• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep komitmen organisasional didasarkan pada premis bahwa individual membentuk suatu keterikatan (attachment) terhadap organisasi. Secara historis, komitmen organisasional merupakan perspektif yang bersifat keperilakuan dimana komitmen diartikan sebagai perilaku yang konsisten dengan aktivitas (consistent lines of activity) (Setiawan dan Iman Ghozali, 2006: 193).

26 Komitmen organisasi cenderung didefinisikan sebagai suatu perpaduan antara sikap dan perilaku (Trisnaningsih, 2007). Sedangkan menurut Hatmoko (2006) dalam Amilin dan Rosita Dewi (2008), Komitmen organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan saran-saran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi.

Aliran attudinal (Setiawan dan Iman Ghozali, 2006:193), terutama dikembangkan dan dipopulerkan oleh porter serta koleganya, yang mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan relatif identifikasi individual terhadap suatu organisasi tertentu, yang dicirikan oleh tiga faktor psikologis, yaitu: Keinginan yang kuat untuk tetap mejadi anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi organisasi, kepercayaan yang pasti dan penerimaan nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.

Dalam perkembanganya perspektif attitudinal memandang bahwa komitmen organisasional bersifat multi dimensi dan tersusun atas affective commitment, continuance commitment, normative commitment.

1. Affective Commitment

merupakan keterikatan emosional terhadap organisasi dimana pegawai mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan menikmati keanggotaan dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi affective yang kuat akan cenderung terlibat dan menikmati keberadaanya dalam organisasi serta akan tetap bertahan pada perusahaan karena mereka

27 menginginkan hal itu (Anastasia, Vennylia dan Lina, 2009). Hasil penelitian dari Kalbers dan Fogarty (1995) dalam Trisnaningsih (2007), mengungkapkan bahwa komitmen organisasi affective berhubungan dengan satu pandangan profesionalisme yaitu pengabdian pada profesi. 2. Continuance Commitment

Merupakan biaya yang dirasakan yaitu berkaitan dengan biaya-biaya yang terjadi jika meninggalkan organisasi. Kecenderungan karyawan untuk tidak meninggalkan perusahaan karena ada sejumlah investasi yang harus dikorbankan bila meninggalkan perusahaan. Investasi yang dimiliki karyawan dapat berupa waktu, usaha dalam mengerjakan pekerjaan, hubungan dengan sesama rekan kerja, keterampilan, kompensasi yang dapat mengurangi keterikatan karyawan terhadap kesempatan eksternal lainya (Anastasia, Vennylia dan Lina, 2009). Hasil penelitian dari Kalbers dan Fogarty (1995) dalam Trisnaningsih (2007), mengungkapkan bahwa komitmen organisasi continuance berhubungan secara positif dengan pengalaman dan secara negatif dengan pandangan profesionalisme kewajiban sosial.

3. Normative Commitment

merupakan suatu tanggung jawab untuk tetap berada dalam organisasi. Menurut Anastasia, Vennylia dan Lina (2009), Komitmen terhadap organisasi berkaitan erat dengan niat atau intensi untuk tetap bertahan, atau dengan kata lain bersikap loyal terhadap organisasi dan akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) bagi karyawan terhadap organisasi.

28 Komitmen organisasional dibangun atas dasar kepercayaan pekerja atas nilai- nilai organisasi, kerelaan pekerja membantu mewujudkan tujuan organisasi dan loyalitas untuk tetap menjadi anggota organisasi (Trisnaningsih, 2007).

Komitmen merupakan sebuah sikap dan perilaku yang saling mendorong antara satu dengan yang lain. Akuntan yang komit terhadap organisasi akan menunjukkan sikap dan perilaku yang positif terhadap lembaganya (KAP), akuntan publik akan memiliki jiwa untuk tetap membela organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan yang pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi. Komitmen akuntan publik terhadap organisasinya adalah kesetiaan akuntan publik terhadap organisasinya (KAP), disamping juga akan menumbuhkan loyalitas serta mendorong keterlibatan diri dalam mengambil berbagai keputusan. Oleh karenanya komitmen akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) bagi karyawan terhadap organisasi.

D. Kecerdasan Emosional

Pada tahun 1985 seorang mahasiswa kedokteran di sebuah Universitas AS menulis disertasi dengan tema “emotional intelligence”. Tahun 1990 psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire mengembangkan cara pengukuran kemampuan manusia dalam bidang emosi. Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dan Jhon Meyer tersebut, untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan (Alwani, 2007). Kualitas-kualitas itu antara lain:

29 empati (kepedulian), mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.

Definisi yang diberikan oleh Meyer dan Peter Salvoes tentang kecerdasan emosi adalah kemampuan menerima dan mengekspresikan emosi yang dirasakan, memahami emosi secara kognitif, mengerti dan mengetahui penyebab emosinya serta mampu mengatur atau mencocokkan emosinya dengan situasi yang tidak menyenangkan (Nindyati, 2009).

