• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR NITRIC OXIDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KADAR NITRIC OXIDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

KADAR NITRIC OXIDE PLASMA

BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI

PADA PENDERITA KUSTA

HERJUNI OEMATAN NIM 1114088206

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR

(2)

ii

TESIS

KADAR NITRIC OXIDE PLASMA

BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI

PADA PENDERITA KUSTA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

HERJUNI OEMATAN NIM 1114088206

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

TESIS

KADAR NITRIC OXIDE PLASMA

BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI

PADA PENDERITA KUSTA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Spesialis Kulit dan Kelamin pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

HERJUNI OEMATAN NIM 1114088206

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR

(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 JULI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV NIP. 19590330 198511 2 001

Dr. dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV NIP. 19560912 198412 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Udayana/RSUP Sanglah

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK NIP. 195805211985031002

Dr.dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV NIP. 19530811198102001

(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji

pada Tanggal 20 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana No: 3276/UN14.4/HK/2016, Tanggal: 18 Juli 2016

Ketua : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV

Sekretaris : Dr. dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

Anggota :

1. Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV 2. Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV

(6)
(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis menaikkan Puji dan Syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kadar Nitric Oxide Plasma Berkorelasi Positif Dengan Indeks Bakteri Pada Penderita Kusta”.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV dan Dr. dr. AAGP. Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV sebagai pembimbing yang selalu membimbing serta memberikan saran dan pendapat sejak awal penyusunan tesis hingga tesis ini dapat tersusun dengan baik. Saya menyadari bahwa proses penyusunan tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa sumbangan pikiran, arahan, bimbingan, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari pembimbing. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah mendukung penuh selama proses penyusunan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana.

(8)

viii

Terima kasih kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree). Terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sudana, M.Kes, karena telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin serta memberikan ijin untuk melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan penguji, yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal sampai akhir pendidikan. Kepada Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, dan Dr. dr. IGAA. Praharsini, Sp.KK, FINSDV selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam proses penyusunan dan penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih yang berikut penulis sampaikan kepada Laboratorium Analitik Universitas Udayana Denpasar karena dengan adanya sarana dan prasarana yang tersedia, dapat mendukung kelancaran penelitian ini. Terima kasih kepada teman-teman seangkatan dr. Ary Wulandari, M.BioMed., Sp.KK, dr. Ida Ayu

(9)

ix

Komang Utami Dewi, dr. Ni Made Dina Pranidya Ari, dr. Nieke Andina Wijaya, dr. Gde Ngurah Arya Ariwangsa yang telah memberikan ide, saran, pendapat dan bantuan dalam proses penyusunan tesis ini. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan dr. Desak Made Putri Pidari, dr. Tjokorda Istri Oka Dwiprasetia Handayani, dr. Dulce Madalena da Costa Alberto, dr. Azhar Ramadan Nonci yang selalu memberikan semangat dan saling mendukung hingga akhir penyusunan tesis ini. Terimakasih kepada senior dr. IGA. Made Sri Widyastuti, M.Biomed., Sp.KK dan dr. I Putu Artana, M.Biomed., Sp.KK yang telah memberikan bantuan, motivasi dan semangat dalam proses penyusunan tesis ini. Kepada sahabat dan teman yang telah membantu saya dr. Veronica, dr. Nila Wardhani Batan, dr. Julianti, dr. Fresa Nathania, dr. Christiana Paramita dan seluruh teman-teman residen lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam suka maupun duka selama menempuh pendidikan. Kepada seluruh tenaga paramedis dan non medis di unit rawat jalan, ibu Ida Ayu Ketut Ariningsih sebagai analis di Laboratorium Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, seluruh staf dan pegawai di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin yang telah membantu kelancaran dalam proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada ayah dan ibu terkasih, Ir. Herman Arfaksad Oematan dan Iretty Juningsih Oematan-Ndun serta Oma terkasih Regina Oematan-Taboy, sebagai orang tua yang telah mengasuh, membesarkan, membimbing, dan memberikan dukungan moril serta materiil yang tiada henti.

(10)

x

Kepada suami tercinta, Andrias Alexander Tonak, S. Si, Apt., terima kasih karena telah mendukung, berkorban dan memberikan motivasi serta semangat dalam menyelesaikan tesis dan pendidikan ini. Tak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kakak tersayang Herjuno R. S. Oematan, SE dan Gratiana Sianto, SE serta kedua keponakan tersayang Aby dan Ecel. Terakhir saya ucapkan terima kasih kepada kedua sahabat saya Rosita Mulia, ST dan I Gde Indra Vitata Yuda, ST yang selalu mendukung dan membantu saya dalam menyelesaikan tesis dan pendidikan ini. Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis tetap memohon kritik, masukan dan saran karena tentunya tesis ini sangat jauh dari sempurna.

Denpasar, Juni 2016 Penulis,

(11)

xi

ABSTRAK

KADAR NITRIC OXIDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), bermanifestasi klinis sebagai suatu spektrum luas tergantung dari respon imun pejamu yang diperankan oleh nitric oxide (NO) sebagai komponen utama dari makrofag. Nitric oxide diproduksi di dalam makrofag dengan bantuan enzim inducible nitric oxide synthase ketika terjadi induksi oleh produk M. leprae yaitu phenolic glycolipid-1 dan beberapa sitokin. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan rerata kadar NO plasma antara subjek kusta tipe pausibasilar (PB) dengan subjek kusta tipe multibasilar (MB) serta adanya korelasi antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional analitik yang melibatkan 51 subjek kusta yang terdiri dari 17 pasien kusta tipe PB dan 34 pasien kusta tipe MB. Pada subjek kusta dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan kulit untuk menentukan nilai indeks bakteri berdasarkan skala logaritme Ridley’s dan pemeriksaan kadar NO plasma dengan metode Greiss.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar NO plasma pada subjek kusta tipe MB (150,98 ± 10,21 µmol/L; p < 0,001) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan subjek kusta tipe PB (133,15 ± 5,87 µmol/L) serta adanya korelasi positif yang kuat antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri, dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0,968 dan p < 0,001.

Simpulan pada penelitian ini adalah semakin tinggi nilai indeks bakteri maka kadar NO plasma juga akan semakin tinggi yang dibuktikan dengan kadar NO plasma pada subjek kusta tipe MB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan subjek kusta tipe PB serta adanya korelasi positif yang kuat antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri. Berdasarkan hasil penelitian ini maka kadar NO plasma dapat dipertimbangkan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit kusta dan dapat menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui apakah kadar NO dapat menjadi faktor risiko terhadap tingkat keparahan penyakit kusta

(12)

xii

ABSTRACT

NITRIC OXIDE PLASMA LEVELS ARE POSITIVELY CORRELATED WITH THE BACTERIAL INDEX OF LEPROSY

Leprosy is a granulomatous chronic infection disease that caused by Mycobacterium leprae (M. leprae), clinically manifested as a spectrum depends on the host immune response represented by nitric oxide (NO) as the main component of macrophage. Nitric oxide was produced inside of macrophage with the help of inducible nitric oxide synthase enzyme when induced by M. leprae products such as phenolic glycolipid-1 and few cytokines. This study purpose is to prove there are differences in nitric oxide mean plasma levels between paucibacillary and multibacillary subjects and shows there’s correlation between NO plasma levels with bacterial index of leprosy patients.

This is an analytic cross sectional study involving 51 leprosy subjects consist of 17 PB and 34 MB leprosy patients. Slit skin smear examination were done on the subjects to determine the bacterial index based on Ridley’s logarithm and NO plasma level with Greiss method.

Study results show that NO plasma level mean on MB leprosy patients (150,98 ± 10,21 µmol/L; p < 0,001) is significantly higher compare to NO plasma level mean on PB leprosy patients (133,15 ± 5,87 µmol/L) and also there’s a strong positive correlation between NO plasma level with bacterial index, with correlation coefficient (r) = 0,968 dan p < 0,001.

The conclusion from this study is that the higher leprosy bacterial index was, plasma NO level will also increase. This was proven by plasma NO level on MB type leprosy subjects was significantly higher than PB type leprosy subjects and there’s a strong positive correlation between plasma NO level and leprosy bacterial index. Based on this study we can suggest plasma NO level as one of the parameter to determine leprosy severity and can act as based for further study to know plasma NO level role as risk factor for leprosy severity.

