• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Kolonisasi Agensia Hayati dan Patogen di Rizosfer Perkecambahan Melon Perkecambahan Melon

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Pola Kolonisasi Agensia Hayati dan Patogen di Rizosfer Perkecambahan Melon Perkecambahan Melon

Setelah didapatkan isolat Pseudomonad flourescens yang mempunyai daya hambat tertinggi terhadap patogen, maka selanjutnya isolat PfN7 digunakan pada perlakuan pola kolonisasi agensia hayati dan patogen di rizosfer perkecambahan melon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri agensia hayati dan patogen dapat mengkolonisasi rizosfer perkecambahan melon. Masing-masing perlakuan dengan menggunakan suspensi agensia hayati bakteri Pseudomonad fluorescens

dan suspensi patogen Fusarium oxysporum f. sp. melonis telah terlihat di dalam jaringan akar kecambah pada hari pertama setelah inokulasi, sedangkan interaksi antara campuran suspensi agensia hayati dan suspensi patogen belum terlalu terlihat.

Gambar 10 memperlihatkan bahwa pola kolonisasi hari pertama setelah inokulasi suspensi agensia hayati, patogen, serta pola kolonisasi campuran suspensi agensia hayati dan suspensi patogen terlihat berbeda. Pola kolonisasi yang ditunjukkan pada agensia hayati bakteri Pseudomonad fluorescens lebih mengarah ke kiri akar kecambah, sedangkan pada pola kolonisasi jamur patogen

Fusarium oxysporum f. sp. melonis lebih condong mengarah ke kanan akar kecambah.

Pola kolonisasi pada campuran suspensi agensia hayati dan patogen pada hari pertama belum terlihat polanya, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh waktu pertumbuhan yang singkat (1 hari) diantara kedua mikroba dan banyaknya jumlah mikroba yang ada sehingga mempengaruhi aktivitas keduanya dalam mengkolonisasi akar kecambah di dalam rizosfer.

Gambar 10. Pola koloni agensia hayati dan patogen di rizosfer perkecambahan 1 HSI

K, adalah kontrol

Pa, adalah koloni bakteri Pseudomonad fluorescens (PfN7)

Pb, adalah koloni bakteri Pseudomonad fluorescens dan jamur patogen

Fusarium oxysporum f. sp. melonis Pc, adalah koloni patogen jamur Fusarium oxysporum f. sp. melonis

Pola kolonisasi 3 hari setelah inokulasi (HSI) memperlihatkan bahwa agensia hayati bakteri Pseudomonad fluorescens dan Fusarium oxysporum f. sp. melonis

lebih banyak mengkolonisasi akar kecambah dibandingkan hari pertama, hal tersebut disebabkan oleh proses periode mikroba dalam penempelan pada permukaan akar telah cukup dan akar kecambah mulai memanjang sehingga mikroba dapat melakukan perbanyakan diri. Pola kolonisasi pada campuran

suspensi agensia hayati dan patogen 3 hari setelah inokulasi terlihat bahwa agensia hayati Pseudomonad fluorescens mulai mendesak dari perkembangan patogen

Fusarium oxysporum f. sp. melonis, hal tersebut diperlihatkan dengan pola kolonisasi agensia hayati yang mengarah ke tepi akar dan sebagian berada pada tengah jaringan akar, sedangkan pola koloni patogen mulai berkurang perkembangannya pada tengah jaringan akar kecambah melon (Gambar 11.).

Koloni Agensia Hayati Serabut Akar Koloni Agensia Hayati Koloni Patogen

Gambar 11. Pola koloni agensia hayati dan patogen di rizosfer perkecambahan 3 HSI

K, adalah kontrol

Pa, adalah koloni bakteri Pseudomonad fluorescens (PfN7) Pb, adalah koloni bakteri Pseudomonad fluorescens dan jamur

patogen Fusarium oxysporum f. sp. melonis Pc, adalah koloni patogen jamur Fusarium oxysporum f. sp. melonis

Pengamatan mikroskop pada pola kolonisasi akar 5 hari setelah inokulasi menunjukkan bahwa bagian tepi koloni patogen Fusarium oxysporum f. sp. melonis

mulai tersdesak oleh bakteri antagonis Pseudomonad fluorescens. Hawker (1950) menyatakan bahwa adanya kompetisi ruang dan makanan pada kedua mikroba yang saling berinteraksi menyebabkan pertumbuhan salah satu mikroba terdesak di sepanjang tepi koloninya. Adanya hambatan perkembangan pertumbuhan koloni jamur patogen Fusarium oxysporum f. sp. melonis oleh bakteri antagonis

Pseudomonad fluorescens disebabkan karena pertumbuhan koloni bakteri antagonis jauh lebih cepat dibanding jamur patogen (Gambar 12.). Hal ini didukung oleh pernyataan Guo, Iersel, Chen, Brackket, dan Beuchat (2002) bahwa mikroba yang tumbuh cepat mampu mengungguli dalam penguasaan ruang dan pada akhirnya bisa menekan pertumbuhan mikroba lawannya.

Tingkat kolonisasi akar selain dipengaruhi oleh intrinsik bakteri antagonis tersebut juga erat kaitannya dengan pengaruh cara aplikasinya (Raaijmakers, Sluis, Hout M, Bakker, dan Schippers, 1995). Menurut Bakker, Pieterse, dan van Loon (2007) ketika menempel pada akar tanaman, inokulum bakteri dapat menimbulkan respon perlindungan pada tanaman, sehingga memungkinkan tanaman bertahan terhadap serangan patogen tanaman.

