• Tidak ada hasil yang ditemukan

SELEKSI DAN KEMAJUAN SELEKSI POPULASI M

4. Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dan Fenotip (KKF)

Nilai keragaman untuk variabel kuantitatif dapat diketahui berdasarkan nilai koefisien keragaman genotip (KKG) dan koefisien keragaman fenotip (KKF). Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 15, karakter tinggi tanaman yang memiliki nilai koefisien keragaman genetik dengan kriteria sempit hingga agak sempit, untuk karakter umur berbunga rata-rata cabai genotipe mutan memiliki kriteria koefisien keragaman genetik sempit hingga agak sempit, untuk karakter umur panen memiliki kriteria koefisien keragaman genetik sempit, untuk karakter bobot buah per tanaman rata-rata memiliki kriteria koefisien keragaman genetik sempit hingga luas, untuk karakter jumlah buah per tanaman memiliki koefisien keragaman genetik dari sempit hingga agak luas, karakter panjang buah rata-rata memiliki kriteria koefisien keragaman genetik dari sempit hingga agak sempit, untuk karakter bobot per buah rata-rata cabai genotipe mutan memiliki kriteria koefisien keragaman genetik dari sempit hingga agak luas, untuk karakter diameter bercak memiliki nilai koefisien keragaman genetik dari sempit hingga luas. Untuk insidensi penyakit memiliki kriteria koefisien keragaman genetik dari sempit hingga luas.

Karakter tinggi tanaman dan umur berbunga pada cabai genotipe mutan memiliki kriteria koefisien keragaman fenotip sempit hingga agak sempit. Pada karakter umur panen krieteria koefisien keragaman fenotipe tergolong sempit, untuk karakter bobot buah per tanaman kriteria koefisien keragaman genetik tergolong tergolong sempit, agak sempit agak luas hingga luas. Untuk karakter jumlah buah per tanaman kriteria koefisien keragaman genetik dari sempit, agak sempit, hingga agak luas. Untuk karakter panjang buah memiliki kriteria koefisien keragaman fenotip tergolong dari sempit hingga agak sempit. Karakter

47 diameter buah memmiliki kriteria koefisien keragaman fenotipe sempit, bobot per buah memiliki koefisien keragaman genetik dari sempit, agak sempit, agak luas hingga luas. Diameter bercak dan insidensi penyakit memiliki kriteria koefisien keragaman fenotip dari agak sempit, agak luas hingga luas (Tabel 16).

Tabel 15 Nilai koefisien keragaman genetik tanaman cabai Genotipe TT (cm) UB (HST) UP (HST) BBT (g) JBT (buah) PB (mm) DB (mm) BPB (g) DP (mm) IP (%) C2D1 24.51 24.06 15.95 48.00 43.02 12.79 13.24 0.00 59.77 30.55 C2D2 22.46 27.65 15.59 24.45 37.92 15.60 6.01 0.00 87.70 33.45 C2D3 20.43 24.24 15.50 17.22 44.30 16.59 5.98 17.40 68.57 29.40 C2D4 18.88 32.95 15.01 13.38 49.82 14.36 10.30 0.00 55.93 23.03 C10D1 12.06 12.98 2.65 108.83 52.88 30.10 13.52 74.76 67.72 62.23 C10D2 11.99 6.73 0.00 76.65 34.67 35.44 8.88 66.95 75.61 24.14 C10D3 15.44 18.62 8.81 84.17 25.37 32.72 15.14 62.75 43.20 0.00 C10D4 16.04 22.95 5.47 68.84 32.05 35.22 15.43 60.68 75.13 87.98 C15D1 32.16 15.53 8.37 42.21 37.04 14.85 9.84 32.02 3.84 43.97 C15D2 14.96 15.28 11.87 39.69 0.00 13.60 9.34 21.66 4.51 60.73 C15D3 12.96 16.13 5.98 17.59 0.00 6.71 5.84 0.00 2.07 34.15 C15D4 15.99 4.23 9.95 27.40 0.00 18.69 7.92 24.77 3.87 29.13

Keterangan : C2D1 = Genotipe IPB C2 dosis 100 Gy, C2D2 = Genotipe IPB C2 dosis 200 Gy, C2D3

