BAB V HASIL PENELITIAN
5.3 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta tipe PB yaitu 133,15 ± 5,87 µmol/L, serta median 130,66 µmol/L dengan nilai minimum 122,53 µmol/L dan nilai maksimum 144,86 µmol/L. Pada kelompok subjek kusta tipe MB rerata kadar NO plasma yaitu 150,98 ± 10,21 µmol/L, serta median 155,50 µmol/L dengan nilai minimum 130,81 µmol/L dan nilai maksimum 166,57 µmol/L. Berdasarkan hasil uji normalitas data didapatkan kadar NO plasma berdistribusi tidak normal baik pada kelompok kusta tipe PB maupun kusta tipe MB, sehingga dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney untuk menganalisis perbedaan kadar NO plasma pada kedua kelompok tersebut. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta tipe MB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok subjek kusta tipe PB, dengan nilai p < 0,001 (p < 0,05), yang dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Hasil analisis perbandingan kadar nitric oxide plasma antara subjek kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar
n Rerata ± SD (µmol/L) Median
(minimum-maksimum)
xciii Kusta Tipe PB Kusta Tipe MB 17 34 133,15 ± 5,87 150,98 ± 10,21 130,66 (122,53 - 144,86) 155,50 (130,81-166,57) < 0,001 Signifikansi nilai p < 0,05
Pada grafik box plot menunjukkan perbandingan nilai kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta tipe MB lebih tinggi dibandingkan kelompok subjek kusta tipe PB, yang dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1
Grafik box plot perbandingan kadar nitric oxide plasma antara subjek kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar
Pada penelitian ini subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dapat menjadi variabel pengganggu yang tidak dieksklusi, dari 51 subjek kusta
xciv
didapatkan sebanyak 36 orang (70,6 %) yang sudah mendapatkan terapi MDT. Oleh karena itu dilakukan analisis terhadap kadar NO plasma antara subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan yang belum mendapatkan terapi MDT.
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT yaitu 145,29 ± 12,44 µmol/L, serta median 145,24 µmol/L dengan nilai minimum 122,53 µmol/L dan nilai maksimum 166,57 µmol/L. Pada kelompok subjek kusta yang belum mendapatkan terapi MDT rerata kadar NO plasma yaitu 145,62 ± 12,37 µmol/L, serta median 144,86 µmol/L dengan nilai minimum 128,61 µmol/L dan nilai maksimum 161,85 µmol/L. Berdasarkan hasil uji normalitas data didapatkan kadar NO plasma berdistribusi tidak normal pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT sedangkan pada kelompok yang belum mendapatkan terapi MDT kadar NO plasma berdistribusi normal, sehingga dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney untuk menganalisis perbedaan kadar NO plasma pada kedua kelompok tersebut. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dan yang belum mendapatkan terapi MDT tidak berbeda secara signifikan dengan nilai p = 0,741 (p > 0,05), yang dapat dilihat pada Tabel 5.4.
xcv
Hasil analisis perbandingan kadar nitric oxide plasma antara subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan
yang belum mendapatkan terapi MDT
n Rerata ± SD (µmol/L) Median
(minimum-maksimum) p Sudah Terapi MDT Belum terapi MDT 36 15 145,29 ± 12,44 145,62 ± 12,37 145,24 (122,53 - 166,57) 144,86 (128,61-161,85) 0,741 Signifikansi nilai p < 0,05
Pada gambaran box plot menunjukkan kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dan yang belum mendapatkan terapi MDT tidak berbeda secara signifikan, yang dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2
Grafik box plot perbandingan kadar nitric oxide plasma antara subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan
xcvi
5.4 Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta
Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi Spearman’s rho untuk mengetahui korelasi antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri karena data kadar NO plasma dan indeks bakteri pada subjek kusta berdistribusi tidak normal. Hasil analisis ini menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri (r = 0,968; p < 0,001), artinya semakin tinggi nilai indeks bakteri maka kadar NO plasma juga akan semakin tinggi, yang dapat dilihat pada Tabel 5.5 dan Gambar 5.3.
