• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi keragaman genetik melalui iradiasi sinar gamma pada kalus embriogenik hasil kultur protoplas jeruk siam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induksi keragaman genetik melalui iradiasi sinar gamma pada kalus embriogenik hasil kultur protoplas jeruk siam"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK MELALUI

IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS EMBRIOGENIK

HASIL KULTUR PROTOPLAS JERUK SIAM

AIDA WULANSARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Induksi Keragaman Genetik melalui Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas Jeruk Siam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2013

Aida Wulansari

(3)

ABSTRACT

AIDA WULANSARI. Induction of Genetic Variability through Gamma Rays Irradiation on Embryogenic Callus Derived Protoplast of Tangerine cv. Siam. Under direction of AGUS PURWITO, ALI HUSNI and ENNY SUDARMONOWATI

Tangerine cv. Siam has sweet flavor, easily peeled skin, soft and juicy flesh. However, it has relatively many seeds (15-20 seeds per fruit), so it can not be competed with citrus from other countries. Fruit quality improvement of citrus has been the subject of citrus breeding program. The first step of breeding program is to increase variability, in order to efficient the selection process. Callus derived protoplast which sub cultured several years has a level of variability. The objective of this research was to increase variation of Tangerine cv. Siam through gamma irradiation on callus derived protoplast. Callus was exposed to gamma irradiation at 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 and 100 Gray. Observation on the growth of callus four weeks after irradiation showed variation on morphology and weight of callus. At low doses (10-50 Gray) callus growth were not inhibited, but at high doses (60-100 Gray) callus growth were inhibited. The result of radio sensitivity dose analyzed by Curve Expert 1.4 software was 53.25 Gray. Callus regeneration ability (somatic embryo maturation and germination) were very diverse between irradiated and non-irradiated callus. Gamma irradiation affects the formation of somatic embryos. After four weeks on MW (Morel-Wetmore) medium containing 0.5 mg/l ABA, 50 Gray callus produced more somatic embryos than other doses. After four weeks on MW medium containing 0.5 mg/l GA3, only 75.9% somatic embryos from 50 Gray callus could germinate, less than other doses. All somatic embryos from non-irradiated callus could germinate. The germination of somatic embryos produced 72 regenerated plantlets. Dendogram based on morphological observations of 0 Gray regenerated plantlets showed 40% variability, while of 50 Gray were 47% and that of 60 Gray were 46%. Ten regenerated plantlets were chosen based on its variability and growth (P-2, P-8, 50-4, 50-6, 50-15, 50-24, 60-8, 60-10, 60-11 and 60-23). Dendogram based on morphological observation between 10 regenerated plantlets showed 30% variation. Molecular analysis of the 10 regenerated plantlets using three ISSR primers (ISSR-1, ISSR-2 and ISSR-4) produced 17 bands with nine polymorphic bands (52.94%). Dendogram based on molecular analysis between 10 regenerated plantlets and wild type shoots showed 22% genetic variation. In vitro and ex vitro

grafting between regenerated plantlets and JC rootstock could accelerate optimal growth of plantlets. Application of ex vitro grafting was more efficient than in vitro grafting. Ex vitro grafting did not need acclimatization stage, where as in vitro grafting still need acclimatization stage before transfer to soil.

(4)

RINGKASAN

AIDA WULANSARI. Induksi Keragaman Genetik melalui Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas Jeruk Siam. Dibimbing oleh AGUS PURWITO, ALI HUSNI dan ENNY SUDARMONOWATI.

Jeruk termasuk dalam 10 komoditas utama hortikultura yang telah ditetapkan Departemen Pertanian sejak tahun 2000. Salah satu jenis jeruk di Indonesia yang sangat digemari konsumen adalah jeruk siam. Jeruk siam mendominasi 75% dari total perkebunan jeruk di Indonesia. Jeruk siam memiliki rasa yang manis, harum, daging buahnya lunak, mengandung banyak air dan kulitnya tipis sehingga mudah dikupas. Jeruk ini masih mempunyai biji yang relatif banyak (15-20 biji per buah) dan warna kulit yang kurang menarik, sehingga kalah bersaing dengan jeruk produksi negara lain. Peningkatan kualitas buah dapat dilakukan dengan program pemuliaan tanaman. Langkah awal dari pemuliaan tanaman adalah tersedianya keragaman genetik agar proses seleksi dapat dilakukan. Jeruk termasuk tanaman tahunan sehingga peningkatan keragaman genetiknya terkendala oleh periode juvenil yang panjang. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mempercepat peningkatan keragaman genetik adalah melalui induksi keragaman genetik secara in vitro atau variasi somaklonal. Kalus yang berasal dari kultur protoplas memiliki tingkat keragaman genetik yang tinggi. Kalus yang digunakan dalam penelitian ini telah berumur 4-5 tahun sejak inisiasi. Penggunaan kalus ini diharapkan dapat meningkatkan keragaman genetik, karena selain kultur protoplas memiliki potensi untuk beragam, penggunaan kalus yang telah berumur lama dalam kultur in vitro memberikan peluang untuk terjadinya variasi somaklonal. Variasi somaklonal dapat lebih ditingkatkan frekuensinya dengan penggunaan mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma.

(5)

analisis molekuler terhadap 10 planlet tersebut dengan tiga primer ISSR (ISSR-1, ISSR-2 dan ISSR-4) menghasilkan 17 pita dan 9 pita bersifat polimorfik (52.94%). Dendogram berdasarkan data molekuler menunjukkan tingkat keragaman genetik sebesar 22%. Berdasarkan perbandingan profil pita antara 10 planlet dengan tunas wild type (asal biji), maka penanda ISSR dapat memberikan gambaran keragaman genetik dari kesepuluh planlet dan berpotensi menjadi mutan putatif.

Penyambungan secara in vitro dan secara ex vitro menunjukkan bahwa planlet masih memiliki kemampuan untuk tumbuh setelah penyambungan. Penggunaan teknik penyambungan secara ex vitro lebih efisien dibandingkan penyambungan secara in vitro, karena tidak perlu melakukan tahap aklimatisasi sebelum dipindahkan ke lapang.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK MELALUI

IRADIASI SINAR GAMMA PADA KALUS EMBRIOGENIK

HASIL KULTUR PROTOPLAS JERUK SIAM

AIDA WULANSARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Induksi Keragaman Genetik melalui Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas Jeruk Siam

Nama : Aida Wulansari NRP : A 253100021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr Ketua

Dr. Drs. Ali Husni, M.Si Prof (R). Dr. Ir. Enny Sudarmonowati

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tesis ini mengangkat topik tentang Induksi Keragaman Genetik melalui Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas Jeruk Siam. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2011 sampai September 2012.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis tujukan kepada :

1. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr, Dr. Drs. Ali Husni,MSi dan Prof. (R) Dr. Enny Sudarmonowati sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan menyediakan waktunya sejak dari perencanaan dan pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis.

2. Dr. Dewi Sukma, SP., MSi. sebagai penguji luar komisi, atas kritik, saran dan masukannya yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.

3. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc sebagai Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Sekolah Pascasarjana IPB dan Dr. Ir. Darda Efendi, MS selaku Sekretaris Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Sekolah Pascasarjana IPB.

4. Program Hibah Pasca LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini.

5. Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa melalui Program Beasiswa Pascasarjana KMNRT tahun 2010.

6. Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dan Kepala Bidang Biak Sel dan Jaringan yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di IPB.

7. Kepala Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) yang telah memberikan ijin penggunaan fasilitas pada Laboratorium Biologi Molekuler.

8. Teknisi Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman (Ibu Juariah) dan Laboratorium Mikroteknik Tumbuhan Dep. AGH IPB (Bp. Joko Mulyono) atas segala bantuannya selama penelitian.

9. Ibunda, Ayahanda, kakak – kakak tercinta serta suami dan ananda tercinta atas semua doa dan dukungannya selama menempuh studi.

10. Karyanti, SP atas kebersamaannya dalam menyelesaikan penelitian ini baik dalam suka maupun duka.

11. Rekan – rekan sejawat PBT angkatan 2010 atas kebersamaannya selama perkuliahan.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2013

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 15 Januari 1977 dari ayah Sunarto dan ibu Sri Mulyani. Penulis merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Biologi UGM, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2010, penulis mendapatkan Beasiswa dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi untuk melanjutkan program master pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Sekolah Pascasarjana IPB.