(13)

xiii DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ……….. i PRASYARAT GELAR ……… ii LEMBAR PENGESAHAN ……….. iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……… v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……… vi

UCAPAN TERIMAKASIH ………. vii

ABSTRAK ………... xi

ABSTRACT ………. xii

DAFTAR ISI ……… xiii

DAFTAR TABEL ……… xviii

DAFTAR GAMBAR ………... xix

DAFTAR SINGKATAN ………. xx

DAFTAR LAMPIRAN ……… xxiv

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1 1.1 Latar Belakang ……….. 1 1.2 Rumusan Masalah ………. 6 1.3 Tujuan Penelitian ……….. 6 1.3.1 Tujuan Umum ………. 6 1.3.2 Tujuan Khusus ……… 6

(14)

xiv

1.4 Manfaat Penelitian ……… 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ………..….. 6

1.4.2 Manfaat Praktis ………...… 7

1.4.2.1 Manfaat Untuk Klinisi ……… 7

1.4.2.2 Manfaat Untuk Penderita ……… 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. 8

2.1 Penyakit Kusta ………... 8

2.1.1 Definisi Penyakit Kusta ………... 8

2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta ………..…… 8

2.1.3 Etiologi Penyakit Kusta ……….. 9

2.1.4 Penularan Penyakit Kusta ……… 10

2.1.5 Faktor Risiko Penyakit Kusta ……….. 10

2.1.6 Imunopatologi Penyakit Kusta ………. 11

2.1.7 Penegakan Diagnosis Penyakit Kusta …………. 15

2.1.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit ………….. 16

2.1.9 Klasifikasi Penyakit Kusta ……….. 19

2.1.10 Penatalaksanaan Penyakit Kusta ………. 21

2.2 Nitric Oxide ……… 21

2.2.1 Definisi Nitric Oxide ……… 21

2.2.2 Biosintesis Nitric Oxide ………...…… 22

(15)

xv

2.2.4 Regulator Produksi Nitric Oxide oleh iNOS …… 26

2.2.5 Jalur Nitric Oxide dan Aktivitas Antimikroba …. 27 2.2.6 Peran Nitric Oxide Pada Penyakit Kusta ………. 31

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .……..………... 36 3.1 Kerangka Berpikir ……….. 36

3.2 Kerangka Konsep ………... 37

3.3 Hipotesis Penelitian ……… 38

BAB IV METODE PENELITIAN ……… 39

4.1 Rancangan Penelitian ………. 39

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 39

4.3 Penentuan Sumber Data ………. 40

4.3.1 Populasi Target ……….………... 40 4.3.2 Populasi Terjangkau ………. 40 4.3.3 Sampel Penelitian ………. 40 4.3.3.1 Kriteria Inklusi ………. 40 4.3.3.2 Kriteria Eksklusi ………. 40 4.3.4 Besar Sampel ………... 41 4.4 Variabel Penelitian ………...…. 42

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel …………... 42

(16)

xvi 4.5 Bahan Penelitian ………. 49 4.6 Instrumen Penelitian ……….. 49 4.6.1 Instrumen ………. 49 4.6.2 Reagen ………. 50 4.7 Prosedur Penelitian ……… 51 4.8 Analisis Data ……….. 57 4.9 Etika Penelitian ……….. 58

BAB V HASIL PENELITIAN ………. 59

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ……….. 59

5.2 Uji Normalitas Data ………... 61

5.3 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta Tipe PB dan Kusta Tipe MB ………. 62 5.4 Korelasi Kadar Nitric Oxide plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta ………. 66 5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar NO Plasma dengan Indeks Bakteri ……… 67 BAB VI PEMBAHASAN ……….. 68

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ……….. 68

6.2 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar ……… 74 6.3 Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta ………. 77 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ………. 80

(17)

xvii

7.1 Simpulan ……… 80

7.2 Saran ……….. 80

DAFTAR PUSTAKA ……….. 81

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Spektrum Penyakit Kusta Berdasarkan Ridley dan Jopling Tahun 1966 . 20 Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta Berdasarkan WHO Tahun 1998……….. 20 Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Kusta ……… 61 Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data ………. 62 Tabel 5.3 Hasil Analisis Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma Antara

Subjek Kusta Tipe Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar ………. 63

Tabel 5.4 Hasil Analisis Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma antara Subjek Kusta yang Sudah Mendapatkan Terapi MDT dengan yang Belum

Mendapatkan Terapi MDT ……… 65

Tabel 5.5 Hasil Uji Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri …. 66 Tabel 5.6 Hasil Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Nitric Oxide Plasma

dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta ……… 67

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Imunopatologi Penyakit Kusta ………... 13

Gambar 2.2 Mekanisme Perlekatan M. leprae dengan Sel Schwann ……… 14

Gambar 2.3 Mekanisme Kerusakan Saraf ….……… 15

Gambar 2.4 Biosintesis NO dan Citruline dari L-arginine serta Molekul Oksigen .. 23

Gambar 2.5 A. Struktur Utama Enzim iNOS Manusia ………. B. Model untuk Organisasi Dimer iNOS ……….. 26 26 Gambar 2.6 Mekanisme Kerja NO pada Differensiasi Sel T ……… 27

Gambar 2.7 Jalur Nitric Oxide dan Aktivitas Antimikroba ………... 28

Gambar 2.8 Jalur Metabolik Respon Imun Pada Penyakit Kusta ……….. 33

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian ………... 37

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Cross-Sectional ……….. 39

Gambar 4.2 Bagan Hubungan antar Variabel Penelitian ………. 43

Gambar 4.3 Alur Penelitian ………... 56 Gambar 5.1 Grafik Box Plot Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma Antara

Subjek Kusta Tipe Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar ……. 63

Gambar 5.2 Grafik Box Plot Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma antara Subjek Kusta yang Sudah Mendapatkan Terapi MDT dengan yang Belum Mendapatkan Terapi MDT ………....

65

(20)

xx

DAFTAR SINGKATAN

AL : Argininosuccinate lyase APC : Antigen presenting cell AS : Argininosuccinate synthetase BB : Borderline-borderline BCG : Bacillus Calmette-Guerin BH4 : (6R)-tetrahydrobiopterin BL : Borderline-lepromatous BT : Borderline-tuberculoid BTA : Basil tahan asam

Ca2+ : Kalsium bebas dalam sitosol CaM : Calmodulin

CAT : Cationic amino acid transporters CD4+ : Cluster of differentiation 4+ CD8+ : Cluster of differentiation 8+ cGMP : Cyclic guanosine monophosphate cNOS : Constitutive nitric oxide synthase CR3 : Reseptor komplemen 3

DA : Dermatitis atopik

(21)

xxi eNOS : Endhotelial nitric oxide synthase FAD : Flavin adenine dinucleotide FMN : Flavin mononucleotide

GTP-CH I : Guanosine 5’-triphosphate cyclohydrolase I IB : Indeks bakteri IFN-β : Interferon-beta IFN-γ : Interferon-gamma IgE : Immunoglobulin E IL-10 : Interleukin-10 IL-12 : Interleukin-12

IL12-Rβ : Reseptor beta-interleukin 12 IL-17 : Interleukin-17

IL-4 : Interleukin-4 IL-5 : Interleukin-5 IM : Indeks morfologi

iNOS : Inducible nitric oxide synthase KTP : Kartu tanda penduduk

LL : Lepromatous

L-NAME : Nitro-L-arginin methyl ester L-NMMA : NG-monomethyl-L-arginin M. leprae : Mycobacterium leprae

(22)

xxii MB : Multibasilar

MDT : Multidrug treatment MH : Morbus Hansen

NADPH : Nicotineamide adenine dinucleotide phosphate NF-κB : Nuclear factor kappa B

nNOS : Neuronal nitric oxide synthase NO : Nitric oxide

NO- : Ion nitroxyl

NO* : Radikal bebas neutral NO+ : Ion nitrosium

NO2- : Nitrit NO3- : Nitrat

NOS : Nitric oxide synthase ODC : Ornithine decarboxylase PB : Pausibasilar

PGL-1 : Phenolic glycolipid-1 RFT : Release from treatment

RNI : Reactive nitrogen intermediates ROM : Rifampisin, ofloksasin, minosiklin RR : Reaksi reversal

(23)

xxiii SLPB : Single lesion paucibacillary

SMAD : Small ’mother againts’ decapentaplegic TGF-β : Tumor growth factor beta

Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2

TLR1 : Toll-like receptor 1 TLR2 : Toll-like receptor 2 TLRs : Toll-like receptor

TNF-α : Tumor necrosis factor-alpha TT : Tuberculoid

VDR : Reseptor vitamin D

(24)

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Kelaikan Etik ………... 89 Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ……… 90 Lampiran 3 Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian ……….. 91 Lampiran 4 Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ……… 93 Lampiran 5 Kuesioner Penelitian ……….………. 94 Lampiran 6 Data Sampel Penelitian ……….. 100 Lampiran 7 Karakteristik Subjek Penelitian ……….. 103 Lampiran 8 Uji Normalitas Data ………... 105 Lampiran 9 Uji Mann-Whitney Kadar NO Plasma antara Kelompok Kusta tipe PB

dengan Kusta tipe MB ………...

