gambar berdasarkan besar-kecil subyek, antara lain:

1. Extreme Long Shot (ELS)

Shot ini diambil apabila ingin mengambil gambar yang sangat- sangat-sangat jauh, panjang, luas dan berdimensi lebar. ELS biasanya

digunakan untuk opening scene untuk membawa penonton mengenai lokasi cerita.

2. Very Long Shot (VLS)

VLS merupakan tata bahasa gambar yang panjang, jauh dan luas tetapi lebih kecil daripada ELS. Teknik ini digunakan biasanya untuk pengambilan gambar adegan kolosal atau banyak objek misalnya adegan perang di pegunungan, adegan kota metropolitan, dan lain sebagainya.

3. Long Shot (LS)

Ukuran shot ini adalah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Long shot juga bisa disebut dengan lunJsctipe format yang mengantarkan mata penonton kepada keluasan suatu suasana dan objek.

4. Medium Long Shot (MLS)

Ukuran untuk shot ini adalah dari ujung kepada hingga setengah kaki. Tujuan shot ini adalah untuk memperkaya keindahan gambar yang disajikan ke mata penonton. Angle ini dapat dibuat sekrealif mungkin untuk menghasilkan tampilan yang atraktif.

5. Medium Shot (MS)

Ukuran dari shot ini adalah dari tangan hingga ke atas kepala. Tujuan dari shot ini adalah agar penonton dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari pemain.

6. Middle Close Up (MCU)

Sedangkan untuk shot ini ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan MCU yaitu dari ujung kepala hingga perut. Dengan angle ini

penonton masih tetap dapat melihat latar-belakang yang ada. Tetapi melalui shot ini, penonton diajak untuk mengenal lebih dalam profil, bahasa tubuh, dan emosi pemeran tokoh tertentu.

7. Close Up (CU)

Komposisi gambar ini adalah komposisi yang paling populer dan memiliki banyak fungsi. Close Up merekam gambar penuh dari leher hingga ujung kepala. Melalui angle ini, sebuah gambar dapat berbicara dengan sendiri kepada penonton. Emosi dan juga reaksi dari mimik wajah tergambar jelas.

8. Big Close Up (BCU)

Komposisi gambar ini lebih dalam dibandingkan CU. Kedalaman pandangan mata. kebencian raut wajah, kehinaan emosi hingga keharuan yang tiada bertepi adalah ungkapan-ungkapan yang terwujud dari komposisi ini. Komposisi ini memang sulit untuk menghasilkan gambar yang fokus, tetapi disitulah nilai artistik dari komposisi gambar Big Close Up.

9. Extreme Close Up (ECU)

Komposisi ini berfokus kepada satu objek saja. Misalnya hidung, mata, atau alis saja. Komposisi ini jarang digunakan untuk penyutradaraan drama.Selanjutnya ada tiga prinsip gerak kamera, yaitu (Sumarno, 1996):

10. Gerak kamera pada porosnya. baik berupa gerakan horisontal maupun vertikal tanpa memaju-mundurkan atau menaik-turunkan

kamera. Gerakan ini disebut panoramic shol atau umumnya pan shot. Gerakan kamera pada porosnya ini memberikan deskriptif obyketif, yaitu menunjukkan ruang dalam sebuah adegan baru. Atau memberikan deskriptif subyektif, yaitu berupa apa yang dilihat tokoh cerita fllm.

11. Gerak kamera yang disebabkan kamera itu secara fisik dipindahkan posisinya, yang disebut Tracking shot Gerakan track in (mendekat pada subyek) berguna untuk menampakkan kesan introduksi, menggambarkan suatu ruang dramatik, dan menggambarkan keadaan jiwa tokoh cerita. Sedangkan gerakan track out (menjauh dari subyek) berguna untuk memunculkan kesan konklusi, meninggalkan ruang, dan menciptakan kesan kesendirian.

12. Gerak kamera karena perubahan panjang titik api (focal lighi). Panjang titik api merupakan suatu ukuran (biasanya dalam milimeter jarak dari pusat permukaan lensa sampai ke bidang datar. Panjang pendek titik api menentukan jenis lensa.