= Genotipe IPB C2 dosis 300 Gy, C2D4 = Genotipe IPB C2 dosis 400 Gy, C10D1 =

Genotipe IPB C10 dosis 100 Gy, C10D2 = Genotipe IPB C10 dosis 200 Gy, C10D3 =

Genotipe IPB C10 dosis 300 Gy, C10D4 = Genotipe IPB C10 dosis 400 Gy, C15D1 =

Genotipe IPB C15 dosis 100 Gy, C15D2 = Genotipe IPB C15 dosis 200 Gy, C15D3 =

Genotipe IPB C15 dosis 300 Gy dan C15D4 = Genotipe IPB C15 dosis 400 Gy.

TT (tinggi tanaman), UB (umur berbunga), UP (umur panen), BBT (bobot buah per tanaman), JBT (jumlah buah per tanaman), PB (panjang buah), DB (diameter buah), BPB (bobot per buah), DP (diameter bercak), IP (insidensi penyakit)

Nilai KKG dan KKF sempit menunjukkan karakter yang diamati memiliki keragaman yang sempit dan penampilan yang seragam, seperti yang terlihat pada Gambar 11, 12 dan 13, dimana bentuk keragaan fenotipe buah cabai hasil iradiasi memiliki fenotipe yang tidak jauh berbeda antara setiap dosis yang diiradiasi. Hal tersebut tersebut diduga karena genotipe yang digunakan merupakan genotipe hasil seleksi individu yang berasal dari genotipe yang sama dari penelitian sebelumnya. Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) nilai koefisien keragaman sempit sampai agak sempit dapat dikatagorikan keragaman sempit, sedangkan nilai keragaman agak luas hingga luas dapat dikatagorikan dalam keragaman luas.

Sa‟diyah et al. (2009) menjelaskan bahwa keefektifan seleksi dipengaruhi oleh

ketersediaan keragaman dalam populasi yang akan diseleksi. Semakin besar tingkat keragaman dalam populasi, efektivitas seleksi untuk memilih suatu karakter yang sesuai dengan keinginan semakin besar pula.

Tabel 16 Nilai koefisien keragaman fenotipe tanaman cabai Genotipe TT (cm) UB (HST) UP (HST) BBT (g) JBT (buah) PB (mm) DB (mm) BPB (g) DP (mm) IP (%) C2D1 25.60 25.23 16.86 55.71 45.35 15.58 17.17 42.88 61.30 35.61 C2D2 23.65 28.67 16.52 37.38 40.55 17.96 12.48 29.28 88.75 38.13 C2D3 21.74 25.40 16.44 33.11 46.57 18.83 12.47 46.44 69.90 34.63 C2D4 20.28 33.81 15.98 31.29 51.85 16.89 15.02 29.29 57.56 29.41 C10D1 14.99 15.05 5.50 110.25 55.70 32.27 15.47 76.81 78.70 94.24 C10D2 14.94 10.16 2.16 78.66 38.84 37.30 11.64 69.23 85.59 74.78 C10D3 17.82 20.12 9.15 86.01 30.82 34.73 16.91 65.18 58.94 69.88 C10D4 18.34 24.18 6.00 71.08 36.52 37.09 17.17 63.18 85.16 112.91 C15D1 33.92 16.48 9.20 44.62 53.45 18.02 12.67 35.36 60.42 69.94 C15D2 18.45 16.24 12.48 42.24 35.59 17.01 12.29 26.34 72.45 81.53 C15D3 16.88 17.05 7.11 22.77 24.42 12.22 9.89 14.84 48.20 64.22 C15D4 19.30 6.95 10.67 30.98 37.96 21.30 11.24 28.96 60.76 61.70 Keterangan : C2D1 = Genotipe IPB C2 dosis 100 Gy, C2D2 = Genotipe IPB C2 dosis 200 Gy, C2D3

= Genotipe IPB C2 dosis 300 Gy, C2D4 = Genotipe IPB C2 dosis 400 Gy, C10D1 =

Genotipe IPB C10 dosis 100 Gy, C10D2 = Genotipe IPB C10 dosis 200 Gy, C10D3 =

Genotipe IPB C10 dosis 300 Gy, C10D4 = Genotipe IPB C10 dosis 400 Gy, C15D1 =

Genotipe IPB C15 dosis 100 Gy, C15D2 = Genotipe IPB C15 dosis 200 Gy, C15D3 =

Genotipe IPB C15 dosis 300 Gy dan C15D4 = Genotipe IPB C15 dosis 400 Gy.

