TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI HIBRIDISAS
7. Koefiesien keragaman genetik (KKG) dan fenotifik (KKF ) (Pinaria et al 1995 mengutip dari Anderson dan Bancroft 1952) diduga dari persamaan :
KKG = ( σ2g/x) X 100%
KKF = ( σ2p/x) X 100%
Kriteria KKG dan KKF adalah sempit (0<x≤β5), agak sempit (β5<x≤50), agak luas (50<x≤75) dan luas (75<x≤100).
Hasil dan Pembahasan 1. Ketahanan penyakit
Antraknosa merupakan penyakit penting yang menyebabkan penurunann produksi yang serius pada cabai (Lee et al. 2010). Berdasarkan pengamatan insidensi penyakit, IPB C10 adalah tetua yang memiliki kriteria sangat rentan
sampai dengan sangat tahan dan cenderung mengarah kepada kriteria tahan terhadap penyakit antraknosa, IPB C2 adalah tetua yang memiliki kriteria sangat
rentan sampai dengan tahan dan cenderung mengarah kepada kriteria sangat rentan terhadap penyakit antraknosa, IPB C15 adalah tetua yang memiliki kriteria
sangat tahan terhadap penyakit antraknosa, populasi F1 dan F1R mengarah pada
moderat, populasi BCP1, BCP2, TWC1 dan F2 mengarah pada rentan, sedangkan
populasi TWC2 cenderung mengarah kepada sangat tahan (Tabel 2). Genotipe
IPB C10 dalam penelitian ini cenderung tergolong tahan terhadap penyakit
antraknosa, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Hakim (2014) yang menyatakan genotipe IPB C10 tergolong kedalam kelompok ketahanan moderat
terhadap penyakit antraknosa. Menurut Triharso (2004), timbulnya penyakit pada tanaman sangat tergantung pada faktor pendukung seperti lingkungan yang sesuai, inang yang rentan, dan patogen yang virulen.
Tabel 2 Jumlah tanaman cabai dengan berbagai tingkat ketahanan pada setiap populasi berdasarkan insidensi penyakit antraknosa
Genotipe
Jumlah tanaman dengan berbagai tingkat ketahanan Jumlah total tanaman Sangat tahan Tahan Moderat Rentan Sangat rentan
IPB C10 4 5 3 2 1 15 IPB C2 0 1 0 2 8 11 IPB C15 6 2 1 2 0 11 F1 1 5 6 4 3 19 F1R 6 3 9 2 0 20 BCP1 2 4 7 14 9 36 BCP2 6 2 8 14 12 42 TWC1 7 8 11 14 4 44 TWC2 12 9 10 11 1 43 F2 37 23 35 54 26 175
2. Pendugaan komponen ragam
Data populasi F2 masing-masing karakter diuji dengan uji normalitas
sehingga diketahui apakah karakter tersebut menyebar normal atau tidak. Bentuk kurva kenormalan dan sifat sebaran populasi F2 mencerminkan jumlah gen yang
mengendalikan karakter tersebut. Apabila karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) maka akan memperlihatkan perilaku sebaran populasi F2
yang kontinyu dan menyebar normal. Akan tetapi apabila suatu karakter dikendalikan oleh gen mayor maka sebaran populasi F2 akan membentuk kurva
yang diskontinyu dan sebaran data tidak normal. Sebaran data yang kontinyu tetapi tidak menyebar normal mengindikasikan adanya pengaruh gen-gen minor dan satu atau dua gen mayor.
Sebaran data populasi F2 untuk karakter tinggi tanaman, umur panen,
panjang buah, dan insidensi penyakit bersifat kontinyu dan menyebar normal. Sebaran normal ditunjukkan dengan nilai p-value > 0.05 (Gambar 6). Data yang menyebar normal dan kontinyu merupakan ciri dari suatu karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (Pantalone et al. 1996). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter tinggi tanaman, umur panen, panjang buah, dan insidensi penyakit dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arif (2010) yang menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman dan
23 umur panen pada cabai diwariskan oleh banyak gen. Marwiyah (2010) juga menyatakan karakter tinggi tanaman diwariskan oleh banyak gen.