106

Lampiran 10 Uji Korelasi Spearman’s rho antara Kadar NO dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta ………

109

Lampiran 11 Analisis Regresi Linier Kadar NO dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta ……….

109

Lampiran 12 Foto Prosedur Penelitian ……….. 110 Lampiran 13 Foto Sampel Penelitian ……… 111

(25)

xxv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta atau Morbus Hansen (MH) sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu namun sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan umum di seluruh dunia baik dari segi medis maupun sosial dan ekonomi. Eliminasi kusta belum tercapai di seluruh dunia karena prevalensinya yang masih tetap tinggi setiap tahun. Penegakan diagnosis kusta yang tepat sangat membantu dalam upaya memutuskan rantai penularan penyakit ini terutama pada populasi yang tinggal di daerah endemik. Upaya ini masih menemukan hambatan mengingat lesi kulit pada penderita kusta dapat menyerupai lesi pada penyakit kulit lainnya sehingga penyakit ini juga disebut sebagai great imitator.

Berdasarkan laporan statistik tahunan World Health Organization (WHO) yang diterima dari 121 negara ditemukan jumlah kasus kusta baru di seluruh dunia pada tahun 2013 sebanyak 215.656 kasus sementara pada tahun 2014 menurun menjadi 213.899 kasus dengan jumlah kasus terbanyak ditemukan di Asia yaitu sebanyak 154.834 kasus. Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah kasus baru pada tahun 2013 hingga 2014 mengalami peningkatan yaitu dari 16.856 kasus menjadi 17.025 kasus, diantaranya merupakan kusta tipe multibasilar (MB)

(26)

xxvi

yaitu sebanyak 14.213 kasus (WHO, 2015). Pada tahun 2013, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah kasus baru yang paling tinggi yaitu sebanyak 4132 kasus dari 16.856 kasus baru di seluruh Indonesia (Infodatin, 2015). Prevalensi penyakit kusta di Bali yang tercatat di Dinas Kesehatan Provinsi Bali pada tahun 2014 yaitu sebesar 0,21 per 10.000 penduduk dengan jumlah penyakit kusta tipe pausibasilar (PB) dan MB sebanyak 89 kasus (Yudianto, 2015).

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), bermanifestasi klinis sebagai suatu spektrum luas tergantung dari respon imun pejamu (Eichelmann et al, 2013). Terdapat beberapa klasifikasi penyakit kusta seperti klasifikasi oleh Madrid pada tahun 1953, Indian pada tahun 1981, Ridley dan Jopling pada tahun 1966, World Health Organization (WHO) pada tahun 1982, 1988 dan tahun 1998 (Mishra dan Kumar, 2010).

Spektrum penyakit kusta yang ditandai oleh sejumlah sistem klasifikasi secara kliniko-imunopatologi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi Ridley dan Jopling pada tahun 1966, yang membedakan pasien kusta menjadi lima tipe yaitu penyakit kusta tipe tuberculoid (TT), tuberculoid (BT), borderline-borderline (BB), borderline-borderline-lepromatous (BL) dan lepromatous (LL) (Kumar dan Dogra, 2010). Pemeriksaan hapusan sayatan kulit merupakan salah satu kriteria klasifikasi Ridley dan Jopling yang dilakukan untuk menghitung indeks bakteri

(27)

xxvii

(IB) dan selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan pengobatan (Eichelmann et al, 2013).

World Health Organization pada tahun 1982 membedakan penyakit kusta hanya berdasarkan IB, yang dibagi menjadi tipe PB dengan IB < +2 dan tipe multibasilar (MB) dengan IB ≥ +2 (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014a). Namun pada tahun 1988, WHO merubah klasifikasinya hanya berdasarkan gejala klinis saja karena beberapa negara tidak memiliki sarana pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi tipe PB dengan jumlah lesi kulit ≤ 5 dan/atau hanya satu saraf yang terlibat, dan tipe MB dengan jumlah lesi kulit > 5 dan/atau lebih dari satu saraf yang terlibat (Santos et al, 2013; Pardilo et al, 2007). Pada tahun 1998, WHO kemudian mengkorelasikan tipe PB dan MB dengan klasifikasi Ridley dan Jopling pada tahun 1966 yaitu penyakit kusta tipe TT, BT dimasukkan kedalam tipe PB sementara penyakit kusta tipe BB, BL, LL dimasukkan kedalam tipe MB (Northern Territory Government, 2010). Indeks bakteri menggambarkan kepadatan kuman, yang mana setelah pasien mendapat pengobatan rifampisin sekitar lebih dari 99,9 % basil yang hidup akan mati, setelah itu IB hanya akan menunjukkan basil yang mati dan kadang-kadang sedikit saja yang masih hidup. Basil yang mati akan dikeluarkan dari tubuh melalui mekanisme alami pejamu, IB mulai menurun setelah satu tahun pemberian multidrug treatment (MDT) yaitu sekitar 0,6-1,0 log per tahun dan terus menurun bahkan setelah pengobatan dihentikan (Mahajan, 2013).

(28)

xxviii

Produksi reactive nitrogen intermediates (RNIs) terutama nitric oxide (NO) oleh makrofag yang dihasilkan dari L-arginine melalui enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS), merupakan komponen utama dari makrofag yang berperan penting dalam pertahanan respon imun pejamu terhadap perkembangan klinis penyakit kusta (Matila dan Thomas, 2014; Quaresma et al, 2010). Efek sitotoksik NO tidak hanya menyerang M. leprae tapi juga dapat menghambat pertumbuhan kuman tersebut sama seperti yang terjadi pada penyakit infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit (Garad et al, 2014; Gautam dan Jain, 2007). Namun berbeda pada penyakit kusta karena kuman M. leprae memiliki efikasi patogen yang terdapat pada komponen kapsul dan dinding sel terutama PGL-1 sehingga kuman ini tidak mudah dibunuh (Eichelmann et al, 2013). Penelitian terbaru melaporkan bahwa NO dapat diproduksi oleh makrofag ketika terjadi infeksi oleh bakteri gram positif seperti M. leprae dan Mycobacterium tuberculosis (Garad et al, 2014; Boga et al, 2010). Produk mikroba M. leprae seperti phenolic glycolipid-1 (PGL-1), dan beberapa sitokin seperti interferon (IFN)-γ, IFN-β, tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1 dan IL-2 dapat menginduksi makrofag untuk memproduksi NO (Gautam dan Jain, 2007; Goulart, 2008).Kadar NO yang tinggi diproduksi sebagai respon terhadap stimulus inflamasi yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi, juga dapat menyebabkan efek destruktif terhadap saraf (Korhonen et al, 2005). Penelitian Boga et al. (2010) di Mumbai, didapatkan perbandingan rerata kadar NO pada kelompok pasien kusta tipe PB dan MB dengan rerata kadar NO

(29)

xxix

pada kelompok kontrol sehat (40,57 ± 12,26 µM) menunjukkan peningkatan sepanjang spektrum penyakit kusta, namun peningkatan yang signifikan hanya pada kelompok MB (67,65 ± 27,07 µM; p < 0,001). Penelitian Elesawy et al. (2015) yang dilakukan pada tahun 2012 hingga tahun 2013 di Mesir, didapatkan perbandingan rerata kadar metabolit serum NO pada kelompok pasien kusta tipe MB (366,49 ± 263,97 µmol; p = 0,001) meningkat secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol sehat (165,87 ± 13,05 µmol). Penelitian Garad et al. (2014) di India, didapatkan hasil rerata kadar NO pada pasien kusta tipe MB (144,78 ± 92,57 µmol/L; p < 0,001) signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien kusta tipe PB (70,87 ± 19,21 µmol/L).