Tabel 5.5
Hasil uji korelasi kadar nitric oxide plasma dengan indeks bakteri Indeks bakteri Kadar NO plasma Kekuatan korelasi (r)
p n 0,968 < 0,001 51 Signifikansi nilai p < 0,01
xcvii
Gambar 5.3
Grafik box plot kadar nitric oxide plasma dengan indeks bakteri
5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri
Hasil analisis regresi liner didapatkan koefisien beta (β= 8,45), menunjukkan adanya pengaruh signifikan antara nilai indeks bakteri dengan kadar NO plasma pada subjek kusta. Setiap peningkatan indeks bakteri sebesar +1, akan diikuti oleh peningkatan kadar NO plasma sebesar 8,45 µmol/L. Berdasarkan koefisien determinasi (R2 = 95 %), artinya sebesar 95 % kadar NO plasma pada subjek kusta dipengaruhi oleh nilai indeks bakteri dan hanya sebesar 5 % dipengaruhi oleh faktor lain, yang dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6
Hasil analisis regresi linier hubungan kadar nitric oxide plasma dengan indeks bakteri pada subjek kusta
xcviii
Variabel Koefisien Beta (β) Koefisien determinasi (R2) p
xcix
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan 51 subjek kusta yang terdiri dari 17 subjek kusta tipe PB dan 34 subjek kusta tipe MB. Pada kedua kelompok tersebut dilakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan kadar NO plasma dan pemeriksaan hapusan sayatan kulit untuk menentukan nilai indeks bakteri berdasarkan skala logaritme Ridley’s.
Pada penelitian ini didapatkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita kusta dibandingkan perempuan dengan jumlah laki-laki sebanyak 29 orang (56,9 %) sementara perempuan sebanyak 22 orang (43,1 %) dengan perbandingan 1,3:1 antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan beberapa laporan, penyakit kusta dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan namun sebagian besar Negara di dunia menemukan bahwa laki-laki lebih banyak menderita penyakit kusta dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1 (Rao et al, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Hasil penelitian ini serupa dengan beberapa penelitian deskriptif sebelumnya. Penelitian Bhat dan Chaitra (2013) di India Selatan, melaporkan dari 46 kasus kusta baru (83,63 %) pada tahun 2011 dan 2012 diantaranya ditemukan laki-laki lebih banyak yaitu sebanyak 25 orang (54,35 %). Penelitian Tosepu et al, (2015) di Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara, melaporkan dari 34 penderita
c
kusta didapatkan 19 orang (55,9%) laki-laki sementara sisanya 15 orang (44,1 %) perempuan. Laki-laki lebih banyak menderita penyakit kusta karena mobilitas laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga lebih memudahkan terjadinya kontak dengan penderita kusta (Thorat dan Sharma, 2010; Bhat dan Chaitra, 2013). Berbeda dengan hasil penelitian Gomes da Cruz Silva et al. (2015) di Brazil yang melaporkan jumlah kasus kusta lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. Jumlah perempuan yang menderita kusta lebih banyak dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih sering mencari pelayanan kesehatan, berbeda dengan laki-laki yang hanya akan mencari pelayanan kesehatan bila gejala yang tampak sudah berat atau bahkan sudah mengalami kecacatan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih perduli terhadap penampilan fisiknya dibandingkan dengan laki-laki (Gomes da Cruz Silva et al, 2015; Bhat dan Chaitra, 2013). Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin juga berkaitan dengan paparan dan derajat kerentanan individu, oleh karena itu bila terdapat perbedaan jumlah kasus berdasarkan jenis kelamin maka harus dianalisis apakah perbedaan tersebut karena terdapat perbedaan perbandingan jenis kelamin pada populasi atau karena faktor genetik (Tosepu et al, 2015).