Gambar 6 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter agronomi pada tanaman cabai. (a) tinggi tanaman, (b) umur panen, (c) panjang buah dan (4) insidensi penyakit
(a) (d) (d) (c) (c) (b) (b) (a) Sebaran data populasi F2 Kurva kenormalan
Gambar 7 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter agronomi pada tanaman cabai (a) umur berbunga, (b) bobot buah per tanaman, (c) jumlah buah per tanaman, dan (d) diameter buah
Karakter umur berbunga, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, diameter buah, bobot per buah, dan karakter diameter bercak memperlihatkan sebaran yang kontinyu tetapi tidak menyebar normal. Hal ini terlihat dari nilai p-value < 0.05 (Gambar 7 dan Gambar 8). Sebaran data yang kontinyu tetapi tidak menyebar normal mengindikasikan adanya pengaruh gen-
(a) (d) (d) (c) (c) (b) (b) (a) Sebaran data populasi F2 Kurva kenormalan
25 gen minor dan satu atau dua gen mayor. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arif (2010) yang menunjukkan bahwa karakter umur berbunga dan bobot buah per tanaman pada cabai diwariskan oleh gen-gen minor dengan satu atau dua gen mayor.
Gambar 8 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter agronomi
pada tanaman cabai (a) bobot per buah dan (b) diameter bercak
3. Uji efek maternal menurut Strickberger (1976)
Pengujian efek maternal atau pengaruh tetua betina dilakukan dengan membandingkan nilai rataan populasi F1 dan F1R pada setiap karakter yang
diamati pada percobaan hibridisasi. Uji nilai tengah (uji t) pada taraf 5% memberikan hasil yang tidak berbeda nyata antara F1 dan F1R, yang terlihat dari
nilai thit < ttab = 2.045.
Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata insidensi penyakit F1 dan F1R memberikan hasil yang berbeda nyata (Tabel 3). Hal ini menunjukkan
bahwa pewarisan ketahanan cabai terhadap C. acutatum mendapat pengaruh maternal, sehingga pengendalian karakter ini diduga dipengaruhi oleh gen-gen di luar inti atau sitoplasmik. Stanfield (1991) meyatakan bahwa apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan dari persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Oleh karena itu, karakter ketahanan penyakit akan dipengaruhi oleh pemilihan tetua betina. Keberadaan pengaruh tetua betina dapat menyebabkan karakter yang dianalisis tidak dapat dipetakan pada kromosom dan kelompok keterpautan tertentu (Yunianti dan Sujiprihati 2006). Karakter lain yang mendapat pengaruh tetua betina adalah karakter bobot per buah (Tabel 3). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Syukur
(a)
(b) (b)
(a) Sebaran data populasi F2 Kurva kenormalan
(2007) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh maternal berdasarkan skor insidensi penyakit pada cabai.
Tabel 3 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan F1R
tanaman cabai
Karakter Agronomi F1 F1R thit Pr > |t|
Tinggi tanaman (cm) 62.58 ± 11.52 69.55 ± 10.46 -1.98 0.0559tn Umur berbunga (HST) 22.11 ± 3.07 23.95 ± 2.80 -1.96 0.0581tn Umur panen (HST) 60.26 ± 2.21 59.95 ± 2.56 0.41 0.6847tn Bobot buah per tanaman (g) 22.64 ± 11.36 18.73 ± 10.18 1.13 0.2649tn Jumlah buah per tanaman (buah) 11.54 ± 3.84 12.25 ± 5.08 -0.5 0.6228tn Panjang buah (mm) 62.41 ± 14.86 55.97 ± 18.97 1.21 0.2350tn Diameter buah (mm) 10.59 ± 1.90 10.53 ± 2.22 0.09 0.9272tn Bobot per buah (g) 2.38 ± 0.60 1.98 ± 0.54 2.18 0.0360* Diameter bercak (mm) 13.59 ± 10.94 9.64 ± 6.40 1.38 0.1746tn Insidensi penyakit (%) 38.60 ± 25.68 23.67 ± 18.29 2.08 0.0454* Keterangan : tn = tidak berpengaruh nyata pada uji t (α = 0.05), F1R = populasi F1
resiprokal, * = berpengaruh nyata pada uji t (α = 0.05)
Karakter yang tidak mendapat pengaruh tetua betina seperti karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, dan diameter bercak dapat dianalisis dengan menggabungkan populasi F1 dan F1R atau menggunakan
populasi F1 saja. Apabila suatu karakter memiliki pengaruh tetua betina maka
populasi F1 dan F1R tidak dapat digabungkan karena merupakan dua populasi
yang berbeda. Tidak adanya pengaruh tetua betina merupakan indikasi karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti (Roy 2000). Analisis seluruh karakter kuantitatif dalam penelitian ini hanya menggunakan populasi F1.