(12)

DAFTAR ISI

Pertumbuhan Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas ... 25

Respon Kalus Setelah Iradiasi Sinar Gamma ... 26

Regenerasi Kalus Hasil Iradiasi Sinar Gamma ... 30

Analisis Keragaman Berdasarkan Karakter Morfologi ... 35

Analisis Keragaman Berdasarkan Penanda Molekuler (ISSR) ... 46

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Susunan basa delapan primer ISSR ... 20

2 Pengamatan morfologi dan pertumbuhan kalus empat minggu setelah

subkultur (MSK) ... 26

3 Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap jumlah embrio somatik,

jumlah embrio berkecambah serta jumlah planlet ... 35

4 Persentase variasi morfologi daun pada planlet ... 37

5 Kisaran, nilai rata-rata, ragam dan standar deviasi dari karakter kuantitatif planlet yang dihasilkan ... 38

6 Ukuran dan kerapatan stomata planlet ... 39

7 Tingkat keragaman morfologi 72 planlet berdasarkan analisis gerombol .... 45

8 Jumlah pita hasil amplifikasi tiga primer ISSR ... 47

9 Pertumbuhan planlet hasil penyambungan secara in vitro dan ex vitro

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 4

2 Kalus hasil kultur protoplas umur 4-5 tahun sejak inisiasi ... 15

3 Alur penelitian ... 16

4 Kalus awal perlakuan ... 17

5 Batang atas dan batang bawah yang digunakan untuk penyambungan in vitro dan ex vitro ... 23

6 Morfologi kalus empat minggu di media MW tanpa zat pengatur tumbuh ... 25

7 Warna kalus empat minggu setelah iradiasi sinar gamma ... 27

8 Persentase perubahan warna kalus empat minggu setelah iradiasi sinar gamma ... 24

9 Pertambahan berat kalus empat minggu setelah iradiasi sinar gamma ... 28

10 Penentuan dosis radiosensitivitas dengan kurva Gaussian Model berdasarkan persentase pertumbuhan kalu setelah perlakuan iradiasi sinar gamma ... 30

11 Persentase kalus membentuk embrio somatik empat minggu pada media MW yang ditambah 0.5 mgL-1 ABA ... 31

12 Morfologi kalus serta tahapan pendewasaan embrio somatik empat minggu pada media MW yang ditambah 0.5 mgL-1 ABA ... 32

13 Persentase embrio somatik yang berkecambah empat minggu setelah ditanam di media MW yang ditambah 0.5 mgL-1 GA3 ... 33

14 Morfologi embrio somatik yang sudah berkecambah serta morfologi kecambah yang terbentuk ... 34

15 Morfologi daun pada planlet ... 36

16 Tipe dan struktur stomata pada daun planlet jeruk siam ... 39

17 Dendogram 16 planlet dari kalus tanpa iradiasi sinar gamma hasil analisis gerombol dengan metode UPGMA ... 40

18 Dendogram 26 planlet dari kalus yang diiradiasi pada dosis 50 Gray hasil analisis gerombol dengan metode UPGMA ... 42

19 Dendogram 30 planlet asal kalus yang diiradiasi pada dosis 60 Gray hasil analisis gerombol dengan metode UPGMA ... 43

(15)

21 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode UPGMA terhadap

10 planlet hasil seleksi berdasarkan penanda morfologi ... 45

22 Pola pita 10 planlet hasil seleksi berdasarkan tiga primer ISSR ... 46

23 Dendogram hasil analisis gerombol dengan metode UPGMA terhadap 10 planlet yang dipilih dengan tunas wild type (K) berdasarkan penanda

ISSR ... 48

24 Penyambungan planlet dengan batang bawah JC ... 49

25 Pengamatan anatomi pada daerah pertautan umur satu bulan setelah

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi media MW ... 75

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jeruk termasuk dalam 10 komoditas utama hortikultura yang telah

ditetapkan Kementerian Pertanian sejak tahun 2000. Produksi jeruk nasional

sekitar 2071.08 juta ton dengan luas areal 73306 Ha pada tahun 2010 (Kementan

2012). Indonesia memiliki tiga jenis jeruk lokal yang komersial, yaitu jeruk siam,

jeruk keprok dan jeruk besar atau pamelo. Ketiga jenis jeruk tersebut memiliki

potensi tinggi karena kemampuan adaptasinya yang baik terhadap beberapa

kondisi iklim di Indonesia. Perkebunan jeruk siam mendominasi 75% dari total

perkebunan jeruk nasional (Ashari & Hanif 2012).

Jeruk siam umumnya dikenal sesuai dengan nama daerah penanamannya,

seperti jeruk siam Pontianak, jeruk siam Banjar, jeruk siam Palembang, jeruk siam

Medan dan lain-lain. Munculnya berbagai jenis tersebut terkait dengan luasnya

penyebaran jeruk siam. Para pekebun di Indonesia lebih memilih varietas ini

karena ukuran buahnya ideal, rasanya manis dan mampu beradaptasi di berbagai

daerah di Indonesia.

Menurut Ladaniya (2008), kriteria jeruk yang digemari konsumen sebagai

konsumsi buah segar selain dari rasanya yang manis juga buahnya memiliki biji

yang sedikit atau tanpa biji (seedless), mudah dikupas dan memiliki warna yang

menarik. Jeruk siam memiliki keunggulan dari rasanya yang manis dan kulitnya

yang tipis, namun masih memiliki biji yang relatif banyak (15 – 20 biji per buah)

serta warna kulit yang kurang menarik, sehingga kalah bersaing dengan jeruk

produksi negara lain.

Peningkatan kualitas jeruk yang sesuai dengan keinginan pasar dapat

dilakukan dengan pemuliaan. Bahan dasar terpenting dalam program pemuliaan

adalah tersedianya keragaman genetik. Keragaman genetik yang luas dapat

mengarah pada program pemuliaan yang efisien. Keragaman genetik dapat

ditingkatkan dengan berbagai cara, yaitu introduksi, eksplorasi, hibridisasi atau

persilangan, mutasi dan transformasi genetik.

Jeruk termasuk tanaman tahunan sehingga peningkatan keragaman

(18)

2

yang dapat dilakukan untuk mempercepat peningkatan keragaman genetik adalah

melalui induksi keragaman genetik secara in vitro atau variasi somaklonal.

Keragaman genetik pada teknik in vitro lebih sering terjadi pada kultur

protoplas dibandingkan teknik in vitro yang lainnya, karena adanya peluang fusi

sel secara spontan (Veilleuex et al. 2005). Menurut Predieri (2001), keragaman

genetik melalui variasi somaklonal dapat lebih ditingkatkan frekuensinya bila

dikombinasikan dengan induksi mutasi fisik seperti iradiasi sinar gamma. Iradiasi

dengan sinar gamma banyak digunakan karena memiliki daya tembus yang kuat

sehingga frekuensi mutasinya tinggi dan aplikasinya lebih mudah dibandingkan

mutagen fisik lainnya (Somsri et al. 2009).

Iradiasi sinar gamma terhadap jeruk lokal di Indonesia telah dilakukan

terhadap bibit jeruk keprok Garut, keprok SoE dan jeruk besar (Sutarto et al.

2009). Iradiasi sinar gamma pada jeruk siam secara in vitro belum pernah

dilakukan, sehingga belum ada informasi tentang pengaruh iradiasi sinar gamma

terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus jeruk siam serta tingkat

sensitivitasnya. Perlakuan iradiasi sinar gamma terhadap kalus embriogenik

memberikan keuntungan karena peluang untuk mendapatkan mutan solid lebih

besar sehingga terhindar dari terbentuknya kimera. Mutan solid dapat diperoleh

dari kalus embriogenik karena terdiri atas proembrio yang merupakan sel tunggal.

Peningkatan keragaman genetik jeruk siam melalui variasi somaklonal

pada kalus embriogenik hasil kultur protoplas yang diiradiasi dengan sinar gamma

memberikan peluang keberhasilan yang tinggi, karena sistem regenerasi jeruk

siam melalui embriogenesis somatik telah berhasil dilakukan oleh Husni et al.

(2010), sehingga telah diketahui media terbaik dan konsentrasi zat pengatur

tumbuh yang optimal untuk regenerasi menjadi tanaman. Penyambungan secara

ex vitro (sambung pucuk) antara planlet hasil regenerasi kalus dengan batang

bawah JC (JapanscheCitroen) yang berasal dari biji juga telah berhasil dilakukan

pada planlet jeruk hasil fusi protoplas (Husni 2010) dan planlet jeruk keprok Batu

55 (Merigo 2011) sehingga dapat mempercepat proses adaptasi planlet saat

(19)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah meningkatkan keragaman genetik

tanaman jeruk siam Pontianak dengan menggunakan kalus hasil kultur protoplas

yang diiradiasi sinar gamma.

Tujuan penelitian secara khusus adalah (1) mendapatkan informasi

tentang respon pertumbuhan dan regenerasi kalus setelah perlakuan iradiasi sinar

gamma serta penentuan dosis radiosensitivitas kalus jeruk siam Pontianak hasil

kultur protoplas, (2) mengevaluasi keragaman planlet mutan putatif secara

morfologi dan secara molekuler.

Hipotesis

1. Iradiasi sinar gamma pada berbagai dosis berpengaruh terhadap pertumbuhan

dan kemampuan regenerasi kalus hasil kultur protoplas.