Rentang usia subjek kusta yang digunakan pada penelitian ini yaitu 5 tahun yang merupakan usia terendah hingga 60 tahun, dengan rerata usia yaitu 36,76 ± 12,927 tahun dan median 35 tahun. Subjek kusta dengan rentang usia tersebut kemudian dikelompokkan menjadi beberapa kelompok usia. Kelompok usia yang
ci
paling banyak menderita kusta adalah kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebanyak 18 orang (35,3 %) sementara kelompok usia yang paling sedikit menderita kusta adalah kelompok usia 5-15 tahun yaitu hanya sebanyak 2 orang (3,9 %). Penyakit kusta dapat terjadi pada semua usia namun lebih sering terjadi pada kelompok usia 20-30 tahun (Thorat dan Sharma, 2010). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian deskriptif Bhat dan Chaitra (2013) di India Selatan, yang melaporkan bahwa penyakit kusta lebih banyak terjadi pada kelompok usia 36-50 tahun yaitu sebanyak 19 orang (41,31 %) diikuti kelompok usia 16-35 tahun yaitu sebanyak 14 orang (30,43 %). Pada daerah endemik rendah, infeksi mungkin terjadi pada orang dewasa atau usia lebih tua. Peningkatan jumlah kasus pada anak-anak di populasi yang secara epidemiologi signifikan, menunjukkan adanya transmisi penyakit yang aktif dalam komunitas (Thorat and Sharma, 2010). Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut usia berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena onset timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Oleh karena itu pada penyakit kusta, angka prevalensi berdasarkan kelompok usia tidak menggambarkan risiko kelompok usia tertentu untuk terkena penyakit, dan dari banyak laporan yang terbanyak ditemukan adalah pada usia muda dan produktif (Aditama, 2012). Bila kelompok usia muda dan produktif menderita kusta maka dampak negatif dapat terjadi pada perkembangan ekonomi karena pada populasi ini dapat terjadi kecacatan, lesi kulit, dan reaksi kusta yang dapat menyebabkan kelompok tersebut menarik diri
cii dari aktivitas produktif (Bhat dan Chaitra, 2012).
Pada penelitian ini riwayat kontak positif sebesar 54,9 % dibandingkan riwayat kontak negatif sebesar 45,1 %. Riwayat kontak positif yang paling banyak adalah pasien yang mengalami kontak serumah yaitu sebanyak 13 orang (25,5 %) dan diikuti oleh pasien yang mengalami kontak dengan tetangga sebanyak 10 orang (19,6 %). Hasil ini serupa dengan penelitian di India Selatan, didapatkan riwayat kontak positif sebanyak 8 orang (17,39 %) dan kontak erat dengan individu yang menderita kusta dapat menimbulkan penyakit pada individu yang rentan (Bhat dan Chaitra, 2013). Hasil yang serupa juga dilaporkan pada penelitian di Mesir yang menemukan deteksi kasus kusta sangat tinggi diantara kelompok yang kontak dengan penderita kusta, hal ini menunjukkan adanya transmisi aktif diantara kelompok tersebut (Amer dan Mansour, 2014). Namun bila hanya sedikit individu yang akan menderita kusta setelah kontak dengan penderita kusta maka hal ini disebabkan karena adanya kekebalan tubuh (Aditama, 2012). Riwayat kontak positif menjadi faktor risiko berkembangnya penyakit kusta, namun terdapat beberapa faktor yang juga menjadi risiko yaitu tipe kusta dari penderita, usia dan jenis kelamin pasien yang mengalami kontak, riwayat vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG), faktor genetik, dan jarak kontak dengan pasien (Moet, 2006).
Distribusi klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO ditemukan lebih banyak yang menderita kusta tipe MB yaitu sebanyak 34 orang (66,7 %) dan
ciii
sisanya 17 orang (33,3 %) yang menderita kusta tipe PB. Hasil penelitian ini serupa dengan beberapa penelitian sebelumnya, penelitian Amer dan Mansour (2014) di Mesir serta Widodo dan Menaldi (2012) di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang menemukan kasus kusta tipe MB lebih banyak dibandingkan kusta tipe PB. Secara umum rerata usia pada kusta tipe MB lebih tinggi dibandingkan kusta tipe PB karena masa inkubasi bentuk kusta tipe MB lebih lama. Pengaruh usia maupun jenis kelamin terhadap proporsi jumlah kasus MB dimana kasus kusta tipe MB lebih banyak terjadi pada rerata usia yang lebih tinggi dan laki-laki dibandingkan perempuan dikatakan mempunyai korelasi yang sangat kuat (Gaschignard et al, 2016). Rerata usia pada hasil penelitian ini yaitu 36,76 ± 12,93 tahun dengan kelompok usia 26-35 tahun adalah kelompok yang paling banyak menderita kusta sementara kelompok usia 5-15 tahun adalah kelompok yang paling sedikit menderita kusta. Pada penelitian ini juga didapatkan laki-laki lebih banyak menderita kusta dibandingkan perempuan, hal ini menunjukkan bahwa distribusi karakteristik berdasarkan usia dan jenis kelamin yang ditemukan pada penelitian ini sesuai dengan proporsi jumlah kasus kusta tipe MB.