4. Derajat dominansi dihitung berdasarkan rumus Petr dan Frey (1966)
Keragaan F1 yang dibandingkan dengan kedua tetuanya dilihat dari nilai
heterosis (rataan kedua tetua). Efek heterosis disebabkan oleh aksi gen dominan (Riti 2013). Perbaikan kualitas tanaman dapat dilihat berdasarkan nilai heterosis negatif atau positif. Ketentuan negatif atau positif didasarkan pada tujuan pemuliaan tanaman.
Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata F1 dan nilai tengah
kedua tetua (MP) pada karakter ketahanan penyakit memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Karakter lain yang tergolong tidak berbeda nyata adalah tinggi tanaman, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah, diameter bercak dan insidensi penyakit. Karakter umur berbunga berdasarkan hasil uji t memberikan hasil yang berbeda nyata (Tabel 4).
27 Tabel 4 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan
nilai tengah populasi kedua tetua (MP) tanaman cabai
Karakter Agronomi F1 MP thit Pr > |t|
Tinggi tanaman (cm) 62.58 ± 11.52 61.61 ± 7.33 0.31 0.7581tn Umur berbunga (HST) 22.11 ± 3.07 18.45 ± 4.07 3.13 0.0037* Umur panen (HST) 60.26 ± 2.21 58.97 ± 2.69 1.62 0.1153tn Bobot buah per tanaman (g) 22.64 ± 11.36 21.54 ± 14.99 0.26 0.7997tn Jumlah buah per tanaman (buah) 11.54 ± 3.84 10.63 ± 2.85 0.83 0.4122tn Panjang buah (mm) 62.41 ± 14.86 67.75 ± 36.74 -0.59 0.5606tn Diameter buah (mm) 10.59 ± 1.90 10.82 ± 3.60 -0.25 0.8051tn Bobot per buah (g) 2.38 ± 0.60 3.45 ± 2.72 -1.67 0.1036tn Diameter bercak (mm) 13.59 ± 10.94 10.35 ± 7.16 1.18 0.2456tn Insidensi penyakit (%) 38.60 ± 25.68 45.97 ± 29.26 -0.82 0.4149tn Keterangan : MP = nilai tengah kedua tetua, tn = tidak berpengaruh nyata pada uji t
(α = 0.05), * = berpengaruh nyata pada uji t (α = 0.05)
Rerata populasi F1 hasil umur berbunga adalah kisaran 22.11 HST dengan
standar deviasi ± 3.07, lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kedua tetuanya 18.45 cm dengan standar deviasi ± 4.07. Hasil uji t umur berbunga bernilai positif, menunjukkan umur berbunga bertambah sebanyak 3.13 HST dari rerata umur berbunga kedua tetua. Nilai tengah populasi F1 untuk karakter umur berbunga
dapat dilihat pada Gambar 9 dimana nilai tengah populasi F1 berada diantara nilai
tengah kedua tetua (MP) dengan nilai tengah tetua tertinggi (HP). Berdasarkan posisi relatif F1 terhadap tetua diduga aksi gen yang berperan adalah dominan
parsial.
Gambar 9 Posisi relatif populasi F1 terhadap tetua dengan aksi gen dominan
parsial pada karakter umur berbunga pada cabai. MP = nilai tengah antara kedua tetua.
Derajat dominansi suatu karakter diduga berdasarkan nilai potensi ratio (hp) menurut persamaan Petr dan Frey (1966). Derajat dominansi menggambarkan bagaimana karakter tersebut mewarisi pada generasi pertama (F1). Aksi gen yang beperan dalam pengendalian karakter yang diamati adalah
overdominan, dominan parsial dan resesif parsial. Nilai potensi ratio (hp) untuk karakter umur berbunga berkisar antara 0 – 1 atau aksi gen bersifat dominan parsial.