TT (tinggi tanaman), UB (umur berbunga), UP (umur panen), BBT (bobot buah per tanaman), JBT (jumlah buah per tanaman), PB (panjang buah), DB (diameter buah), BPB (bobot per buah), DP (diameter bercak), IP (insidensi penyakit)

49

Gambar 11 Keragaan genotipe cabai mutan M2 C2D0, C2D1, C2D2, C2D3 dan C2D4

Gambar 12 Keragaan genotipe cabai mutan M2 C10D0, C10D1, C10D2, C10D3 dan

C10D4

Gambar 13 Keragaan genotipe cabai mutan M2 C15D1, C15D2, C15D3, C15D4

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

C D

Simpulan

Pemberian iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda pada setiap genotipe terhadap ketahanan penyakit antraknosa. Mutan genotipe IPB C2

cenderung mengarah pada kriteria sangat rentan dan rentan terhadap penyakit antraknosa, mutan genotipe IPB C10 cenderung mengarah pada kriteria moderat

sampai sangat tahan, sedangkan mutan genotipe IPB C15 cenderung mengarah

pada kriteria rentan sampai tahan. Genotipe IPB C2 memiliki heritabilitas tinggi

untuk karakter ketahanan penyakit, genotipe IPB C10 memiliki nilai heritabilitas

dari rendah hingga tinggi, dan genotipe IPB C15 memiliki nilai heritabilitas dari

51

PEMBAHASAN UMUM

6

Keragaman genetik yang tinggi merupakan syarat keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman. Seleksi dapat dilakukan apabila terdapat keragaman genetik, penelitian ini menggunakan berbagai genotipe cabai dari spesies Capsicum annuum L. sebagai materi seleksi agar mendapatkan genotipe yang memiliki sifat tahan, moderat dan rentan terhadap penyakit antraknosa.

Genotipe tahan dan genotipe rentan terhadap penyakit antraknosa digunakan sebagai tetua dalam pembentukan populasi studi yaitu P1, P2, P3, F1,

F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2, dan F2. Pembentukan studi dilakukan melalui

persilangan tunggal (biparental), persilangan silang balik (backcross) dan persilangan tiga jalur (three-way cross). Penggunaan spesies yang sama yaitu Capsicum annuum L. dalam persilangan akan sangat membantu terbentuknya populasi yang lengkap. Beberapa genotipe cabai merupakan hasil introduksi dari AVRDC yang memberi peluang kekerabatan genetik jauh serta kemiripan yang jauh.

Genotipe cabai yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan keragaman terhadap ketahan penyakit antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Genotipe yang digunakan adalah IPB C10 yang

merupakan penggaluran dari PBC 495 asal AVRDC yang diidentifikasi tahan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. accutatum, IPB C2 yang

merupakan penggaluran dari PSPT C11 asal Departemen AGH IPB yang

diidentifikasi rentan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum, dan IPB C15 merupakan genotipe introduksi dari AVRDC dengan kode 0209-4 yang

diidentifikasi sangat tahan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Genotipe tahan dan genotipe rentan terhadap penyakit antraknosa dijadikan tetua dalam persilangan untuk tujuan pewarisan sifat tahan terhadap penyakit antraknosa. Pemilihan tetua untuk studi pewarisan ditentukan berdasarkan kelengkapan populasi F1 dan F1R serta jumlah benih yang mencukupi

untuk materi studi, pembentukan populasi biparental, backcross, three-way cross, dan F2.

Karakter kuantitatif yang dipelajari dalam meningkatkan keragaman genetik cabai tahan penyakit antraknosa adalah tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah, diameter bercak dan insidensi penyakit. Pada karakter kuantitatif data diamati dengan diukur atau ditimbang dan memiliki besaran, sebaran data bersifat kontinyu dan pengujian data dilakukan secara statistik.