Pertumbuhan akar kecambah dan periode aplikasi suspensi juga mempengaruhi pola kolonisasi suatu mikroba, karena pada periode tumbuh mikroba yang optimal dapat membantu penempelan mikroba pada permukaan akar dan jika akar kecambah mulai memanjang maka mikroba dapat melakukan perbanyakan diri karena tersedianya ruang.

Koloni Agensia Hayati

Koloni Patogen

Serabut Akar Koloni Patogen

Gambar 12. Pola koloni agensia hayati dan patogen di rizosfer perkecambahan 5 HSI

K, adalah kontrol

Pa, adalah koloni bakteri Pseudomonad fluorescens (PfN7)

Pb, adalah koloni bakteri Pseudomonad fluorescens dan jamur patogen

Fusarium oxysporum f. sp. melonis Pc, adalah koloni patogen jamur Fusarium oxysporum f. sp. melonis

4.5 Uji Antibiosis Bakteri Pseudomonad fluorescens dari Rizosfer Perkecambahan terhadap Jamur Fusarium oxysporum f. sp. melonis secara in vitro

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa antibiosis bakteri antagonis

Pseudomonad fluorescens dari rizosfer perkecambahan melon memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap perkembangan jamur patogen

Fusarium oxysporum f. sp. melonis (Lampiran 6.), dengan terbentuknya zona hambat.

Terbentuknya zona hambat (Gambar 13.) menandakan bahwa bakteri

Pseudomonad fluorescens tersebut kemungkinan memproduksi suatu senyawa antimikrobial baik berupa enzim, toksin maupun antibiosis. Antibiosis adalah mikroba yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba lain dengan antibiotik yang diproduksinya, agens antagonis menunjukkan zona hambat yang jelas seperti yang diungkapkan oleh Maria (2002), bahwa kriteria keefektifan hasil uji antibiosis secara

in vitro dilihat dari terbentuk atau tidaknya zona hambatan, yaitu zona bening di antara patogen dan agens antagonis.

Tabel 3. Zona Hambat yang dihasilkan pada Uji Antibiosis

Perlakuan Rata-rata Zona Hambat

(mm) 2 HSI 10.75d 4 HSI 8.25c 6 HSI 5b 8 HSI 3.25a BNT 5 % 0.51

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada P = 0,05

Daya hambat antibiosis Pseudomonad fluorescens dari rizosfer

perkecambahan melon pada 2 HSI, 4HSI, 6 HSI, dan 8 HSI terhadap jamur patogen

Fusarium oxysporum f. sp. melonis ditampilkan pada Gambar 13. Dari hasil perhitungan ANOVA (lampiran 7.) diketahui bahwa Fhitung > Ftabel pada taraf signifikansi 5 %, hal tersebut menunjukkan hipotesis dalam penelitian ini diterima.

Sehingga daya hambat antibiosis bakteri Pseudomonad fluorescens pada rizosfer perkecambahan melon berbeda nyata terhadap Fusarium oxysporum f. sp. melonis.

Gambar 13. Uji antibiosis Pseudomonadfluorescens terhadap jamur patogen

Fusarium oxysporum f. sp. melonis (Pengamatan dilakukan hingga hari ke-7)

Tabel 4, menunjukkan bahwa persentase daya hambat antibiosis mengalami peningkatan setiap perlakuannya, dimana pada perlakuan 2 HSI diperoleh daya hambat sebesar 6.25 %, dilanjutkan dengan perlakuan 4 HSI meunjukkan daya hambat yang cukup signifikan yaitu sebesar 8.81 %, kemudian diikuti oleh perlakuan 6 HSI sebesar 11.88 % dan daya hambat optimal ditunjukkan pada perlakuan 8 HSI sebesar 18.88 %. Periode waktu kolonisasi Pseudomonad fluorescens pada rizosfer

perkecambahan melon mempengaruhi daya hambat antibiosis pada patogen, menurut. Menurut Dwidjoseputro (1994), faktor yang mempengaruhi daya hambat antibiosis suatu mikroorganisme antara lain lama inkubasi dan aktivitas metabolisme mikroorganisme.

Tabel 4. Persentase Daya Hambat Antibiosis

Perlakuan Rata-rata Persentase Daya Hambat

(%) 2 HSI 6.25a 4 HSI 8.81ab 6 HSI 11.88b 8 HSI 18.88c BNT 5 % 5.43

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada P = 0,05

Daya hambat antibiosis kemungkinan dipengaruhi oleh adanya hubungan antara waktu perkembagan bakteri di rizosfer, lama inkubasi, aktivitas metabolisme bakteri, dan persediaan unsur hara pada tanah. Lama inkubasi mempengaruhi perkembangan bakteri pada media tanam, sehingga bakteri mempunyai waktu untuk memperbanyak diri dan menghasilkan antibiosis ataupun senyawa yang dapat menghambat suatu patogen pada area rizosfer, dengan demikian waktu yang

optimal Pseudomonad fluorescens dalam menghasilkan antibiosis untuk

menghamabat Fusarium oxysprum f. sp. melonis yaitu pada hari kedelapan setelah inokulasi. Menurt Soesanto (2008) bakteri Pseudomonad fluorescens mulai mengeluarkan daya hambat dengan antibiosis yang optimum pada hari keenam hingga hari kedelapan terhadap pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides.

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang juga sangat menentukan keberhasilan pengendalian patogen tumbuhan jika menggunakan agensia hayati. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa secara umum penghambatan jamur

Fusarium oxysporum f. sp melonis dapat berlangsung dengan baik pada suhu 22 ºC. Hal ini sesuai pernyataan Hamdan (1991) bahwa pertumbuhan dan produksi antibiotik pyoverdin oleh Pseduomonas fluorescens yang efektif dilakukan pada suhu 20 ºC – 30 ºC, bahkan pada kisaran tersebut kemampuan dapat menekan

Dokumen terkait