• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BUPIVACAINE HIPERBARIK DENGAN LEVOBUPIVACAINE ISOBARIK UNTUK ANESTESI SPINAL OPERASI ABDOMEN DAN EXTREMITAS BAWAH TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BUPIVACAINE HIPERBARIK DENGAN LEVOBUPIVACAINE ISOBARIK UNTUK ANESTESI SPINAL OPERASI ABDOMEN DAN EXTREMITAS BAWAH TESIS"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BUPIVACAINE HIPERBARIK DENGAN LEVOBUPIVACAINE ISOBARIK UNTUK ANESTESI SPINAL OPERASI ABDOMEN DAN EXTREMITAS BAWAH. TESIS. Oleh: dr. Farilsah Hakim NIM: 157114006. Pembimbing I:. Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp.An, KIC, KAO Pembimbing II: Dr. dr. Dadik Wahyu Wijaya, Sp.An. PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2020. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(2) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(3) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(4) KATA PENGANTAR. Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji syukur serta doa saya sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala karena berkat rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kepada saya akal budi, hikmat dan pemikiran sehingga saya dapat menyelesaikan tesis penelitian sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi danTerapi Intensif di Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan banggakan. Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis / hasil penelitian ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya. Meskipun demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang: “PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BUPIVACAINE HIPERBARIK DENGAN LEVOBUPIVACAINE ISOBARIK UNTUK ANESTESI SPINAL. OPERASI ABDOMEN DAN EXTREMITAS BAWAH“ Dengan penulisan tesis/ hasil penelitian ini, maka pada kesempatan ini pula dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya dr. Lukman Hakim dan drg. Farida Lukman, M.Sc yang tidak bosan – bosan mendoakan dan mendukung saya sejak kecil hingga. sekarang. Dan juga ucapan terimakasih dan penghargaan kepada yang terhormat: Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO dan Dr.dr. Dadik W. Wijaya, SpAn atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya ini, yang walaupun di tengah kesibukannya masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang. sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa ucapan terimakasih saya berikan kepada Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes. sebagai pembimbing statistik yang juga telah banyak meluangkan waktu dan kesibukannya untuk berdiskusi menganai statistik penelitian ini.. i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(5) Dan dengan berakhirnya pula masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada: Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K), serta Sekretaris Program Studi Magister Kedokteran Klinik dr. Mohd. Rhiza Z Tala, M.Ked(OG), Sp.OG(K), atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan magister kedokteran klinik dan pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Dr. dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV dan Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Tasrif Hamdi, M.Ked (An), SpAn. sebagai Plt. Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dan dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt. Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, terimakasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai.. Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution, SpAn. KIC; Alm. dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO; Dr. dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV; dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn. KAP.KMN; dr. Qadri Fauzi Tanjung,. SpAn, KAKV; dr. Hasanul Arifin SpAn. KAP. KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA; dr. Ade Veronica HY, SpAn. KIC; dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr Tumbur, SpAn; dr. Walman Sitohang, SpAn; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya, SpAn; Dr. dr. Dadik W. Wijaya, SpAn; dr. M. Ihsan, SpAn. KMN; dr. Andriamuri P. Lubis,. ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(6) Sp. An, M. Ked (An); dr. Ade Winata, Sp. An, KIC; dr. Rommy F Nadeak, SpAn; dr. Rr. Shinta Irina, SpAn, KNA; dr. Fadli Armi Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Raka Jati P. M. Ked (An) Sp. An; dr. Bastian Lubis M.Ked(An) Sp.An, KIC; dr. Wulan Fadine M. Ked(An) Sp.An; dr. A. Yafiz Hasbi M.Ked (An) Sp.An; dr. Tasrif Hamdi M. Ked (An) Sp.An, dr. Luwih Bisono, Sp. An, KAR, dr. John Frans Sitepu, M. Ked (An), Sp.An, FIPM, saya ucapkan terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari. Yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RS USU, Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan dan RS. FL Tobing Sibolga yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terimakasih.. Terima kasih juga saya ucapkan kepada istri tercinta dr. Prima Indah S, Sp.PK yang telah bersedia meluangkan waktu, perasaan dan tenaga untuk mendukung dan mendoakan selama masa pendidikan saya dimulai hingga saat ini. Buat anak-anak ku tercinta Vania Bella Farilsah, Tania Alila Farilsah, dan Nirina Pricyla Farilsah.. Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Lysa Ogestha, dr. Paulus Mario Tinambunan, dr. Christian Sawato S, dr. Albert, dr. Jhonsen, dr. Farlin Subeki, dr. Tommy Arisandi, dr. M. Arif Siregar, dr. Primidia Rizky S, dr. Romulus P. Sianipar, dr. Dion Ricardo, dr. Riza Munawar, dan dr. Marco A.S Tambunan. yang telah bersama-sama baik duka maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman – teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Kepada seluruh teman – teman, rekan – rekan dan kerabat, handaitaulan, keluarga besar, pasien – pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu. iii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(7) persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya ucapkan terimakasih. Kepada paramedis dan karyawan Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan, RSUD Pirngadi Medan dan Rumkit Tk II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini saya juga ucapkan terima kasih. Dan akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai. Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa ta’ala.. Medan,. Januari 2020 Penulis. (dr. Farilsah Hakim). iv UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(8) ABSTRAK Latar Belakang: Levobupivacaine dilaporkan memiliki onset dan durasi yang sama, juga dengan resiko yang rendah untuk toksisitas jantung dan sistem saraf pusat, dibandingkan dengan bupivacaine yang merupakan pilihan populer untuk obat anestesi lokal untuk tindakan anestesi spinal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki efektivitas obat levobupivacaine isobarik dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik untuk tindakan spinal pada pembedahan abdomen dan ekstremitas bawah. Metode: Enam puluh dua pasien umur 18-50 tahun dengan PS ASA I-II diacak untuk mendapatkan bupivacaine hiperbarik 0,5% 3 ml (Kelompok A) atau levobupivacaine isobarik 0,5% 3 ml (Kelompok B) secara intratekal untuk pembedahan abdomen dan ekstremitas bawah. Mula kerja, durasi kerja analgesia, dan efek samping dibandingkan. Hasil: Hasil menunjukkan bahwa mula kerja blokade sensorik pada bupivacaine hiperbarik 172,39±69,17 detik secara bermakna lebih cepat dibanding levobupivacaine isobarik 249,03±122,54 detik, juga terdapat perbedaan bermakna pada durasi kerja analgesia dimana levobupivacaine isobarik 334,58±60,68 menit lebih lama dibanding bupivacaine hiperbarik 221,00±62,51 menit. dan untuk efek samping hipotensi, bradikardia, mual, dan sakit kepala lebih sedikit pada kelompok levobupivacaine isobarik (p < 0,05). Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan anestesi spinal menggunakan levobupivacaine isobarik menghasilkan mula kerja yang lebih lambat, durasi analgesia yang lebih lama, dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik pada pembedahan abdomen dan ekstremitas bawah. Kata Kunci: Levobupivacaine, bupivacaine, isobarik, hiperbarik, intratekal, abdomen dan ekstremitas bawah.. v UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(9) ABSTRACT Background: Levobupivacaine showed same onset and duration of action with lower risk of cardiovascular and central nervous system (CNS) toxicity than bupivacaine which is the most popular local anesthetic agent for spinal anesthesia. The aim of this study was to investigate the clinical efficacy of isobaric levobupivacaine compared with hyperbaric bupivacaine for spinal anesthesia for abdomen and lower extremity surgeries. Methods: Sixty two selected patients with aged between 18-50 years and PSASA I-II were randomized to receive 3 ml of 0.5% hyperbaric bupivacaine (group A) or 3 ml of 0.5% isobaric levobupivacaine (group B) intrathecally for abdomen and lower extremity surgeries. Onset of action, duration of analgesia, and adverse effects were compared. Results: The result showed that the onset of sensory blockade in hyperbaric bupivacaine 172.39±69.17 seconds was significantly faster than isobaric levobupivacine 249.03±122.54 seconds, also there was significant difference in the duration of analgesia, where isobaric levobupivacaine 334.58±60.68 minutes was longer than hyperbaric bupivacaine 221.00±62.51minutes, and for the side effects whereas hypotension, bradycardia, nausea and headache are less in isobaric levobupivacaine group (p < 0,05). Conclusion: The conclusion of this study shown spinal anesthesia using isobaric levobupivacaine produced slower onset of action, longer duration of analgesia, and less side effects compared to hyperbaric bupivacaine in abdomen and lower extremity surgery. Keywords: Levobupivacaine, bupivacaine, isobaric, hiperbaric, intratheckal, abdomen dan lower extremity.. vi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(10) DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR ......................................................................................... i ABSTRAK ........................................................................................................... v DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii DAFTAR TABEL................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR & GRAFIK...................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….xiii. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5 1.3 Hipotesis Penelitian........................................................................................ 5 1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5 1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................. 5. 1.4.2 Tujuan Khusus.................................................................................. 5 1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 6 1.5.1 Manfaat Akademis ........................................................................... 6 1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................................ 6 1.5.2 Manfaat Pelayanan Masyarakat........................................................ 6. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Spinal ................................................................................................ 7 2.2 Anatomi Kolumna Vertebra ........................................................................... 8 2.3 Anestesi Lokal ................................................................................................ 9. 2.3.1 Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal ........................................ 10 2.3.2 Dampak Fisiologi ............................................................................ 10 2.4 Bupivakain Hidroklorida................................................................................ 11 2.4.1 Farmakologi .................................................................................... 