Pada kusta tipe tuberkuloid ditemukan ekspresi enzim iNOS yang tinggi terlokalisir pada lesi kulit yang dicurigai sebagai akibat adanya induksi terhadap stimulus inflamasi. Kenyataannya, kadar serum NO dapat menunjukkan status metabolik didalam tubuh dibuktikan dengan ditemukannya kadar NO yang lebih tinggi pada pasien kusta tipe MB dengan lesi kronik yang multipel (Elesawy et al, 2015). Oleh karena itu kadar NO dalam darah dapat digunakan sebagai penanda inflamasi untuk menentukan status imun sepanjang spektrum penyakit dan tingkat keparahan penyakit kusta (Garad et al, 2014; Boga et al, 2010).

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut disimpulkan bahwa NO sebagai penanda inflamasi juga dapat berperan untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit kusta yang mana kadar NO akan meningkat sepanjang spektrum penyakit

(30)

xxx

kusta. Indeks bakteri merupakan salah satu kriteria untuk menentukan spektrum penyakit kusta yang dapat dihitung apabila fasilitas kesehatan memiliki sarana pemeriksaan hapusan sayatan kulit, namun belum ada penelitian mengenai hubungan antara NO dengan IB. Berdasarkan data-data tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar NO dengan IB pada penderita kusta yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Uraian ringkasan dalam latar belakang masalah tersebut memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kadar nitric oxide plasma antara penderita kusta tipe PB dengan penderita kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar?

2. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar nitric oxide plasma dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk membuktikan hubungan antara nitric oxide dengan penyakit kusta di RSUP Sanglah Denpasar.

(31)

xxxi

1. Untuk membuktikan adanya perbedaan kadar nitric oxide plasma antara penderita kusta tipe PB dengan penderita kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Untuk membuktikan adanya korelasi positif antara kadar nitric oxide plasma dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Memberi sumbangan ilmu pengetahuan mengenai peranan reactive nitrogen intermediates (RNIs) terutama nitric oxide pada patogenesis penyakit kusta dan hubungannya dengan indeks bakteri.

1.4.2 Manfaat praktis

1.4.2.1. Manfaat untuk klinisi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui apakah kadar NO dapat menjadi faktor risiko terhadap tingkat keparahan penyakit kusta.

1.4.2.2. Manfaat untuk penderita

Dengan membuktikan hubungan antara kadar nitric oxide plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta, maka kadar NO plasma dapat dipertimbangkan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit kusta.

(32)

xxxii

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta

2.1.1 Definisi penyakit kusta

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh M. leprae (Walker, 2006). Penyakit kusta terutama menyerang sistem saraf perifer dan kulit dengan lesi kulit merupakan tanda eksternal utama. Selain itu, dapat juga menyerang jaringan lain seperti mata, mukosa saluran pernapasan atas, otot, tulang dan testis (Saonere, 2011).

2.1.2 Epidemiologi penyakit kusta

Penyakit kusta merupakan penyakit endemik di negara-negara tropis khususnya negara berkembang dan belum berkembang (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014a). Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2014 yang diterima dari 121 negara di seluruh dunia, dilaporkan sebanyak 213.899 kasus baru yang terdeteksi. Jumlah kasus terbanyak ditemukan di Asia yaitu sebanyak 154.834 kasus diikuti oleh Amerika 33.789 kasus, Afrika 18.597 kasus, Pasifik Barat 4.337 kasus dan Mediterania Barat sebanyak 2.342 kasus. Indonesia dilaporkan menempati peringkat ketiga dengan jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan Brazil yaitu sebanyak 17.025 kasus, diantaranya merupakan kusta tipe MB yaitu sebanyak 14.213 kasus dengan 6.370 kasus terjadi pada perempuan (WHO, 2015). Penelitian oleh Widodo dan Menaldi di rumah sakit Cipto Mangunkusumo

(33)

xxxiii

(RSCM) Jakarta pada tahun 2006 sampai tahun 2009 tentang karakteristik pasien kusta di Jakarta, ditemukan bahwa terdapat 1021 kasus baru yang terdiri dari 630 pasien laki-laki (61,7 %) dan 391 perempuan (38,3 %), dengan tipe MB lebih dari 80 % sebagai tipe penyakit kusta baru (Widodo dan Menaldi, 2012). Penyakit kusta dapat terjadi pada semua usia namun lebih sering terjadi di antara kelompok usia 20 tahun hingga 30 tahun. Pada daerah endemik, infeksi umumnya terjadi pada masa anak-anak. Sementara pada daerah non endemik, infeksi dapat terjadi pada orang dewasa atau usia lanjut (Thorat dan Sharma, 2010).

2.1.3 Etiologi penyakit kusta

Penyakit kusta terutama disebabkan oleh M. leprae, namun Han et al. menemukan bahwa M. lepromatosis menjadi penyebab utama penyakit kusta di daerah Meksiko (Saonere, 2011; Polycarpou et al, 2013). Mycobacterium leprae merupakan basil gram positif, berdinding tebal, bersifat tahan asam, aerob dan non motil dengan ukuran panjang 1-8 µM dan diameter 0,3 µM dengan bentuk yang cembung (Lee et al, 2012; Sekar, 2010). Basil ini merupakan parasit obligat intraseluler yang tidak dapat tumbuh dan berkembang diluar pejamu. Secara in vivo bakteri ini tumbuh pada suhu 27º C hingga 30º C, dibawah suhu basal manusia sehingga area tubuh yang menjadi tropisme adalah kulit, mukosa nasal, dan saraf perifer (sel Schwann) (Lee et al, 2012). Mycobacterium leprae bereplikasi dengan cara binary fission dan replikasi tersebut terjadi sekitar 11 hingga 13 hari (Eichelmann et al, 2013). Basil ini dapat bertahan hidup sampai 5

(34)

xxxiv

bulan pada lingkungan (Worobec, 2012). Masa inkubasi sesuai manifestasi klinis bervariasi yaitu pada kusta tipe PB sekitar 2 tahun hingga 5 tahun sedangkan kusta tipe MB sekitar 5 tahun hingga 10 tahun namun kadang-kadang dapat lebih lama (WHO, 2010).Efikasi patogen ini terutama ditentukan oleh dua elemen struktur seperti kapsul dan dinding sel (Eichelmann et al, 2013). Kapsul M. leprae mengandung dua lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan PGL-1. Komponen dinding sel M. leprae yang penting adalah lipoarabinomanan (LAM) merupakan suatu antigen terhadap makrofag (Sekar, 2010; Lee et al, 2012).

2.1.4 Penularan penyakit kusta

Rute penularan sebenarnya tidak diketahui secara pasti, namun dikatakan sumber penularan M. leprae terutama melalui pasien kusta tipe MB yang belum diobati dibandingkan pasien kusta tipe PB (Northern Territory Goverment, 2010). Traktus respiratorius khususnya hidung adalah pintu keluar M. leprae dari tubuh pasien yang terinfeksi saat pasien bersin (Thorat dan Sharma, 2010). Jumlah basil dari lesi mukosa nasal pasien kusta tipe lepromatosa bervariasi mulai dari 10.000 hingga 10.000.000 (Eichelmann et al, 2013). Penularan dapat terjadi melalui dua port d’entry utama yaitu melalui traktus respiratorius atas dan kulit terutama barrier kulit yang rusak (Rao, et al 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Mycobacterium leprae sangat banyak ditemukan pada lapisan keratin superfisial pasien kusta tipe lepromatosa sehingga menunjukkan bahwa organisme tersebut dapat keluar saat sekresi kelenjar sebasea (Bhat dan Prakash, 2012).

(35)

xxxv

2.1.5 Faktor risiko penyakit kusta

Epidemiologi penyakit kusta ditentukan oleh faktor pejamu, agen, dan lingkungan (Thorat dan Sharma, 2010). Faktor pejamu yaitu usia, jenis kelamin, migrasi populasi dari desa ke kota sehingga terjadi peningkatan penyakit kusta di daerah perkotaan, imunitas pejamu, faktor genetik, kurang asupan nutrisi atau penyakit lain yang menekan fungsi imun dan terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit kusta. Faktor lingkungan yaitu kelembaban lingkungan karena transmisi penularan meningkat pada lingkungan yang lembab, individu yang tinggal di daerah endemik (Bhat dan Prakarsh, 2012). Pada area endemik risiko meningkat melalui kontak erat dan durasi kontak (Thorat dan Sharma, 2010).