3. Level ideologi dengan kode: a. Konflik (conflict)

"Konflik adalah suatu proses alamiah yang melekat pada sifat semua hubungan yang penting dan dapat diatasi dengan pengelolaan konstruktif lewat komunikasi" (Tubbs dan Moss, 2000, p.22l). "Kontlik didefinisikan juga sebagai suatu perjuangan ternyatakan antara sekurang- kurangnya dua pihak yang saling bergantung yang mempersepsi tujuan tujuan yang tidak selaras, ganjaran yang langka, dan gangguan dari pihak

lain dalani mencapai tujuan-tujuan mereka" (Tubbs dan Moss, 2000, p.22l). Dalam sebuah film cerita, konflik menjadi bumbu dalam keseluruhan jalan cerita. Konflik yang masuk akan tentu akan menarik minat penonton untuk terus menyaksikan cerita hingga akhir. Sebaliknya, konflik atau permasalahan yang terlalu dibuat-buat dan berlebihan, akan membuat penonton jenuh dan akhirnya punya penilaian yang tidak bagus pada keseluruhan film.

Melalui konflik, film berusaha untuk menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya. Konflik yang diangkat pun sesuai dengan realita yang ada dalam masyarakat

Tubbs dan Moss juga mengangkat beberapa prinsip pemecahan konflik yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot, antara lain: perundingan atau negosiasi berdasarkan prinsip. Setiap orang punya prinsip, pendapat serta keinginan masing-masing. Hal inilah yang sering kali menjadi pemicu terjadinya konflik dalam masyarakat. "Pemecahan konflik dengan negosiasi mengutamakan kepentingan bersama dan mengesampingkan pendapat dan juga prinsip masing-masing" (Tubbs dan Moss, 2000).

Konflik kedua yang sering kali kita temui adalah konflik keluarga. Konflik ini terjadi dalam anggota-anggota suatu keluarga tertentu, yaitu keluarga inti, maupun keluarga besar. Beberapa prinsip pemecahan konflik keluarga yang dikemukakan oleh Perason dalam buku yang

ditulis oleh Tubbs dan Moss antara lain, (1) setiap anggota keluarga punya hak yang sama dalam mengutarakan pendapat, perasaan, sikap dan tujuannya secara terbuka, (2) anggota-anggota keluarga barus merespon dengan mendengarkan secara aktif, (3) setiap anggota keluarga harus diberi kesempatan untuk menyatakan pikirannya dan wajib mendasarinya dengan kejujuran, (4) sifat konflik jangan diperluas, anggota keluarga harus fokus pada permasalahan dan jalan keluar, (5) pengurangan adanya tindakan-tindakan tekanan, (6) melihat persamaan-persamaan yang ada, bukan pada perbedaan-perbedaan, dan (7) melihat pemecahan konflik yang terjadi di masa lalu. Tetapi, pada dasarya tidak ada prinsip penyelesaian konflik yang bersifat universal. Hal ini dikarenakan setiap keluarga memiliki caranya masing-masing untuk menyelesaikan konflik. Inilah yang diciptakan oleh sebuah film dalam memberikan pengetahuan- pengetahuan baru kepada penonton pada penyelesaian suatu konflik tertentu.

b. Karakter (character)

Setiap manusia memiliki karakter yang terbentuk berdasarkan proses-proses pertumbuhannya. Ada 4 karakter utama, yaitu Sanguin (ekstrovert/terbukaL, membicara, optimis), Koleris (ekstrovert, pelaku, optimis), Plckmatis (introvert, pengamat, pesimis) dan Melankolis (introvert, pemikir, pesimis) ( Littauer, 1996).

c. Latar (setting)

"Dalam sebuah film. latar atau seliing merupakan tempat dan waktu berlangsungnya cerita" (Sumarno, 1996. p. 66). Orang yang bertanggung-jawab terhadap setting atau latar disebut penata artistik. Setting harus memberi informasi lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang sedang disaksikan penonton. Peneliti melihat setting mampu menunjukkan representasi seorang Raja dalam film "The King Speech".

d. Dialog (dialogue)

Merupakan percakapan-percakapan antar pemeran dalam sebuah film. Dalam dialog peneliti dapat melihat makna yang ingin disampaikan film "The King Speech".