12 2.4.2 Metabolisme dan Ekskresi .............................................................. 13. vii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(11) 2.4.3 Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik................................................ 13 2.5 Levobupivacaine ............................................................................................. 17 2.6 Komplikasi Anestesi Spinal ........................................................................... 19 2.6.1 Komplikasi Segera ........................................................................... 19 2.6.2 Komplikasi Lanjut ............................................................................ 25 2.7 Kerangka Konsep ............................................................................................ 31 2.8 Kerangka Teori................................................................................................ 32. BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................................... 33 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 33 3.2.1 Tempat .............................................................................................. 33 3.2.2 Waktu Penelitian .............................................................................. 33 3.3. Populasi dan Sampel .................................................................................... 33 3.3.1 Populasi ............................................................................................ 33 3.3.2 Sampel .............................................................................................. 33. 3.4. Perkiraan besar sampel ................................................................................ 33. 3.5. Teknik pengambilan sampel ........................................................................ 34. 3.6. Kriteria sampel penelitian ............................................................................ 34. 3.7. Informed consent ......................................................................................... 35. 3.8. Alat, bahan, dan cara kerja ........................................................................... 35 3.8.1 Alat ................................................................................................... 35. 3.8.2 Bahan ................................................................................................ 36 3.8.3 Cara Kerja ........................................................................................ 36 3.9. Identifikasi Variabel .................................................................................... 40 3.9.1 Variabel bebas .................................................................................. 40 3.9.2 Variabel tergantung .......................................................................... 40. 3.10 Batasan Operasional ................................................................................... 40 3.11 Rancangan manajemen dan analisa data...................................................... 42 3.12 Masalah etika ............................................................................................... 42 3.13 Alur Penelitian ............................................................................................. 44. viii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(12) BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sampel ................................................................................... 45 4.2. Rerata Mula Kerja Sensorik dan Motorik .................................................... 47. 4.3. Rerata Durasi Kerja Analgesia..................................................................... 48. 4.4. Tinggi Blok Maksimal ................................................................................. 50. 4.5. Penurunan Segmen Dalam 1 Jam ................................................................ 51. 4.6. Efek Samping Pasca Tindakan Anestesi Spinal .......................................... 52. BAB 5 PEMBAHASAN ...................................................................................... 56. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 61. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62 LAMPIRAN ......................................................................................................... 65. ix UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(13) DAFTAR TABEL. Halaman Tabel. 2.1. Penggunaan Anestesi Lokal ................................................. 16. Tabel. 2.2. Perbandingan Farmakologi dari Anestesi Lokal .................. 18. Tabel. 4.1. Karakteristik Demografi....................................................... 46. Tabel. 4.2. Perbedaan Mula Kerja Sensorik dan Motorik ...................... 47. Tabel. 4.3. Rerata Durasi Analgesia....................................................... 49. Tabel. 4.4. Tinggi Blok Maksimal ......................................................... 50. Tabel. 4.5. Penurunan Segmen Dalam 1 Jam......................................... 51. Tabel. 4.6. Efek Samping Pasca Tindakan Anestesi Spinal ................... 53. Tabel. 4.7. Distribusi Sampel Berdasarkan Tindakan Operasi .............. 55. x UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(14) DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK. Halaman Gambar 2.1. Kolumna Vertebralis ............................................................. 9. Gambar 2.2. Ligamentum Vertebralis........................................................ 9. Gambar 2.3. Rumus Bangun Bupivakain HCl .......................................... 11. Gambar 2.4. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal ........................................ 14. Gambar 2.5. Rumus Bangun Levobupivacaine ........................................ 17. Gambar 2.6. Map Dermatom Orang Dewasa............................................ 