2.1.6 Imunopatologi penyakit kusta

Gambaran manifestasi klinis dan histopatologi penyakit kusta sangat bervariasi tergantung respon imun pejamu (Nath dan Chaduvula, 2010). Awalnya kuman M. leprae masuk kedalam tubuh manusia melalui mukosa hidung dan kemudian menyebar ke kulit dan saraf melalui sirkulasi darah (Walker dan Lockwood, 2006). Berbagai reseptor pada monosit dan makrofag menfasilitasi fagositosis M. leprae (Misch et al, 2010; Nath et al, 2015). Awalnya fagositosis oleh monosit dimediasi oleh lipid pada kapsul sel M. leprae yaitu PGL-1 yang dikenali oleh reseptor komplemen 3 (CR3) dan serum komplemen 3 (Nath dan Chaduvula, 2010). Phenolic glycolipid-1 yang mengandung lipoprotein 19 dan 33 KDa kemudian mengaktivasi heterodimer toll-like receptor (TLR)2, TLR4 pada

(36)

xxxvi

monosit sehingga menyebabkan monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan sel dendritik (Nath dan Chaduvula, 2010; Walker dan Lockwood, 2006). Setelah terjadi fagositosis M. leprae oleh makrofag melalui TLR1, TLR2 kemudian terjadinya aktivasi jalur sinyal dan ekspresi sitokin proinflamasi yang menyebabkan proliferasi sel T naïve kearah T helper (Th) 1 atau Th2, yang mana masing-masing mempromosikan sel respon imun seluler dan humoral terhadap M. leprae (Misch et al, 2010). Hal ini yang menyebabkan terjadi evolusi penyakit kusta kearah tipe tuberkuloid atau tipe lepromatosa (Lastoria dan Margado de Abreu, 2014a). Sekresi IL-12 menginduksi pelepasan sitokin IFN-γ sehingga memperkuat ekpresi TLR1 dan menyebabkan terjadinya inflamasi melalui produksi TNF-α, keadaan ini menyebabkan penyakit kusta berkembang kearah tipe tuberkuloid (Nath dan Chaduvula, 2010; Goulart, 2008). Stimulasi TLR1, TLR2 juga mengaktivasi nuclear factor kappa B (NF-kB) yang memodulasi transkripsi banyak gen respon imun (Walker dan Lockwood, 2006).

Berdasarkan analisis klon sel T dari lesi menunjukkan pola sitokin yang berbeda yang diproduksi oleh subkelas cluster of differentiation 4+ (CD4+) dan CD8+ (Lastoria dan Margado de Abreu, 2014a). Klon sel CD4+ dari pasien kusta tipe tuberkuloid memproduksi IFN-γ, IL-2, dan TNF-α yang tinggi (Walker dan Lockwood, 2006). Klon ini disebut sel T CD4+ sesuai pola Th1 yang dapat meningkatkan imunitas yang dimediasi oleh sel dan mereduksi proliferasi M. leprae (Nath et al, 2006). Makrofag dibawah pengaruh sitokin terutama TNF-α

(37)

xxxvii

bersama dengan limfosit dapat membentuk granuloma (Walker dan Lockwood, 2006).

Pada pasien kusta tipe lepromatosa melalui aktifitas makrofag, klon sel CD8+ memproduksi sitokin supresor seperti IL-4, IL-5, dan IL-10 yang tinggi namun IFN-γ rendah. Interleukin-4 tampaknya berfungsi sebagai downregulator TLR2 pada monosit dan IL-10 mensupresi produksi IL-12 (Walker dan Lockwood, 2006). Klon sel ini disebut sel T CD8+ sesuai pola Th2 yang berkontribusi terhadap stimulasi limfosit B sehingga terjadi peningkatan respon imun humoral walaupun antibodi yang terbentuk sangat banyak namun tidak protektif (Misch et al, 2010; Nath et al, 2015). Pada pasien kusta tipe lepromatosa, imunitas seluler juga tidak terbentuk sehingga perkembangan penyakit lebih berat (Lastoria dan Margado de Abreu, 2014a; Misch et al, 2010).Pada pasien kusta tipe lepromatosa terdapat peningkatan tumor growth factor-beta (TGF-β) dimana pada pasien kusta tipe tuberkuloid tidak terdapat TGF-β dan kadarnya menurun pada kusta tipe borderline. Sitokin ini menekan aktivasi makrofag, yang menghambat produksi TNF-α dan IFN-γ sehingga infeksi tetap terjadi (Lastoria dan Margado de Abreu, 2014a) yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Misch et al, 2010).

(38)

xxxviii

Gambar 2.1

Imunopatologi penyakit kusta (Misch et al, 2010)

Kerusakan saraf akibat invasi kuman M. leprae pada sel Schwann merupakan tanda progresifitas penyakit kusta yang menyerang saraf bermielin maupun tidak bermielin (Barker, 2006; Misch, 2010). Patogenesis diawali dengan perlekatan lipid bakteri yaitu PGL-1 dan laminin binding protein 21 (LBP21) pada M. leprae dengan rantai alfa 2 dari laminin-2 (LAMA2) dan alfa-distroglikan (α-DG) pada sel Schwann yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Misch et al 2010; Scollard, 2008).

(39)

xxxix

Gambar 2.2

Mekanisme perlekatan M. leprae dengan sel Schwann (Misch et al, 2010) Kerusakan saraf dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu pada tingkat jaringan dan tingkat seluler. Pada tingkat jaringan terjadi influks sel imun seperti limfosit, sel epiteloid, giant cells dan sel Schwann itu sendiri yang dapat membentuk granuloma serta terjadi edema di dalam selubung saraf yang menyebabkan kerusakan akson melalui mekanisme kompresi, iskemia dan demielinisasi. Pada tingkat seluler terjadi trauma secara imunologi yang dipertimbangkan sebagai mekanisme utama kerusakan saraf (Misch et al, 2010). Secara imunologi, setelah terjadi perlekatan antara M. leprae dengan sel Scwhann, makrofag intraneural mensekresi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan kemokin dalam jumlah banyak. Sitokin TNF-α berkerja secara sinergis dengan sitokin lainnya untuk menginisiasi apoptosis sel Scwhann yang dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Misch et al 2010; Scollard, 2008).

(40)

xl

Gambar 2.3

Mekanisme kerusakan saraf (Misch et al, 2010)

2.1.7 Penegakan diagnosis penyakit kusta

Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan didukung dengan pemeriksaan hapusan sayatan kulit (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990). Penegakan diagnosis kusta secara klinis berdasarkan tiga tanda kardinal yang telah ditetapkan oleh WHO expert committee on leprosy pada tahun 1997. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan 1 atau lebih dari 3 tanda kardinal (Eichelmann et al, 2013, Kumar dan Dogra, 2010).

Pertama, lesi kulit yang disertai dengan anestesi. Lesi kulit sering menjadi tanda klinis awal penyakit kusta, lesi tersebut dapat berupa makula dan plak dengan warna yang bervariasi mulai dari lesi hipopigmentasi, hiperpigmentasi, hingga eritema atau berwarna seperti tembaga. Permukaan lesi kulit dapat tampak kering dan kasar ataupun mengkilat dan halus. Banyak lesi kulit yang mirip dengan lesi kusta oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan anestesi terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.

(41)

xli

Kedua, penebalan saraf tepi. Penebalan saraf tepi terjadi setelah adanya lesi kulit yang anestesi. Keterlibatan saraf tepi mengikuti pola distribusi lesi kulit yang khas dan lebih jelas pada pasien kusta tipe MB namun pada fase awal belum terjadi penebalan saraf. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis mulai dari saraf aurikularis magnus, ulnaris, radialis, medianus, peroneus lateralis dan tibialis posterior/anterior.

Ketiga, ditemukan basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau pemeriksaan histopatologi. Sediaan hapusan sayatan kulit yang telah diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk melihat BTA mempunyai spesifisitas 100 % namun sensitifitas rendah bila penegakan diagnosis hanya berdasarkan kriteria ini saja karana pasien dengan pemeriksaan BTA yang positif mewakili hanya 10 % - 50 % dari keseluruhan kasus. Oleh karena itu pemeriksaan histopatologi tetap menjadi baku emas untuk penyakit kusta. Indeks bakteri dengan menggunakan skala logaritme Ridley’s digunakan untuk

menginterpretasikan hasil hapusan sayatan kulit.