5. Pendugaan faktor efektif Mather dan Jinks (1982)
Jumlah gen yang mengendalikan masing-maasing karakter kuantitatif diduga dengan menghitung jumlah faktor efektif atau gen-gen efektif (Mather dan
12.73 18.45 22.11 22.40
IPB C2 MP F1 IPB C10
Jinks 1977). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diketahui jumlah minimal gen yang mengendalikan karakter tinggi tanaman, umur panen, jumlah buah per tanaman, diameter bercak dan insidensi penyakit, masing-masing adalah satu kelompok gen efektif. Jumlah gen efektif yang lebih banyak terdapat pada karakter umur berbunga yaitu tiga kelompok gen, bobot buah per tanaman yaitu dua kelompok gen, panjang buah yaitu sepuluh kelompok gen efektif, diameter buah yaitu terdapat lima kelompok gen efektif, dan karakter bobot per buah yaitu delapan kelompok gen efektif. Jumlah gen pengendali menunjukkan jumlah gen- gen yang efektif yang mengendalikan ekspresi suatu karakter. Jumlah gen yang sebenarnya tidak dapat diketahui, hanya menduga jumlah gen-gen yang berkumpul dalam mengendalikan ekspresi suatu karakter (Arif 2010).
6. Pendugaan komponen genetik
Pendugaan model genetik dilakukan terhadap karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah, diameter bercak dan insidensi penyakit. Pendugaan model genetik untuk semua karakter dilakukan dengan asumsi menggunakan populasi F1. Hasil uji skala individu (scaling test) pada
Tabel 5 dan 6, menunjukkan adanya pengaruh interaksi non alelik pada karakter tinggi tanaman, umur berbunga, bobot buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah, diameter bercak dan insidensi penyakit. Hal ini dibuktikan dengan adanya beda nyata pada salah satu selang baik A, B dan C berdasarkan nilai thit > ttabel = 1.96. Hasil uji skala individu pada karakter umur panen dan
jumlah buah per tanaman memberikan hasil tidak adanya pengaruh interaksi non alelik.
Tabel 5 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter tinggi tanaman dan diameter bercak tanaman cabai
Karakter Skala Individu Skala Gabungan
Skala Nilai Tengah t-hit Model Nilai Tengah
Umur berbunga A -1.95 -1.532 m 24.623 B 6.406 5.552* d 14.889 C 6.856 3.790* h 0.748 i -4.047 j 1.313 Diameter Bercak A 16.072 3.208* m 17.756 B 1.521 0.405 d -6.09 C 20.803 3.322* h 4.805 j -1.612 l -3.321
Keterangan : *= berpengaruh nyata pada taraf 5%, m = nilai tengah, d = jumlah pengaruh gen aditif, h = jumlah pengaruh gen dominan, i =jumlah pengaruh interaksi
aditif x aditif, j = jumlah pengaruh interaksi aditif x dominan, dan l = jumlah pengaruh dominan x dominan. A, B, C = berturut-turut adalah
29 Model genetik yang paling sesuai untuk karakter umur berbunga adalah aditif dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif [i] dan aditif x dominan [j], seperti terlihat pada Tabel 6. Nilai komponen genetik aditif [d] lebih besar daripada nilai komponen genetik dominan [h], menandakan bahwa gen aditif berkontribusi lebih besar daripada gen dominan. Nilai komponen genetik aditif berlawanan tanda dengan komponen interaksinya, aditif x aditif [i] menunjukkan aksi gen yang mengendalikan umur berbunga adalah epistasis duplikat. Berdasarkan dua informasi tersebut maka karakter tinggi tanaman diduga dikendalikan oleh aksi gen dominan duplikat. Marwiyah (2010) dalam penelitian persilangan antara cabai besar IPB C19 x IPB C15 untuk pewarisan sifat toleran
terhadap intensitas cahaya rendah melaporkan bahwa nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan interaksinya (dominan x dominan) sehingga karakter ketahanan diduga dikendalikan oleh aksi gen epistasis duplikat.
Model genetik yang paling sesuai untuk karakter diameter bercak berdasarkan hasil uji skala individu dan uji skala gabungan adalah aditif dominan dengan pengaruh interaksi aditif x dominan [j] dan dominan x dominan [l] (Tabel 6). Komponen genetik dominan [h] bernilai lebih besar daripada nilai komponen genetik aditifnya [d], menandakan bahwa peran gen dominan lebih besar daripada gen aditif. Nilai komponen genetik dominan berlawanan tanda dengan komponen interaksinya dominan x dominan [l], menunjukkan aksi gen yang mengendalikan diameter bercak adalah epistasis duplikat. Berdasarkan dua informasi tersebut maka karakter diameter bercak diduga dikendalikan oleh aksi gen dominan duplikat.
