• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan Terhadap Penyakit Antraknosa Melalui Hibridisasi Dan Iradiasi Sinar Gamma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan Terhadap Penyakit Antraknosa Melalui Hibridisasi Dan Iradiasi Sinar Gamma"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KERAGAMAN GENETIK CABAI TAHAN

TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI

HIBRIDISASI DAN IRADIASI SINAR GAMMA

NURA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan terhadap Penyakit Antraknosa melalui Hibridisasi dan Iradiasi Sinar Gamma adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)
(4)

RINGKASAN

NURA. Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan terhadap Penyakit Antraknosa melalui Hibridisasi dan Iradiasi Sinar Gamma. Dibimbing oleh MUHAMAD SYUKUR, NURUL KHUMAIDA dan WIDODO.

Peningkatan keragaman genetik cabai tahan terhadap penyakit antraknosa sangat diperlukan dalam merancang program pemuliaan yang efektif untuk merakit varietas yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dari bulan Mei 2012 hingga April 2014. Terdapat dua pendekatan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan hibridisasi dan pendekatan iradiasi dengan menggunakan sinar gamma.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan populasi tetua tahan dan tetua rentan serta hasil persilangan dengan pendekatan hibridisasi dan mutan yang dihasilkan pada dosis iradiasi sinar gamma dibawah LD50. Evaluasi ketahanan

terhadap Colletotrichum acutatum dilakukan di Laboratorium Pendidikan dan Pemuliaan Tanaman AGH IPB dengan menggunakan metode inokulasi secara suntik pada buah yang sudah tumbuh maksimum tetapi masih berwarna hijau. Uji radiosensitivitas dilakukan dengan menggunakan sinar gamma pada dosis 0, 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, dan 1000 Gy.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat efek maternal yang mengendalikan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa. Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini dibuktikan dengan hasil sebaran data populasi F2 yang

bersifat kontinyu dan menyebar normal. Jumlah minimal gen yang mengendalikan karakter ketahanan penyakit adalah satu kelompok gen efektif. Interaksi gen mayor adalah non alelik dominan duplikat dan aksi gen yang mengendalikan adalah resesif parsial. Pengaruh gen menunjukkan adanya interaksi aditif dominan dengan model interaksi aditif x aditif dan dominan x dominan. Nilai duga heritabilitas arti luas dan arti sempit tergolong sedang.

Lethal Dose 50 (LD50) yang terdapat pada genotipe IPB C2, IPB C10, dan

IPB C15 berturut-turut adalah 317.928, 591.42, dan 538.785 Gy. Pada tanaman

mutan M2 IPB C2 cenderung rentan sampai sangat rentan terhadap penyakit

antraknosa, IPB C10 cenderung moderat sampai sangat tahan, dan genotipe IPB

C15 cenderung rentan sampai tahan. Genotipe IPB C2 memiliki nilai heritabilitas

tinggi untuk karakter ketahanan penyakit, genotipe IPB C10 memiliki nilai

heritabilitas dari rendah hingga tinggi dan IPB C15 memiliki nilai heritabilitas dari

sedang hingga tinggi.

(5)

SUMMARY

NURA. Increasing genetic variability of chili pepper which resistant to anthracnose disease through hybridization and irradiation gamma rays. Supervised by MUHAMAD SYUKUR, NURUL KHUMAIDA and WIDODO.

Increasing genetic variability of chili pepper which resistant to anthracnose disease is needed to design an effective breeding program for high yield varieties which resistant to anthracnose disease. The research was done in Leuwikopo Experiment Farm and education Plant Breeding Laboratory of Agronomy and Horticulture IPB Department from May 2012 to April 2014. The research were conducted in two approachments, hybridization and irradiation with using gamma rays.

The research was performed using populations of resistant lines and susceptible lines with crossing result of hybriditation and mutants that were generated at a dose of gamma ray irradiation under LD50. Resistance evaluation of Colletotrichum acutatum was performed in the Laboratory of Education and Plant Breeding AGH IPB. The evaluation was used syringe inoculation in almost ripe fruit but still green. The radiosensitivity test using gamma ray irradiation was performed with dose of 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, and 1000 Gy.

The results showed that there was a maternal effect that controls resistance to anthracnose of chili pepper. Resistance to anthracnose caused by C. acutatum was controlled by many genes. It was proved by the results of the population distribution was continuous and F2 spread to normal. The minimum number of genes that control disease resistant character is one group of genes effective. The interaction of genes major is non alelik dominant duplicate and the action of genes that control is recessive partial. The influence of genes show the interactions between additive dominant with the influence of the interaction additive x additive and dominant x dominant. The value of thought broad-sense and narrow-sense heritability for disease resistance character were medium.

Lethal Dose 50 (LD50) of genotype IPB C2 , IPB C10 , and IPB C15 were 317.928, 591.42, and 538.785 Gy, respectively. IPB C2 mutants obtained tend to susceptible to very susceptible against anthracnose disease, IPB C10 tend to moderate to highly resistant, and genotype IPB C15 tend to susceptible to resistantant. Genotype IPB C2 have high level in heritability for disease resistance character, genotype IPB C10 have low to high and IPB C15 have medium to high.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

i

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

PENINGKATAN KERAGAMAN GENETIK CABAI TAHAN

TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI

HIBRIDISASI DAN IRADIASI SINAR GAMMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan terhadap Penyakit Antraknosa melalui Hibridisasi dan Iradiasi Sinar Gamma.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih setulusnya kepada :

1. Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi, Dr Ir Nurul Khumaida, MSi dan Dr Ir Widodo, MS selaku dosen pembimbing atas segala dukungan, dedikasi, kesabaran, bimbingan, arahan, kritikan dan masukan selama penelitian hingga penulisan tesis ini selesai dilaksanakan.

2. Kementerian Ristek melalui hibah SINas tahun 2013 atas nama Prof Dr Ir Sobir, MSi (Pusat Kajian Hortikultura Tropika) dan Hibah Kompetisi tahun 2014 atas nama Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi.

3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB yang telah menerima penulis untuk melanjutkan sekolah di IPB.

4. Seluruh staf pengajar Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama masa studi. 5. Bapak Burhanuddin dan Ibu Nurussabah (Almh) tercinta, atas segala jerih

payah, doa, pengertian, keikhlasan, kesabaran, rasa cinta dan kasih sayang yang tidak pernah putus kepada penulis, terutama buat Ibu yang sudah pergi mendahului disaat-saat terakhir penulis menyelesaikan penelitiannya, penulis mengucapkan rasa cinta yang sebesar-besarnya kepada beliau. 6. Keluarga besar Baiturrahman 7 (BR7), atas setiap waktu, dukungan moril

maupun materil, segala doa, bantuan, kesabaran dan kasih sayangnya kepada penulis selama menempuh studi dan penelitian.

7. Seluruh keluarga besar PBT 2011 dan seluruh kawan Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman AGH IPB yang telah memberikan ilmu pengetahuan, persahabatan dan kekeluargaan yang tidak terlupakan.

8. Seluruh penghuni kosan Sinabung 89 gedung A, yang telah memberikan persahabatan dan kekeluargaan yang tidak terlupakan.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat menjadi amalan baik bagi penulis dan bermanfaat bagi kita semua.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 5

2

Asal dan Taksonomi Cabai 5

Botani dan Morfologi Cabai 6

Pemuliaan Mutasi 10

Radiosensitivitas 10

Induksi Mutasi Fisik dalam Pemuliaan Tanaman 11

Penyakit Antraknosa pada Cabai 12

Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Antraknosa 13 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK CABAI TERHADAP

3

PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI HIBRIDISASI 14

Pendahuluan 14

Bahan dan Metode 15

Hasil dan Pembahasan 21

Simpulan 33

RADIOSENSITIVITAS DAN KERAGAAN GENETIK POPULASI M1

4

CABAI HASIL IRADIASI SINAR GAMMA 34

Pendahuluan 34

Bahan dan Metode 35

Hasil dan Pembahasan 36

Simpulan 39

SELEKSI DAN KEMAJUAN SELEKSI POPULASI M2 40

5

Pendahuluan 40

Bahan dan Metode 41

Hasil dan Pembahasan 42

Simpulan 50

PEMBAHASAN UMUM 51

6

SIMPULAN DAN SARAN 60

7

Simpulan 60

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 67

(12)

DAFTAR TABEL

1 Genotipe cabai yang digunakan dalam penelitian 15 2 Jumlah tanaman cabai dengan berbagai tingkat ketahanan pada setiap

populasi berdasarkan insidensi penyakit antraknosa 22 3 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan

F1R tanaman cabai 26

4 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan

nilai tengah populasi kedua tetua (MP) tanaman cabai 27 5 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter tinggi tanaman

dan diameter bercak tanaman cabai 28

6 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter bobot buah per tanaman, panjang buah, diameter buah dan bobot per buah tanaman

cabai 30

7 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter umur berbunga, umur panen dan jumlah buah per tanaman tanaman cabai 31 8 Nilai heritabilitas pada beberapa karakter cabai tahan terhadap

penyakit antraknosa 31

9 Nilai koefisien keragaman genetik (KKG) dan fenotipik (KKF)

karakter agronomi tanaman cabai 33

10 LD50 pada benih tanaman cabai hasil iradiasi sinar gamma pada 5

MSS 36

11 Rataan jumlah tanaman tumbuh, tinggi kecambah dan standar deviasi umur lima minggu setelah semai pada kecambah cabai 37 12 Kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit Antraknosa pada tanaman

M2 43

13 Nilai duga heritabilitas karakter cabai pada generasi M2 44

14 Nilai duga kemajuan seleksi masing-masing karakter pada genotipe

M2 tanaman cabai 46

15 Nilai koefisien keragaman genetik tanaman cabai 47 16 Nilai koefisien keragaman fenotipe tanaman cabai 48

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Alir Penelitian 4

2 Skema pembentukan populasai F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2

dan F2 dengan metode persilangan biparental, backcross dan metode

persilangan three-way cross 16

3 Tanda panah menunjukkan biakan C. acutatum isolat PYK 04 yang

siap untuk digunakan 17

4 Tanda lingkaran menunjukkan konidia C. acutatum isolat PYK 04

dengan pembesaran 100x 17

5 Prosedur inokulasi antraknosa pada buah cabai yang sudah tumbuh

maksimum tetapi masih berwarna hijau 18

6 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter

(13)

7 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter

agronomi pada tanaman cabai 24

8 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter

agronomi pada tanaman cabai 25

9 Posisi relatif populasi F1 terhadap tetua dengan aksi gen dominan

parsial pada karakter umur berbunga pada cabai. 27

10 Kurva respon pertumbuhan 38

11 Keragaan genotipe cabai mutan M2 C2D0, C2D1, C2D2, C2D3 dan C2D4 49

12 Keragaan genotipe cabai mutan M2 C10D0, C10D1, C10D2, C10D3 dan

C10D4 49

13 Keragaan genotipe cabai mutan M2 C15D1, C15D2, C15D3, C15D4 49

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai ragam fenotipe, lingkungan dan genetik pada perlakuan

hibridisasi 67

2 Nilai ragam fenotipe pada perlakuan iradiasi 67 3 Nilai ragam lingkungan pada perlakuan iradiasi 68

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

Tanaman cabai termasuk famili solanaceae, genus Capsicum. Capsicum annuum L. adalah spesies yang paling luas dibudidayakan dan paling penting secara ekonomis. Spesies ini mempunyai berbagai bentuk dan ukuran yang meliputi buah manis dan pedas. Capsicum annuum L. diperkirakan mempunyai pusat asal (penyebaran primer) di Meksiko kemudian menyebar ke daerah Amerika Selatan dan Tengah, ke Eropa dan sekarang telah tersebar luas di deaerah tropik dan subtropik. Pusat penyebaran sekunder C. annuum adalah Guatemala. Berdasarkan karakter buahnya, terutama bentuk dan ukuran buah, spesies C. annuum dapat digolongkan dalam empat tipe, yaitu cabai besar, keriting, rawit (hijau) dan paprika (Syukur et al. 2012).

Menurut Badan Pusat Statistik (2014), produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2013 adalah 8.16 ton ha-1. Angka tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi produktivitasnya. Syukur et al. (2010) menyatakan bahwa produktivitas cabai dapat mencapai 20 ton ha-1. Rendahnya produktivitas cabai di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah teknik budidaya yang belum optimal, minimnya benih bermutu, tingginya serangan hama penyakit serta faktor lingkungan yang kurang menguntungkan. Salah satu faktor dominan yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah gangguan hama dan penyakit (Nawangsih et al. 2003).

Antraknosa pada cabai disebabkan oleh genus Colletotrichum yang digolongkan menjadi beberapa spesies utama yaitu C. gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici dan C. coccodes (Kim et al. 1999). Penyakit antraknosa merupakan kendala biologis terbesar dalam usaha tani cabai, karena dapat menyerang tanaman dan juga buah maupun setelah buah dipanen. Patogen yang menyerang buah merupakan kendala terbesar dalam peningkatan produksi cabai, karena buah dapat gugur sebelum panen atau busuk sebelum dan setelah panen, sehingga mengurangi produksi buah yang dapat dipasarkan. Penyakit antraknosa dapat berlanjut menyerang buah dalam penyimpanan di tingkat konsumen. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang paling merugikan dibanding penyakit cabai lainnya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 10-80% di musim hujan dan 2-35% di musim kemarau (Widodo 2007). Diperlukan pembentukan varietas baru cabai yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa. Upaya pengembangan cabai di Indonesia dapat dilakukan melalui teknik hibridisasi dan iradiasi sinar gamma.

Hibridisasi merupakan suatu teknik persilangan antar tanaman yang memiliki tujuan untuk memperoleh individu dengan sifat yang diinginkan. Salah satunya yaitu dapat dilakukan dengan metode silang balik (back cross) dan metode tiga jalur (three-way cross). Pada metode silang balik, generasi F1

(16)

tetua ketiga yang mengandung karakter penting lainnya dan disilangkan dengan generasi F1 silang tunggal (Syukur et al. 2012).

Induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma juga dapat digunakan untuk memperoleh cabai yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Mutasi adalah perubahan materi genetik, yang merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik dan merupakan bagian dari fenomena alam (Aisyah 2006). Dosis iradiasi yang digunakan untuk menginduksi keragaman sangat menentukan keberhasilan terbentuknya tanaman mutan. Kisaran dosis iradiasi yang efektif pada benih umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya. Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O) dalam materi yang

diiradiasi, maka akan semakin banyak pula radikal bebas yang terbentuk sehingga tanaman menjadi lebih sensitif (Herison et al. 2008). Oleh karena itu perlu diketahui dosis optimum yang efektif untuk menghasilkan tanaman mutan. Mutan yang diperoleh pada umumnya terdapat pada atau sedikit dibawah nilai LD50

(Lethal Dose 50).

LD50 adalah dosis yang menyebabkan 50% kematian dari populasi yang

diiradiasi. Dosis penyinaran akan menentukan sifat individu yang dihasilkan. Dalam tujuan untuk mendapatkan individu yang mempunyai ketahanan terhadap penyakit antraknosa perlu dilakukan evaluasi terhadap genotipe-genotipe hasil iradiasi pada berbagai dosis penyinaran, sehingga dapat digunakan untuk menciptakan varietas unggul baru yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa.

Petani umumnya mengendalikan penyakit antraknosa dengan menggunakan fungisida kontak dan fungisida sistemik secara intensif. Namun penggunaan pestisida secara berlebihan tidak hanya menyebabkan peningkatan biaya produksi, tetapi juga mengakibatkan resiko kesehatan petani dan konsumen, serta kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan varietas yang tahan merupakan salah satu cara yang dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah penyakit antraknosa (C. acutatum), sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik cabai yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan informasi tentang parameter genetik karakter ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa melalui teknik hibridisasi dan iradiasi. 2. Mendapatkan informasi ketahanan terhadap penyakit antraknosa

dikendalikan oleh aksi gen aditif.

3. Mendapatkan informasi LD50 pada beberapa genotipe tanaman cabai hasil

iradiasi sinar gamma.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Dari pendekatan hibridisasi dan iradiasi sinar gamma pada genotipe IPB C2, IPB C10 dan IPB C15 setidaknya ditemukan genotipe tahan

(17)

3 2. Karakter ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan

oleh C. acutatum dikendalikan oleh aksi gen aditif.

3. Masing-masing genotipe cabai memiliki LD50 yang berbeda. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian terdiri dari tiga percobaan dalam upaya pencapaian tujuan penelitian dan menjawab hipotesis penelitian. Penelitian ini menggunakan tiga genotipe tetua berdasarkan informasi sebelumnya, kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa dengan menggunakan isolat PYK 04 yang berasal dari Payakumbuh Sumatra Barat, yaitu IPB C10 (penggaluran dari PBC 495 asal

AVRDC) termasuk kedalam kriteria tahan, IPB C2 (penggaluran dari PSPT C11

asal Departemen AGH IPB) termasuk ke dalam golongan kriteria rentan dan IPB C15 (penggaluran dari 0209-4 asal AVRDC) tergolong dalam kriteria sangat tahan

terhadap penyakit antraknosa.