Menurut Alwani (2007), kecerdasan emosional adalah seperangkat kemampuan untuk mengenal, memahami perasaan diri sendiri dan orang lain serta mampu menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dalam bertindak. Sedangkan menurut Maslahah (2007), dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.

Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mempunyai kesadaran diri untuk lebih mengenali emosi dan pikiran yang sedang terjadi pada dirinya, tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan. Individu tersebut mempunyai kejernihan dalam berfikir, mampu lebih mengendalikan diri dan melindungi dirinya dari pengaruh stress yang datang, sehingga mengetahui tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi permasalahanya (Mayer

30 dalam Goleman, 1999; Taylor, 2001; Salvoes dan Pizarro, 2003), dalam Nindyati (2009).

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan Akuntan Publik untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan keterampilan sosial. Berikut penjelasan kecerdasan emosional yang terbagi dalam lima dimensi, sebagai berikut:

1. Kesadaran diri

Kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional yaitu merupakan kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu. Menurut Goleman (2001:513), kesadaran diri adalah mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri. Selain itu kesadaran diri juga berarti menetapkan tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri merupakan ketrampilan dasar yang vital untuk ketiga kecakapan emosi, yaitu: kesadaran emosi, yaitu mengetahui pengaruh emosi terhadap kinerja, dan mampu menggunakan nilai-nilai untuk memandu membuat keputusan; penilaian diri secara akurat, yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri; percaya diri, yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.

Hautman dalam Suryanti dan Ika (2004:264) menyatakan bahwa saat kita semakin mengenal diri kita, kita akan lebih memahami apa yang kita rasakan dan lakukan. Pemahaman itu akan memberi kita kesempatan atau

31 kebebasan untuk mengubah hal-hal yang ingin kita ubah mengenai diri kita dan menciptakan kehidupan yang kita inginkan. Kesadaran diri memungkinkan kita untuk berhubungan dengan emosi, pikiran, dan tindakan (Suryanti dan Ika, 2004:264).

2. Motivasi

Motivasi berarti menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun seseorang menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi (Goleman 2001:514). Motivasi yang paling ampuh adalah motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang (Condry dan Chambers dalam Suryani dan Ika, 2004, :266).

Pencapaian keberhasilan menuntut dorongan untuk berprestasi. Studi-studi yang membandingkan para bintang kinerja ditingkat eksekutif dengan rekan-rekannya yang berprestasi bisa menemukan bahwa bintang tersebut menunjukkan ciri-ciri kecakapan peraihan prestasi sebagai berikut: mereka berbicara mengenai resiko dan lebih berani menanggung resiko yang telah diperhitungkan. Mereka mendesakkan dan mendukung inovasi-inovasi baru dan menetapkan sasaran-sasaran yang menantang bagi para bawahan mereka. Kebutuhan berprestasi adalah kecakapan yang paling kuat satu- satunya yang membedakan eksekutif bintang dari para eksekutif biasa (Alwani, 2007). Kecakapan emosi yang terdapat dalam motivasi adalah: dorongan prestasi, yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memeuhi standar keberhasilan; inisiatif, yaitu kesiapan untuk memanfaatkan

32 kesempatan; optimis, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan (Yuniani, 2007).

3. Empati

Kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, mampu memahami persepektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang (Goleman, 2001:514). Meltzoff dalam Suryani dan Ika, (2004:267), menyatakan bahwa empati telah ada saat kita berusia tiga tahun. Ini dapat dihubungkan dengan gerakan meniru yang dilakukan bayi pada usia dini.

Sebenarnya, empati membuat seseorang lebih tegas dan sadar diri, karena empati memberi informasi yang kaya tentang orang lain dan hubungannya dengan mereka. Mengetahui persaan orang lain membantu seseorang menghargai individualitasnya. Empati juga memotivasi dan mengilhami tindakan, menjadikannya sumber daya yang memberdayakan bagi kehidupan pribadi dan sosial (Segal, 2000) dalam Maslahah (2007). Empati adalah menghayati masalah-masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat dibalik perasaan seseorang. Empati merupakan ketrampilan dasar untuk semua kecakapan sosial yang penting untuk bekerja. Kecakapan-kecakapan ini meliputi: memahami orang lain, yaitu mengindra perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka; orientasi pelayanan; yaitu mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan;

33 kesadaran politis, yaitu mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan (Yuniani, 2007).

4. Pengendalian diri

Menurut Goleman (2001:514) mendefinisikan pengendalian diri dengan menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya sesuatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Kecakapan emosi utama dalam pengaturan diri adalah sebagai berikut: dapat dipercaya, yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas; kehati-hatian, yaitu dapat diandalkan dan bertanggungjawab dalam memenuhi kewajiban; adaptabilitas, yaitu keluwesan dalam menangani perubahan dan tantangan.

Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi yang berlebihan dapat mengoyak kesetabilan seseorang. Aristoteles dalam Nicomachean Ethnic menulis siapapun bisa marah, marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah (Alwani,2007).