Model genetik yang paling sesuai untuk karakter tinggi tanaman, bobot buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah dan insidensi penyakit berdasarkan hasil uji skala individu dan uji skala gabungan adalah model aditif dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif [i] dan dominan x dominan [l] (Tabel 6). Komponen parameter genetik dominan x dominan bernilai negatif, menandakan bahwa komponen-komponen tersebut cenderung mengarah pada tetua yang memiliki nilai rata-rata paling rendah yaitu IPB C10. Nilai
komponen genetik aditif lebih kecil dari komponen genetik dominan untuk karakter bobot buah per tanaman, diameter buah, bobot per buah dan insidensi penyakit menunjukkan bahwa kontribusi gen dominan lebih besar daripada aditif. Sedangkan untuk karakter tinggi tanaman dan panjang buah memiliki nilai komponen genetik aditif lebih besar dibandingkan nilai komponen genetik dominan, hal ini menunjukkan bahwa kontribusi gen aditif lebih besar dibandingkan gen dominan. Nilai komponen genetik aditif dan dominan berlawanan tanda dengan interaksinya, menggambarkan adanya aksi gen yang bersifat epistasis duplikat. Karakter tinggi tanaman, bobot buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah dan insidensi penyakit diduga dikendalikan oleh aksi gen dominan duplikat.
Tabel 6 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter bobot buah per tanaman, panjang buah, diameter buah dan bobot per buah tanaman cabai
Karakter Skala Individu Skala Gabungan
Skala Nilai Tengah t-hit Model Nilai Tengah
Tinggi tanaman A -3.457 -0.682 m 12.083
B 2.187 0.523 d 8.207
C 15.576 2.327* h -1.64
i -2.482
l 1.264
Bobot buah per tanaman A 18.623 4.571* m -2.89
B 11.162 1.914 d -14.991 C -10.525 -1.586 h 6.914 i 7.081 l -6.374 Panjang buah A 17.988 3.392* m 11.04 B -35.383 -6.178 d -32.721 C -14.504 -1.712 h -1.594 i -0.681 l 1.119 Diameter buah A 2.304 3.524* m 6.121 B -2.265 -2.85 d -19.617 C -5.557 -5.13 h 5.389 i 7.164 l -4.255
Bobot per buah A 2.35 7.641* m -2.265
B -0.175 -0.345 d -21.349 C -2.393 -4.445 h 8.408 i 9.531 l -8.825 Insidensi penyakit A 39.996 3.286* m -0.158 B -6.129 -0.46 d -4.057 C -14.889 -0.838 h 2.981 i 3.405 l -2.984
Keterangan : *= berpengaruh nyata pada taraf 5%, m = nilai tengah, d = jumlah pengaruh gen aditif, h = jumlah pengaruh gen dominan, i =jumlah pengaruh interaksi
aditif x aditif, j = jumlah pengaruh interaksi aditif x dominan, dan l = jumlah pengaruh dominan x dominan. A, B, C = berturut-turut adalah
parameter dugaan nilai ragam
Model genetik yang paling sesuai untuk karakter umur panen dan jumlah buah per tanaman adalah model genetik aditif dominan [m][d][h], seperti pada Tabel 7. Hill et al. (1998) menjelaskan jika model yang sesuai adalah model aditif dominan maka tidak dilanjutkan pengujian untuk model berikutnya. Komponen genetik dominan [h] untuk kedua karakter umur panen dan jumlah buah per tanaman memiliki nilai yang lebih kecil daripada nilai komponen genetik aditifnya [d], hal ini menunjukkan bahwa kontribusi gen dominan lebih kecil untuk karakter umur panen dan jumlah buah per tanaman dibanding komponen genetik aditif. Komponen genetik dominan pada karakter umur panen dan jumlah
31 buah per tanaman cenderung meningkatkan umur panen dan meningkatkan jumlah buah per tanaman.