Langkah utama yang dilakukan sebelum percobaan pertama adalah pembentukan populasi dengan cara hibridisasi melalui persilangan antar tetua tahan dengan tetua rentan. Dalam perakitan varietas biasanya genotipe yang memiliki sifat tahan dijadikan sebagai donor ketahanan untuk memperbaiki genotipe cabai yang memiliki daya hasil tinggi, namun tidak memiliki sifat tahan penyakit antraknosa. Pada percobaan pertama, populasi yang telah terkumpul yaitu P1, P2, P3, F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2 dan populasi F2.

Masing-masing populasi tersebut ditanam dan diamati insidensi penyakit serta beberapa karakter lain seperti tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah, dan diameter bercak.

Pada percobaan ke dua dilakukan iradiasi sinar gamma terhadap tiga genotipe cabai, yaitu IPB C2, IPB C10, dan IPB C15 dengan taraf 0, 100, 200, 300,

400, 500, 600, 700, 800, 900 dan 1000 Gy. Berdasarkan hasil iradiasi sinar gamma ditentukan nilai radiosensitivitas setiap tanaman melalui LD50, yaitu dosis

yang dapat mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang mendapat perlakuan iradiasi.

Pada percobaan ke tiga benih cabai yang berindikasi mutan (hasil percobaan 2) ditanam sebagai tanaman M2 dan dibandingkan dengan tetua asal

yaitu IPB C2, IPB C10, dan IPB C15. Pengamatan insidensi penyakit dan karakter

kuantitatif dilakukan terrhadap masing-masing individu tanaman.

(18)

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian Pembentukan

populasi

Percobaan 1 : Pendugaan parameter genetik ketahanan terhadap

penyakit antraknosa dan beberapa karakter lain

Percobaan 2 : Radiosensitivitas dan keragaan populasi M1

cabai hasil iradiasi sinar gamma

Percobaan 3: Seleksi dan kemajuan

seleksi populasi M2

 Memperoleh individu dan mutan putatif yang tahan terhadap penyakit antraknosa

 Informasi parameter genetik yang dibentuk melalui hibridisasi dan iradiasi sinar gamma

 Informasi Lethal Dose 50 (LD50) hasil iradiasi

sinar gamma. Informasi keragaman

genetik

Populasi P1, P2, P3, F1, F1R,

BCP1, BCP2, TWC1, TWC2, F2

Plasma nutfah cabai (Koleksi dan

(19)

5

TINJAUAN PUSTAKA

2

Asal dan Taksonomi Cabai

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) berasal dari dunia tropika dan subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan dan terus menyebar ke Amerika Latin. Bukti budidaya cabai pertama kali ditemukan dalam tapak galian sejarah Peru dan sisaan biji yang telah berumur lebih dari 5000 tahun SM di dalam gua di Tehucan, Meksiko. Penyebaran cabai ke seluruh dunia termasuk Negara-negara di Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang Spanyol dan Portugis.

Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai mengandung kapaisin, dihidrokapaisin, vitamin (A, C), damar, zat warna kapsantin, karoten, kapsarubin, zeasantin, kriptosantin, clan lutein. Selain itu juga mengandung mineral, seperti zat besi, kalium, kalsium, fosfor dan niasin. Zat aktif kapaisin berkhasiat sebagai stimulan. Jika seseorang mengkonsumsi kapaisin terlalu banyak akan mengakibatkan rasa terbakar di mulut dan keluarnya air mata. Selain kapaisin, cabai juga mengandung kapsisidin. Khasiatnya untuk memperlancar sekresi asam lambung dan mencegah infeksi sistem pencernaan. Unsur lain di dalam cabai adalah kapsikol yang dimanfaatkan untuk mengurangi pegal-pegal, sakit gigi, sesak nafas, dan gatal-gatal.

Cabai adalah tanaman tahunann tropika yang biasanya ditanam sebagai tanaman setahun. Jenis tanaman herba tersebut sebagian besar menjadi berkayu pada pangkal batangnya, dan beberapa jenis menjadi semak. Cabai besar merupakan salah satu spesies dari sekitar 20-30 spesies dalam genus Capsicum yang telah dibudidayakan (Berke 2000).

Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistem tumbuhan) tanaman cabai termasuk kedalam :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

(20)

Botani dan Morfologi Cabai

Seperti tanaman yang lainnya, tanaman cabai mempunyai bagian-bagian tanaman seperti akar, batang, daun, bunga, buah dan biji.

1. Akar

Harpenas (2010), menyatakan cabai adalah tanaman semusim yang berbentuk perdu dengan perakaran akar tunggang. Sistem perakaran tanaman cabai agak menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. akar ini berfungsi antara lain menyerap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman. Sedangkan menurut Tjahjadi (1991) akar tanaman cabai tumbuh tegak lurus ke dalam tanah, berfungsi sebagai penegak pohon yang memiliki kedalaman lebih kurang 200 cm serta berwarna coklat. Dari akar tunggang tumbuh akar-akar cabang, akar cabang tumbuh horizontal di dalam tanah, dari akar cabang tumbuh akar serabut yang berbentuk kecil-kecil dan membentuk masa yang rapat.

2. Batang

Hewindati (2006), mengatakan batang tanaman cabai tegak dan pangkalnya berkayu dengan panjang 20-80 cm dengan diameter 1.5-2.5 cm. batang percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm, diameter batang percabangan mencapai 0.5-1 cm. Percabangan bersifat dikotomi atau menggarpu, tumbuhnya cabang beraturan secara berkesinambungan. Tjahjadi (1991) mengatakan tanaman cabai berbatang tegak yang bentuknya bulat. Tanaman cabai dapat tumbuh setinggi 50-150cm dan merupakan tanaman perdu yang warna batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku dengan panjang tiap ruas 5-10 cm.

3. Daun

Daun cabai menurut Hewindati (2006), berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing atau diistilahkan dengan oblongus acutus, tulang daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9-15 cm dengan lebar 3.5-5 cm. selain itu daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai dengan panjang 0.5-2.5 cm dan letaknya tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 1.5-12 cm, lebar 1-5 cm dan berwarna hijau.

4. Bunga

(21)

7 5. Buah dan Biji

Buah cabai merupakan buah buni berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok, meruncing pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin mengkilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17cm, bertangkai pendek, rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak menjadi merah cerah. Sedangkan untuk bijinya, biji yang masih muda berwarna kuning, setelah tua menjadi coklat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm. Rasa buahnya yang pedas dapat mengeluarkan air mata orang yang menciumnya, tetapi orang tetap membutuhkannya untuk menambah nafsu makan.

Deskripsi jenis-jenis Capsicum yang disusun menurut Heiser dan Smith (1953), Smith dan Heiser (1957), Heiser (1969a,b) dan Heiser dan Pickersgill (1969) sebagai berikut :

1. Capsicum annuum L.

Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-100 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya menggantung; mahkota bunga berwarna putih, berbentuk seperti bintang; Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas, bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan; bentuk buah seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, seperti lonceng atau berbentuk bulat; warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning atau keunguan; posisi buah menggantung; biji berwarna kuning pucat (Djarwaningsih 2005).

C. annuum var. glabriusculum diduga merupakan nenek moyang liar dari tanaman budidaya C. annuum var. annuum dan di antara keduanya dapat terjadi persilangan secara bebas dan cepat. Varietas glabriusculum ini mempunyai ciri-ciri buah dengan rasa sangat pedas, garis tengah kurang dari 13 mm, posisi buah tegak dan mudah luruh yang berlawanan dengan ciri-ciri budidayanya. Walaupun varietas ini juga digunakan sebagai rempah-rempah dan sambal serta kadang-kadang juga dijual di pasar, tetapi tidak dibudidayakan (Heiser 1969a).

Varietas tersebut masuk ke Amerika Tengah dan Meksiko dari Amerika Selatan, dibawa oleh burung yang menyukai buahnya dan menyebarkan biji atau sebagai gulma yang terbawa oleh manusia dalam melakukan perjalanan ke beberapa tempat. Kemudian manusia menanam jenis tersebut dan melakukan seleksi dengan menghilangkan perawakan yang mudah luruh, memunculkan beberapa tipe yang menggantung serta keanekaragaman bentuk buah, warna dan tingkat kepedasan yang tinggi (Heiser 1969a).