2. Karakterisasi secara morfologi dan molekuler dapat menunjukkan keragaman

planlet mutan putatif yang diperoleh.

Kerangka Pemikiran

Peningkatan kualitas buah jeruk siam Pontianak yang sesuai dengan

keinginan pasar dapat dilakukan dengan pemuliaan. Bahan dasar pemuliaan yang

terpenting adalah tersedianya keragaman genetik yang luas, sehingga program

pemuliaan menjadi lebih efisien. Keragaman genetik dapat diperluas dengan

berbagai cara, yaitu introduksi, eksplorasi, hibridisasi atau persilangan, mutasi dan

transformasi genetik.

Jeruk termasuk tanaman tahunan sehingga peningkatan keragaman genetik

terkendala oleh periode juvenil yang panjang. Salah satu strategi yang dapat

dilakukan untuk mempercepat peningkatan keragaman genetik adalah melalui

induksi keragaman genetik secara in vitro atau variasi somaklonal yang

dikombinasikan dengan iradiasi sinar gamma. Kombinasi antara teknik in vitro

dengan induksi mutasi sangat menguntungkan, karena teknik in vitro

memungkinkan penyediaan populasi yang besar tanpa memerlukan areal yang

luas sehingga biaya dapat ditekan. Tersedianya populasi yang besar pada

(20)

Peningkatan keragaman genetik jeruk siam Pontianak melalui variasi

somaklonal pada kalus embriogenik asal kultur protoplas yang dikombinasikan

dengan perlakuan iradiasi sinar gamma memiliki peluang keberhasilan yang tinggi

karena sistem regenerasi jeruk siam melalui embriogenesis somatik telah

diperoleh dari penelitian sebelumnya (Husni et al. 2010). Skema kerangka

pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian jeruk siam Pontianak dalam rangka peningkatan kualitas buah lokal.

Trend pasar buah jeruk konsumsi segar :

rasa manis, tidak berbiji, mudah dikupas, warna kulit buah menarik

Jeruk siam Pontianak : rasa manis, mudah dikupas, biji banyak, warna kulit buah tidak menarik

Peningkatan kualitas buah jeruk siam Pontianak

Program pemuliaan tanaman

Ketersediaan keragaman genetik

yang luas

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Karakteristik Jeruk Siam

Jeruk siam memiliki nama ilmiah Citrus nobilis var. microcarpa Lour. dan

termasuk dalam genus Citrus serta famili Rutaceae. Spesies dalam Rutaceae

secara umum memiliki empat karakteristik utama, yaitu : 1) memiliki kelenjar

minyak ; 2) ovarium/bakal buah terletak menumpang diatas dasar bunga ; 3)

terdapat titik-titik atau bercak berwarna terang pada daun ; dan 4) buah memiliki

plasenta aksil. Famili Rutaceae terbagi lagi menjadi enam sub-famili, salah

satunya adalah Aurantioideae, termasuk didalamnya Citrus (Davies & Albrigo

1994). Taksonomi jeruk sangat rumit, membingungkan dan kontroversial karena

heterogenitas genetik di dalam genusnya, adanya poliembrioni dan lamanya waktu

yang diperlukan untuk seleksi dan rekombinasi (Baig et al. 2009).

Buah jeruk siam memiliki ciri khas yaitu kulitnya tipis, mengkilap dan

melekat pada dagingnya. Ukuran buahnya ideal, tidak terlalu besar dan juga tidak

terlalu kecil. Kulit buahnya berwarna hijau kekuningan dan permukaannya halus.

Jeruk siam yang paling populer di masyarakat adalah jeruk siam Pontianak,

walaupun jeruk siam juga dihasilkan di daerah lainnya seperti Garut, Banjar,

Medan dan Palembang. Banyaknya nama jeruk siam yang muncul di berbagai

daerah berdasarkan tempat tumbuhnya menggambarkan luasnya penyebaran jeruk

ini. Perbedaan antar jeruk siam sendiri tidak jelas, kalaupun ada perbedaan

merupakan akibat dari proses adaptasi terhadap tempat tumbuhnya (Setiawan &

Trisnawati 1999).

Tanaman jeruk siam berbunga sepanjang tahun, tidak mengenal musim,

sehingga buahnya selalu tersedia setiap saat. Tiap kuntum bunga berkelamin

jantan dan betina. Penyerbukannya dibantu oleh serangga, atau dapat pula

merupakan penyerbukan sendiri yaitu putik dibuahi oleh serbuk sari dari bunga

yang sama dalam satu tanaman atau merupakan penyerbukan silang, yaitu putik

dibuahi oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda dalam satu tanaman atau dari

tanaman yang lainnya (Ortiz 2002).

Jeruk memiliki reproduksi biologi yang unik, yaitu adanya apomiksis atau

(22)

didefinisikan sebagai reproduksi aseksual melalui biji, dan embrio yang terbentuk

bukan hasil fertilisasi gamet. Istilah nucellar embryony atau embrio nuselar pada

biji jeruk merujuk kepada perkembangan embrio dari jaringan maternal yang

disebut nuselus yang terletak di sekeliling kantung embrio. Embrio nuselar terkait

pula dengan istilah poliembrioni (terbentuknya banyak embrio dalam satu biji),

sehingga saat biji jeruk berkecambah akan dihasilkan banyak kecambah (Kepiro

& Roose 2007).

Kultur Protoplas

Dinding sel pada tanaman dapat dihilangkan secara mekanik maupun

secara enzimatis. Proses ini menghasilkan sel telanjang yang disebut protoplas.

Protoplas tersebut dapat bertahan hidup pada media isotonik (Neumann et al.

2009). Isolasi protoplas melalui pemisahan secara mekanik dilakukan dengan cara

memotong jaringan tanaman sehingga protoplas akan keluar dengan sendirinya.

Teknik ini hanya menghasilkan protoplas dalam jumlah yang terbatas. Teknik

degradasi dinding sel secara enzimatis kemudian menggantikan teknik mekanik

karena dapat menghasilkan lebih banyak protoplas (Davey et al. 2010).

Secara enzimatis, jenis dan konsentrasi enzim yang digunakan sangat

mempengaruhi protoplas yang diperoleh. Dinding sel yang masih muda biasanya

terdiri dari pektin dan selulosa, sehingga enzim yang paling baik digunakan

adalah pectinase atau macerozyme dan cellulase. Enzim pectinase atau

macerozyme berfungsi untuk menghancurkan lamela tengah yang tersusun dari

senyawa pektin sehingga sel akan terpisah satu dengan yang lainnya. Proses ini

biasa disebut maserasi sel. Fungsi enzim cellulase adalah menghancurkan dan

melisiskan penebalan primer dari dinding sel yang tersusun atas selulosa (Riyadi

2006).

Protoplas dapat diisolasi dari berbagai tipe eksplan. Protoplas dalam

jumlah banyak hanya dapat diisolasi dari daun yang masih muda dan kalus atau

kultur sel yang sedang aktif pertumbuhannya. Daun yang berasal dari tunas in

vitro akan memberikan hasil isolasi dan kultur protoplas yang lebih konsisten

(23)

Isolasi protoplas pada kalus atau kultur sel lebih baik dilakukan pada fase

logaritmik (Liu 2005).

Keberhasilan penggunaan protoplas dalam program pengembangan dan

perbaikan tanaman membutuhkan metode yang efektif dan efisien untuk

regenerasi protoplas menjadi tanaman. Berbagai kajian telah dilakukan untuk

mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan genotipe untuk mengetahui

kemampuan regenerasi dari protoplas menjadi tanaman (Wisniewska & Sawka

2008). Regenerasi protoplas melalui jalur embriogenesis somatik menghasilkan

frekuensi pembentukan tanaman yang tinggi. Protokol regenerasi tersebut terdiri

dari tiga komponen penting, yaitu pembelahan protoplas dan efisiensi plating,

perkembangan embrio somatik menjadi planlet serta kemampuan bertahan hidup

setelah dipindahkan ke kondisi ex vitro (Wang et al. 2008).

Embriogenesis Somatik

Istilah embriogenesis somatik menggambarkan proses perkembangan sel

somatik yang menghasilkan suatu struktur bipolar yang secara morfologi sangat

mirip dengan embrio zigotik. Tahapan perkembangannya juga sama dengan

tahapan perkembangan pada embrio zigotik yaitu melalui tahap globular, jantung,

torpedo dan kotiledonari. Induksi embrio somatik juga melibatkan lintasan genetik

yang sama dengan embrio zigotik. Embrio somatik tersebut kemudian tumbuh

menjadi tanaman normal yang menghasilkan bunga dan biji (Neumann et al.

2009; Mujib et al. 2005). Embriogenesis somatik atau aseksual merupakan suatu

fenomena yang secara alami dapat terjadi. Pada genus Citrus selain terbentuk

embrio zigotik, terdapat embrio tambahan yaitu embrio nuselar yang merupakan

perkembangan sel-sel pada jaringan nuselus atau integumen bagian dalam

(Ammirato 1983).