30. Gambar 2.7. Kerangka Konsep ................................................................. 31. Gambar 2.8. Kerangka Teori..................................................................... 32. Gambar 3.1. Sitting Position ..................................................................... 40. Gambar 3.2. Alur penelitian...................................................................... 44. Grafik. 4.1. Rerata Mula Kerja Sensorik dan Motorik ............................ 48. Grafik. 4.2. Rerata Durasi Analgesia....................................................... 49. Grafik. 4.3. Tinggi Blok Maksimal ......................................................... 51. Grafik. 4.4. Penurunan Segmen Dalam 1 Jam......................................... 52. Grafik. 4.5. Efek Samping Pasca Tindakan Anestesi Spinal ................... 55. xi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(15) DAFTAR LAMPIRAN Halaman. Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti ........................................................ 65. Lampiran 2. Jadwal Tahapan Penelitian ................................................... 66. Lampiran 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ............................... 67. Lampiran 4. Lembar Observasi Penelitian ............................................... 70. Lampiran 5. Formulir Informed Consent .................................................. 72. Lampiran 6. Rencana Anggaran Penelitian .............................................. 77. Lampiran 7. Tabel Randomisasi ............................................................... 78. xii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(16) DAFTAR SINGKATAN. BJ. : Berat jenis. BMI. : Body Mass Index. cc. : Cubic centimeter atau mililiter (ml). CYPIA2. : Cytochrome P450 1A2. CYP3A4. : Cytochrome P450 3A4. EEG. : Elektro ensefalogram. EKG. : Elektrokardiogram. ETT. : Endo Tracheal Tube. HCl. : Hidroklorida. kg. : Kilogram. kgBB. : Kilogram berat badan. mcg atau μg. : Microgram. mg. : Miligram. ml. : Mililiter. MLAC. : Minimum Local Analgesic Concentration. mmHg. : Milimeter hydrogyram atau milimeter air raksa. Na. : Natrium. NaCl. : Natrium Clorida. PDPH. : Post Dural Puncture Headache. pH. : Power of hydrogen atau derajat keasaman. pKa. : Konstanta Disosiasi. PS ASA. : Physical Status American Society of Anesthesiologists. RSUP. : Rumah Sakit Umum Pusat. Th. : Thorakal. VAS. : Visual Analog Scale. xiii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(17) BAB I PENDAHULUAN. 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini. menjadi pilihan populer untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas bawah. Anestesi spinal dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu. Anestesi spinal saat ini masih menjadi pilihan untuk operasi-operasi singkat terutama pada ekstremitas bawah. Selain mula kerja yang relatif lebih cepat serta memberikan kepuasan dalam hal kontrol nyeri paska operasi, pasien lebih cepat pulang, biaya lebih murah dan juga memiliki kontrol nyeri paska operasi yang baik (Morgan, 2013). Penggunaan bupivacaine selama bertahun-tahun, sering dipakai untuk anestesi spinal oleh karena mula kerja yang relatif cepat 5-8 menit, serta durasi kerja yang lama yaitu 90-150 menit serta memberikan efek blok sensorik dan motorik yang baik, tetapi penggunaannya cenderung lebih menyebabkan toksisitas. pada jantung dan sistem saraf pusat, ketika secara tiba-tiba masuk ke dalam pembuluh darah. Dari studi in vitro menunjukkan bahwa obat ini dapat menimbulkan toksisitas pada jantung. Manifestasi utamanya adalah fibrilasi jantung. Oleh karena itu pada pemakaian jenis obat ini untuk anestesi regional diperlukan pengawasan yang sangat ketat(Stoelting, 2006) (Miller,2011).. Levobupivacaine, adalah salah satu obat anestesi lokal long acting terbaru. Merupakan S(-) enasiomer murni dari bupivacaine. Memiliki mula kerja 4-8 menit dan durasi kerja anestesi 135-170 menit. Juga memberikan efek blok sensorik dan motorik yang serupa dengan bupivacaine, tetapi blok sensoris levobupivacaine cenderung lebih lama dibanding bupivacaine. Dilaporkan secara. signifikan menurunkan risiko toksisitas jantung dan sistem saraf pusat (Panni,. 1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(18) 2. 2003) (McLeod, 2001), sehingga menjadi alternatif yang menarik dari bupivacaine. Levobupivacaine juga dilaporkan memiliki efek samping lebih minimal dibandingkan dengan Bupivacaine (Gulen, 2012) (Foster, 2000). Dari Review artikel oleh A Macleod pada tahun 2001, menunjukkan bahwa levobupivacaine lebih kurang toksisitasnya dibanding bupivacaine. Namun perbedaan antara levobupivacaine dan bupivacaine berlapis-lapis, pertama bupivacaine menyebabkan efek excitatory Sistem Saraf Pusat atau kejang pada dosis yang lebih rendah dibanding levobupivacaine. Ke dua, walau ke dua obat ini menyebabkan efek pada jantung, dosis yang menyebabkan depresi miokardium, sehingga menjadi fatal arrhythmias lebih tinggi dosis yang dibutuhkan dengan levobupivacaine dibanding bupivacaine. Sehingga, margin of safety lebih besar dengan. levobupivacaine.. mengindikasikan. bahwa. Sebagai. tambahan. levobupivacaine. semua. ditoleransi. penelitian dengan. baik. klinis dan. kemanjurannya ekuivalen dengan bupivacaine untuk anestesi dan analgesia dalam berbagai hal, termasuk untuk manajemen nyeri pasca operasi dan untuk anakanak. Ini dapat diartikan bahwa ketika menggunakan levobupivacaine untuk praktek klinis, substitusi atau pengganti sederhana untuk konsentrasi bupivacaine. yang sama adalah yang diperlukan. Sebagai kesimpulan, review artikel ini menunjukkan bahwa levobupivacaine memiliki efektivitas yang sama dengan bupivacaine tetapi memiliki safety profile yang lebih aman. Hal ini merupakan keuntungan dalam bidang regional anestesi. Diharapkan bahwa pengenalan anestesi lokal isomer-tunggal baru ini akan menjadi batu loncat menuju praktik. anestesi regional yang lebih aman (McLeod, 2001). Dari review artikel jurnal oleh Rachel H. Foster dan Anthony Markam menyatakan bahwa berdasar penelitian. secara in vitro, in vivo dan. farmakodinamik dari blok saraf didapatkan bahwa levobupivacaine memiliki potensi yang mirip dengan bupivacaine. Tetapi, levobupivacaine memiliki resiko. yang lebih rendah untuk toksisitas jantung dan sistem saraf pusat dibanding bupivacaine pada uji coba pada hewan. Pada percobaan manusia, levobupivacaine memiliki efek inotropik negatif lebih rendah dan pada dosis intravena > 75 mg, menghasilkan interval QT memanjang yang lebih rendah dibanding bupivacaine. Perubahan yang lebih sedikit pada gambaran depresi sistem saraf pusat oleh EEG. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(19) 3. ketika memakai levobupivacaine. Levobupivacaine termasuk golongan long acting dengan dose-dependent durasi anestesi nya. Mula kerja nya ≤ 15 menit dengan berbagai variasi tehnik anestesi. Pada penelitian pada orang dewasa, levobupivacaine dapat menghasilkan blok sensoris hingga 9 jam setelah pemberian secara epidural ≤ 202,5 mg, 6,5 jam setelah pemberian intratekal 15 mg, dan 17 jam setelah blok pada plexus brachialis dengan dosis 2 mg/kg. Dari berbagai penelitian acak (randomized), double-blind didapatkan efek anestesi dan analgesia dari levobupivacaine sebagian besar sama dengan bupivacaine ketika diberikan dengan dosis yang sama. Blok sensoris cenderung lebih lama dengan levobupivacaine dibanding bupivacaine, kurang lebih berbeda 23 sampai 45 menit dengan pemberian epidural dan kira-kira 2 jam pada peripheral nerve block. Pada pemberian epidural, levobupivacaine menghasilkan blok motorik yang lebih singkat dibanding dengan blok sensoris. Tetapi perbedaan ini tidak terlihat pada peripheral nerve block. Pada pemberian infiltrasi lokal pada peribulbar didapatkan kepuasan pada saat pembedahan dan manajemen nyeri yang baik dengan pemberian levobupivacaine. Levobupivacaine secara umum sama efektifnya dengan bupivacaine untuk manajemen nyeri selama persalinan, dan sangat efektif. untuk manajemen nyeri pasca operasi, apalagi ketika dikombinasikan dengan clonidine, morfin ataupun fentanyl (Foster, 2000). Dari penelitian Gulen Guler dkk, melaporkan kejadian hipotensi, bradikardia, mual lebih banyak pada anestesi spinal menggunakan bupivacaine dibanding dengan pemberian levobupivacaine. Dan ini juga telah dilaporkan oleh. Foster RH, Markam A (Gulen G, 2012)(Foster, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Gulen Guler dkk pada tahun 2012 membandingkan efektivitas klinis dari levobupivacaine dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik untuk anestesi spinal pada sectio cesaria. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien hamil dengan PS ASA I-II yang direncanakan akan menjalani operasi elektif sectio cesaria.. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup pertama dilakukan spinal dengan 10 mg levobupivacaine 0,5 % + fentanyl 15 mcg untuk kelompok LF (n=30), grup ke dua dilakukan dengan campuran 10 mg bupivacaine hiperbarik 0,5 % + fentanyl 15 mcg untuk grup BF (n=30). Dari hasil penelitian ini didapatkan waktu untuk mencapai dermatom maksimum blok sensoris, waktu regresi dua segmen dan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(20) 4. regresi sampai dermatome Th 12 lebih lama secara signifikan pada grup BF. Didapatkan juga evolusi blok motorik pada grup BF lebih cepat dan lebih lama. Sedangkan kejadian hipotensi, bradikardia, dan mual lebih sedikit pada grup LF, dan kebutuhan untuk penambahan efedrin lebih tinggi pada grup BF (p< 0,05). Dari penelitian ini diambil kesimpulan : dikarenakan blok motorik lebih singkat dan efek samping seperti hipotensi, bradikardia, dan mual lebih sedikit, maka kombinasi dari levobupivacaine + fentanyl dapat menjadi alternatif yang baik pada sectio cesaria (Gulen, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Pane MH pada tahun 2015, meneliti perbandingan mula dan durasi kerja levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg dan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 μg pada anestesi spinal untuk operasi ekstremitas. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 20 orang. Kelompok pertama (A) mendapat levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg dan kelompok kedua (B) memperoleh bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 μg. Hasil Dari hasil penelitian ini didapati hasil bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk rerata mula kerja obat (p=0,116) dan lama operasi antara dua kelompok studi (p=0,833). Mula kerja obat dan lama. operasi di kelompok B memiliki rerata yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok A. Rerata mula kerja obat di kelompok B (1,55 menit) sedangkan di kelompok A (1,22 menit). Lama operasi di kelompok B (1,37 jam) dan di kelompok A (1,35 jam). Dari hasil analisis menggunakan uji Chi Square tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk VAS dari pengamatan jam ke 1. sampai jam ke 18 (p value >0,05). Pada jam ke 24 ditemukan perbedaan yang signifikan untuk VAS dengan p value yang bermakna (0,014). Rerata waktu regresi 2 segmen kelompok B jauh lebih singkat (rerata 174,25 menit) dibandingkan waktu regresi 2 segmen pada kelompok A (rerata 198,75 menit) dengan p value (0,0001). Kesimpulan levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg. memiliki mula kerja yang sama dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 μg serta memiliki lama kerja yang lebih lama (rerata perbedaan 24,5 menit). Levobupivacaine hiperbarik 12,5 mg memiliki lama kerja analgesia (VAS) yang lebih baik pada jam ke 24 dibandingkan dengan bupivacaine hiperbarik 12,5 mg + fentanyl 25 μg (Pane, 2015).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(21) 5. Peneliti. mencoba. melakukan. penelitian. dengan. membandingkan. efektivitas dari anestesi spinal pada operasi lower abdomen dan tungkai bawah menggunakan bupivacaine hiperbarik 0,5 % dengan levobupivacaine isobarik 0,5 % dinilai dari mula kerja, durasi kerja, dan efek samping dari ke dua obat anestesi lokal ini.. 1.