Distribusi spektrum penyakit kusta berdasarkan Ridley dan Jopling didapatkan yang paling banyak adalah kusta tipe borderline dengan tipe BL sebanyak 20 orang (39,2 %), diikuti kusta tipe BT sebanyak 15 orang (29,4 %), sementara kusta tipe LL hanya sebanyak 4 orang (7,8 %). Hasil ini sedikit berbeda dengan
civ
penelitian Bhat dan Chaitra (2013) di India Selatan, diantara 46 kasus kusta baru (83,63 %) yang paling banyak ditemukan adalah tipe BT yaitu sebanyak 16 orang (34,78 %). Hasil ini juga berbeda dengan penelitian di rumah sakit Universitas Parana di Brazil, yang melaporkan tipe lepromatosa lebih banyak (35,93 %) dibandingkan tipe borderline (34,39 %). Kusta tipe lepromatosa paling banyak ditemukan pada pasien usia tua oleh karena adanya penurunan sistem imun, hal ini mungkin berkaitan dengan peningkatan prevalensi tipe kusta pada pasien usia tua. Banyaknya jumlah pasien dengan usia tua pada sampel penelitian di Brazil ini menunjukkan jumlah prevalensi tipe kusta yang ditemukan (Silva de Lima et al, 2015). Pada penelitian ini kelompok usia yang paling banyak menderita kusta adalah kelompok usia produktif dan bukan kelompok usia tua sehingga tipe kusta yang lebih banyak ditemukan adalah tipe borderline.
Pada pemeriksaan indeks bakteri didapatkan indeks bakteri terbanyak yaitu 0 sebanyak 14 orang (27,5 %), diikuti dengan IB +3 sebanyak 13 orang (25,5 %), IB +1 sebanyak 12 orang (23,5 %). Diantara keseluruhan subjek kusta yang sudah mendapat terapi MDT lebih banyak yaitu sebanyak 36 orang (70,6 %) sementara sisanya 15 orang (29,4 %) belum pernah mendapatkan terapi MDT.
Indeks bakteri menunjukkan kepadatan kuman dan merupakan salah satu kriteria untuk menentukan spektrum penyakit berdasarkan Ridley dan Jopling. Pada tahun 1998, WHO kemudian mengkorelasikan tipe PB dan MB dengan klasifikasi Ridley dan Jopling yaitu penyakit kusta tipe TT, BT dengan IB negatif
cv
dimasukkan kedalam tipe PB sementara penyakit kusta tipe BB, BL, LL dengan IB positif dimasukkan kedalam tipe MB (Eichelmann et al, 2013; Northern Territory Government, 2010). Penurunan IB sangat lambat karena IB mulai menurun setelah satu tahun pemberian MDT yaitu sekitar 0,6-1,0 log per tahun dan terus menurun bahkan setelah pengobatan dihentikan (Mahajan, 2013). Pada penelitian ini ditemukan lebih banyak indeks bakteri 0 karena diantara 14 orang dengan nilai IB 0 ternyata didapatkan yang paling banyak adalah subjek kusta tipe PB yaitu sebanyak 12 orang dan hanya 2 orang yang menderita kusta tipe MB. Kedua subjek kusta tipe MB memiliki nilai IB 0 karena kedua subjek tersebut telah mengkonsumsi MDT sebanyak 11 paket. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa banyaknya nilai IB yang ditemukan sesuai dengan jumlah tipe kusta yang paling banyak ditemukan.