C. annuum tersebar secara spontan dan luas dari Amerika Serikat bagian selatan, terus Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara (Purseglove et al. 1979). Di Indonesia jenis ini tersebar di seluruh kepulauan, hal ini karena hampir sebagian besar penduduk telah memanfaatkannya secara luas baik sebagai bumbu maupun sayuran (Djarwaningsih 1986).

(22)

2. Capsicum baccatum L.

Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-75 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung; mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas; bentuk buah bulat memanjang; warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga, kuning, hijau atau coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning sampai merah; posisi buah tegak atau menggantung; biji berwarna kuning pucat.

Jenis, varietas liar maupun budidayanya ditemukan dari Amerika Selatan. Di Indonesia sendiri belum diketahui keberadaannya. C. baccatum var. baccatum mempunyai ciri-ciri: mahkota bunga berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, bercuping 5, kepala sari berwarna kuning, buahnya berwarna merah dengan posisi tegak dan mudah lurus bila sudah masak. C. baccatum var. baccatum tersebut diduga merupakan nenek moyang liar dari C. baccatum var. pendulum karena keduanya dapat menghasilkan hybrid fertile (Esbaugh 1970). Menurut Heiser (1969a), tidak diketahui dengan pasti asal pembudidayaan varietas pendulum ini, tetapi diduga dari Peru. Hal ini didukung oleh pendapat Pickersgill (1969) yang menyatakan bahwa dari bukti arkeologi di awal era Peruvian (2000 SM), Capsicum yang ditemukan di Ancon dan Huaca Prieta, Peru merupakan bentuk budidaya dari C. baccatum var. pendulum. Sisa-sisa arkeologi ini ditemukan pada awal zaman periuk bersama-sama kapas, Canna dan Canavalia. Sedangkan keanekaragamannya yang tersebar ditemukan di Peru Ekuador dan Chili.

3. Capsicum frustescens L.

Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 50-150 cm, hidupnya dapat mencapai 2 atau 3 tahunan. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan lebih dibagian ujung ranting, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang; kelopak ramping; buah muncul berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat pedas; kadang-kadang mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau berbentuk setengah kerucut; warna buah setelah masak biasanya merah; posisi buah tegak; biji berwarna kuning pucat.

(23)

9 4. Capsicum pubescens R. dan P.

Tumbuhan berupa perdu, tinggi 45-113 cm, berbulu lebat, biasanya berumur hanya semusim; bunga tunggal atau kadang-kadang menggerombol berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu, berbulu, berbentuk seperti bintang; kelopak berwarna hijau, berbulu; buah tunggal atau muncul bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya pedas; buahnya berbentuk bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, jingga atau cokelat; posisi buah menggantung; biji berwarna hitam.

Jenis ini hanya ditemukan tumbuh di dataran tinggi antara 1500-3300 m dan mudah dibedakan dengan jenis-jenis cabai lainnya dari ciri bijinya yang hitam serta perawakannya yang berbulu lebat. Jenis ini paling umum dijumpai di Columbia, Ekuador, Bolivia dan Peru (Purseglove et al. 1979). Nenek moyang liarnya masih belum diketahui, tetapi jenis ini menunjukkan kekerabatan yang erat dengan jenis-jenis liar dari Amerika Selatan yaitu C. eximium, C. cardenasii dan C. tovari, dan salah satu di antaranya diduga merupakan nenek moyang liarnya (Heiser 1986). Di Indonesia baru diketahui ditanam di Jawa (Ciwidey, Sindanglaya, Cibodas dan dataran tinggi Dieng) (Djarwaningsih 1986).

5. Capsicum sinense J.

Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 45-90 cm; bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau merunduk; mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang; buah muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas; mempunyai bentuk buah yang bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng dengan sisi-sisi yang beralur sampai bulat memanjang; kulit berkeriput atau kadang-kadang licin; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, merah jambu, jingga, kuning atau cokelat; biji berwarna kuning pucat.

Jenis ini tesebar hampir meluas di Amerika Selatan bagian utara dan India Barat serta dibudidayakan sangat umum di daerah Amazone. Buahnya bervariasi dalam ukuruan dan warna serta mempunyai rasa yang sangat pedas. Karena pedasnya, maka orang-orang Caribea menggunakannya untuk menyiksa tahanan. Sedangkan di India Barat digunakan untuk membuat suatu

upacara “pepper pot” yang artinya penambahan berulang-ulang dari makanan

yang mengandung cabai tersebut ke dalam suatu periuk, sehingga dalam periuk tersebut tidak pernah kosong (Purseglove et al. 1979). Sejauh ini nenek

moyang liarnya belum ditemukan, tetapi diduga berasal dari tipe liar C. frustescens. Hal ini dimungkinkan karena C. sinense berkerabat dekat

(24)

Pemuliaan Mutasi

Definisi mutasi secara umum adalah sebagai perubahan bentuk materi genetik, dan merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik. Mutasi penting peranannya dalam proses evolusi dan juga dapat menciptakan keragaman materi genetik sebagai „bahan baku‟ pekerjaan dalam pemuliaan tanaman.

Poespodarsono (1988) menyatakan definisi mutasi adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas dan biji. Jusuf (2001) menyatakan mutasi adalah perubahan yang terjadi pada materi genetik sehingga menyebabkan perubahan ekspresi. Perubahan tersebut dapat terjadi pada tingkat pasangan basa, tingkat satu ruas DNA, bahkan pada tingkat kromosom. Pemuliaan mutasi menurut Manjaya dan Nandawar (2007), adalah suatu cara untuk memperoleh keragaman genetik dari karakter-karakter kuantitatif maupun kualitatif pada tanaman.

Mutasi buatan (induced mutation) dilakukan untuk meningkatkan frekuensi kejadian mutasi dengan menggunakan mutagen. Mutagen adalah wahana yang digunakan untuk menciptakan mutasi buatan. Menurut Poespodarsono (1988), mutagen dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu (1) mutagen kimia, seperti EMS (ethylene methane sulfonate), NMU (nitrosomethyl urea), NTG (nitrosoguanidine), dan sebagainya, (2) mutagen fisik iradiasi seperti sinar X, sinar α, sinar , sinar , dan sebagainya, serta (γ) mutagen fisik non-iradiasi, seperti sinar UV. Mutagen fisik non iradiasi ini berdaya tembus rendah, sehingga umumnya digunakan untuk mutasi mikroorganisme. Mutagen kimia bekerja dengan cara mengubah kemampuan berpasangan rantai DNA sehingga dapat merubah urutan genetik pada kromosom; sedangkan mutagen fisik menyebabkan mutasi karena sel yang teriradiasi dibebani tenaga kinetik yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia; akibatnya, susunan kromosompun berubah (Aisyah 2006).

Broertjes dan van Harten (1988) menyatakan bahwa sinar gamma lebih sering digunakan karena mempunyai daya tembus yang lebih tinggi sehingga peluang terjadinya mutasi akan lebih besar pula. Iradiasi dengan sinar gamma dapat menghasilkan dua macam efek yaitu aberasi kromosom dan hambatan mitosis (Whitson 1972). Sinar gamma diperoleh dari peluruhan zat radioaktif yang dipancarkan dari atom dengan kecepatan tinggi karena kelebihan energi. Panjang gelombang sinar gamma lebih pendek dari sinar X tetapi energinya lebih besar (Soeminto 1985). Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah ditemukannya sinar Alpha dan Beta oleh Rutherford dan Soddy (Van Harten 1988).

Radiosensitivitas

(25)

11 biologi, yaitu volume inti dan volume kromosom saat interfase, serta faktor genetik.

Tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi ini dapat diamati dari respon yang diberikan oleh tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun Lethal Dose 50 (LD50). LD50 adalah dosis yang menyebabkan kematian

50% dari populasi yang diiradiasi. Dari banyak penelitian mutasi induksi, telah diketahui bahwa umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD50

atau lebih tepatnya pada dosis sedikit dibawah LD50.