2.1.8 Pemeriksaan hapusan sayatan kulit

Penyakit kusta adalah satu-satunya penyakit dimana terjadi invasi BTA pada dermis dan mukosa nasal (Noto et al, 2011). Basil ini dapat dilihat melalui pemeriksaan hapusan sayatan kulit (Alter et al, 2008). Pemeriksaan bakteriologis merupakan prosedur skrining penting untuk semua pasien yang dicurigai

(42)

xlii

pemeriksaan ini adalah untuk mengkonfirmasi diagnosis kusta, menentukan klasifikasi kusta, menentukan inefektifitas pasien, menentukan progresifitas penyakit dan mengevaluasi pasien selama menjalani pengobatan (Job dan Ponnaiya, 2010).

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit diambil dari daerah lesi yang paling dicurigai dan paling sering terlibat yaitu cuping telinga kanan dan kiri, lesi kulit yang paling aktif, ruas kedua dorsum jari tengah dan dorsum ibu jari kaki karena pada daerah tersebut kemungkinan terdapat BTA paling tinggi (Mahajan, 2013). Hapusan sayatan kulit harus diambil dari tepi lesi yang aktif namun apabila tidak ada tepi lesi yang aktif maka sebaiknya diambil dari bagian tengah lesi (Northern Territory Government, 2010). Semua spesimen harus diletakkan pada satu objek gelas dan sebaiknya lokasi pengambilan spesimen selalu ditempat yang sama seperti pengambilan sebelumnya (Yawalkar, 2009).

Hapusan sayatan kulit yang telah diwarnai dengan teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen dapat digunakan untuk menghitung IB dan indeks morfologi (IM) (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014b). Indeks bakteri adalah skor rata-rata yang menunjukkan jumlah basil pada kulit (Northern Territory Government, 2010). Hasil IB didapat dengan cara menambahkan skor dari setiap area dan dibagi dengan jumlah area pengambilan spesimen (Lockwood, 2010). Berdasarkan skala logaritme Ridley’s, IB diberi skor mulai dari +0 sampai +6 tergantung dari jumlah basil pada rata-rata lapangan pandang (LP) mikroskop menggunakan

(43)

xliii minyak emersi (Yawalkar, 2009):

1. +6 terdapat banyak gumpalan atau lebih dari 1000 basil pada satu LP. 2. +5 terdapat 100 sampai 1000 basil pada satu LP.

3. +4 terdapat 10 sampai 100 basil pada satu LP. 4. +3 terdapat 1 sampai 10 basil pada satu LP. 5. +2 terdapat 1 sampai 10 basil pada 10 LP. 6. +1 terdapat 1 sampai 10 basil pada 100 LP. 7. +0 tidak ada basil yang tampak pada 100 LP.

Pemeriksaan IB bermanfaat untuk membantu menentukan status pasien saat awal pengobatan dan untuk menentukan progresifitas penyakit (Rao et al, 2012). Pada pasien yang tidak diobati, jumlah basil ditemukan paling banyak pada area cuping telinga. Sementara pada pasien yang telah diobati, permukaan dorsal jari sering merupakan area terakhir yang memberikan hasil negatif (Noto et al, 2011; Bhat dan Prakash, 2012).

Indeks morfologi adalah presentasi basil yang solid dengan bentuk dan ukuran yang normal, yang dihitung setelah dilakukan pemeriksaan pada 100 basil yang tampak dibawah mikroskop (Job dan Ponnaiya, 2010). Tujuan pemeriksaan IM adalah untuk menentukan apakah basil masih hidup atau tidak (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014b). Basil solid adalah suatu basil yang masih hidup, dimana seluruh basil berwarna merah dan mampu menginfeksi individu. Basil tersebut dapat tampak sebelum pengobatan dan kondisi relaps. Selain itu, pada

(44)

xliv

pemeriksaan hapusan sayatan kulit juga dapat ditemukan basil fragmentasi dan granuler. Pada basil fragmentasi akan tampak celah kecil karena terjadi interupsi pada sintesis komponen basil. Sementara basil granuler akan tampak celah yang besar dengan bintik-bintik merah (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014b; Northern Territory Government, 2010). Dua tipe basil yang terakhir adalah basil yang sudah mati dan akan tampak pada pasien yang telah diobati (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014b).

2.1.9 Klasifikasi penyakit kusta

Penyakit kusta memiliki variasi pada tampilan klinis sehingga perlu dilakukan klasifikasi menurut Ridley dan Jopling (1966) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologi, respon imunologis, dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan

histopatologi sebagai baku emas (Mishra dan Kumar, 2010; Kumar dan Dogra, 2010). Ridley dan Jopling mengklasifikasikan pasien kusta ke dalam spektrum yang terdiri dari 5 tipe yaitu kusta tipe tuberculoid (TT), borderline-tuberculoid (BT), borderline-borderline (BB), borderline-lepromatous (BL) dan lepromatous (LL) yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Kumar dan Dogra, 2010).

Klasifikasi WHO, digunakan sejak tahun 1998 untuk mengklasifikasikan kusta berdasarkan jumlah lesi pada kulit yang dibuat untuk menyederhanakan dan membantu diagnosis penyakit kusta di lapangan serta sebagai panduan pemberian terapi MDT. Klasifikasi ini dibagi menjadi dua tipe yaitu PB dan MB dengan

(45)

xlv

jumlah > 5 lesi kulit, namun PB berikutnya dibagi lagi menjadi PB lesi tunggal atau single lesion paucibacillary (SLPB) dan PB dengan jumlah 2-5 lesi kulit, yang dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Northern Territory Government, 2010).

Tabel 2.1

Spektrum penyakit kusta berdasarkan Ridley dan Jopling tahun 1966 (Kumar dan Dogra, 2010)

Lesi TT BT BB BL LL Jumlah Biasanya tunggal (s/d 3) Sedikit (s/d 10) Beberapa (10-30) Banyak asimetris (>30) Tidak terhitung, simetris Ukuran Bervariasi, umumnya besar Bervariasi, beberapa besar Bervariasi Kecil, beberapa dapat besar Kecil

Permukaan Kering, dengan skuama Kering, dengan skuama, terlihat cerah, infiltrasi Kusam atau sedikit mengkilap Mengkilap Mengkilap

Sensasi Absen Menurun

dengan jelas Menurun sedang Sedikit menurun Menurun minimal, atau normal Pertumbuhan rambut Absen Menurun dengan jelas Menurun sedang Sedikit menurun Normal pada tahap awal

BTA Negatif Negatif atau

sedikit

Jumlah sedang Banyak Banyak sekali termasuk globi Reaktivitas lepromin Positif kuat (+++) Positif lemah (+ atau ++) Negatif atau positif lemah Negatif Negatif Tabel 2.2

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO tahun 1998 (Northern Territory Government, 2010)

(46)

xlvi

Klasifikasi klinis SLPB PB MB

Jumlah lesi kulit Hanya 1 lesi 2-5 lesi 6 atau lebih lesi DAN

Sediaan hapusan Negatif pada semua area

Negatif pada semua area

Positif pada semua area

Distribusi - Asimetris Lebih simetris

Hilangnya sensasi Terbatas Terbatas Luas

Kerusakan saraf Saraf dibadan tidak terlibat

Hanya 1 saraf dibadan yang

terlibat

Banyak saraf dibadan yang terlibat Korelasi dengan

Ridley dan Jopling

I, TT, BT TT, kebanyakan BT Beberapa BT, BB, BL, LL

2.1.10 Penatalaksanaan penyakit kusta

Berdasarkan klasifikasi WHO pada tahun 1998 untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 kelompok dengan rejimen multi drug treatment (MDT) sebagai berikut yaitu pertama, PB dengan lesi kulit tunggal yang terdiri dari rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM), diberikan dosis tunggal; kedua, PB dengan jumlah 2-5 lesi kulit terdiri dari rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg per hari (1-2 mg/kg berat badan) diminum sendiri, lama pengobatan 6 bulan; ketiga penderita MB dengan jumlah > 5 lesi kulit terdiri dari kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah pengawasan, dapson 100 mg per hari diminum sendiri, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg per hari diminum sendiri, lama pengobatan 1 tahun (Soebono dan Suhariyanto, 2003).