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan. masalah sebagai berikut: Apakah penggunaan levobupivacaine isobarik 0,5% untuk anestesi spinal operasi abdomen dan extremitas bawah. menghasilkan efektivitas yang lebih baik. dibandingkan bupivacaine hiperbarik?. 1.3. HIPOTESIS PENELITIAN Penggunaan levobupivacaine pada operasi abdomen dan extremitas bawah. dengan anestesi spinal menghasilkan efektivitas yang lebih baik dibandingkan bupivacaine.. 1.4. TUJUAN PENELITIAN. 1.4.1. TUJUAN UMUM Untuk membandingkan efektivitas antara penggunaan bupivacaine. hiperbarik dengan levobupivacaine isobarik untuk anestesi spinal operasi. abdomen dan extremitas bawah.. 1.4.2. TUJUAN KHUSUS. 1. Untuk mengetahui mula kerja dari penggunaan bupivacaine hiperbarik dan levobupivacaine isobarik untuk anestesi spinal operasi abdomen dan. extremitas bawah. 2. Untuk mengetahui durasi kerja dari penggunaan bupivacaine hiperbarik dan levobupivacaine isobarik untuk anestesi spinal operasi abdomen dan extremitas bawah.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(22) 6. 3. Untuk mengetahui efek samping dari penggunaan bupivacaine hiperbarik dan levobupivacaine isobarik untuk anestesi spinal operasi abdomen dan extremitas bawah.. 1.5. MANFAAT PENELITIAN. 1.5.1. MANFAAT AKADEMIS Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan. tambahan dalam penelitian lanjutan obat-obat anestesi lokal yang digunakan untuk pemberian intratekal.. 1.5.2. MANFAAT PRAKTIS Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi juga dapat. digunakan sebagai landasan pemilihan obat dari anestesi spinal.. 1.5.3. MANFAAT PELAYANAN MASYARAKAT Untuk menentukan pilihan obat anestesi spinal yang ideal pada pasien. yang akan menjalani pembedahan lower abdomen dan tungkai bawah.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(23) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. ANESTESI SPINAL Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal. yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subarachnoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L45, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal (Morgan, 2013). Kontra indikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di daerah. penusukan,. koagulopati,. hipovolemi. berat,. peningkatan. tekanan. intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta. kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak (Morgan, 2013). Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam. ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak. memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik (Covino, 1994).. 7 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(24) 8. Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat minimal, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian dari cara ini yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya (Covino, 1994) (Stoelting , 2006).. 2.2. ANATOMI KOLUMNA VERTEBRA Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan. salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan tindakan anestesi spinal (Morgan, 2013). Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi, karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus.. Kolumna vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5. Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12. thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok- kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam. pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(25) 9. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid. Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak,jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal (Morgan, 2013)(Covino, 1994).. Gambar 2.1 Kolumna Vertebralis. 2.3. Gambar 2.2 Ligamentum Vertebralis. ANESTESI LOKAL Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian. sehari- hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(26) 10. hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan etidocaine (Morgan, 2013).. 2.3.1. Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5% sudah. ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan, hukum fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal,. kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal), volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan (Stoelting, 2006).. 2.3.2 DAMPAK FISIOLOGI a. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler: Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan. tinggi blok simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaC1 fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal yang mencapai Th 4 dapat terjadi penurunan frekwensi nadi dan penurunan tekanan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(27) 11. darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung (Stoelting, 2006).. b. Terhadap sistem pernafasan: Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnea. c. Terhadap sistem pencernaan: Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat aktifitas saluran pencernaan (Th 4-5), maka aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi lebih dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya peristaltik usus dan relaksasi spingter masih normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus (Stoelting, 2006).. 2.4. BUPIVACAINE HIDROKLORIDA Gambar 2.3 Rumus bangun Bupivacaine HCl. Bupivacaine hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida dengan rumus kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil) monoklorida. Oleh karena lama kerja yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat anestesi lokal ini dengan teknik satu kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang lebih lama dapat dipasang kateter dan obat diberikan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(28) 12. kontinyu sehingga resiko toksisitas menjadi berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat yang cukup lama. Kerugian dari anestesi lokal ini adalah toksisitasnya sangat hebat, bahkan mungkin sampai fatal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa obat ini dapat menimbulkan toksisitas pada jantung. Manifestasi utamanya adalah fibrilasi jantung. Oleh karena itu pada pemakaian jenis obat ini untuk anestesi regional diperlukan pengawasan yang sangat ketat (Stoelting, 2006) (Miller,2011).. 