Induksi Mutasi Fisik dalam Pemuliaan Tanaman

Pemuliaan tanaman adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki sifat tanaman, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemuliaan tanaman bertujuan untuk menghasilkan varietas tanaman dengan sifat-sifat (morfologi, fisiologi, biokimia dan agronomi) yang sesuai dengan sistem budidaya yang ada dan tujuan ekonomi yang diinginkan. Pemuliaan tanaman secara konvensional dilakukan dengan hibridisasi, sedangkan pemuliaan secara mutasi dapat diinduksi dengan mutagen fisik atau mutagen kimia. Pada umumnya mutagen fisik dapat menyebabkan mutasi pada tahap kromosom, sedangkan mutagen kimia umumnya menyebabkan mutasi pada tahapan gen atau basa nitrogen (Aisyah 2006).

Mutasi memiliki arti penting bagi pemuliaan tanaman, yaitu (1) iradiasi memungkinkan untuk meningkatkan hanya satu karakter yang diinginkan saja, tanapa mengubah karakter yang lainnya. (2) tanaman yang secara umum diperbanyak secara vegetatif pada umumnya bersifat heterozigot yang dapat menimbulkan keragaman yang tinggi setelah dilakukannya iradiasi. (3) iradiasi merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman yang steril dan apomiksis. Mutasi juga dapat menghasilkan keragaman yang lebih cepat dibandingkan pemuliaan secara konvensional. Selain itu, mutasi juga dapat menghasilkan keragaman yang tidak dapat diprediksi dan diduga. Syukur (2000) menyatakan, pemuliaan dengan mutasi, selain mempunyai beberapa keunggulan juga memiliki beberapa kelemahan, dimana sifat yang diperoleh tidak dapat diprediksi dan ketidakstabilan sifat-sifat genetik yang muncul pada generasi berikutnya.

Aplikasi induksi mutasi dengan mutagen fisik dapat dilakukan melalui beberapa teknik, yaitu (1) iradiasi tunggal (acute irradiation), (2) chronic irradiation, (3) iradiasi terbagi (fractionated irradiation), dan (4) iradiasi berulang. Iradiasi tunggal adalah iradiasi yang dilakukan hanya dengan satu kali penembakan sekaligus. Chronic irradiation adalah iradiasi dengan penembakan dosis rendah, namun dilakukan secara terus-menerus selama beberapa bulan. Iradiasi terbagi adalah iradiasi dengan penembakan yang seharusnya dilakukan hanya satu kali, namun dilakukan dua kali penembakan dengan dosis setengahnya sedangkan iradiasi berulang adalah iradiasi dengan memberikan penembakan secara berulang dalam jarak dan waktu yang tidak terlalu lama.

(26)

radikal bebas yang terbentuk sehingga tanaman menjadi lebih sensitif (Herison et al. 2008). Untuk itu maka perlu dicari dosis optimum yang dapat efektif menghasilkan tanaman mutan yang pada umumnya terjadi pada atau sedikit dibawah nilai LD50.

Penyakit Antraknosa pada Cabai

Penyakit antraknosa pada cabai disebabkan oleh genus Colletotrichum, yang digolongkan menjadi enam spesies utama, yaitu Colletotrichum gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici dan C. cocodes (Kim et al. 1999). Dari keenam spesies tersebut C. gloeosporioides merupakan spesies yang paling luas serangannya pada tanaman Solanaceae terutama pada tanaman cabai, akan tetapi akhir-akhir ini spesies yang dominan menyerang cabai adalah spesies C. acutatum (Park 2005).

Penyakit antraknosa menimbulkan gejala busuk pada buah yang dicirikan oleh adanya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, yang selanjutnya meluas menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri dari sekelompok seta dan konidium jamur. Serangan yang berat dapat menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang seharusnya berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun 2000). Serangan yang terjadi pada biji akan menyebabkan kegagalan biji untuk berkecambah, pada kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah (damping off) serta pada tanaman dewasa dapat menimbulkan mati pucuk dan infeksi lebih lanjut dapat menyebabkan busuk kering pada batang (Suryaningsih et al. 1996).

Colletotrichum dapat bertahan baik pada biji, sebagai penyakit tular biji, pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi maupun pada inang yang lain, diantaranya tomat. Meskipun cendawan ini mempunyai inang yang sangat banyak, ia juga dapat bertahan di dalam tanah. Infeksi cendawan ini bersifat laten mampu bertahan dalam jaringan tanaman dalam bentuk aservulus. Aservulus dapat tumbuh dan bertahan di dalam biji dalam kurun waktu yang lama, kemudian miselium tumbuh di luar kulit biji. Miselium dan aservulus tersebut dapat tumbuh dan bertahan di dalam biji selama ± 9 bulan. Meskipun demikian, bibit yang bebas dari patogen tersebut di atas apabila ditanam pada lahan yang sudah terinfeksi, patogen masih dapat menimbulkan penyakit pada buah (Suryaningsih et al. 1996).

Cendawan Colletotrichum dapat berkembang dengan baik pada suhu dan kelembaban yang tinggi. Konidia dapat tersebar ketika acervuli basah dan biasanya tersebar oleh percikan air siraman atau air hujan, selain itu dapat juga terbawa oleh serangga, alat-alat pertanian atau terbawa oleh angin. Pada awalnya hifa tumbuh dengan cepat, tetapi hanya menimbulkan sedikit atau tidak sama sekali perubahan warna atau gejala lainnya. Saat buah mulai matang, cendawan menjadi sangat agresif dan gejala mulai muncul (Agrios 1997). Cendawan dapat tumbuh di dalam daging buah dan menginfeksi benih dari dalam. Permukaan biji juga dimungkinkan terkontaminasi oleh sporanya. Jika cendawan terbawa oleh biji akan menyebabkan infeksi daun dan batang pada saat persemaian (Doolittle 1953).

(27)

13 yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning, membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap. Dalam keadaan lembab, jamur membentuk badan buah (aservulus) dalam lingkaran-lingkaran sepusat, yang membentuk massa spora (konidium) berwarna merah jambu. Penyakit masih berkembang terus pada waktu buah cabai disimpan atau diangkat. Colletotrichum dapat menyerang daun dan batang tanpa menimbulkan kerugian berarti (Semangun 2000).

C. acutatum mempunyai miselium berwarna putih hingga abu-abu. Warna koloni jika dibalik adalah oranye hingga merah muda. Konidia berbentuk silindris dengan ujung runcing, berukuran 15.1 (12.8-16.9) x 4.8 (4.0-5.7) µm. Temperatur optimal adalah 28 oC dengan rata-rata pertumbuhan 10.3 mm hari-1 (AVRDC, 2003).

Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Antraknosa

Ketahanan terhadap penyakit antraknosa dapat dikelompokkan ke dalam ketahanan struktural dan ketahanan fungsional. Ketahanan struktural adalah ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan struktur tanaman itu sendiri sehingga patogen tidak menyukai atau tidak dapat menyerang tanaman tersebut. Ketahanan struktural ini disebut juga ketahanan pasif atau ketahanan prainfeksi karena tanaman tidak melakukan reaksi terhadap patogen. Selain itu, ketahanan fungsional atau ketahanan aktif adalah ketahanan yang disebabkan oleh adanya reaksi biokimia tanaman sehingga perkembangan patogen dapat terhambat. Ketahanan ini disebut juga ketahanan pascainfeksi. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi tanaman berbeda antara setiap sistem kombinasi inang patogen. Bahkan pada inang dan patogen yang sama, kombinasi tersebut dapat berbeda dengan umur tanaman, jenis organ dan jaringan tanaman yang diserang, keadaan hara tanaman dan kondisi cuaca (Agrios 1997).

Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen, tidak ada efek maternal dan gen

pengendali ketahanan adalah resesif (Syukur et al. 2007). Menurut penelitian Syukur et al. (2009) genotipe IPB C15 secara konsisten lebih tahan terhadap

(28)

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK CABAI

3

TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI

HIBRIDISASI

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pola pewarisan sifat karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa (Colletotrichum acutatum) pada cabai dengan menggunakan genotipe IPB C10, IPB C2, IPB C15, F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2 dan F2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter ketahanan penyakit dipengaruhi oleh efek maternal. Nilai heritabilitas arti luas dan arti sempit untuk karakter ketahanan penyakit tergolong sedang.

Kata kunci : efek maternal, heritabilitas, insidensi penyakit, model genetik

Abstract

The aim of this research was to investigate the inheritance patterns of disease resistance character to anthracnose disease (Colletotrichum acutatum) in chili pepper using genotype IPB C10, IPB C2, IPB C15,F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2 and F2. The results showed that the expression of resistance character was affected by the maternal effect. Broad-sense and narrow-sense heritability for disease resistance character were medium.

