BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
3. Koefisien Respon Laba
Menurut Suwardjono (2005) laba didefinisikan sebagai perubahan atau
kenaikan ekuitas atau aset bersih atau kemakmuran bersih pemilik
(pemegang saham) dalam suatu periode yang berasal dari transaksi operasi
dan bukan transaksi modal (setoran dari dan distribusi ke pemilik). Laba
periode dimaknai sebagai informasi tentang kinerja masa lalu yang
meliputi daya melaba (earnings power), akuntabilitas dan efisiensi.
Kinerja perusahaan merupakan manifestasi dari kinerja manajemen
sehingga laba dapat pula diinterpretasi sebagai pengukur kefektifan dan
kefesienan manajemen dalam mengelola sumber daya yang dipercaya
kepada manajemen. Kebermanfaatan laba dapat diukur dari hubungan
antara laba dan harga saham. Bahwa laba merupakan prediktor aliran kas
ke investor. Aliran kas masa depan ke investor digunakan untuk
menentukan apa yang disebut dengan nilai sekuritas atau saham. Laba
mempunyai kandungan informasi yang penting bagi pasar modal.
Sementara itu, investor berusaha untuk mencari informasi untuk
memprediksi laba yang akan diumumkan atas dasar data yang tersedia
17
analis untuk menangkap informasi privat atau dalam yang dikandungnya
dan untuk mengkonfirmasi laba harapan investor.
Salah satu pengujian informasi adalah menggunakan pendekatan
asosiasi atau sering disebut pula dengan studi koefisien respon laba
(earnings respon coefficient), selanjutnya disingkat dengan ERC. Earnings
response coefficient merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk
mengukur hubungan antara return dan sekuritas. Menurut Cho dan Jung
(1991) mendefinisikan earnings response coefficient sebagai efek setiap
dolar dari laba kejutan (unexpected earnings) terhadap return saham, yang
ditunjukkan melalui slope koefisien dalam regresi abnormal return saham
dengan unexpected earnings. Earnings response coefficient disebut juga
koefisien sensitivitas laba akuntansi, yaitu ukuran sensitivitas perubahan
harga saham terhadap perubahan laba akuntansi. Dari beberapa pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa besaran yang menunjukkan hubungan
antara laba dan return saham saat ini disebut dengan koefisien respon laba
(earnings response coefficient).
Cho dan Jung (1991) mengklasifikasikan pendekatan teoritis ERC
menjadi dua kelompok yaitu:
a. Model penilaian yang didasarkan pada informasi ekonomi (informaton
economics based valuation model) yang menunjukkan kekuatan
18
ketidakpastian di masa datang. Semakin besar gangguan dalam sistem
pelaporan perusahaan semakin kecil ERC.
b. Model penilaian yang didasarkan time series laba (time series based
valuation model).
Berbagai penelitian mengenai koefisien respon laba telah banyak
dilakukan. Collins dan Kothari (1989) memasukkan variabel beta,
persistensi laba, pertumbuhan dan size dalam pengukurannya terhadap
koefisien respon laba. Mereka menemukan bahwa variabel determinan
tersebut memiliki dampak penting terhadap koefisien respon laba, namun
beta saham ternyata tidak berbeda secara signifikan dari nol. Future
earnings juga terlihat terpengaruh oleh kesempatan bertumbuh yang
merepresentasikan nilai dari kesempatan investasi yang dihadapi
perusahaan.
Park dan Pincus (2000) yang melakukan studi atas pengaruh audit
internal dan external equity finding terhadap koefisien respon laba. Pada
studinya menemukan bahwa perusahaan dengan rasio modal internal dan
eksternal yang tinggi memiliki beta saham dan cost of equity capital yang
lebih rendah. Penelitian mereka konsisten dengan penelitian sebelumnya
setelah mereka memasukkan sejumlah variabel kontrol misalnya
persistensi laba, kesempatan bertumbuh, risiko laba, kualitas auditor, dan
ukuran perusahaan.
