• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Komplikasi Anestesi Spinal

2.6.2 Komplikasi Lanjut

Kejadian nyeri kepala setelah anestesi spinal adalah 5 – 10%, banyak terjadi pada wanita, umur muda. Keluhan nyeri kepala meningkat sesuai dengan besarnya jarum spinal yang digunakan. Lokasi nyeri kepala yang tersering adalah dibagian frontal 50% occipital 25%, dan sisanya adalah di bagian lain. Kejadian nyeri kepala umumnya 6 – 12 jam pasca anestesi spinal, meskipun dapat pula terjadi lebih lambat. Nyeri kepala dapat berlangsung dalam hitungan hari, minggu bahkan bulan meskipun umumnya berlangsung selama 1 – 2 minggu. Keluhan ini terlihat dalam 3 hari pada 90% kasus dan dikeluhkan sampai 12 hari sesudah tusukan jarum spinal (Miller, 2007).

Teori yang dapat menjelaskan terjadinya nyeri kepala setelah anestesi spinal antara lain:

1. Menurunnya tekanan cairan cerebrospinal akibat kebocoran durameter.

Hal ini dapat mengakibatkan penarikan terhadap pembuluh darah dan saraf yang sensitive nyeri. Pernah dilaporkan adanya penyebab kematian akibat herniasi tentorium serebri dan hematom subdural pada otopsi bedah mayat setelah anestesi spinal.

2. Iritasi selaput otak oleh zat kimia atau bakteri. Pada jenis ini tekanan serebrospinal normal atau meningkat.

Nyeri kepala semakin diperberat pada posisi berdiri atau duduk. Pada ibu hamil atau penderita dengan tumor intraabdomen, nyeri kepala yang terjadi lebih berat karena banyaknya cairan serebrospinal yang keluar, disamping itu penggunaan obat vasopresor akan berinteraksi dengan oksitosin dalam meningkatkan kejadian nyeri kepala paska bedah (Miller, 2007).

Gangguan pendengaran atau penglihatan sering menyertai nyeri kepala.

Insiden gangguan pendengaran kira- kira 0,4% dengan gejala nyeri telinga berdenging, tersumbat. Gangguan pendengaran ini karena berkurangnya tekanan pada koklea. Kejadian gangguan penglihatan kira-kira 0,1% dengan gejala : penglihatan ganda, mata kabur, kesulitan memfokuskan pandangan. Gangguan ini terjadi karena lumpuhnya nervus VI dalam perjalanannya melewati dasar tenggkorak, sehingga kalau ada perubahan pada cairan serebrospinal cepat mengenai nervus VI (Miller, 2007).

2.6.2.2 Nyeri Punggung

Nyeri punggung terjadi karena kerusakan atau teregangnya kapsula, otot, ligament. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap nyeri punggung setelah anestesi antara lain : persediaan tempat tidur rumah sakit dengan kasur yang terlalu lembek sehingga tidak menyokong punggung, trauma yang terjadi pada saat penderita dipindahkan dari meja operasi, penderita dengan riwayat nyeri punggung sebelumnya (Morgan, 2013).

27

2.6.2.3 Retensi Urin

Kejadian retensi urin yang terjadi karena terbloknya S2 – S4, sehingga mengakibatkan tonus kandung kencing menurun dan hilangnya reflek pengosongan kandung kencing. Produksi urin terus berlangsung namun karena otot detrusor tidak dapat berkontraksi akibatnya terjadi retensi urin. Penderita dapat dapat dikatakan retensi urin bila tidak dapat kencing lebih dari 6 jam.

Retensi urin terjadi pada operasi daerah perineum, urogenital dan abdomen bagian bawah. Distensi kandung kencing akan mengakibatkan perubahan hemodinamik seperti peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju jantung (Morgan, 2013).

2.6.2.4 Infeksi

Infeksi yang sering terjadi pada anestesi spinal adalah meningitis dan abses epidural. Kejadiannya berlangsung lambat. Meningitis yang terjadi dibagi dua yaitu: meningitis yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri dan meningitis yang disebabkan oleh zat kimia seperti powder dari sarung tangan, detergen, maupun dari zat aseptic yang digunakan misalnya povidon yodida.

Kejadian meningitis sudah jauh berkurang karena sterilitas alat-alat sudah modern. Pencegahan yang paling efektif adalah memperhatikan septik aseptik, serta sterilitas alat serta bahan yang akan digunakan (Miller, 2007).