(47)

xlvii

2.2 Nitric Oxide

2.2.1 Definisi nitric oxide

Nitric oxide adalah suatu molekul sinyal paling kecil dan merupakan radikal bebas dengan waktu paruh yang sangat singkat, terlibat dalam berbagai kondisi fisiologi maupun patofisiologi dalam tubuh manusia (Bogdan, 2001; Gautam dan Jain 2007). Nitric oxide terdiri dari atom yang berasal dari satu nitrogen dan satu oksigen serta tujuh elektron dari nitrogen dan delapan elektron dari oksigen yang membentuk molekul yang belum teraktivasi (Habib dan Ali, 2011). Nitric oxide adalah semua reactive nitrogen intermediates (RNIs) yang melibatkan baik produk immediate dari reaksi nitrit oxide synthase (NOS) seperti ion nitrosium (NO+), radikal bebas neutral (NO*), dan ion nitroxyl (NO-) atau produk konversi NO seperti nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-) (Thippeswamy et al, 2006).

2.2.2 Biosintesis nitric oxide

Sintesis NO di dalam tubuh terjadi pada semua jaringan melalui dua mekanisme yaitu jalur enzimatik dan jalur non-enzimatik (Khazan dan Hdayati, 2015). Sebagian besar sintesis NO melalui jalur enzimatik yaitu berasal dari asam amino L-arginine dengan bantuan enzim nitric oxide synthase (NOS) (Gautam dan Jain, 2007; Hamalainen, 2008). Reaksi yang dikatalisis oleh NOS ini terjadi melalui dua langkah reaksi oksidasi yang membutuhkan 1 molekul oksigen (O2) dan 1 nicotineamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dimana langkah pertama menghasilkan komponen intermediate yaitu N-hydroxy-L-arginine

(48)

xlviii

(Ghazemi dan Saleh, 2011). Langkah kedua yaitu terjadi oksidasi N-hydroxy-L-arginine hingga akhirnya memproduksi NO dan citruline yang dapat dilihat pada Gambar 2.4 (Hamalainen, 2008; Bogdan, 2015). Uptake dan sintesis L-arginine dapat diperkuat ketika ekspresi NO diinduksi oleh produk bakteri dan sitokin, dengan ketersediaan L-arginine dapat menentukan rata-rata sintesis NO seluler (Gautam dan Jain, 2007).

Sintesis NO dengan jalur non-enzimatik yaitu berasal dari nitrit yang terjadi melalui banyak jalur, terutama bila berada dalam kondisi asam contohnya keadaan

iskemik. Jalur utama tersebut adalah melalui reduksi satu elektron nitrit yang terutama terjadi di jaringan. Dalam keadaan iskemik, produksi NO yang dimediasi oleh nitrit mendekati produksi cNOS maksimum. Hal ini membuat jalur ini menjadi alternatif produksi NO apabila produksi NO oleh NOS terganggu (Khazan dan Hdayati, 2015; Luiking et al, 2010).

Gambar 2.4

Biosintesis NO dan citruline dari L-arginine serta molekul oksigen (Hamalainen, 2008)

(49)

xlix

Waktu paruh NO sangat singkat yaitu ≤ 1 detik karena NO cepat dioksidasi oleh oksihemoglobin menjadi nitrat dan nitrit yang secara kumulatif disebut sebagai metabolit NO (NOx) di dalam plasma dan darah (Khazan dan Hdayati, 2015). Waktu paruh nitrat yaitu 5 hingga 8 jam sementara nitrit hanya 110 detik dan oleh karena waktu paruh NO di dalam darah juga sangat singkat sehingga konsentrasi NO yang diperiksa adalah NOx (Luiking et al, 2010). Kadar NO yang terbentuk pada manusia yaitu 0,9 µmol/kg/jam atau sekitar 1 mmol/hari. Penyimpanan NO pada jaringan tidak terlalu tinggi dan pada kondisi seperti hipoksia, iskemia, atau trauma yang mana L-arginine atau jalur NOS terganggu maka adanya serum NOx dapat memproduksi NO (Ghasemi dan Zahediasl, 2011). Belum ada konsensus yang menentukan nilai normal atau referensi tentang kadar NOx normal, namun Ghazemi et al. telah melakukan penelitian pada tahun 2010 untuk mencari nilai normal kadar NOx pada populasi dewasa sehat sesuai jenis kelamin. Ghazemi et al. melaporkan kadar NOx pada total populasi yaitu sebesar 10,3 hingga 66,8 µmol/L dengan perbedaan pada laki-laki sebesar 11,5 hingga 76,4 µmol/L, sementara pada perempuan 10,1 hingga 65,6 µmol/L (Ghazemi et al, 2010). Kadar NOx yang diambil dari sampel plasma, serum dan urin adalah metode yang paling tepat untuk menentukan sintesis NO in vivo, yang sangat berkaitan dengan produksi NO endogen (Ghasemi dan Zahediasl, 2011).

2.2.3 Mekanisme regulasi produksi nitric oxide

(50)

L-l

arginine menjadi citruline dan NO (Habib dan Ali, 2011; Matila dan Thomas, 2014). Tiga isoform utama NOS yaitu neuronal NOS (nNOS/NOS1), inducible NOS (iNOS/NOS2), dan endotel NOS (eNOS/NOS3) dengan pengaturan pola ekspresi dan karakteristik yang berbeda-beda (Matila dan Thomas, 2014; Hamalainen, 2008). Nitric oxide synthase-1 disebut nNOS karena ekspresinya pertama kali ditemukan pada neuron jaringan otak namun kemudian dapat ditemukan pada sumsum tulang, ganglion simpatis dan kelenjar adrenal, nervus perifer, sel epitel berbagai organ, sel makula densa ginjal, sel islet pankreas, dan otot polos vaskuler (Forstermann dan William, 2012). Nitric oxide synthase-3 sering disebut sebagai eNOS karena kebanyakan diekspresi pada sel endotel (Matila dan Thomas, 2014). Dua isoform NOS yaitu nNOS/NOS1 dan eNOS/NOS3 merupakan enzim yang diekspresikan secara constitutive, regulasinya tergantung dengan kalsium dan kalmodulin sementara iNOS/NOS2 diekspresikan secara inducible, tidak diekspresi pada sel namun ekspresinya diinduksi oleh produk bakteri dan sitokin yang mana regulasinya tidak tergantung kalsium (Alderton dan Cooper, 2001; Wink et al, 2011). Constitutive NOS sekali diaktivasi dapat menghasilkan NO dengan konsentrasi rendah (< 1 µM) yang berfungsi menstimulasi sistem imun dengan cara meningkatkan proliferasi sel imun, diferensiasi dan apoptosis, produksi sitokin, ekspresi adhesi dan faktor ko stimulator, serta sintesis konstituen matriks seluler dan deposisi (Alder, 2015). Berbeda dengan iNOS sebagai komponen sistem imun alamiah yang

(51)

li

menghasilkan NO dengan konsentrasi tinggi (> 1 µM) ketika diaktivasi oleh produk bakteri dan sitokin proinflamasi yang berfungsi sebagai antimikroba, oleh karena itu NO merupakan molekul berperan ganda (Janus double-faced) (Alder, 2015; Korhonen, 2005).

Ketiga enzim NOS hanya aktif sebagai homodimer melalui katalisis ketika NOS mengalami dimerisasi dan membutuhkan dua substrat yaitu L-arginine serta molekul oksigen sementara NADPH sebagai ko-substrat (Matila dan Thomas, 2014; Gautam dan Jain, 2007). Katalisis ini juga memerlukan beberapa ko-faktor seperti flavin adenine dinucleotide (FAD), flavin mononucleotide (FMN) dan 5,6,7,8-tetrahydro-L-biopterin (BH4), iron protoporphyrin IX (heme) serta calmodulin (CaM) berikatan kuat dalam mengekspresikan aktivitasnya (Bogdan, 2015; Habib dan Ali, 2011). Struktur utama iNOS manusia ditampilkan pada Gambar 2.5.A, dan model dimer iNOS yang diusulkan dijelaskan pada Gambar 2.5.B (Hamalainen, 2008).