Menurut George et al. (2008), regenerasi tanaman secara in vitro melalui

embriogenesis somatik terdiri atas lima tahap, yaitu : 1) inisiasi kultur

embriogenik, dengan cara mengkulturkan eksplan pada media dengan zat

pengatur tumbuh terutama auksin atau sering juga ditambah sitokinin ; 2)

proliferasi kultur embriogenik, pada media padat atau media cair dengan

(24)

pre-maturasi embrio somatik, pada media tanpa zat pengatur tumbuh atau dengan

konsentrasi zat pengatur tumbuh yang lebih rendah, keadaan ini akan

menghambat proliferasi dan merangsang pembentukan embrio somatik dan

perkembangan awal ; 4) pendewasaan atau maturasi embrio somatik, dilakukan

dengan menggunakan media yang ditambahkan ABA atau zat pengatur tumbuh

lain yang dapat menurunkan potensial osmotik ; dan 5) regenerasi tanaman, pada

media tanpa zat pengatur tumbuh.

Induksi embriogenesis somatik pada tanaman jeruk telah berhasil

dilakukan dengan menggunakan berbagai eksplan, seperti jaringan nuselus pada

Citrus sinensis cv. Valencia (Souza et al. 2011), Citrus suhuensis (Agisimanto et

al. 2012) dan embrio muda jeruk siam (Husni et al. 2010), potongan daun pada

Citrus aurantifolia dan Citrus sinensis (Mukhtar et al. 2005), anther pada Citrus

reticulata (Benneli et al. 2010) serta jaringan ovul yang belum dibuahi pada jeruk

manis (Cardoso et al. 2011). Regenerasi tanaman jeruk hasil kultur protoplas

maupun hasil fusi protoplas melalui embriogenesis somatik juga telah berhasil

dilakukan (An et al. 2008; Husni 2010; Grosser & Gmitter 2011).

Penguasaan terhadap sistem regenerasi secara in vitro melalui jalur

embriogenesis somatik sangat menguntungkan untuk studi rekayasa genetika.

Embrio somatik berasal dari satu sel, sehingga perubahan genetik yang terjadi

akibat mutasi maupun transformasi gen akan menghasilkan mutan yang utuh

tanpa terjadi kimera. Embrio somatik juga dapat dengan mudah dan cepat

dilipatgandakan jumlahnya sehingga ketersediaan materi untuk rekayasa genetika

menjadi tidak terbatas (Feher et al. 2003).

Induksi Keragaman Genetik

Langkah awal dari suatu kegiatan pemuliaan adalah memperoleh

keragaman genetik yang luas dari tanaman yang akan dimuliakan. Proses seleksi

akan menjadi lebih efisien apabila suatu populasi memiliki keragaman yang

tinggi. Kegiatan pemuliaan dimulai dengan pemilihan genotipe yang memiliki

karakter yang diinginkan dari berbagai keragaman yang sudah ada atau dengan

membuat keragaman baru dengan cara mutasi jika tidak tersedia plasma nutfahnya

(25)

Keragaman genetik dapat diperoleh akibat teknik kultur sel dan jaringan

tanaman, yang disebut keragaman atau keragaman somaklonal. Keragaman

somaklonal yang terjadi seringkali bersifat epigenetik, tidak stabil dan tidak

diwariskan. Keragaman tersebut juga dapat bersifat genetik, stabil dan diwariskan,

sehingga memiliki potensi yang besar dalam program perbaikan tanaman

(Orbovic et al. 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman

somaklonal adalah latar belakang genetik, sumber eksplan, komposisi media serta

umur kultur. Soedjono (2003) mengemukakan bahwa pada umumnya setiap siklus

regenerasi menghasilkan 1 – 3% keragaman somaklonal, meskipun tingkat

perbedaannya 0 – 100%.

Brar dan Jain (1998) menyatakan bahwa untuk memperoleh keragaman

somaklonal maka dapat dilakukan beberapa pendekatan : 1) induksi dan

pertumbuhan kalus atau suspensi sel pada beberapa siklus; 2) regenerasi tanaman

dari kultur yang telah lama; 3) seleksi pada tanaman regeneran untuk karakter

tertentu seperti toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik dengan menggunakan

patho-toksin, herbisida; 4) seleksi pada tanaman varian selama beberapa generasi;

dan 5) multiplikasi tanaman varian yang sudah stabil untuk menghasilkan galur

baru.

Menurut Jain (2001), regenerasi tanaman melalui organogenesis atau

embriogenesis mempunyai potensi untuk terjadinya ketidakstabilan genetik,

terutama bila regenerasi terjadi melalui tahap pembentukan kalus, suspensi sel

atau kultur protoplas. Keragaman somaklonal pada kultur protoplas berbagai

spesies tanaman, telah banyak ditemukan dan diamati. Keragaman somaklonal

yang telah diperoleh dari kultur protoplas antara lain perubahan morfologi daun

dan bunga, fertilitas, peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan keragaman

pada produksi metabolit sekunder (Veilleuex et al. 2005).

Induksi Mutasi

Penggunaan teknik kultur jaringan yang dikombinasikan dengan induksi

mutagenik ataupun tanpa induksi mutagenik telah banyak digunakan dengan

tujuan memperbaiki tanaman melalui peningkatan keragaman genetik dan

(26)

kultivar baru (Orbovic et al. 2008). Kombinasi antara teknik in vitro dengan

induksi mutasi sangat menguntungkan, karena teknik in vitro memungkinkan

penyediaan populasi yang besar tanpa memerlukan areal yang luas sehingga biaya

dapat ditekan. Tersedianya populasi yang besar untuk mutagenesis merupakan

prasyarat dasar untuk memperoleh varian (Ahloowalia & Maluszynski 2001).

Sumber keragaman untuk pemuliaan tanaman hampir sebagian besar

berasal dari mutasi. Adanya mutasi akan menciptakan keragaman baru, sedangkan

hibridisasi atau persilangan menghasilkan keragaman yang sudah ada dari

tetuanya. Mutasi didefinisikan sebagai perubahan materi genetik yang dapat

diwariskan. Perubahan pada sekuen DNA akan mengakibatkan perubahan kode

genetik. Keseluruhan proses yang menyebabkan timbulnya berbagai macam

mutasi disebut mutagenesis (van Harten 1998). Pemuliaan mutasi dapat digunakan

untuk memperbaiki karakter tertentu pada kultivar yang sudah unggul dengan

tetap mempertahankan ciri genetik dan karakter – karakter unggulnya (Sleper &

Poelhman 2006).

Mutasi dapat terjadi secara spontan atau alami maupun dengan induksi.

Secara alami semua makhluk hidup mengalami mutasi, hanya levelnya saja yang

berbeda. Mutasi spontan adalah mutasi yang terjadi tanpa diketahui penyebabnya,

terjadi secara acak dan tidak diketahui kapan terjadinya. Mutasi ini terjadi sebagai

hasil proses alami di dalam sel seperti kesalahan pada saat replikasi DNA.

Kesalahan replikasi DNA mencapai 1 per 102 gen yang bereplikasi. Namun

karena adanya mekanisme perbaikan, maka laju mutasi akibat kesalahan replikasi

DNA menjadi sekitar 1 per 108 sampai 109 lokus. Mutasi spontan terjadi pada laju

yang sangat rendah dan beragam pada setiap organisme (van Harten 1998).

Mutasi induksi adalah mutasi yang telah diketahui agen penyebabnya.

Laju mutasi induksi lebih tinggi dibandingkan mutasi spontan. Mutagen fisik dan

kimia diketahui dapat meningkatkan laju mutasi ratusan bahkan sampai ribuan

kali dibandingkan mutasi spontan. Laju mutasi yang optimal untuk kegiatan

pemuliaan adalah sekitar 1 per 104 lokus (Broertjes & van Harten 1988; van

Harten 1998).

Penelitian mutagenesis menggunakan mutagen fisik seperti sinar X, sinar

(27)

penggunaan mutagen fisik antara lain dosis dapat diukur secara akurat,

reprodusibel dan daya penetrasi yang seragam dan kuat pada sistem multiseluler

terutama bila digunakan sinar gamma (Jain 2005). Faktor kunci dalam iradiasi

bahan tanaman adalah dosis iradiasi, yaitu jumlah energi radiasi yang diserap oleh

bahan tanaman. Unit pengukuran dosis radiasi adalah Gray (Gy). Satu Gy sama

dengan penyerapan 1 J energi per kilogram bahan tanaman. Dosis radiasi dibagi

menjadi 3 kategori : tinggi (> 10 kGy), medium (1 sampai 10 kGy) dan rendah (<

1 kGy). Dosis tinggi digunakan untuk sterilisasi produk makanan, dan dosis

rendah untuk menginduksi mutasi pada biji. Bahan tanaman yang berasal dari

kultur in vitro biasanya digunakan dosis rendah, karena biasanya beratnya hanya

beberapa miligram untuk jaringan dan beberapa mikrogram untuk suspensi sel

(Ahloowalia & Maluszynski 2001).

