Teori Belajar menurut Aliran Kognitif dan Landasan filosofisnya
A. Teori Kognitif menurut Piaget
Piaget memandang pengalaman sebagai faktor yang sangat dan mendasari proses berfikir anak. Pengalaman berbeda dengan melihat yang hanya melibatkan mata, sedangkan pengamatan melibatkan seluruh indra sehingga menyimpan kesan yang lebih lama dan membekas. Pengetahuan dalam teori konstruktivistik tidak dapat ditransfer begitu saja dari guru kepada siswa, tetapi siswa sendiri harus aktif secara mental dalam membangun struktur pengetahuannya.1 Oleh karena itu, penting melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran secara nyata, serta dalam usaha meningkatkan kualitas kognitif siswa, guru dalam melaksanakan pembelajaran mesti lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah.
Pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (bentuk jamak dari skema) yang dikenal dengan struktur kognitif.2 Struktur ini membantu seseorang untuk melakukan proses adaptasi dan mengkoordinasikan informasi yang baru diketahui dari lingkungannya dengan skema yang telah dimiliki sehingga terbentuk skema dan skemata yang baru. Oleh sebab itu, skema atau struktur kognitif individu akan meningkat dan berkembang sesuai perkembangan usia individu yang bersangkutan, bergerak dari yang sederhana menuju aktivitas mental yang kompleks.
1 Harianto dan Sugiyono. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar (Bandung:
Remaja Rosdakarya,2011) hlm.108
2 Sugihartono dkk. Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: UNY press, 2007) hlm.109
80
Proses pembentukan skema dilakukan oleh individu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Skemata baru hasil dari asimilasi maupun akomodasi itulah yang disebut dengan pengetahuan baru. Proses pembentukan pengetahuan baru tersebut melalui beberapa prinsip dan tahapan.
1. Prinsip-Prinsip Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif menurut Piaget terjadi melalui serangkaian proses, yaitu proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrium.
a) Asimilasi
Asimilasi merupakan proses penyatuan dan pengintregasian informasi baru kedalam struktur kognitif yang telah ada. Informasi atau pengetahuan baru tersebut akan lebih mudah diterima apabila informasi tersebut cocok dengan skema dan skemata struktur kognitif yang telah dimilikinya. Hasil dari proses asimilasi adalah berupa tanggapan informasi atau pengetahuan yang baru diterima.
b) Akomodasi
Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif (restrukturisasi) siswa pada situasi atau informasi baru yang berbeda. Proses ini akan terjadi apabila informasi atau pengetahuan baru yang diterima tidak dapat langsung diasimilasikan pada skema yang sudah ada karena adanya perbedaan pada skema. Dengan kata lain, akomodasi adalah kemampuan untuk menggunakan informasi
81
atau pengetahuan yang telah ada dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.3
c) Ekuilibrium
Ekuilibrium terjadi pada saat anak mengalami hambatan dalam melakukan akomodasi pengetahuan dan pengalamannya untuk mengadaptasi lingkungan di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah ini, anak akan mencoba cara yang lebih kompleks. Apabila cara ini berhasil, maka proses ekuilibrium telah terjadi pada diri anak.
Selanjutnya, cara tersebut akan diperlancar oleh anak dalam memecahkan masalah yang sama di masa depan.
2. Tahapan-Tahapan Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget, setiap individu pasti akan mengalami tahapan-tahapan perkembangan kognitif sebagai berikut:
a) Tahap Sensorik Motorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indera dan gerakannya.
Perilaku anak pada tahap ini semata-mata berdasarkan stimulus yang diterimanya. Dalam jangka waktu dua tahun tersebut, anak dapat memahami sedikit lingkungannya dengan cara melihat, meraba, memegang, mengecap, mencium dan menggerakkan anggota badannya meskipun belum sempurna. Tapi yang terpenting mereka dapat mengandalkan kemampuan sensorik dan motoriknya.
Beberapa kemampuan kognitif dasar muncul pada tahap ini. Anak tersebut mengetahui bahwa sebuah perilaku tertentu akan dapat menimbulkan akibat tertentu padanya. Misalkan dengan
3 Martini Jamaris, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012) hlm. 129
82
menendang-nendang selimut, seorang anak tahu bahwa selimut itu akan bergeser darinya.
b) Tahap Pra Oporasional (2-7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak untuk selalu mengandalakn diri pada persepsinya mengenai realitas.
Dengan adanya perkembangan bahasa, ingatan anak pun mampu merekam banyak hal tentang lingkungannya. Namun, intelek anak akan dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari bahwa orang lain terkadang mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
Ciri-ciri anak pada tahap Pra Operasional:
Sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum secara logis.
Anak lebih bersikap egosentris.
Anak lebih cenderung berpikir subjektif dan tidak mampu melihat objektivitas pandangan orang lain.
Sukar menerima pandangan orang lain
Tidak mampu membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah, atau volume yang tetap meskipun bentuknya berupbah-ubah.
Belum mampu berpikir abstrak.
Anak lebih mudah belajar jika guru menggunakan alat peraga berupa benda yang konkrit daripada hanya menggunakan kata-kata.
83
c) Tahap Konkrit (7-11 tahun)
Dalam usia 7 hingga 11 tahun anak-anak suadah mengembangkan pikiran secara logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekitarnya, mereka tiad terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari panca indra. Anak-anak sudah mampu berpikir secara konkrit dan bisa menguasai sebuah pelajaran yang penting.
Anak-anak sering kali mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang menyadari bahwa logikanya tersebut dapat berbuah kesalahan. Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memahami konsep konservasi (concept of conservacy) yaitu meskipun benda beruabh bentuknya, namun masa, jumlah, atau volumenya adalah tetap.
Anak juga mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya.
Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih berupa konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit.
Aktivitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman secara langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru secara verbal (kata-kata).
d) Tahap Operasi Formal (11 tahun ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak, yaitu berpikir tentang suatu ide atau gagasan. Mereka mampu mengajukan hipotesis, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesis yang mereka buat. Bahkan anak sudah dapat memikirkan alternatif pemecahan masalah.
Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dengan menggunakan pertimbangan ilmiah.
84