Berdasarkan pengamatan insidensi penyakit, IPB C10 adalah tetua yang

memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan terhada penyakit antraknosa dan cenderung mengarah kepada kriteria tahan terhadap penyakit antraknosa, IPB C2 adalah tetua yang memiliki kriteria sangat rentan sampai dengan tahan

dan cenderung mengarah kepada kriteria sangat rentan terhadap penyakit antraknosa, IPB C15 adalah tetua yang memiliki kriteria ketahanan dari rentan

hingga sangat tahan terhadap penyakit antraknosa dan cenderung mengarah kepada kriteria sangat tahan terhadap penyakit antraknosa. Populasi F1 dan F1R

rentan, sedangkan populasi TWC2 cenderung mengarah pada sangat tahan

terhadap penyakit antraknosa.

Perbedaan tingkat ketahanan pada masing-masing populasi ini menurut Agrios (1997) dapat dikelompokkan ke dalam ketahanan struktural dan ketahanan fungsional. Contoh ketahanan struktural antara lain tebal tipisnya epidermis, adanya lignin pada dinding sel, adanya lapisan lilin pada permukaan buah. Ketahanan fungsional dapat berupa antara lain meningkatnya aktivitas enzim tertentu atau terbentuknya ketahanan zat toksik tertentu seperti fitoaleksin yang dapat mematikan patogen. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi tanaman berbeda antara setiap sistem kombinasi inang-patogen. Bahkan pada inang dan patogen yang sama, kombinasi tersebut dapat berbeda dengan umur tanaman, jenis organ dan jaringan tanaman yang diserang, keadaan hara tanaman dan kondisi cuaca.

Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum berdasarkan insidensi penyakit dikendalikan oleh banyak gen hal ini

dibuktikan dengan hasil sebaran data populasi F2 yang bersifat kontinyu dan

menyebar normal selain itu juga sebaran data populasi F2 yang bersifat kontinyu

dan menyebar normal terdapat pada karakter tinggi tanaman, umur panen, panjang buah dan insidensi penyakit. Sebaran data populasi F2 yang bersifat

kontinyu tetapi tidak menyebar normal terdapat pada karakter umur berbunga, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, diameter buah, bobot per buah, dan diameter bercak. Sebaran data populasi F2 yang bersifat kontinyu tetapi

tidak menyebar normal, mengindikasikan bahwa karakter yang diuji dikendalikan oleh gen-gen minor dengan pengaruh satu atau dua gen mayor. Kasus yang demikian pernah terjadi pada bobot buah per tanaman pada tanaman cabai (Marwiyah 2010) selain itu juga terdapat pada karakter umur berbunga pada tanaman cabai (Arif 2010).

Karakter yang tidak mendapat pengaruh tetua betina akan memperlihatkan karakter yang sama pada turunan F1 dan resiprokalnya, sebaliknya turunan F1 dan

resiprokalnya akan menunjukkan keragaan yang berbeda jika karakter tersebut mendapatkan pengaruh tetua betina. Stanfield (1991) menjelaskan bahwa karakter yang dikendalikan oleh tetua betina akan memiliki keturunan persilangan dan resiprokal yang berbeda, dan turunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Menurut Gardner dan Snustad (1984) F1 dan F1R tidak dapat digabung

untuk analisis karena segregasi populasi F2 akan berbeda dan tidak mengikuti

hukum Mendel.

Dalam penelitian ini, berdasarkan hasil uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata insidensi penyakit F1 dan F1R memberikan hasil yang

berbeda nyata, hal ini menunjukkan bahwa pewarisan ketahanan cabai terhadap C. acutatum mendapat pengaruh maternal, sehingga pengendalian karakter ini diduga dipengaruhi oleh gen-gen di luar inti atau sitoplasmik. Karakter yang mendapatkan pengaruh tetua betina akan memperlihatkan kecenderungan seperti tetua betina. Kecenderungan ini dapat terlihat pada nilai tengah F1 (38.6) yang

mendekati nilai tengah tetua betina IPB C10 (26.22) dan F1R (23.67) yang

mendekati nilai tengah tetua betina IPB C10 (26.22). Populasi F2 memiliki nilai

tengah (40.92). Gardner dan Snustad (1987) menjelaskan jika terdapat indikasi efek maternal dan pada populasi F2 masih terdapat segregasi maka karakter