Keywords : genetic model, heritability, inheritance, maternal effect

Pendahuluan

Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Tanaman cabai dikembangkan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (2014), produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2013 adalah 8.16 ton ha-1. Angka tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi produktivitasnya. Syukur et al. (2010) menyatakan bahwa produktivitas cabai dapat mencapai 20 ton ha-1.

(29)

15 umumnya pemuliaan cabai dilakukan melalui hibridisasi yang diikuti dengan seleksi. Seleksi pada cabai akan memberikan kemajuan genetik yang tinggi jika karakter yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi.

Analisis pewarisan karakter ketahanan penyakit antraknosa pada cabai sangat penting dilakukan dalam program pemuliaan tanaman. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan informasi tentang jumlah gen yang mengendalikan karakter ketahanan penyakit antraknosa, aksi gen, keragaman genetik, heritabilitas, serta informasi-informasi genetik lainnya. Informasi genetik tersebut sangat berguna dalam tahapan seleksi, sehingga seleksi dapat lebih efektif dan efisien (Allard 1960). Falconer (1988) mengemukakan bahwa dalam mempelajari pewarisan karakter, pendugaan besarnya ragam aditif, ragam dominan, serta heritabilitas merupakan hal penting. Poehlman (1979) menyatakan bahwa pendugaan heritabilitas dimanfaatkan untuk melihat apakah pewarisan suatu karakter diperankan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana karakter tersebut dapat diturunkan pada generasi selanjutnya.

Syukur et al. (2007), mengemukakan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal. Beberapa penelitian lainnya tentang studi pewarisan beberapa karakter pada cabai telah dilakukan (Kirana et al. 2005; Hilmayanti et al. 2006; Sujiprihati et al. 2007; Syukur et al. 2010; Marwiyah 2010; Arif et al. 2012; Ritonga 2013; Rosidah 2013). Berdasarkan informasi tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang pola pewarisan karakter insidensi penyakit antraknosa pada perlakuan hibridisasi yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa serta nilai heritabilitas.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan sejak bulan Mei 2012 sampai dengan April 2014. Pembentukan populasi dilakukan di Darmaga Bogor. Penanaman untuk perlakuan hibridisasi cabai dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB Darmaga Bogor. Kegiatan pemurnian, perbanyakan dan pemeliharaan biakan cendawan serta skrining ketahanan cabai terhadap C. acutatum dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.

Bahan tanam yang digunakan adalah IPB C10 (penggaluran dari PBC 495

asal AVRDC) sebagai tetua tahan, IPB C2 (penggaluran dari PSPT C11 asal

Departemen AGH IPB) sebagai tetua rentan, dan IPB C15 (penggaluran dari

0209-4 asal AVRDC) sebagai tetua sangat tahan. Isolat yang digunakan adalah biakan murni C. acutatum PYK 04 koleksi Lab Dik Pemuliaan Tanaman AGH IPB dan populasi P1, P2, P3, F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2 dan F2 (Tabel 1). Skema

pembentukan populasi biparental, backcross dan three way cross dapat dilihat pada Gambar 2.

(30)

Gambar 2 Skema pembentukan populasai F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2

dan F2 dengan metode persilangan biparental, backcross dan metode

persilangan three-way cross

Prosedur Penelitian

Materi kegenetikaan yang dibentuk adalah set populasi atau generasi hasil persilangan antara tetua tahan (P1), tetua rentan (P2), dan tetua sangat tahan (P3)

mencakup turunan pertama (F1), turunan pertama resiprokal (F1R), silang balik ke

tetua tahan (BCP1), silang balik ke tetua rentan (BCP2), three-way cross tetua

tahan (TWC1) three-way cross tetua rentan (TWC2) dan turunan kedua (F2). Set

populasi tersebut ditanam sebanyak masing-masing 20 tanaman untuk set populasi P1, P2, P3, F1, dan F1R, masing-masing 50 tanaman untuk set populasi

BCP1, BCP2, TWC1, dan TWC2, serta 200 tanaman untuk set populasi F2.

Sebanyak 15 buah cabai yang sudah tumbuh maksimum tetapi masih berwarna hijau dari masing-masing tanaman diinokulasi dengan inokulum C. acutatum untuk mengetahui ada tidaknya efek maternal, nilai duga heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit.

Persiapan inokulum dan inkubasi mengikuti prosedur AVRDC (2003). Masing-masing isolat ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) selama 7 sampai 10 hari pada suhu 28 oC selama 16 jam di bawah lampu neon atau 8 jam gelap dalam ruang inkubasi. Setelah 7 hari, media PDA disiram aquades dan konidia diambil dari cawan. Kepadatan inokulum diatur mencapai

No Genotipe No Genotipe

1 IPB C2 6 BCP1 (C10xC2)xC10

2 IPB C10 7 BCP2(C10xC2)xC2

3 IPB C15 8 F2 (C10xC2)

4 F1 C10xC2 9 TWC1(C10xC2)x(C15xC2)

[image:30.595.31.485.58.474.2]
(31)

17 5.0 x 105 konidia ml-1 dengan metode pengenceran menggunakan hemacytometer. Biakan isolat yang siap digunakan disajikan pada Gambar 3. Penampilan konidia PYK 04 disajikan pada Gamabar 4.

Gambar 3 Tanda panah menunjukkan biakan C. acutatum isolat PYK 04 yang siap untuk digunakan

Gambar 4 Tanda lingkaran menunjukkan konidia C. acutatum isolat PYK 04 dengan pembesaran 100x

[image:31.595.120.419.141.312.2]
(32)

Gambar 5 Prosedur inokulasi antraknosa pada buah cabai yang sudah tumbuh maksimum tetapi masih berwarna hijau

Pengamatan

1. Insidensi penyakit

Reaksi penyakit diamati pada hari kelima setelah inokulasi. Pengamatan dilakukan dengan pemberian skoring ketahanan terhadap penyakit dan panjang nekrosis. Skor dan kriteria ketahanan terhadap penyakit antraknosa berdasarkan insidensi penyakit diduga menggunakan metode Yoon (2003) yang dimodifikasi. Insidensi penyakit (DI) dihitung dengan rumus :

DI =

Keterangan: DI = insidensi penyakit

n = jumlah buah inokulasi yang terserang, yaitu jika diameter serangan > 4 mm

N = jumlah buah inokulasi total

Skor dan kriteria ketahanan terhadap penyakit antraknosa berdasarkan

kejadian penyakit, yaitu: (1) sangat tahan (0 ≤ X < 10), (2) Tahan (10 < X < 20), (3) Moderat (20 < X < 40), (4) Rentan (40 < X ≤ 70) dan (5) sangat rentan (x > 70).

2. Karakter lain

Pengamatan beberapa karakter lain yang dilakukan berupa karakter kuantitatif. Karakter kuantitatif yang diamati: tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah dan diameter bercak.

1. Persiapan inokulasi

2. Inokulasi pada cabai 3. Penyimpanan dan inkubasi

[image:32.595.32.487.76.672.2]
(33)

19

Analisis Data

1. Pendugaan komponen ragam

Pendugaan komponen ragam dapat diperoleh melalui studi generasi dasar (P1, P2, F1, F2, BCP1 dan BCP2). Pendugaan heritabilitas diasumsi tidak ada

epistasis. σ2

p= σ2F2

σ2

E = (σ2p1+σ2p2+σ2F1)/3

σ2

g= σ2p - σ2E

2. Uji efek maternal menurut Strickberger (1976)

Ada tidaknya efek maternal yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa pada tanaman cabai dapat ditentukan berdasarkan uji beda nilai tengah (uji t) pada taraf 5% terhadap nilai tengah F1 dibandingkan dengan F1

resiprokalnya. Uji t menurut Steel dan Torrie (1981) adalah sebagai berikut: Uji t untuk varian yang sama (equal variance) menggunakan rumus polled varians:

T = ̅ ̅

Uji t untuk varian yang berbeda (unequal variance) menggunakan rumus Separated varians:

T = ̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅

Keterangan : XF1, XF1R = nilai tengah populasi F1 dan F1R

S2F1, S2F1R = ragam populasi F1 dan F1R

nF1, nF1R = jumlah individu dalam populasi F1 dan F1R

Jika kedua nilai tengah berbeda nyata, maka berarti ada efek maternal dalam pewarisan sifat yang dipelajari. Jika ragam populasi F1 dan F1R juga

homogen, maka populasi kedua famili tersebut dapat digabungkan dalam analisis selanjutnya. Kehomogenan ragam diuji dengan uji F (Steel dan Torrie 1981). Fhit = (S2besar / S2kecil) dibandingkan dengan nilai Ftabel (0.025, n-1). Bila

Fhit < Ftab maka ragam kedua populasi adalah homogen.