Tingkat keberhasilan iradiasi dalam meningkatkan keragaman populasi

sangat ditentukan oleh radiosensitivitas tanaman (genotipe) yang diiradiasi karena

tingkat radiosensitivitas antargenotipe dan kondisi tanaman saat diiradiasi sangat

berkeragaman. Radiosensitivitas dapat diukur berdasarkan nilai LD50 (lethal dose

50), yaitu tingkat dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi tanaman

yang diiradiasi. Dosis optimal dalam induksi mutasi yang menimbulkan

keragaman dan menghasilkan mutan terbanyak biasanya terjadi di sekitar LD50.

Selain LD50, radiosensitivitas juga dapat diamati dari adanya hambatan

pertumbuhan atau Growth Reduction 50 (GR50), yaitu dosis yang menyebabkan

penurunan pertumbuhan 50% pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano 2004).

Analisis Keragaman Genetik

Keragaman genetik tanaman yang terjadi akibat induksi mutasi dapat

diamati secara langsung melalui morfologi tanaman, jaringan tanaman, biokimia

(protein atau isozim), analisis sitologi/histologi atau secara tidak langsung dengan

marka molekuler atau DNA (Brar 2002). Terdapat dua kategori marka atau

penanda yang umum digunakan peneliti, yaitu morfologi dan molekuler,

keduanya merupakan hasil dari adanya perbedaan genotipe atau perbedaan sekuen

(28)

Penanda morfologi dapat dengan mudah diidentifikasi, terkait dengan

karakter tertentu namun membutuhkan waktu yang lama dan sangat dipengaruhi

oleh lingkungan. Penanda molekuler bersifat diwariskan dan terkait dengan

karakter tertentu, dapat membedakan perubahan kecil pada tingkat asam nukleat,

cepat dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan (McCaskill & Giovannoni 2002).

Menurut Chawla (2002), suatu penanda harus bersifat polimorfik, artinya

penanda tersebut memiliki bentuk yang berbeda, sehingga dapat membedakan

kromosom yang membawa gen mutan dengan kromosom yang membawa gen

normal. Polimorfisme tersebut dapat dideteksi melalui 3 tingkatan, yaitu:

perbedaan fenotipik (morfologi), perbedaan protein yang dihasilkan (biokimia)

atau perbedaan sekuen atau urutan nukleotida pada rantai DNA (molekuler).

Pemilihan teknik molekuler yang tepat, disesuaikan dengan materi genetik

yang digunakan, jenis studi genetik dan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu,

ketersediaan alat yang dimiliki suatu laboratorium dan dana yang tersedia

merupakan hal utama yang harus dipertimbangkan sebelum memilih marka yang

sesuai. Tidak ada penanda yang paling unggul penggunaannya diantara penanda

yang ada, masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Penggunaan

kombinasi beberapa penanda membuat survei genom menjadi lebih lengkap

(Biswas et al. 2010).

Penanda molekuler Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) merupakan

penanda yang berkembang lebih akhir dibanding RAPD dan RFLP. ISSR

memiliki reproducibility yang tinggi. Hal ini mungkin karena primer yang

digunakan lebih panjang (16 – 25 mers) daripada RAPD yang reproducibility-nya

rendah. Penanda ISSR itu lebih cepat, lebih murah, memerlukan jumlah DNA

yang sedikit, mampu melakukan pendeteksian genetik polimorfisme tanpa perlu

lebih dahulu mengetahui susunan basa (sekuens) dari genomik tumbuhan.

Susunan basa yang berulang ditemukan secara luas dan menyebar di seluruh

genom serta memiliki polimorfisme yang tinggi (Rahayu & Handayani 2010).

ISSR (Inter Simple Sequence Repeat) merupakan penanda yang banyak

digunakan dan lebih konsisten untuk menganalisis keragaman genetik serta dapat

menunjukkan keterkaitan antara fragmen polimorfik yang teramplifikasi dengan

(29)

Penanda ISSR telah banyak digunakan pada tanaman jeruk antara lain

untuk mempelajari hubungan filogenetik pada plasma nutfah jeruk (Fang et al.

1998; Shahsavar et al. 2007; Kumar et al. 2010; Marak & Laskar 2010), untuk

mengidentifikasi bibit zigotik dan nuselar hasil persilangan interspesies (Golein et

al. 2011), untuk membedakan antara aksesi grapefruit dan jeruk besar (Uzun et al.

2010), untuk mengidentifikasi jeruk hasil fusi protoplas (Husni 2010) serta untuk

mengidentifikasi hubungan kekerabatan genetik jeruk Siam di Indonesia

(Agisimanto et al. 2007; Martasari et al. 2012).

Penyambungan (grafting) Tanaman

Penyambungan adalah penggabungan dua bagian tanaman yang berbeda

sehingga menjadi satu tanaman yang utuh dan mampu tumbuh setelah terjadi

regenerasi jaringan pada bekas luka sambungannya. Penyambungan umum

dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil tanaman khususnya

pada tanaman buah – buahan, tanaman perkebunan dan tanaman hias

(Mangoendidjojo 2003). Penyambungan pada tanaman jeruk sudah umum

dilakukan terutama untuk peningkatan kualitas buah jeruk serta hasil buah per

pohon (Syah et al. 2000; Putri et al. 2006), meningkatkan resistensi terhadap

hama dan penyakit tertentu serta respon terhadap berbagai cekaman lingkungan

tumbuhnya (Susanto et al. 2010).

Menurut Ollitrault (1990), penyambungan ex vitro pada tanaman jeruk

perlu dilakukan sebagai kelanjutan perbanyakan in vitro yang sering kali

membutuhkan waktu yang lama untuk tahap aklimatisasi serta adanya karakter

juvenil pada planlet hasil embriogenesis somatik yang menjadi salah satu

hambatan dalam perbanyakan bibit jeruk. Penyambungan secara ex vitro dapat

mempersingkat dan mengurangi tahapan in vitro seperti induksi perakaran,

hardening dan aklimatisasi karena planlet sebagai batang atas tidak perlu

memiliki akar.

Penyambungan selain dapat dilakukan di lapang atau ex vitro juga dapat

dilakukan secara in vitro dalam kondisi aseptik. Keunggulan penggunaan

sambung mikro (micrografting) adalah dapat mempersingkat waktu penyediaan

(30)

dan dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak serta rendahnya inkompatibilitas

karena tingkat kompatibilitas sambungan dapat diketahui secara dini (Mathius et

al. 2006).

Penelitian penyambungan ex vitro dan in vitro pada jeruk kalamondin

menunjukkan bahwa penyambungan secara ex vitro memiliki daya tumbuh lebih

baik daripada penyambungan in vitro (Devy etal. 2011). Penyambungan ex vitro

pada planlet jeruk hasil fusi protoplas (Husni 2010) serta planlet hasil

embriogenesis somatik jeruk keprok Batu 55 (Merigo 2011) juga telah berhasil

(31)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai September 2012.

Kultur in vitro dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Fakultas

Pertanian IPB. Iradiasi sinar gamma dilakukan di Pusat Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN), Pasar Jumat, Jakarta. Analisis molekuler dilaksanakan di

Laboratorium Biologi Molekuler Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya

Genetik Pertanian (BB-Biogen), Kementerian Pertanian, Bogor.

Bahan dan Alat

Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalus embriogenik

hasil kultur protoplas jeruk siam yang diperoleh dari penelitian sebelumnya oleh

Husni et al (2008). Kalus tersebut telah berumur 4 – 5 tahun sejak inisiasi dan

dilakukan subkultur setiap bulan untuk menjaga viabilitasnya (Gambar 2).

Gambar 2 Kalus hasil kultur protoplas yang berumur 4 – 5 tahun sejak inisiasi. (A) Morfologi kalus, (B) Struktur kalus secara mikroskopis pada perbesaran 10 kali.

Media dasar yang digunakan adalah media MW (Morel dan Wetmore)

(Husni et al. 2010), yang terdiri dari unsur makro MS (Murashige dan Skoog),

unsur mikro MS dan vitamin MW. Zat pengatur tumbuh yang digunakan yaitu

ABA (AbscisicAcid) dan GA3 (Gibberelic Acid). Selain itu, digunakan bahan dan

alat untuk teknik kultur jaringan, analisis stomata dan analisis ISSR.

(32)

54

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari lima tahap, yaitu : 1) Proliferasi kalus

embriogenik hasil kultur protoplas; 2) Induksi mutasi dengan iradiasi sinar

gamma; 3) Regenerasi kalus melalui jalur embriogenesis somatik; 4) Evaluasi

keragaman genetik dan 5) Penyambungan planlet dengan batang bawah. Bagan

alur penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Alur penelitian induksi keragaman genetik melalui iradiasi sinar gamma pada kalus embriogenik hasil kultur protoplas jeruk siam Pontianak.

Regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik :

(33)

17

1 Proliferasi Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas

Tujuan dari tahap ini adalah untuk perbanyakan kalus embriogenik hasil

kultur protoplas yang telah ada. Media dasar yang digunakan merupakan media

modifikasi MS yaitu media MW (Husni et al. 2010). Penanaman dilakukan pada

laminar air flow cabinet. Setiap botol berisi lima kumpulan kalus embriogenik

dengan diameter kalus + 0.5 cm atau berat + 0.5 g. Semua kultur disimpan di

ruang kultur dengan suhu 250C dan penyinaran selama 16 jam per hari.

Perbanyakan kalus dilakukan selama 8 minggu.

Pengamatan dilakukan setiap empat minggu terhadap pertumbuhan atau

proliferasi kalus, meliputi : 1) morfologi kalus (warna dan struktur kalus); 2)

bobot segar kalus (g) dan 3) diameter kalus (cm).

2 Induksi Mutasi dengan Iradiasi Sinar Gamma

Kalus embriogenik hasil perbanyakan pada tahap sebelumnya dengan

berat + 0.5 g disubkultur ke dalam cawan petri dan diradiasi pada gamma

chamber Cobalt-60 dengan perlakuan dosis : 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90

dan 100 Gray (laju dosis : 0.648 kGy/jam).

Kalus hasil iradiasi sinar gamma kemudian langsung disubkultur ke media

MW (Husni et al. 2010) tanpa zat pengatur tumbuh. Rancangan percobaan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Perlakuannya

adalah 11 taraf dosis iradiasi sinar gamma. Setiap perlakuan terdiri atas 10 botol

(10 ulangan) yang masing-masing botol berisi lima kumpulan kalus (Gambar 4).

Perbedaan setiap perlakuan dianalisis menggunakan uji F pada taraf nyata 5%,

dan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test).

Gambar 4 Kalus pada awal perlakuan. (A) Diameter kalus + 0.5 cm, (B) Tiap botol berisi lima kumpulan kalus.

(34)

18

Semua kalus diinkubasi di dalam ruang kultur bersuhu 250C dengan

penyinaran selama 16 jam per hari. Pengamatan dilakukan empat minggu setelah

iradiasi sinar gamma, terhadap morfologi kalus dan pertambahan berat kalus.

Penentuan dosis radiosensitivitas dilakukan dengan pendekatan Growth

Reduction 50 (GR50), yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan

50% pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano 2004). Dosis radiosensitivitas

kalus jeruk Siam asal kultur protoplas diperoleh dari analisis data pertumbuhan

kalus dengan menggunakan perangkat lunak Curve Expert 1.4.

3. Regenerasi Kalus melalui Jalur Embriogenesis Somatik

Kalus embriogenik yang telah diberikan perlakuan iradiasi sinar gamma,

kemudian diregenerasikan melalui jalur embriogenesis somatik. Tahapan

embriogenesis somatik pada penelitian ini yaitu :

a. Pendewasaan Embrio Somatik

Kalus embriogenik dari tahap dua yang telah membentuk proembrio

disubkultur ke media pendewasaan embrio somatik yaitu media MW dengan

penambahan 0.5 mgL-1 ABA (Husni et al. 2010). Pengamatan dilakukan setiap

minggu selama empat minggu. Peubah yang diamati adalah persentase kumpulan

kalus yang membentuk embrio somatik dan jumlah embrio somatik yang

terbentuk (fase globular - kotiledon).

b. Perkecambahan Embrio Somatik

Embrio somatik yang telah dewasa (fase kotiledon) kemudian dipindahkan

ke media perkecambahan yaitu media MW dengan penambahan 0.5 mgL-1 GA3

(Husni et al. 2010). Pengamatan dilakukan setiap minggu selama empat minggu.

Peubah yang diamati adalah persentase embrio somatik yang berkecambah dan

jumlah kecambah yang dihasilkan.

4. Evaluasi Keragaman Genetik

Tunas in vitro hasil perkecambahan embrio somatik kemudian disubkultur

setiap empat minggu ke media MW (Husni et al. 2010) tanpa zat pengatur tumbuh

(35)

19

genetik dilakukan dengan karakterisasi secara morfologi dan secara molekuler

dengan penanda ISSR.

a. Karakterisasi morfologi Pengamatan dilakukan terhadap :

 Tinggi tunas (cm), pengukuran menggunakan mistar dari pangkal batang

hingga pucuk

 Jumlah daun, penghitungan berdasarkan jumlah daun yang telah terbuka

penuh

 Jumlah cabang  Jumlah akar

 Bentuk, warna dan tepi daun

Pengamatan terhadap bentuk, warna dan tepi daun dilakukan berdasarkan

deskripsi yang dikeluarkan oleh IPGRI (1999).

 Analisis stomata

Sampel yang digunakan adalah daun yang berasal dari planlet yang telah

tumbuh sempurna. Pengamatan stomata dilakukan pada irisan paradermal.

Metode analisis stomata menggunakan sediaan preparat segar (Mulyono

2011). Sampel daun dipotong dengan ukuran 0.2 x 0.2 cm, kemudian

bagian bawah daun ditempelkan pada selotip yang panjangnya + 2 cm.

Daun dikupas secara perlahan dengan menggunakan pisau silet dan sedikit

air, sampai terbentuk lapisan tipis dan terlihat transparan. Lapisan tipis

yang tertinggal pada selotip merupakan lapisan epidermis daun. Kemudian

selotip tersebut diletakkan di atas gelas preparat dan ditutup dengan gelas

penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop. Pengamatan dilakukan

di bawah mikroskop pada perbesaran 400 kali. Luas bidang pandang

mikroskop pada perbesaran 400 kali adalah 0.19625 mm2. Pengamatan

dilakukan terhadap jumlah stomata dan ukuran stomata. Pengamatan

jumlah stomata pada setiap daun dilakukan pada 3 bidang pandang yang

berbeda. Jumlah stomata setiap perlakuan merupakan rata-rata jumlah

stomata dari 3 daun. Ukuran stomata setiap perlakuan merupakan rata-rata

(36)

20

b. Analisis Molekuler dengan Penanda ISSR

Sampel daun diambil dari planlet hasil karakterisasi morfologi. Tahapan

analisis ISSR : isolasi DNA dengan menggunakan metode Doyle dan Doyle

(1990); uji kualitas DNA berdasarkan metode Sambrook et al. (1989) serta

optimasi program PCR dan amplifikasi DNA berdasarkan penelitian Martasari et

al. (2012). Primer ISSR yang digunakan berasal dari penelitian sebelumnya oleh

Husni (2010), sebanyak delapan primer yaitu ISSR-1 sampai ISSR-8 (Tabel 1).

Tabel 1 Susunan basa delapan primer ISSR yang digunakan

No Nama Primer Susunan Basa

1 ISSR-1 5’-CAACACACACACACACA-3’

2 ISSR-2 5’-ACACACACACACACACCA-3’

3 ISSR-3 5’-ACACACACACACACACTG-3’

4 ISSR-4 5’-TAATCCTCCTCCTCCTCC-3’

5 ISSR-5 5’-TCCTCCTCCTCCTCCGC-3’

6 ISSR-6 5’-CGTTCCTCCTCCTCCTCC-3’

7 ISSR-7 5’-GTGTGTGTGTGTGTGTTC-3’

8 ISSR-8 5’-AGAGAGAGAGAGAGAGTC-3’

Isolasi DNA Total

Isolasi DNAdilakukan dengan metode CTAB (Cetyl Trimetyl Ammonium

Bromide). Daun sebanyak 0.5 g dimasukkan ke dalam mortar yang berisi nitrogen

cair, kemudian digerus sampai hancur. Buffer ekstraksi CTAB sebanyak + 700 µ l

ditambahkan ke dalam mortar dan digerus hingga merata. Sampel dipindahkan ke

dalam 1.5 ml microtube menggunakan pipet, kemudian microtube direndam

dalam waterbath bersuhu 650C selama 30 menit. Sampel selanjutnya diinkubasi di

suhu ruang selama 10 menit. Sampel kemudian ditambah CIA (Chloroform :

Isoamylalcohol 24:1) sebanyak + 700 µl dan dibolak-balik secara perlahan hingga

tercampur merata. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm pada suhu

40C selama 10 – 15 menit. Larutan DNA yang berwarna bening di bagian atas

akan memisah dari larutan chloroform yang tercampur dengan bagian sel yang

(37)

21

microtube baru. Isopropanol dingin sebanyak 1x volume sampel ditambahkan ke

dalam microtube dan dibolak-balik secara perlahan. Sampel kemudian diinkubasi

di suhu ruang selama 10 menit, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 10

000 rpm pada suhu 40C selama 10 – 15 menit. Fase atas dibuang, dan endapan

DNA di dasar microtube dicuci dengan 70% ethanol. Endapan DNA

dikeringanginkan di suhu ruang selama 15 – 20 menit, kemudian dilarutkan

dengan 50 – 100 µ l air bebas ion untuk dijadikan stok DNA dan disimpan pada

suhu -200C.