53 untuk karakter ketahanan penyakit tidak menunjukkan adanya segregasi, sehingga diduga gen-gen yang berperan berada di luar inti atau sitoplasma. Karakter lain yang mendapatkan pengaruh tetua betina adalah karakter bobot per buah. Karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah dan diameter bercak tidak mendapatkan pengaruh tetua betina. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thit < ttabel pada uji beda nilai tengah populasi F1 dan F1R. Yuniatin dan Sujiprihati

(2006) menjelaskan adanya pengaruh maternal menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen di luar inti, sedangkan tidak adanya pengaruh maternal menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti. Pewarisan ekstrakromosomal pada tanaman terdiri atas pewarisan sitoplasmik (maternal) dan efek maternal. Pewarisan sitoplasmik (maternal) dikendalikan oleh gen di luar inti dan bertahan selama beberapa generasi. Pewarisan efek maternal lebih pendek yaitu hanya bertahan satu generasi sehingga pada generasi berikutnya (F3) akan memperlihatkan segregasi (Yunianti

dan Sujiprihati 2006). Oleh karen itu, untuk membuktikan jenis pewarisan ekstrakromosomal untuk karakter ketahanan penyakit secara pasti diperlukan pengujian pada populasi F3.

Nilai hp untuk karakter umur berbunga berada pada selang 0 dan 1, menandakan derajat dominansi bersifat dominan parsial. Aksi gen dominan parsial dijelaskan dengan nilai tengah populasi F1 yang mendekati nilai tengah

tetua tertinggi. Kedua informasi tersebut membuktikan bahwa gen yang berperan mengarahkan fenotipe umur berbunga mengarahkan ke arah yang lebih besar.

Jumlah minimal gen yang mengendalikan karakter ketahanan penyakit adalah satu kelompok gen efektif. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Yoon et al. (2006), yang melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum pada persilangan interspesifik C. annuum (Habanero) dengan C. baccatum (PBC 81) dikendalikan oleh gen mayor dominan. Kim (2006) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum pada persilangan interspesifik C. annuum dengan C. baccatum (persilangan HN 11‟ x „AR) dikendalikan oleh gen mayor resesif (gen sederhana resesif), sementara pada persilangan interspesifik C. annuum dengan C. baccatum

lainnya (persilangan „Golden-aji‟ x „PI 5941γ7‟) dikendalikan oleh gen mayor

dominan (gen sederhana dominan). Selain pada insidensi penyakit, juga terdapat pada karakter tinggi tanaman, umur panen, jumlah buah per tanaman, dan diameter bercak. Jumlah gen efektif yang lebih banyak terdapat pada karakter umur berbunga yaitu tiga kelompok gen, bobot buah per tanaman yaitu dua kelompok gen, panjang buah yaitu sepuluh kelompok gen, diameter buah yaitu terdapat lima kelompok gen dan karakter bobot per buah yaitu delapan kelompok gen efektif. Jumlah gen yang sebenarnya tidak dapat diketahui, hanya menduga jumlah gen-gen yang berkumpul dalam mengendalikan ekspresi suatu karakter (Arif 2010).

Sifat yang muncul dari suatu tanaman (fenotipe) merupakan hasil genetik dan lingkungan (Halloran et al. 1979). Ragam fenotipe (σ2p) terdiri dari ragam

genetik (σ2

G), ragam lingkungan (σ2E) serta interaksi antara ragam genetik dan

lingkungan (σ2

GxE). Dengan rumus matematis σ2p = σ2G + σ2E + σ2GxE. Ragam

genetik terdiri dari ragam genetik aditif (σ2

A), ragam genetik dominan (σ2D) dan

ragam genetik epistasis (σ2

2000). Ragam genetik suatu populasi sangat penting dalam program pemuliaan, oleh karena itu pendugaan besarannya perlu dilakukan.

Ragam genetik aditif merupakan penyebab utama kesamaan diantara kerabat (antara tetua dengan turunannya). Ragam ini merupakan efek rata-rata gen; fungsi dari derajat dimana perubahan fenotipe, karena terjadinya seleksi. Ragam genetik dominan merupakan penyebab utama ketidaksamaan diantara kerabat. Ragam ini merupakan basis utama bagi heterosis dan kemampuan daya gabung (combining ability). Seberapa besar keragaman fenotipe akan diwariskan diukur oleh parameter yang disebut heritabilitas (Poespodarsono 1988).