Dalam hal ini peniliti memilih kode-kode diatas, karena terkait dengan permasalahan dan ruang lingkupnya, dan didasarkan kepada desain penelitian kualitatif yang fleksibel dan sementara, karena terus menerus disesuaikan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hal ini untuk mengetahui representasi Raja dalam film "The King Speech". 2.7. Nisbah Antar Konsep

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Oleh karenanya, film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya (Sobur, 2006).

Seorang raja pada umumnya memilki kelebihan seperti ketegasan memerintah rakyat, tegas mengambil keputusan, pandai berpidato,mampu

menghipnotis rakyat dan sebagainya. Tetapi raja yang satu ini adalah seorang raja yang kaku, keras kepala, dan memiliki gangguan saat berbicara atau gagap saat di depan umum.

Kesulitan berbicara saat berhadapan dengan publik atau massa yang berjumlah puluhan ribu bahkan jutaan, jauh-jauh hari telah dialaminya sebelum menjadi raja. Saat pangeran berpidato, rakyat hening menunggu pangeran mengutarakan kata demi kata dengan susah payah. Yang lebih parahnya lagi, gagapnya sang pangeran terlihat dan terdengar jelas. Bukan hanya wajah pangeran yang merah padam karena malu, rakyat pun menghela napas panjang, seolah mengatakan, “sosok Raja yang tidak punya harapan”. Rakyat kecewa karena berpidato saja Raja sangat kesulitan.

Meskipun Film The King Speech merupakan film drama, film ini juga bisa dijadikan sebagai film yang memberi semangat dan harapan, dimana dalam ceritanya tokoh (Bertie) raja melakukan usaha keras untuk mengatasi kegagapannya. Film, selain sebagai media hiburan, ini dapat dijadikan juga sebagai media massa yang mengandung unsur edukatif dan film dapat dijadikan sebagai alat untuk memberikan semangat bagi orang-orang yang gagap untuk tetap percaya diri untuk berkomunikasi maupun berbicara di depan umum. Melalui film, realitas yang ada pada masyarakat dapat terangkat kembali melalui karya sang sutradara yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa mempengaruhi masyarakat.

Seorang Raja identik dengan

wibawa,tegas,berkharisma,pandai berbicara, tetapi raja dalam film The King Speech bertolak belakang,raja ini gagap, keras

kepala, tidak percaya diri berbicara di depan umum 2.8.Kerangka Pemikiran

Dalam penulisan karya ilmiah, penulis ingin menganalisis film “The King Speech”, bagaimana seorang raja dalam film tersebut dipresentasikan sebagai raja yang gagap, pemalu, dan keras kepala, dengan metode penelitian semiotika. Semiotika adalah ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam

Film The King Speech

Retorika Kepemimpinan

Analisis dengan metode Semiotika Kode-Kode televise John Fiske

a. Level Realitas b. Level Representasi c. Level Ideologi

teks (Fiske,2004. P, 282). Dalam penelitian ini yang merupakan teks adalah film “The King Speech”. Film ini dikatakan teks, karena terdiri dari gambar dan suara yang merupakan kumpulan tanda-tanda yang membawa makna. Film ini menggambarkan bagaimana seorang raja yang gagap dituntut untuk dapat melakukan retorika atau pidato di depan publik dan memiliki jiwa kepemimpinan untuk memimpin negara yang sedang terlibat konflik dengan negara lain. Kumpulan tanda-tanda dalam film ini diorganisasikan oleh kode. Kode yang terkandung dalam film “The King Speech” diteliti dari kode-kode sosial yang terdapat pada level realitas, level representasi, dan level ideologi. Sehingga pada akhirnya dapat dilihat bagaimana representasi seorang raja dalam film “The King Speech”.

BAB III

Dokumen terkait