6.2 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO plasma pada subjek kusta tipe
MB yaitu sebesar 150,98 ± 10,21 µmol/L sementara pada subjek kusta tipe PB didapatkan sebesar 133,15 ± 5,87 µmol/L. Setelah dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney didapatkan kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta tipe MB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok subjek kusta tipe PB, dengan nilai p < 0,001. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Garad et al. (2014) di India yang menemukan perbedaan signifikan antara rerata kadar NO
cvi
pada pasien kusta tipe MB dibandingkan pasien kusta tipe PB dengan nilai p < 0,001. Rerata kadar NO pada pasien kusta tipe MB lebih tinggi yaitu sebesar 144,78 ± 92,57 µmol/L dibandingkan pada pasien kusta tipe PB yaitu 70,87 ± 19,21 µmol/L.
Nitric oxide merupakan komponen utama dari makrofag yang berperan penting dalam pertahanan respon imun pejamu terhadap perkembangan klinis penyakit kusta (Matila dan Thomas, 2014). Nitric oxide diproduksi di dalam makrofag dengan bantuan enzim iNOS ketika terjadi infeksi oleh M. leprae (Quaresma et al, 2014). Produk M. leprae seperti PGL-1 dan beberapa sitokin seperti IL-1, IL-2, IFN-γ, IFN-β, TNF-α akibat partikel yang telah mati dapat memproduksi NO (Goulart, 2008; Gautam dan Jain, 2007).
Perbedaan rerata kadar NO pada pasien kusta tipe PB dan MB terjadi karena ditemukan kadar enzim iNOS yang sangat tinggi terlokalisir pada lesi kulit pasien kusta tipe tuberkuloid (Boga et al, 2010). Sejak enzim iNOS diinduksi selama proses inflamasi, diduga sintesis NO dapat meningkat pada lesi kulit pasien kusta tipe tuberkuloid namun dikatakan kadar NO dalam darah juga dapat menunjukkan status metabolik pada seluruh tubuh. Oleh karena itu pada pasien kusta tipe MB dengan lesi kulit kronik yang multipel ditemukan kadar NO yang lebih tinggi (Garad et al, 2014; Visca et al, 2002). Semakin banyak lesi kulit pada pasien kusta tipe MB maka akan semakin banyak pula enzim iNOS yang terlokalisir pada lesi kulit sehingga produksi NO dalam darah juga akan semakin tinggi. Pada pasien
cvii
kusta tipe PB memiliki IB negatif sedangkan pasien kusta tipe MB memiliki IB positif, yang mana semakin tinggi nilai IB menunjukkan adanya produk kuman baik yang masih hidup maupun sudah mati sehingga dapat menginduksi produksi NO.
Nitric oxide juga dapat menyebabkan kerusakan saraf baik pada pasien kusta tipe PB maupun MB dengan mekanisme yang berbeda (Scollard,2008). Pada saraf pasien kusta tipe BL ditemukan nitrotirosin yang merupakan produk akhir dari metabolisme NO, berkaitan dengan peroksidasi lipid mielin sehingga akhirnya menyebabkan terjadinya demielinisasi (Nath dan Chadavula, 2010; Garad et al, 2014). Oleh karena itu kadar NO dapat digunakan sebagai penanda inflamasi untuk menentukan status imun sepanjang spektrum penyakit dan tingkat keparahan penyakit kusta (Boga et al, 2010; Garad et al, 2014 ).