Uji Kualitas DNA

Uji kualitas DNA dilakukan dengan menggunakan larutan agarose 0.8%

dan dielektroforesis dalam larutan buffer TAE 1X yang dialirkan arus listrik dari

muatan negatif ke muatan positif selama 50 menit pada voltase 50 volt.

Konsentrasi DNA total dapat diperkirakan berdasarkan hasil elektroforesis yaitu

dengan cara membandingkan DNA total dengan lamda DNA.

Amplifikasi DNA dengan PCR

Reaksi amplifikasi PCR dilakukan menggunakan 25 µ l yang terdiri dari 1

µ l DNA, 2 µ l primer (40 µM), 1 µ l dNTP (10 mM), 0.2 µ l DNA Taq polymerase

(5 unit/µl), 3 µl buffer PCR, 1.5 µl MgCl2 (25 mM) dan 16.3 µl air bebas ion.

Denaturasi awal dilakukan pada suhu 940C selama 3 menit. Tahapan PCR

meliputi 35 siklus, yaitu denaturasi awal pada suhu 940C selama 54 detik,

annealing pada suhu 430C selama 45 detik dan ekstensi pada suhu 720C selama 2

menit. Siklus PCR diakhiri dengan satu siklus ekstensi akhir pada suhu 720C

selama 5 menit (Martasari et al. 2012).

Visualisasi Hasil PCR

Elektroforesis dilakukan untuk mengetahui hasil amplifikasi DNA dengan

menggunakan PCR, dilakukan melalui elektroforesis horizontal dengan 1.8%

agarose yang dilarutkan dalam 100 ml buffer TAE 1X, pada tegangan 57 voltase

(38)

22

selama 15 menit dan dibilas dalam H2O selama 10 menit. Visualisasi dilakukan di

atas lampu UV dengan menggunakan alat BiodocAnalyze.

c. Analisis Data Hasil Evaluasi Keragaman Genetik

Data hasil pengamatan morfologi dan molekuler dianalisis dengan

menggunakan program NTSYSpc (Numerical Taxonomy and Multivariate

Analysis System) versi 2.02 (Rohlf 1998).

Karakter morfologi yang diamati, diasumsikan setara dengan jenis primer

pada penanda molekuler, sedangkan sub karakter setara dengan lokus pita pada

penanda molekuler. Data karakter morfologi tersebut diubah menjadi data biner

dengan skoring data. Apabila karakter morfologi tidak dimiliki oleh regeneran

maka diberikan nilai skor 0, sedangkan nilai skor 1 diberikan apabila regeneran

memiliki karakter yang diamati.

Pengamatan pada analisis molekuler (penanda ISSR) dilakukan terhadap

pola pita hasil elektroforesis. Pengamatan ditujukan pada pola pita dengan jarak

migrasi yang sama. Apabila pada jarak migrasi yang sama tidak terdapat pita,

maka diberikan nilai skor 0. Sebaliknya apabila pada jarak migrasi tersebut

terdapat pita, maka diberikan nilai skor 1.

Koefisien kemiripan berdasarkan penanda morfologi, molekuler dan data

gabungan dianalisis berdasarkan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data)

pada program NTSYSpc versi 2.02. Tingkat kemiripan dihitung menggunakan

koefisien Dice. Analisis pengelompokan digunakan SAHN (Sequential

Agglomerative Hierarchical and Nested) – UPGMA (Unweighted Pair-Group

Method with Arithmetic Average), disajikan dalam bentuk dendogram.

5 Penyambungan Planlet dengan Batang Bawah

Tujuan dari tahap ini adalah mengetahui kemampuan planlet untuk

tumbuh setelah dilakukan penyambungan dengan batang bawah secara in vitro

(micrografting) dan secara ex vitro (sambung pucuk).

Penyambungan secara in vitro dilakukan antara planlet dengan batang

bawah JC (Japansche Citroen) yang berasal dari perkecambahan biji secara in

(39)

23

tunas regeneran in vitro dengan batang bawah JC yang berasal dari

perkecambahan biji di polibag dan berumur + 9 bulan (Gambar 5).

Gambar 5 Batang atas dan batang bawah yang digunakan untuk penyambungan in vitro dan ex vitro. A. (1) Tunas regeneran sebagai batang atas, (2) Batang bawah JC hasil perkecambahan in vitro; B. Tunas regeneran sebagai batang atas untuk sambung pucuk ex vitro; C. Batang bawah JC hasil perkecambahan biji di polibag / ex vitro

Penyambungan dilakukan terhadap delapan planlet dari tiap dosis iradiasi.

Parameter pengamatannya adalah : 1) tinggi planlet batang atas (cm), 2) jumlah

daun baru yang terbentuk dan 3) persentase kemampuan tumbuh setelah

penyambungan.

(A) (B) (C)

(40)
(41)

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Kalus Embriogenik Hasil Kultur Protoplas

Kalus yang digunakan berasal dari kultur protoplas dan telah berumur 4 –

5 tahun sejak inisiasi. Viabilitas kalus dipelihara dengan melakukan subkultur

setiap empat minggu ke media MW (Morel dan Wetmore) tanpa zat pengatur

tumbuh yang merupakan media optimal untuk pembentukan kalus embriogenik

pada tanaman jeruk siam (Husni et al. 2010). Pengamatan empat minggu setelah

ditanam dalam media tersebut, menunjukkan kalus masih mempunyai

kemampuan proliferasi atau pertumbuhan dengan bertambahnya berat kalus dan

diameter kalus.

Kalus yang dihasilkan dikategorikan embriogenik, karena mengandung

proembrio yang merupakan tahap perkembangan awal dari dua sel sampai delapan

sel sebelum terbentuk globular (Feher et al. 2003). Setiap kalus (berat + 0.5 g)

memiliki 5 – 10 proembrio, sehingga dalam tiap botol yang berisi lima kalus

terdapat sekitar 25 – 50 proembrio. Warna kalus secara umum adalah putih

kekuningan dan bersifat friable atau remah (Gambar 6). Rata – rata pertambahan

berat kalus setelah empat minggu adalah 1.51 g sedangkan rata – rata

pertambahan diameter kalus adalah 0.38 cm. Artinya, bahwa kalus masih mampu

tumbuh hampir dua kali lipat dari ukuran awal saat dilakukan subkultur ke media

MW (Tabel 2).

Gambar 6 (A) Morfologi kalus pada empat minggu pengkulturan di media MW tanpa zat pengatur tumbuh, (B) Pertambahan diameter kalus, (C) Struktur kalus yang terdiri atas proembrio (tanda panah) secara mikroskopis pada perbesaran 20 kali.

(42)

26

Tabel 2 Pengamatan morfologi dan pertumbuhan kalus empat minggu setelah subkultur (MSK)

Pengamatan 0 MSK 4 MSK

Warna kalus Putih kekuningan Putih kekuningan

Struktur kalus Remah Remah

Berat kalus (g) + 0.5 2.01

Pertambahan berat kalus (g) - 1.51

Diameter kalus (cm) + 0.5 0.88

Pertambahan diameter kalus (cm) - 0.38

Sifat embriogenik kalus terkait dengan asal protoplas yang diisolasi dari

kalus embriogenik dari jaringan nuselus jeruk siam. Protoplas yang diisolasi dari

kalus embriogenik lebih mudah beregenerasi menjadi tanaman, karena memiliki

potensi morfogenik yang tinggi (Fiuk et al. 2007). Protoplas dapat diisolasi dari

berbagai jaringan atau organ tanaman, namun hasil isolasi protoplas yang terbaik

pada kebanyakan tanaman diperoleh dari kalus embriogenik, seperti pada mawar

(Kim et al. 2003), pohon kamfer atau Cinnamomum camphora L. (Du & Bao

2005), jahe (Guo et al. 2007), jeruk manis (Omar & Grosser 2008) dan pisang

(Dai et al. 2010). Menurut Grosser dan Gmitter (2011), salah satu donor tetua

pada fusi protoplas sebaiknya diisolasi dari kalus embriogenik, agar hasil fusi

protoplas memiliki kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman.