Uji skala dilakukan mulai dari uji skala individu (scaling test) untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh interaksi antar alel (inter-alelic). Menurut Singh dan Chaudhary (1979), apabila salah satu selang (A, B, atau C) memiliki nilai thitung > 1.96 maka berarti terdapat pengaruh interaksi antar alel, sehingga

harus dilakukan uji skala gabungan (joint scaling test) untuk menduga model genetik yang paling sesuai.

Berdasarkan uji skala gabungan, aksi gen yang mengendalikan ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum mengikuti model aditif- dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan dominan x dominan atau [m][d][h][i][l]. Dengan demikian karakter ketahanan penyakit dikendalikan oleh gen dengan aksi gen dominan duplikat. Nilai komponen genetik aditif dan dominan berlawanan tanda dengan interaksinya, menggambarkan adanya aksi gen yang bersifat epistasis duplikat. Peran gen aditif dan dominan sama-sama menghasilkan ketahanan penyakit yang lebih tinggi pada turunannya.

Model genetik umur berbunga adalah aditif dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan aditif x dominan atau [m][d][h][i][j]. karakter umur berbunga dikendalikan oleh gen dengan aksi gen dominan duplikat. Keberadaan gen aditif cenderung menambah umur berbunga. Hal ini terlihat dari nilai aditif yang bertanda positif. Akan tetapi pengaruh aditif masih lebih besar dibandingkan gen dominan.

Model genetik karakter tinggi tanaman adalah aditif dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan dominan x dominan atau [m][d][h][i][l]. karakter tinggi tanaman dikendalikan oleh gen dengan aksi gen dominan duplikat. Keberadaan gen dominan cenderung menggeserkan penampilan tanaman ke arah yang lebih pendek. Hal ini terlihat dari nilai dominan yang bertanda negatif. Akan tetapi pengaruh aditif masih lebih besar dibandingkan gen dominan yang bertanda negatif.

Model genetik yang paling sesuai untuk karakter diameter bercak adalah aditif dominan dengan pengaruh interaksi aditif x dominan dan dominan x dominan atau [m][d][h][j][l]. Aksi gen yang mengendalikan karakter ini adalah aksi gen dominan duplikat. Gen aditif cenderung mengarahkan fenotipe diameter bercak lebih sempit pada turunannya. Gen dominan yang bertanda positif menggambarkan pengaruh menghasilkan diameter bercak yang lebih luas.

Model genetik yang paling sesuai untuk karakter tinggi tanaman, bobot buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, dan bobot per buah adalah model aditif dominan dengan pengaruh interaksi aditif x aditif dan dominan x dominan atau [m][d][h][i][l]. Karakter-karakter ini diduga dikendalikan oleh aksi gen dominan duplikat. Peran gen aditif pada karakter tinggi tanaman menunjukkan tinggi tanaman bertambah. Gen dominan yang bertanda negatif

55 pada karakter tinggi tanaman dan panjang buah menggambarkan tinggi tanaman menurun dan panjang buah menurun.

Model genetik yang paling sesuai untuk karakter umur panen dan jumlah buah per tanaman adalah aditif dominan atau [m][d][h]. Gen aditif yang betanda positif pada karakter umur panen dan jumlah buah per tanaman menunjukkan umur panen meningkat dan jumlah buah per tanaman meningkat. Gen dominan pada umur panen dan jumlah buah pertanaman cenderung meningkatkan umur panen dan jumlah buah per tanaman.

Ragam fenotipe suatu karakter kuantitatif dipengaruhi oleh ragam genetik, ragam lingkungan, dan ragam interaksi genetik dan lingkungan. Ragam genetik terdiri atas ragam dominan, ragam aditif dan ragam epistasis. Besarnya pengaruh ragam genetik terhadap penampilan sebuah karakter dapat ditentukan dari nilai heritabilitas arti luas (h2bs). Nisbah antara ragam genetik dengan ragam fenotipe

diartikan sebagai heritabilitas arti luas (h2bs), sedangkan nisbah antara ragam

aditif dengan ragam fenotipe dinyatakan sebagai heritabilitas arti sempit (h2ns).