2.4.1. Farmakologi Mekanisme kerjanya sama seperti anestesi lokal lain, yaitu menghambat. impuls saraf dengan cara: a. Mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium. Obat ini bekerja pada reseptor spesifik pada saluran sodium (sodium chanel). Dengan demikian tidak terjadi proses depolarisasi dari membran sel saraf sehingga tidak terjadi potensial aksi dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf. b. Meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler. Obat ini. bekerja dengan meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga menutup pori-pori membran dengan demikian menghambat gerak ion termasuk Na+ .. Sifat-sifat fisik yang mempengaruhi obat anestetika lokal adalah :. a. Ikatan protein: Ikatan protein ini penting untuk persediaan dan pemeliharaan blokade saraf. b. Konstanta disosiasi (pKa): pKa adalah dimana 50% dari obat tersebut berada dalam bentuk terionisasi dan 50% lainnya tidak terionisasi. Obat dengan pKa mendekati pH fisiologis (7,4) akan memiliki bentuk ion-ion. yang lebih banyak dibandingkan dengan obat anestesi yang pKa nya lebih tinggi sehingga akan lebih mudah berdifusi melalui membran, dengan demikian onsetnya lebih cepat. Bupivacaine mempunyai pKa lebih tinggi (8,1) sehingga mula kerja obat ini lebih lama (5-10 menit) dan analgesia yang adekuat dicapai antara 15-20 menit.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(29) 13. c. Kelarutan dalam lemak: Obat anestesi lokal semakin tinggi kelarutan dalam lemak, maka semakin poten dan semakin lama kerja obat tersebut. Struktur bupivacaine identik dengan mepivakain, perbedaannya terletak pada rantai yang lebih panjang dengan tambahan tiga grup metil pada cincin piperidin. Tambahan struktur ini menyebabkan peningkatan kelarutan bupivakain terhadap lemak serta meningkatnya ikatan obat dengan protein. Potensi bupivacaine 3-4 kali lebih kuat dari mepivacaine dan 8 kali dari procaine. Lama kerjanya 2-3 kali lebih lama dibandingkan mepivacaine sekitar 90-180 menit (Stoelting, 2015) (Miller,2011).. 2.4.2. Metabolisme dan Ekskresi Karena termasuk golongan amida, bupivacaine dimetabolisme melalui. proses konjugasi oleh asam glukoronida di hati. Sebagian kecil diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh.. 2.4.3. Bupivacaine Hidroklorida Hiperbarik Larutan bupivacaine hidroklorida hiperbarik adalah larutan anestesi lokal. bupivacaine yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivacaine. Cara kerja larutan hiperbarik bupivacaine adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih. besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivacaine hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan bupivacaine. yang. isobarik,. sehingga. mempercepat. penyebaran. larutan. bupivacaine hiperbarik tersebut (Stoelting, 2015) (Miller,2011).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(30) 14. Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Anestesi Lokal. Faktor-faktor. yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain. hiperbarik pada Anestesi spinal : 1. Gravitasi:. Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat injeksi.. 2. Postur tubuh: Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek. 3. Tekanan intra abdomen:. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(31) 15. Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang subarachnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini. 4. Anatomi kolumna vertebralis: Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik. 5. Tempat penyuntikan: Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4-5. 6. Manuver valsava: Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan. 7. Volume obat:. Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang dilakukan oleh Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat ( 1.5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin. tinggi level blok sensoriknya. 8. Konsentrasi obat: Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat ke arah sefalad lebih tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivacaine 0,5% hiperbarik (WA Chamber, 1981). Lama. kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada bupivacaine 0,75% hiperbarik. 9. Posisi tubuh:. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(32) 16. Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada perubahan posisi tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok Th 4 sedangkan pada posisi duduk hanya mencapai T8.. 10. Lateralisasi: Lateralisasi pada larutan anestetika lokal jenis hiperbarik dapat dilakukan dengan posisi berbaring miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat penyebaran obat pada sisi tubuh sebelah bawah mencapai Th 10, sedangkan sisi atas mencapai S1. 20 menit setelah obat disuntikkan, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6, sedangkan pada sisi atas mencapai Th 7 (Stoelting, 2006)(Miller,2011). Beberapa efek samping yang umum adalah mual, muntah, menggigil sakit kepala, sakit punggung, pusing, gelisah, vertigo, tinnitus, penglihatan kabur, tremor yang dapat mendahului efek samping yang lebih parah seperti kejang, tersentak mioklonik, koma, dan kolaps kardiovaskular (Stoelting, 2006).. Tabel 2.1 Penggunaan Anestesi Lokal. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(33) 17. 