Respon Kalus Setelah Iradiasi Sinar Gamma

Perbedaan respon kalus pada berbagai taraf dosis dapat diamati pada

minggu keempat setelah iradiasi sinar gamma. Pengamatan terhadap morfologi

kalus menunjukkan bahwa struktur kalus pada semua dosis tidak mengalami

perubahan, yaitu remah dan terdiri atas proembrio. Pengamatan terhadap warna

kalus menunjukkan respon yang beragam. Pada kalus tanpa iradiasi (0 Gray) dan

kalus yang diiradiasi pada beberapa dosis rendah (10, 30 dan 40 Gray) serta pada

beberapa dosis tinggi (60, 80 dan 100 Gray) tidak menunjukkan perubahan warna

(43)

27

20, 50 dan 90 Gray (Gambar 7B), sedangkan pada dosis 70 Gray, warna kalus

berubah menjadi kecoklatan (Gambar 7C). Kalus yang diiradiasi pada dosis 50

Gray, menunjukkan persentase tertinggi untuk perubahan warna menjadi putih

kehijauan yaitu 70%. Kalus yang diiradiasi pada dosis 70 Gray menunjukkan

100% berubah menjadi kecoklatan (Gambar 8). Respon yang sama juga

ditunjukkan pada iradiasi sinar gamma terhadap kalus nilam, perubahan warna

kalus menjadi kecoklatan diikuti oleh penurunan pertumbuhan dan kemampuan

regenerasi kalus (Kadir et al. 2007).

Gambar 7 Warna kalus pada empat minggu setelah iradiasi sinar gamma. (A) Putih kekuningan pada dosis 10, 30, 40, 60, 80 dan 100 Gray. (B) Putih kehijauan pada dosis 20, 50 dan 90 Gray.

(C) Kecoklatan pada dosis 70 Gray.

100 100

Put ih kekuningan Put ih Kehijauan Kecoklat an

(A) (B) (C)

(44)

28

Peningkatan dosis iradiasi pada umumnya diikuti pula oleh peningkatan

kerusakan sel yang terpapar iradiasi yang ditunjukkan oleh terjadinya perubahan

secara morfologi (van Harten 1998), namun hasil pengamatan pada kalus jeruk

siam hasil kultur protoplas tidak menunjukkan respon tersebut. Perubahan warna

kalus yang terjadi menunjukkan respon yang acak dan tidak membentuk pola

respon tertentu dengan semakin meningkatnya dosis iradiasi. Respon tersebut

diduga karena sel – sel kalus yang berasal dari kultur protoplas memiliki potensi

untuk beragam secara fisiologis maupun secara genetik sehingga respon antara

satu sel dengan sel yang lainnya menjadi beragam pula. Sensitivitas sel atau

jaringan tanaman terhadap iradiasi sinar gamma dipengaruhi oleh banyak faktor,

yaitu fase perkembangan dan kondisi fisiologis sel, volume inti sel, jumlah dan

ukuran kromosom, tingkat ploidi, kadar air serta kadar oksigen sel (Boertjes &

van Harten 1988).

Respon pertambahan berat kalus umur empat minggu setelah iradiasi sinar

gamma menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dengan

meningkatnya dosis iradiasi (Gambar 9). Kalus tanpa iradiasi (0 Gray)

menunjukkan pertambahan berat tertinggi dibandingkan kalus yang diiradiasi.

Semakin tinggi dosis iradiasi, maka semakin sedikit pertambahan berat kalusnya.

0.00

(45)

29

Pertambahan berat kalus menunjukkan adanya proliferasi sel – sel kalus

setelah iradiasi sinar gamma. Sel-sel kalus yang diiradiasi pada dosis 10 sampai

50 Gray, masih berproliferasi meskipun tidak sebanyak kalus tanpa iradiasi sinar

gamma. Pada perlakuan dosis tinggi (60-100 Gray), iradiasi menghambat

proliferasi sel-sel kalus meskipun tidak sampai mengakibatkan kematian sel.

Perubahan morfologi dan pertumbuhan kalus setelah iradiasi diduga terkait

dengan perubahan reaksi biokimia dan proses fisiologis sel. Iradiasi sinar gamma

mengakibatkan terjadinya ionisasi melalui rusaknya ikatan atom pada struktur

molekul sehingga molekul melepaskan elektron, berubah muatannya dan menjadi

ion yang akan merusak jaringan secara fisik kemudian mengubah atau

mempengaruhi reaksi biokimia pada sel sehingga berdampak pula terhadap proses

fisiologis sel (Esnault et al. 2010). Kerusakan akibat iradiasi selain diinduksi oleh

interaksi langsung antara iradiasi dengan molekul – molekul sel, juga diinduksi

oleh interaksi tidak langsung antara iradiasi dengan air pada sel yang

mengakibatkan proses radiolisis air dan menghasilkan ROS (Reactive Oxygen

Species) sehingga akan meningkatkan radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan

reaktif yang menyebabkan kerusakan pada sel (Kim et al. 2011).

Tingkat kerusakan atau sensitivitas tanaman akibat perlakuan iradiasi sinar

gamma dapat diketahui melalui dosis radiosensitivitas tanaman. Radiosensitivitas

bervariasi tergantung pada spesies dan kultivar tanaman, kondisi fisiologis dan

organ tanaman, serta manipulasi dari materi yang diiradiasi sebelum dan sesudah

perlakuan mutagenik (Predieri 2001). Radiosensitivitas sel atau jaringan eksplan

terhadap iradiasi sinar gamma dapat ditentukan dengan pendekatan Growth

Reduction 50 (GR50) yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan 50%

pada bahan tanaman hasil iradiasi (Amano 2004).

Pertumbuhan kalus dapat diamati dari pertambahan beratnya, sehingga

penurunan berat kalus menggambarkan penghambatan pertumbuhannya (Mba et

al. 2010). Analisis terhadap data pertumbuhan kalus dengan menggunakan

perangkat lunak Curve Expert 1.4 menghasilkan beberapa model regresi.

Pemilihan model regresi terbaik didasarkan pada kecilnya ragam (S) dan besarnya

koefisien determinasi (r). Gambar 10 menampilkan model regresi terbaik yaitu

(46)

30

dosis 53.25 Gray dapat digunakan sebagai dosis referensi atau dosis acuan yang

mengindikasikan kalus masih dapat recovery setelah diiradiasi dan diharapkan

dapat diperoleh banyak keragaman atau mutan.

Gambar 10 Penentuan dosis radiosensitivitas dengan kurva Gaussian Model

berdasarkan persentase pertumbuhan kalus setelah perlakuan iradiasi sinar gamma.

Menurut Boertjes dan van Harten (1988), pada kisaran dosis rendah,

kemampuan tanaman untuk bertahan hidup tinggi namun frekuensi mutasi yang

terjadi rendah, sedangkan pada kisaran dosis tinggi, frekuensi mutasi tinggi

namun kemampuan tanaman untuk bertahan hidup rendah. Mba et al. (2010) juga

menyatakan bahwa pada kisaran dosis radiosensitivitas akan dihasilkan frekuensi

mutasi yang optimal dengan kerusakan yang minimal, dan dapat diperoleh mutan

yang bermanfaat yang dapat langsung digunakan sebagai genotipe harapan yang

lebih unggul atau sebagai sumber tetua yang berpotensi menghasilkan genotipe

unggul.

Regenerasi Kalus Hasil Iradiasi Sinar Gamma

Hasil yang diharapkan dari perlakuan induksi mutasi adalah diperolehnya

mutan yang solid atau utuh dan bersifat stabil. Apabila kalus embriogenik

diiradiasi maka peluang untuk mendapatkan mutan solid sangat besar, karena S = 8.91652112

0.0 18.3 36.7 55.0 73.3 91.7 110.0

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian jeruk siam Pontianak dalam rangka
Gambar 3 Alur penelitian induksi keragaman genetik melalui iradiasi sinar
Gambar  6 (A) Morfologi kalus pada empat minggu pengkulturan di media MW
Gambar 8 Persentase perubahan warna kalus empat minggu setelah iradiasi sinar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan Susu Bubuk Full Cream Pada Pembuatan Produk Minuman Fermentasi Dari Bahan Baku Ekstrak Jagung Manis.. Universitas Padjajaran:

Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni rupa terapan Nusantara  Membuat kliping tentang karya seni tekstil Nusantara  Membuat

Set elah pelat ihan selesai, Anda diharapkan dapat m enjawab... Tata cara

Hal tersebut sangat berlawanan dengan pikiran remaja saat ini, khususnya remaja laki-laki, yang beranggapan memakai piercing sebagai cara untuk membuat penampilan

Tujuan dari pene- litian ini adalah untuk mengembangkan model induksi diabetes mellitus tipe 2 dan resistensi insulin menggunakan diet tinggi fruktosa pada

Skripsi dengan judul “Perbandingan Jumlah Total Bakteri Feses Sapi Bali Menurut Tingkat Kedewasaan dan Tipe Pemeliharaannya ” diajukan sebagai salah satu syarat

Nilai determinasi yang tersaji pada Tabel 7, di kandang panjang 60 m dan 120 m komponen makroklimat pada pagi hari berupa kecepatan angin, kelembaban udara dan radiasi

Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara terbit pada bulan Januari, April, Juli, Oktober dan memuat karya ilmiah yang berkaitan dengan litbang mineral dan batubara mulai dari