2.6.2.5 Komplikasi Neurologi

Hal – hal yang menyebabkan terjadinya gangguan neurologik pada anestesi spinal antara lain:

1. Kompresi medulla spinalis

• Hematom: trauma jarum, kelainan pembuluh darah, gangguan perdarahan, tumor.

• Abses: infeksi lewat jarum, hematogen.

2. Trauma medulla spinalis

• Kerusakan oleh jarum.

• Toksik.

Macam gangguan neurologik pada anestesi spinal:

a. Sindroma kauda equina

Terjadi karena tekanan, iskemia atau kontak dengan bahan kimia toksik, maka serabut otonom kauda equine sering menjadi bagian pertama yang terserang akibat anestesi spinal. Kerusakan pada daerah rami saraf S2-4 akan menimbulkan lesi neuron motorik inferior berupa atoni kandung kemih dan hilangnya inisiasi volunter miksi. Sindrom ini dapat berkembang berupa gejala kelemahan motorik atau paralisa otot-otot di bawah lutut, otot-otot hamstring, gluteal disertai menghilangnya reflek plantar dan ankle jerk. Jika L5 dan S1 terserang menyebabkan hilangnya sensoris pada rami sacral bawah dan menghasilkan pola anestesi sadle yang khas pada perineum, pantat dan paha yang menyebar hingga kaki dan betis (Miller, 2007).

b. Kompresi saraf spinal akibat hematom spinal

Kompresi akut pada saraf spinal akibat yang timbul pada spatium subarachnoid, subdural, atau ekstradural dapat menimbulkan paraplegi irreversible mendadak. Meskipun perdarahan ini disebabkan oleh trauma jarum spinal atau epidural tanpa diskrasia darah, tetapi ada kemungkinan disebabkan oleh kelainan hemostatika (Miller, 2007).

c. Kompresi saraf spinal akibat pembentukan abses

Kompresi saraf spinal akibat proses infeksi dapat dikaitkan dengan tehnik anstesi spinal. Penyebabnya adalah masuknya bahan yang terinfeksi melalui jarum spinal menuju kanalis spinalis (kontaminasi dari kulit atau jarum) atau kontaminasi dari bakteri yang ada di darah. Organisme yang sering ditemukan adalah stapilokokus aureus. Gambaran klinisnya adalah nyeri punggung, kelemahan, paralisa setelah tusukan jarum beberapa jam, hari atau bulan. Hal ini bila tidak diterapi akan berkembang menjadi paraplegi (Miller, 2007).

d. Bahan asing yang menyebabkan arakhnoiditis

Kejadian arakhnoiditis pada anestesi spinal dapat menyebabkan skuele neurologist serius. Penyebabnya adalah masuknya benda asing korosif ke dalam spatium subarakhnoid. Gambaran klinis yang muncul berupa kelemahan progresif yang berjalan perlahan dan hilangnya sensoris pada ekstremitas inferior yang dimulai beberapa hari, minggu atau bulan setelah anestesi spinal dan berkembang

29

menjadi paraplegi serta dapat berkembang kearah kematian. Perubahan histologis yang ditemukan yaitu respon peradangan meningeal disertai proliferasi arakhnoid yang menjepit saraf spinalis serta menyebabkan infark saraf spinalis (Miller, 2007).

2.6.2.6 Komplikasi Akibat Obat Anestesi Lokal

Reaksi sistemik bisa terjadi bila obat anestesi lokal masuk pembuluh darah. Gejala yang timbul dapat berupa penurunan kesadaran, kejang serta bradikardi. Pencegahan reaksi sistemik dengan melakukan aspirasi sebelum penyuntikan obat atau dipastikan jarum spinal tidak masuk pembuluh darah.

Disamping itu dapat ditambahkan obat vasokonstriktor untuk menghambat penyerapan obat. Reaksi alergi bisa terjadi akibat pemberian obat anestesi local.

Golongan ester lebih sering daripada golongan amida. Reaksi alergi ini terutama terjadi pada penderita dengan riwayat atopi. Gejala yang timbul dapat berupa urtikaria, bronkospasme atau henti jantung (Hall, 1994).

Gambar 2.6 Map Dermatom Orang Dewasa

31

Dokumen terkait