Bartov et al (2001) mencoba untuk melakukan estimasi atas koefisien
19
simultan menggunakan enam pendekatan metodologi yang belum pernah
dilakukan oleh berbagai penelitian sebelumnya, Hasil penelitian tersebut
adalah terdapat kenaikan dalam estimasi koefisien respon laba untuk
firm-spesific regressions-firm-spesific regressions sama baiknya dengan pooled
time-series cross-sectional regressions.
Wu dan Shih (2005) mencoba untuk menemukan bukti empiris
mengenai pengaruh employee stock bonus terhadap koefisien respon laba
di Taiwan. Bukti empiris pada penelitian ini mengindikasikan bahwa
market value of employee stock bonus berpengaruh negatif pada koefisien
respon laba. Penelitian ini juga menemukan bahwa pertumbuhan laba
perusahaan memberikan pengaruh terhadap hubungan antara employee
stock bonus terhadap koefisien respon laba.
Koefisien respon laba ditunjukkan dengan besarnya koefisien slope
dalam regresi yang menghubungkan laba sebagai variabel bebas dan return
saham sebagai variabel terikat. Earnings response coefficient dapat diukur
melalui beberapa tahap perhitungan. Tahap pertama menghitung
cumulative abnormal return dan tahap kedua menghitung unexpected
earnings.
Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba dapat tercermin dari
tingginya earnings response coefficient yang menunjukkan bahwa laba
yang dilaporkan berkualitas (Boediono, 2005 dalam Nofianti, 2014).
Earnings response coefficient adalah reaksi atas laba yang diumumkan
20
besarnya abnormal return saham dalam merespon kompenan kejutan dari
earnings yang dilaporkan perusahaan.
Beberapa alasan yang menyebabkan pasar bereaksi terhadap informasi
laba adalah sebagai berikut (Scott, 2009):
a. Keyakinan sebelumnya (prior belief) dari investor yang didasarkan
pada informasi yang tersedia tidak sama. Ketidaksamaan ini
dipengaruhi oleh besar kecilnya informasi yang diperoleh dan
kemampuan untuk menginterpretasinya.
b. Dengan masuknya informasi baru berupa laba, sebagian investor
merevisi ekspektasinya dengan datangnya berita baik ini (upward).
Namun sebagian investor yang sebelumnya memiliki ekspektasian
yang terlalu tinggi mungkin akan menginterpretasikan informasi laba
tersebut sebagai berita buruk (downward).
c. Investor yang merevisi ekspektasinya sebagai berita baik akan
bersedia membeli sekuritas pada harga sekarang, sedangkan investor
yang merevisi ekspektasinya sebaga berita buruk akan melakukan
sebaliknya.
d. Investor dapat mengobservasi jumlah sekuritas yang diperdagangkan
dengan munculnya informasi baru berupa laba sekarang.
Reaksi yang diberikan investor tergantung dari kandungan informasi
dalam laba masing-masing perusahaan, sehingga mengakibatkan earnings
21
lainnya. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan earnings
response coefficient tersebut adalah risiko sistematik yang diukur dengan
menggunakan beta, leverage yang merupakan proksi dari struktur modal,
persistensi laba dimana kemampuan menghasilkan laba yang permanen
menyebabkan earnings response coefficient berbeda setiap perusahaan,
kesempatan bertumbuh (growth opportunities), the similiarity of investor
expectations, dan the informativenees of price yang diproksikan dengan
ukuran perusahaan (firm size) (Scott, 2009).
Pada waktu perusahaan mengungumkan laba tahunan, bila laba aktual
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil prediksi laba yang selama ini
dibuat maka yang terjadi adalah good news, sehingga investor akan
melakukan revisi terhadap laba dan kinerja perusahaan di masa mendatang
serta memutuskan membeli saham tersebut. Sebaliknya, jika hasil prediksi
lebih tinggi daripada laba aktualnya, yang berarti bad news, maka investor
akan melakukan revisi dan menjual saham perusahaan tersebut karena
kinerja perusahaan tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Ambarwati,
2008).