Tabel 7 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter umur berbunga, umur panen dan jumlah buah per tanaman tanaman cabai
Karakter Skala Individu Skala Gabungan Skala Nilai Tengah t-hit Model Nilai Tengah
Umur panen A -2.295 -1.86 m 146.614
B 1.525 1.002 d 3.233
C 0.155 0.087 h 1.674
Jumlah buah per tanaman A -5.297 -3.17 m 29.53
B 0.34 0.21 d 4.772
C 1.104 0.468 h 1.71
Keterangan : m = nilai tengah, d = jumlah pengaruh gen aditif, h = jumlah pengaruh gen dominan. A, B, C = berturut-turut adalah parameter dugaan nilai ragam
7. Heritabilitas arti luas (h2bs) dan arti sempit (h2ns)
Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tergolong rendah untuk karakter diameter
buah. Nilai heritabilitas arti luas tergolong sedang untuk karakter umur panen, bobot buah per tanaman, panjang buah, bobot per buah, dan insidensi penyakit. Sedangkan, nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk karakter tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah buah per tanaman, dan diameter bercak (Tabel 8). Dengan demikian, rata-rata nilai heritabilitas arti luas yang diamati dalam studi pewarisan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Tabel 8 Nilai heritabilitas pada beberapa karakter cabai tahan terhadap penyakit antraknosa
Karakter Agronomi h2bs Kelas h 2
ns Kelas
Tinggi Tanaman (cm) 0.62 Tinggi 0.35 Sedang
Umur Berbunga (hari) 0.52 Tinggi 0.35 Sedang
Umur Panen (hari) 0.20 Sedang 0.00 Rendah
Bobot Buah per Tanaman (g) 0.30 Sedang 0.00 Rendah Jumlah Buah per Tanaman (buah) 0.65 Tinggi 0.47 Sedang
Panjang Buah (mm) 0.41 Sedang 0.42 Sedang
Diameter Buah (mm) 0.17 Rendah 0.00 Rendah
Bobot per Buah (g) 0.27 Sedang 0.00 Rendah
Diameter Bercak (mm) 0.65 Tinggi 0.26 Sedang insidensi penyakit (%) 0.27 Sedang 0.20 Sedang Keterangan : h2bs = Heritabilitas arti luas, h
2
ns = heritabilitas arti sempit
Nilai duga heritabilitas arti sempit (h2ns) disajikan pada Tabel 8. Karakter
umur panen, bobot buah per tanaman, diameter buah, dan bobot per buah menunjukkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong rendah. Hasil ini memberi indikasi bahwa proporsi gen aditif terhadap genetik adalah rendah. Karakter- karakter dengan nilai heritabilitas arti sempit tergolong sedang adalah tinggi
tanaman, umur berbunga, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter bercak dan insidensi penyakit.
Jain (1982) menyatakan nilai heritabilitas akan bermakna jika ragam genetik didominasi oleh ragam aditif karena pengaruh ragam aditif setiap alel akan diwariskan dari tetua kepada progeninya. Menurut Hayward (1990) pengaruh aditif dapat diwariskan sedangkan pengaruh bukan aditif tidak diwariskan. Roy (2000) mengemukakan bahwa, jika nilai heritabilitas rendah hingga sedang maka karakter tersebut perlu penggaluran. Oleh karena itu seleksi untuk beberapa karakter pewarisan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa dapat dilakukan pada generasi lanjut menggunakan metode bulk atau single seed descent (SSD).
Penelitian ini menginformasikan bahwa kendali genetik pada karakter ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum masih sangat bervariasi. Beberapa hasil penelitian yang melaporkan tentang kendali genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa yaitu Pakdeevaraporn et al. (2005), yang mengemukakan bahwa persilangan interspesifik antara C. annuum dengan C. chinense (PBC 932) menghasilkan ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh satu gen resesif. Beberapa penelitian lainnya yaitu (Kim et al. 2007; Kim et al. 2008). Park et al. (1990) menyatakan bahwa gen ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen dominan. Beberapa penelitian lainnya dengan hasil yang sama yaitu (Voorrips et al. 2004; Yoon 2003). Sanjaya et al.
(2001) menyatakan bahwa pewarisan ketahanan terhadap antraknosa (C. gloesporioides) pada persilangan C. annuum dan C. chinense bersifat aditif
dan poligenik, yang melibatkan sekitar tujuh gen dalam pengendalian karakter tersebut.