5. Keterampilan sosial

Menurut Goleman (2001:514) keterampilan sosial berarti menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar,

34 menggunakan keteraampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Keterampilan sosial merupakan aspek penting dalam Emotional Intellegence, keterampilan sosial bisa diperoleh dengan banyak berlatih.

Hatch dan Gardner dalam Suryanti dan Ika (2004:268) mengungkapkan bahwa orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka terhadap reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.

Kecerdasan emosional merupakan kesadaran diri untuk mengetahui apa yang dirasakan dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri dan mendorong untuk menjadi lebih baik, memahami persepektif orang lain sehingga dapat menumbuhkan hubungan saling percaya mampu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka terhadap reaksi dan perasaan orang, mampu memimpin dan mengorganisir dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan serta dapat menyelaraskan diri dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya sesuatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Dengan demikian, individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mampu untuk lebih mengenali emosi dan pikiran yang sedang terjadi pada dirinya, tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan. Individu tersebut mempunyai kejernihan dalam berfikir, dan mampu mengendalikan diri

35

E. Profesionalisme

Profesi berasal dari kata profess yang berarti pengakuan atau pernyataan dimuka umum. Makna kata profesi adalah pekerjaan yg dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan (kemahiran) yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Profesional merupakan orang yg melakukan kegiatan atau menjalani profesi tertentu, sedangkan profesionalisme adalah sikap atau perilaku seseorang dalam melakukan profesi tertentu (Harefa, (1999) dalam Halim, (2003:12)). Arleen Herawati (2008), menyatakan bahwa profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak.

Menurut Aren et-al (2010:108), yang dimaksud dengan professional adalah:

“The term professional means a responsibility for conduct that extends beyond satisfying individual responsibilities and beyond the requirements of out society’s laws and regulation”.

Setiawan dan Gozali (2006), sebelum suatu profesi memperoleh pengakuan sosial, praktisi (akuntan) harus memiliki atribut profesionalisme yang mencakup, yaitu keyakinan bahwa pekerjaanya secara sosial adalah penting, berdedikasi terhadap pekerjaanya, membutuhkan otonomi dalam melaksanakan pekerjaanya, dukungan terhadap pengaturan sendiri (self- regulation), berafiliasi dengan praktisi lainya.

Menurut Hall, pada Kalber dan Forgerty (1995); dalam Yuliani (2005), seseorang yang profesional layaknya Akuntan Publik harus didasari oleh

36 beberapa hal, seperti dedikasi terhadap profesi, tanggung jawab sosial, tuntutan otonom, percaya pada pengaturan sendiri, dan perkumpulan profesi. Sedangkan Hall (Syahrir, 2002:7); Hastuti dkk (2003) dalam Reni Yendrawati (2008) dan Arleen Herawati (2008), menyatakan gambaran seseorang yang profesional dalam profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi, dan hubungan dengan sesama profesi.

Berikut penjelasan lima dimensi profesionalisme, sebagai berikut: 1. Pengabdian pada profesi (dedication)

Dicercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekadar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi, dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohaniah dan kemudian kepuasan material.

2. Kewajiban sosial (social obligation)

Yaitu pandangan tentang pentingnya peran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat ataupun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

37 3. Kemandirian (autonomy demands)

Yaitu suatu pandangan bahwa seorang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak yang lain (pemerintah, klien dan mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.

4. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation)

Yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.

5. Hubungan dengan sesama profesi (professional community affiliation) Berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan.

Sebagai profesional, auditor mempunyai kewajiban untuk memenuhi aturan perilaku spesifik, yang menggambarkan suatu sikap atau hal-hal yang ideal. Kewajiban tersebut berupa tanggung jawab yang bersifat fundamental bagi profesi untuk memantapkan jasa yang ditawarkan. Seseorang yang profesional mempunyai tanggung jawab yang lebih besar karena diasumsikan bahwa seorang profesional memiliki kepintaran, pengetahuan dan pengalaman untuk memahami dampak aktifitas yang dilakukan. konsep profesionalisme akuntan publik menjadi hal yang penting karena akuntan publik merupakan asset penting Kantor Akuntan Publik (KAP) dimana akuntan (auditor) itu bekerja sebagai indikator keberhasilan Kantor Akuntan

38 Publik (KAP). Diharapkan akuntan publik yang mempunyai sikap profesionalisme yang tinggi dapat memberikan kontribusi yang baik bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) dan memberikan pelayanan yang optimal bagi klienya

Setelah mengetahui dengan jelas apa itu profesionalisme dalam profesi akuntan publik, para akuntan publik dan para calon akuntan publik perlu mempersiapkan diri untuk memenuhi tuntutan profesionalisme. Hanya dengan profesionalisme ini, kepercayaan masyarakat terhadap akuntan publik pulih kembali dan dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

Dokumen terkait