Pada penelitian ini subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dapat menjadi variabel pengganggu yang dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya. Penelitian Elesawy et al. (2015) yang dilakukan pada tahun 2012 hingga tahun 2013 di Mesir, didapatkan perbandingan rerata kadar metabolit serum NO pada kelompok kusta tipe MB yang belum diobati (366,49 ± 263,97 µmol; p = 0,001) meningkat secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol sehat (165,87 ± 13,05 µmol). Perbandingan rerata kadar metabolit serum NO pada kelompok kusta tipe MB yang sudah diobati (161,7 ± 20,87 µmol; p = 0,001) menurun secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol sehat (165,87 ± 13,05
cviii
µmol). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar metabolit serum NO pada pasien kusta menurun bertahap sepanjang perbaikan klinis sebagai respon terhadap terapi MDT. Penelitian Boga et al. (2010) di Mumbai juga mendapatkan hasil yang serupa, didapatkan kadar NO plasma pada pasien kusta tipe MB yang telah mendapatkan pengobatan minimal selama 6 bulan menurun secara signifikan (40,82 ± 13,21 µM; p < 0,01). Namun kedua hasil penelitian tersebut berbeda dengan temuan pada penelitian ini, yaitu didapatkan kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT (145,29 ± 12,44 µmol/L; p = 0,741) dan yang belum mendapatkan terapi MDT (145,62 ± 12,37 µmol/L) tidak berbeda secara signifikan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa terapi MDT pada penelitian ini tidak menjadi variabel penganggu. Kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan yang belum mendapatkan terapi MDT tidak berbeda secara signifikan karena kuman M. leprae memiliki efikasi patogen yang terdapat pada dinding sel terutama PGL-1 sehingga kuman ini tidak mudah dibunuh dan meskipun pada pasien kusta yang telah mendapatkan pengobatan ternyata didapatkan penurunan IB sangat lambat bahkan setelah pengobatan dihentikan (Eichelmann et al, 2013: Mahajan, 2013).
6.3 Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta
cix
dengan nilai indeks bakteri pada subjek kusta dengan nilai r = 0,968 dan nilai p < 0,001. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini lebih kuat dibandingkan hipotesisnya yaitu r = 0,4. Pada Gambar 5.3 menunjukkan grafik box plot korelasi kadar NO plasma dengan nilai indeks bakteri pada subjek kusta, yang artinya bahwa semakin tinggi nilai indeks bakteri maka kadar NO plasma juga akan semakin tinggi.
Belum ada penelitian mengenai hubungan antara kadar NO plasma dengan IB pada subjek kusta yang dilaporkan sebelumnya. Namun terdapat beberapa penelitian yang melaporkan perbandingan rerata kadar NO pada masing-masing kelompok pasien kusta tipe PB dan MB dibandingkan dengan rerata kadar NO pada kelompok kontrol sehat. Data-data penelitian ini juga yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian ini.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Boga et al. (2010) di Mumbai yang melaporkan perbandingan rerata kadar NO pada kelompok pasien kusta tipe PB dan MB dibandingkan dengan rerata kadar NO pada kelompok kontrol sehat (40,57 ± 12,26 µM) menunjukkan peningkatan sepanjang spektrum penyakit kusta, namun peningkatan yang signifikan hanya pada kelompok MB (67,65 ± 27,07 µM; p < 0,001). Temuan ini sesuai dengan penelitian Elesawy et al. (2015) di Mesir didapatkan didapatkan perbandingan kadar NO pada kelompok pasien kusta tipe PB dan MB lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol sehat, namun diantara kelompok tersebut kadar NO yang signifikan lebih tinggi adalah
cx
pada kelompok pasien kusta tipe MB (366,49 ± 263,97 µmol; p = 0,001) dibandingkan kontrol (165,87 ± 13,05 µmol).
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh M. leprae, bermanifestasi klinis sebagai suatu spektrum luas tergantung dari respon imun pejamu (Eichelmann et al, 2013). Pertahanan respon imun pejamu terhadap perkembangan klinis penyakit kusta ditentukan oleh komponen utama dari makrofag yaitu kadar NO (Matila dan Thomas, 2014). Nitric oxide diinduksi oleh produk kuman M. leprae seperti PGL-1 dan beberapa sitokin seperti IL-1, IL-2, IFN-γ, IFN-β, TNF-α akibat partikel yang telah mati dengan bantuan enzim iNOS yang terjadi di dalam makrofag (Gautam dan Jain, 2007; Goulart, 2008).
Indeks bakteri menggambarkan kepadatan kuman, yang mana setelah pasien mendapat pengobatan rifampisin sekitar lebih dari 99,9 % basil yang hidup akan mati, setelah itu IB hanya akan menunjukkan basil yang mati dan kadang-kadang sedikit saja yang masih hidup (Mahajan, 2013). Berdasarkan WHO tahun 1982, pasien kusta tipe PB memiliki IB negatif dan tipe MB memiliki IB positif (Lastoria and Morgado de Abreu, 2014a). Oleh karena itu disimpulkan bahwa pada pasien kusta tipe MB yang memiliki nilai IB yang lebih tinggi dibandingkan