3. Derajat dominansi dihitung berdasarkan rumus Petr dan Frey (1966)

Sebelum menghitung derajat dominansi terlebih dahulu dilakukan uji t dengan membandingkan nilai tengah populasi F1 dan nilai tengah populasi

kedua tetua (MP).

Uji t untuk varian yang sama (equal variance) menggunakan rumus polled varians:

T = ̅ ̅

√ ( )

(34)

Uji t untuk varian yang berbeda (unequal variance) menggunakan rumus Separated varians:

T = ̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅̅

Keterangan : XF1, XMP = nilai tengah populasi F1 dan MP

S2F1, S2MP = ragam populasi F1 dan MP

nF1, nMP = jumlah individu dalam populasi F1 dan MP

Derajat dominansi dihitung untuk menduga aksi gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa pada cabai.

hp =

dimana : hp = Potensi rasio F1 = rata-rata nilai F1

HP = rata-rata nilai tetua tertinggi MP = nilai tengah kedua tetua.

Berdasarkan nilai potensi rasio, derajat dominansi diklasifikasikan sebagai : hp = 0 (tidak ada dominansi)

hp = 1 atau hp = -1 (dominan atau resesif penuh) 0 < hp < 1 (dominan parsial)

-1 < hp < 0 (resesif parsial)

hp > 1 atau hp < -1 (overdominan)

4. Pendugaan faktor efektif Mather dan Jinks (1982)

Menurut Mather dan Jinks (1982) untuk menduga banyaknya faktor efektif pengendali sifat kuantitatitf dapat ditempuh dengan rumus sebagai berikut :

k = ((P1-P2)2)/(4 H)

dengan H = ((VBCP1 + VBCP2)-(VF2-VE)) (Warner 1952)

dimana : k = jumlah faktor efektif P1 = rata-rata P1

P2 = rata-rata P2

VBCP1 = ragam populasi BCP1

VBCP2 = ragam populasi BCP2

VF2 = ragam populasi F2

VE = ragam lingkungan

5. Pendugaan komponen genetik

(35)

21 thit = [d]/SE[d]

dimana : [d] = komponen genetik SE[d] = galat baku

6. Heritabilitas arti luas (h2bs) dan arti sempit (h2ns)

- Heritabilitas arti luas (h2bs) dihitung berdasarkan rumus Allard (1960)

h2bs = –

dimana : h2bs = heritabilitas arti luas

VP1 = ragam populasi P1

Vp2 = ragam populasi P2

VF1 = ragam populasi F1

VF2 = ragam populasi F2

- Heritabilitas arti sempit metode Backross J. Warner (1952) h2(ns) =

dimana : h2ns = heritabilitas arti sempit

VBCP1 = ragam populasi BCP1

VBCP2 = ragam populasi BCP2

VF2 = ragam populasi F2

Klasifikasi nilai heritabilitas ditetapkan sebagai berikut : rendah (h2 < 0.2), medium (0.β ≤ h2≤ 0.5) dan tinggi (h2 > 0.5) (Stanfield 1988).

7. Koefiesien keragaman genetik (KKG) dan fenotifik (KKF) (Pinaria et al. 1995 mengutip dari Anderson dan Bancroft 1952) diduga dari persamaan :

 KKG = ( σ2g/x) X 100%

 KKF = ( σ2p/x) X 100%

Kriteria KKG dan KKF adalah sempit (0<x≤β5), agak sempit (β5<x≤50), agak luas (50<x≤75) dan luas (75<x≤100).

Hasil dan Pembahasan

1. Ketahanan penyakit

Antraknosa merupakan penyakit penting yang menyebabkan penurunann produksi yang serius pada cabai (Lee et al. 2010). Berdasarkan pengamatan insidensi penyakit, IPB C10 adalah tetua yang memiliki kriteria sangat rentan

sampai dengan sangat tahan dan cenderung mengarah kepada kriteria tahan terhadap penyakit antraknosa, IPB C2 adalah tetua yang memiliki kriteria sangat

rentan sampai dengan tahan dan cenderung mengarah kepada kriteria sangat rentan terhadap penyakit antraknosa, IPB C15 adalah tetua yang memiliki kriteria

(36)

sangat tahan terhadap penyakit antraknosa, populasi F1 dan F1R mengarah pada

moderat, populasi BCP1, BCP2, TWC1 dan F2 mengarah pada rentan, sedangkan

populasi TWC2 cenderung mengarah kepada sangat tahan (Tabel 2). Genotipe

IPB C10 dalam penelitian ini cenderung tergolong tahan terhadap penyakit

antraknosa, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Hakim (2014) yang menyatakan genotipe IPB C10 tergolong kedalam kelompok ketahanan moderat

terhadap penyakit antraknosa. Menurut Triharso (2004), timbulnya penyakit pada tanaman sangat tergantung pada faktor pendukung seperti lingkungan yang sesuai, inang yang rentan, dan patogen yang virulen.

Tabel 2 Jumlah tanaman cabai dengan berbagai tingkat ketahanan pada setiap populasi berdasarkan insidensi penyakit antraknosa

Genotipe

Jumlah tanaman dengan berbagai tingkat ketahanan Jumlah total tanaman Sangat tahan Tahan Moderat Rentan Sangat rentan

IPB C10 4 5 3 2 1 15

IPB C2 0 1 0 2 8 11

IPB C15 6 2 1 2 0 11

F1 1 5 6 4 3 19

F1R 6 3 9 2 0 20

BCP1 2 4 7 14 9 36

BCP2 6 2 8 14 12 42

TWC1 7 8 11 14 4 44

TWC2 12 9 10 11 1 43

F2 37 23 35 54 26 175

2. Pendugaan komponen ragam

Data populasi F2 masing-masing karakter diuji dengan uji normalitas

sehingga diketahui apakah karakter tersebut menyebar normal atau tidak. Bentuk kurva kenormalan dan sifat sebaran populasi F2 mencerminkan jumlah gen yang

mengendalikan karakter tersebut. Apabila karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) maka akan memperlihatkan perilaku sebaran populasi F2

yang kontinyu dan menyebar normal. Akan tetapi apabila suatu karakter dikendalikan oleh gen mayor maka sebaran populasi F2 akan membentuk kurva

yang diskontinyu dan sebaran data tidak normal. Sebaran data yang kontinyu tetapi tidak menyebar normal mengindikasikan adanya pengaruh gen-gen minor dan satu atau dua gen mayor.

Sebaran data populasi F2 untuk karakter tinggi tanaman, umur panen,

[image:36.595.87.486.256.462.2]
(37)

23 umur panen pada cabai diwariskan oleh banyak gen. Marwiyah (2010) juga menyatakan karakter tinggi tanaman diwariskan oleh banyak gen.

Gambar 6 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter agronomi pada tanaman cabai. (a) tinggi tanaman, (b) umur panen, (c) panjang buah dan (4) insidensi penyakit

(a)

(d) (d)

(c) (c)

(b) (b)

[image:37.595.108.485.122.694.2]
(38)
[image:38.595.63.480.72.656.2]

Gambar 7 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter agronomi pada tanaman cabai (a) umur berbunga, (b) bobot buah per tanaman, (c) jumlah buah per tanaman, dan (d) diameter buah

Karakter umur berbunga, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, diameter buah, bobot per buah, dan karakter diameter bercak memperlihatkan sebaran yang kontinyu tetapi tidak menyebar normal. Hal ini terlihat dari nilai p-value < 0.05 (Gambar 7 dan Gambar 8). Sebaran data yang kontinyu tetapi tidak menyebar normal mengindikasikan adanya pengaruh

gen-(a)

(d) (d)

(c) (c)

(b) (b)

(39)

25 gen minor dan satu atau dua gen mayor. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arif (2010) yang menunjukkan bahwa karakter umur berbunga dan bobot buah per tanaman pada cabai diwariskan oleh gen-gen minor dengan satu atau dua gen mayor.

Gambar 8 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter agronomi

pada tanaman cabai (a) bobot per buah dan (b) diameter bercak

3. Uji efek maternal menurut Strickberger (1976)

Pengujian efek maternal atau pengaruh tetua betina dilakukan dengan membandingkan nilai rataan populasi F1 dan F1R pada setiap karakter yang

diamati pada percobaan hibridisasi. Uji nilai tengah (uji t) pada taraf 5% memberikan hasil yang tidak berbeda nyata antara F1 dan F1R, yang terlihat dari

nilai thit < ttab = 2.045.

Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata insidensi penyakit F1 dan F1R memberikan hasil yang berbeda nyata (Tabel 3). Hal ini menunjukkan

bahwa pewarisan ketahanan cabai terhadap C. acutatum mendapat pengaruh maternal, sehingga pengendalian karakter ini diduga dipengaruhi oleh gen-gen di luar inti atau sitoplasmik. Stanfield (1991) meyatakan bahwa apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina maka keturunan dari persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda, dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Oleh karena itu, karakter ketahanan penyakit akan dipengaruhi oleh pemilihan tetua betina. Keberadaan pengaruh tetua betina dapat menyebabkan karakter yang dianalisis tidak dapat dipetakan pada kromosom dan kelompok keterpautan tertentu (Yunianti dan Sujiprihati 2006). Karakter lain yang mendapat pengaruh tetua betina adalah karakter bobot per buah (Tabel 3). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Syukur

(a)

(b) (b)

[image:39.595.112.504.158.444.2]
(40)

(2007) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh maternal berdasarkan skor insidensi penyakit pada cabai.

Tabel 3 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan F1R

tanaman cabai

Karakter Agronomi F1 F1R thit Pr > |t|

Tinggi tanaman (cm) 62.58 ± 11.52 69.55 ± 10.46 -1.98 0.0559tn Umur berbunga (HST) 22.11 ± 3.07 23.95 ± 2.80 -1.96 0.0581tn Umur panen (HST) 60.26 ± 2.21 59.95 ± 2.56 0.41 0.6847tn Bobot buah per tanaman (g) 22.64 ± 11.36 18.73 ± 10.18 1.13 0.2649tn Jumlah buah per tanaman (buah) 11.54 ± 3.84 12.25 ± 5.08 -0.5 0.6228tn Panjang buah (mm) 62.41 ± 14.86 55.97 ± 18.97 1.21 0.2350tn Diameter buah (mm) 10.59 ± 1.90 10.53 ± 2.22 0.09 0.9272tn Bobot per buah (g) 2.38 ± 0.60 1.98 ± 0.54 2.18 0.0360* Diameter bercak (mm) 13.59 ± 10.94 9.64 ± 6.40 1.38 0.1746tn Insidensi penyakit (%) 38.60 ± 25.68 23.67 ± 18.29 2.08 0.0454* Keterangan : tn = tidak berpengaruh nyata pada uji t (α = 0.05), F1R = populasi F1

resiprokal, * = berpengaruh nyata pada uji t (α = 0.05)

Karakter yang tidak mendapat pengaruh tetua betina seperti karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, dan diameter bercak dapat dianalisis dengan menggabungkan populasi F1 dan F1R atau menggunakan

populasi F1 saja. Apabila suatu karakter memiliki pengaruh tetua betina maka

populasi F1 dan F1R tidak dapat digabungkan karena merupakan dua populasi

yang berbeda. Tidak adanya pengaruh tetua betina merupakan indikasi karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti (Roy 2000). Analisis seluruh karakter kuantitatif dalam penelitian ini hanya menggunakan populasi F1.

4. Derajat dominansi dihitung berdasarkan rumus Petr dan Frey (1966)

Keragaan F1 yang dibandingkan dengan kedua tetuanya dilihat dari nilai

heterosis (rataan kedua tetua). Efek heterosis disebabkan oleh aksi gen dominan (Riti 2013). Perbaikan kualitas tanaman dapat dilihat berdasarkan nilai heterosis negatif atau positif. Ketentuan negatif atau positif didasarkan pada tujuan pemuliaan tanaman.

Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata-rata F1 dan nilai tengah

(41)

27 Tabel 4 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan

nilai tengah populasi kedua tetua (MP) tanaman cabai

Karakter Agronomi F1 MP thit Pr > |t|

Tinggi tanaman (cm) 62.58 ± 11.52 61.61 ± 7.33 0.31 0.7581tn Umur berbunga (HST) 22.11 ± 3.07 18.45 ± 4.07 3.13 0.0037* Umur panen (HST) 60.26 ± 2.21 58.97 ± 2.69 1.62 0.1153tn Bobot buah per tanaman (g) 22.64 ± 11.36 21.54 ± 14.99 0.26 0.7997tn Jumlah buah per tanaman (buah) 11.54 ± 3.84 10.63 ± 2.85 0.83 0.4122tn Panjang buah (mm) 62.41 ± 14.86 67.75 ± 36.74 -0.59 0.5606tn Diameter buah (mm) 10.59 ± 1.90 10.82 ± 3.60 -0.25 0.8051tn Bobot per buah (g) 2.38 ± 0.60 3.45 ± 2.72 -1.67 0.1036tn Diameter bercak (mm) 13.59 ± 10.94 10.35 ± 7.16 1.18 0.2456tn Insidensi penyakit (%) 38.60 ± 25.68 45.97 ± 29.26 -0.82 0.4149tn Keterangan : MP = nilai tengah kedua tetua, tn = tidak berpengaruh nyata pada uji t

(α = 0.05), * = berpengaruh nyata pada uji t (α = 0.05)

Rerata populasi F1 hasil umur berbunga adalah kisaran 22.11 HST dengan

standar deviasi ± 3.07, lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kedua tetuanya 18.45 cm dengan standar deviasi ± 4.07. Hasil uji t umur berbunga bernilai positif, menunjukkan umur berbunga bertambah sebanyak 3.13 HST dari rerata umur berbunga kedua tetua. Nilai tengah populasi F1 untuk karakter umur berbunga

dapat dilihat pada Gambar 9 dimana nilai tengah populasi F1 berada diantara nilai

tengah kedua tetua (MP) dengan nilai tengah tetua tertinggi (HP). Berdasarkan posisi relatif F1 terhadap tetua diduga aksi gen yang berperan adalah dominan

parsial.

Gambar 9 Posisi relatif populasi F1 terhadap tetua dengan aksi gen dominan

parsial pada karakter umur berbunga pada cabai. MP = nilai tengah antara kedua tetua.

Derajat dominansi suatu karakter diduga berdasarkan nilai potensi ratio (hp) menurut persamaan Petr dan Frey (1966). Derajat dominansi menggambarkan bagaimana karakter tersebut mewarisi pada generasi pertama (F1). Aksi gen yang beperan dalam pengendalian karakter yang diamati adalah

overdominan, dominan parsial dan resesif parsial. Nilai potensi ratio (hp) untuk karakter umur berbunga berkisar antara 0 – 1 atau aksi gen bersifat dominan parsial.

5. Pendugaan faktor efektif Mather dan Jinks (1982)

Jumlah gen yang mengendalikan masing-maasing karakter kuantitatif diduga dengan menghitung jumlah faktor efektif atau gen-gen efektif (Mather dan

12.73 18.45 22.11 22.40

IPB C2 MP F1 IPB C10

[image:41.595.120.514.120.273.2]

Gambar

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian
Gambar 2 Skema pembentukan populasai F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2
Gambar 3 Tanda panah menunjukkan biakan C. acutatum isolat PYK 04 yang
Gambar 5 Prosedur inokulasi antraknosa pada buah cabai yang sudah tumbuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Heritabilitas arti sempit tergolong tinggi untuk karakter diameter batang, tinggi dikotomus, dan umur berbunga; sedang untuk karakter kejadian penyakit, tinggi tanaman,

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Induksi Keragaman Genetik melalui Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas Jeruk Siam

Penampilan tanaman Ml di lapangan menunjukkan perubahan tinggi tanaman, セAゥYュ・エ・イ@ batang, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman dibandingkan kontrol,

Untuk pengujian keragaman genetik yang terjadi akibat pemberian mutagen sinar gamma, dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi yang dapat dilihat dari perubahan bentuk

Bedasarkan nilai keragaman yang ada pemilihan famili dilakukan dengan ketentuan memiliki nilai keragaman genetik yang rendah hingga agak rendah pada seluruh karakter, khususnya

Hasil penelitian menunjukkan perlakuan penyinaran iradiasi sinar gamma mengubah keragaman morfologi bunga matahari pada karakter tinggi tanaman, diameter

Nilai duga kemajuan genetik karakter ketahanan tanaman cabai merah terhadap penyakit Antraknos dilapangan termasuk kriteria agak rendah karena luasnya nilai variabilitas

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa semua karakter menunjukkan nilai koefisien keragaman genetik KKG dan