(52)

lii

Gambar 2.5

A. Struktur utama enzim iNOS manusia, B. Model untuk organisasi dimer iNOS. Panah menunjukkan arah arus elektron FMN= flavin mononucleotide, FAD= flavin adenine dinucleotide, NADPH= nicotineamide adenine dinucleotide

phosphate, CaM= calmodulin, Fe= ferrous 2+, BH4= (6R)-tetrahydrobiopterin

(Hamalainen, 2008)

2.2.4 Regulator produksi nitric oxide oleh iNOS

Limfosit T CD4+ naïve mengenali antigen pada antigen precenting cells (APC) pada organ limfoid perifer dan menyebabkan limfosit yang spesifik terhadap antigen berekspansi dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel efektor yang dapat dibedakan berdasarkan sitokin dasar yang disekresi (Ibiza dan Serrador, 2008). Penyakit infeksi diregulasi oleh sel Th1 dan Th2. Diferensiasi sel yang paling penting yaitu sel Th1 yang diinduksi oleh IL-12 dan sel Th2 yang diinduksi oleh IL-4 (Goulart, 2008).Sel Th1 memproduksi IFN-γ, TNF-α, dan IL-2 yang berfungsi untuk mengaktivasi imunitas seluler sementara sel ThIL-2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 yang berfungsi meregulasi respon imun humoral. Nitric oxide yang diproduksi oleh APC menyebabkan peningkatan produksi cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dan ekspresi reseptor beta-IL12 (beta-IL12-Rβ) yang menfasilitasi diferensiasi sel Th1 melalui sinyal yang dimediasi oleh IL-2 dapat dilihat pada Gambar 2.6 (Ibiza dan Serrador, 2008).

(53)

liii

Gambar 2.6

Mekanisme kerja NO pada diferensiasi sel T (Ibiza dan Serrador, 2008)

2.2.5 Jalur nitric oxide dan aktivitas antimikroba

Aktivasi iNOS diregulasi oleh berbagai sitokin dan produk mikroba yaitu PGL-1 yang mempengaruhi uptake L-arginine (L-Arg) oleh cationic amino acid transporters (CAT) serta melalui sintesis kofaktor (seperti BH4 oleh guanosin 5’ triphosphate-cyclohydrolase I (GTP-CH I), ekspresi mRNA dan protein iNOS sehingga terjadi perubahan enzimatik dari citruline menjadi arginino-succinate melalui argininosuccinate synthetase (AS) kemudian kembali menjadi L-Arg dibantu oleh argininosuccinate lyase (AL) (Bogdan, 2001). Poliamin (putresin, spermidin, spermin) yang merupakan produk ornithine decarboxylase (ODC) melalui jalur arginase, bekerja sebagai imunosupresan dan bisa downregulasi produksi NO. Regulasi dan aktivitasi makrofag oleh berbagai sitokin inflamasi

(54)

liv

tersebut menginduksi produksi NO yang berfungsi sebagai antimikroba, yang dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Bogdan, 2001; Boga et al, 2010). Peran NO sebagai antimikroba terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu pertama, menghambat replikasi bakteri melalui ikatan langsung DNA rantai ganda yang menyebabkan deaminasi dan kerusakan; kedua menganggu metaloprotein zinc yang terlibat dalam sintesis DNA; ketiga menganggu fungsi bakteri dengan cara menganggu enzim bakteri yang mengandung heme dan oksidasi lipid bakteri (Ibiza dan Serrador, 2008). Namun pada penyakit kusta, kuman M. leprae tidak mudah dibunuh karena kuman ini memiliki efikasi patogen yang terdapat pada komponen kapsul dan dinding sel terutama PGL-1 (Eichelmann et al, 2013).

Gambar 2.7

Jalur NO dan aktivitas antimikroba (Bogdan, 2001)

(55)

lv

resistensi vaskuler selama kehamilan normal dan preeklamsi. Penelitian Choi et al. (2002) didapatkan produksi kadar NO meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan normal dan menurun saat terjadi preeklamsi, yang mana peningkatan kadar NO ini akan menurun kembali ke nilai normal sekitar 12 minggu setelah melahirkan.

Selain proses fisiologis, NO juga berperan dalam proses patofisiologi seperti pada penyakit infeksi, inflamasi, kulit, disfungsi vaskuler, endokrin, dan keganasan (Gautam dan Jain, 2007). Pada penyakit infeksi tuberkulosis, bakteri M. tuberculosis menstimulasi produksi NO melalui iNOS untuk menghambat pertumbuhan bakteri tersebut (Cals-Grierson dan Ormerod, 2004). Penyakit inflamasi seperti reumatoid artritis dan asma, secara umum berhubungan dengan pelepasan sitokin pro-inflamasi serta mediator inflamasi seperti NO (Khazan and Hdyati, 2015). Pada penyakit reumatoid artritis, adanya NO mengakibatkan terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti IL-β, dan PGE2 yang menyebabkan kerusakan kartilago (Gautam dan Jain, 2007). Pada penyakit asma, ditemukan sel Th2 juga dipengaruhi oleh NO dengan demikian peningkatan jumlah NO dikatakan berkontribusi terutama pada respon Th2 dan oleh karena itu terjadi pelepasan immunoglobulin E (IgE) (Guzik et al, 2003).

Pada beberapa penyakit kulit seperti psoriasis vulgaris, produksi NO oleh iNOS meningkat sebagai penanda inflamasi (Mahmoud et al, 2013; Kadam et al, 2010; Samuel dan Murari, 2013). Pada pasien lupus eritematosus sistemik dengan

(56)

lvi

manifestasi kulit ditemukan peningkatan produksi NO karena peningkatan regulasi ekspresi iNOS pada sel endotel yang teraktivasi dan keratinosit setelah terpapar sinar ultraviolet (UV) A dan UVB (Uva et al, 2012). Penelitian Siebra et al. (2006) didapatkan kadar serum NO meningkat pada pasien pemfigus vulgaris dibandingkan kontrol. Peningkatan ekspresi iNOS pada sel endotel lesi kulit dermatitis atopik (DA) dapat menginduksi produksi NO yang menyebabkan vasodilatasi sehingga lesi kulit pasien DA tampak eritema atau edema (Taniuchi et al, 2001). Penelitian Kalkan et al. (2013) didapatkan kadar NO signifikan meningkat pada pasien urtikaria akut dibandingkan kontrol. Penelitian Shuja et al. (2015) didapatkan peningkatan NO yang signifikan pada pasien melasma.

Produksi NO juga meningkat pada penyakit dengan disfungsi vaskuler seperti

penyakit jantung koroner (Mori, 2010; Campbell et al, 2014; Smiljic et al, 2014). Pada pasien diabetes melitus, produksi NO yang berlebihan melalui induksi iNOS tampaknya menghambat kerja insulin sehingga menyebabkan terjadi resistensi insulin (Ewadh dan Al-Khafaji, 2014). Penelitian Kirkali et al. (2000) didapatkan kadar metabolit NO pada pasien sirosis hepatis signifikan meningkat dibandingkan kontrol.

Pada beberapa penyakit kanker seperti kanker paru, payudara dan otak

ditemukan ekspresi iNOS yang berlebihan sebagai pro-neoplastik, memproduksi kadar NO yang tinggi namun ekspresi eNOS dan nNOS juga ditemukan sangat tinggi. Secara fisiologi kadar NO yang tinggi bersifat mutagenik dan berkontribusi

Gambar

Grafik box plot kadar nitric oxide plasma dengan indeks bakteri

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan dari usahatani sayur kangkung selama ini selain digunakan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, juga digunakan untuk menyekolahkan anak mereka

Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan yang ter'adi pada lidah yang ditandai Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan yang ter'adi pada lidah yang ditandai dengan

Secara morfologi, ikan-ikan serupa yang termasuk dalam famili ini serupa dengan ikan landak yang memiliki tulang belakang luas yang besar (tidak seperti tulang belakang

Mata kuliah Desain Interior II diberikan kepada mahasiswa, agar mampu mengimplementasikan proses desain terintegrasi untuk mewujudkan tata ruang publik yang kreatif,

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

We are quickly losing our elder generation who lived in Tibet, and witnessed the Chinese invasion, so soon there will be no one left among us who has seen free Tibet, who can tell

Hasil pengelolaan dengan teknik analisis uji beda ( uji t- paired) hasinya (tabel 2) bahwa nilai Sig, 0,000 &lt; 0,05 maka H0 ditolak dengan demikian dapat disimpulkan

Untuk variabel NIM antara Bank UMUM (BU), Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank perkreditas Rakyat Syariah (BPRS) yang paling kecil adalah pada Bank Perkreditan Rakyat