Heritabilitas menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan repleksi dari genotipe. Secara mutlak tidak bisa dikatakan apakah suatu sifat ditentukan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Faktor genetik tidak akan memperlihatkan sifat yang dibawanya kecuali dengan adanya faktor lingkungan yang diperlukan. Sebaliknya, bagaimanapun manipulasi dan perbaikan-perbaikan terhadap faktor-faktor lingkungan, tak akan menyebabkan perkembangan suatu sifat kecuali kalau faktor genetik yang diperlukan terdapat pada individu-individu atau populasi tanaman yang bersangkutan (Baihaki 2000).

Nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs) untuk insidensi penyakit termasuk

dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan pewarisan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan diduga disebabkan saat pemilihan buah dilapang yang akan diinokulas. Selain insidensi penyakit yang memiliki nilai h2bs sedang, karakter umur panen, bobot buah per

tanaman, panjang buah, dan bobot per buah juga termaduk dalam katagori sedang. Nilai duga heritabilitas arti luas untuk karakter tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah buah per tanaman, dan diameter bercak termasuk dalam kelas tingi, yaitu lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut dikendalikan secara genetik dengan pengaruh lingkungan yang kecil. Karakter yang memiliki nilai h2bs tinggi dapat dilanjutkan dalam tahap seleksi berikutnya.

Nilai duga heritabilitas arti luas untuk karakter diameter buah tergolong dalam katagori rendah. Dengan demikian, rata-rata nilai heritabilitas arti luas yang diamati dalam studi pewarisan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Nilai duga heritabilitas arti sempit untuk karakter umur panen, bobot buah per tanaman, diameter buah, dan bobot per buah tergolong dalam kelas dengan nilai heritabilitas arti sempit rendah. Hasil ini memberi indikasi bahwa proporsi gen aditif terhadap genetik adalah rendah. Karakter-karakter dengan nilai heritabilitas arti sempit tergolong sedang adalah tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter bercak dan insidensi penyakit. Yuniati (2007) menjelaskan besarnya ragam aditif terhadap ragam genetik total secara relatif dapat dilihat dari proporsi h2ns terhadap h2bs. Umumnya heritabilitas

dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Kontribusi penampilan tidak

tergantung pada adanya interaksi antar alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.

Metode seleksi dapat ditentukan berdasarkan nilai heritabilitas. Fehr (1987) menyatakan bahwa seleksi dengan karakter yang memiliki ragam aditif tinggi memungkinkan untuk diseleksi pada generasi awal. Metode seleksi untuk tanaman menyerbuk sendiri dari populasi bersegregasi dengan seleksi di awal generasi (F2) adalah pedigree. menyatakan bahwa seleksi Single Seed Descent

(SSD) dan Bulk dapat diterapkan untuk karakter yang memiliki nilai heritabilitas arti sempit yang termasuk rendah sampai sedang pada cabai (Syukur et al. 2007). Karakter ketahanan penyakit pada penelitian peningkatan keragaman genetik cabai tahan terhadap penyakit antraknosa melalui teknik hibridisasi dapat dilakukan pada generasi lebih lanjut. Metode seleksi yang dapat diterapkan pada cabai untuk seleksi di generasi awal adalah pedigree (Roy 2000; Yunianti et al. 2007) dan metode seleksi untuk generasi lebih lanjut dapat menggunakan metode SSD atau Bulk (Roy 2000; Syukur et al. 2007).

Nilai koefisien keragaman genotipe pada cabai hasil persilangan biparental hampir rata-rata seluruh karakter agronomi memiliki kriteria koefisien keragaman genetik yang sempit, kecuali pada karakter diameter bercak yang memiliki koefisien keragaman genetik yang agak luas, karakter jumlah buah per tanaman dan insidensi penyakit yang memiliki koefisien keragaman genetik agak sempit. Kriteria koefisien keragaman fenotipe rata-rata karakter agronomi tergolong sempit dan agak sempit, kecuali pada karakter diameter bercak yang memiliki kriteria koefisien keragaman fenotipe yang luas dan untuk insidensi