2.5 Levobupivacaine. Gambar 2.5 Rumus bangun Levobupivacaine. Levobupivacaine adalah obat anestesi lokal yang termasuk golongan amida (CONH-) yang memiliki atom karbon asimetrik dan isomer Levo (-). Levobupivacaine merupakan alternatif menarik selain bupivacaine untuk anestesi spinal oleh karena obat ini menghasilkan subarachnoid blok dengan karakteristik sensorik dan motorik yang lebih lama serta recovery seperti bupivacaine. Levobupivacaine memiliki pKa 8,1. Ikatan dengan protein lebih dari 97% terutama pada asam α1 glikoprotein dibandingkan pada albumin, sedangkan ikatan protein dengan bupivacaine 95%. Hal ini berarti kurang dari 3% obat. berada bebas dalam plasma. Fraksi konsentrasi yang kecil ini dapat berefek pada jaringan lain yang menyebabkan efek samping dan manifestasi toksik. Pada pasien hipoproteinemia, sindrom nefrotik, kurang kalori protein, bayi baru lahir dengan sedikit kadar protein, menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma tinggi sehingga efek toksik terlihat pada dosis rendah (Bajwa, 2013) (Arias, 2007).. Dalam sediaan komersil levobupivacaine tersedia dalam konsentrasi 0,5% 5 mg/ml, untuk levobupivacaine 0,5% plain memiliki mula kerja yang cepat yaitu 4-8 menit dengan durasi kerja anestesi 135-170 menit. Mekanisme aksi sama dengan bupivacaine atau obat anestesi lokal lain. Apabila MLAC (Minimum Local Analgesic Concentration) tercapai, obat akan melingkupi membran akson. sehingga memblok saluran natrium dan akan menghentikan transmisi impuls saraf. Metabolisme obat terjadi di hepar oleh enzim sitokrom P450 terutama CYPIA2 dan CYP3A4 isoforms. Cara pemberian melalui spinal, epidural, blok saraf perifer, dan infiltrasi. Penggunaan intravena sangat terbatas karena beresiko toksik. Bersihan obat dalam plasma akan menurun bila terjadi gangguan fungsi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(34) 18. hepar. Konsentrasi untuk menimbulkan efek toksik pada jantung dan saraf lebih kecil pada levobupivacaine daripada bupivacaine. Batas keamanan 1,3 berarti efek toksik tidak akan terlihat sampai konsentrasi 30% (Bajwa, 2013) (Arias, 2007). Levobupivacaine menimbulkan depresi jantung lebih sedikit dibandingkan bupivacaine dan ropivacaine. Gejala toksisitas sistem saraf pusat pada bupivacaine lebih tinggi rata-rata 56,1 mg dibandingkan levobupivacaine 47,1 mg. Levobupivacaine dapat digunakan untuk subarachnoid, epidural, blok pleksus brakialis, blok supra dan infra klavikuler, blok interkostal dan interskalen, blok saraf perifer, blok peribulber dan retrobulber, infiltrasi lokal, analgesi obstetri, pengelolaan nyeri setelah operasi, pengelolaan nyeri akut dan kronis. Dosis tunggal maksimum yang digunakan 2 mg/kgbb dan 5,7 mg/kgbb (400mg) dalam 24 jam. Sama dengan efek samping obat anestesi lainnya, diantaranya hipotensi, bradikardi, mual, muntah, gatal, nyeri kepala, pusing, telinga berdenging, gangguan buang air besar, dan kejang (Bajwa, 2013) (Arias, 2007).. Tabel 2.2 Perbandingan Farmakologi dari Anestesi Lokal. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(35) 19. 2.6. Komplikasi Anestesi Spinal Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi dua bagian yaitu komplikasi. yang terjadi segera dan komplikasi lanjut.. 2.6.1. Komplikasi Segera. 2.6.1.1 Kardiovaskuler 2.6.1.1.1 Hipotensi. Anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, penurunan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah arteri rata-rata, penurunan laju jantung dan penurunan isi sekuncup. Hipotensi merupakan penyulit yang sering timbul akibat blok simpatis. Penurunan tekanan darah ini sebanding dengan tingginya level saraf simpatis yang terblok. Saraf simpatis yang. terblok pada anestesi adalah dua atau lebih dermatom diatasnya dari tempat injeksi. Penurunan tekanan darah lebih besar terjadi pada ibu hamil dibandingkan orang normal karena penekanan pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar. Secara klinis diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 – 30 % dari tekanan darah sistolik semula atau. tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg (Critchley, 1996). Angka kejadian pada anestesi spinal 1/3 dari seluruh kasus. Carpenter dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada anestesi spinal biasanya mengalami komplikasi lain terjadi lebih awal dengan insiden 33%. Peneliti lain melaporkan dari 26% pasien yang mengalami komplikasi pada anestesi spinal, 16% disertai hipotensi. Penurunan tekanan darah sering ditemui didalam kamar operasi pada penderita yang mendapat anestesi spinal. Hal-hal yang menjelaskan terjadinya tersebut antara lain : 1. Berkurangnya isi sekuncup, sehingga berakibat menurunnya jumlah aliran darah vena yang menuju ke jantung. 2. Terjadinya dilatasi pembuluh darah kapiler arteiol dan pembuluh darah vena kecil oleh karena blok simpatis, sehingga terjadi vasodilatasi sedang daerah yang tidak teranestesi terjadi vasokonstriksi karena reflek baroreseptor. 3. Terjadi kelumpuhan saraf simpatis yang menuju ke jantung. Terserapnya obat anestesi local kedalam sirkulasi.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(36) 20. 4. Hipoksia dan iskemia dari pusat kardiorespirasi di otak, terlihat jelas pada pasien dengan hipovolemia sebelumnya. 5. Tekanan pada pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar atau tumor abdomen yang besar akibatnya aliran darah vena yang menuju ke jantung berkurang (Atkinson, 1987). Smith dkk menyatakan terjadinya hipotensi oleh karena turunnya venous return akibat penumpukan darah pada pembuluh darah vena. Volume darah tetap dalam keadaan normal, sehingga jaringan dirasakan hangat dan kering oleh karena vasodilatasi dan tidak akan terjadi anoksia/hipoksia seluler serta gangguan metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi akibat hipovolemi. Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan simpatis. Blok vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan tonus arteri, tidak hilang semua masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi arteri tidak merata, vasodilatasi daerah yang terblok membuat kompensasi daerah vasokonstriksi daerah yang tidak diblok (Green, 1993). Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan terus turun dibawah batas kritis, paling. sering diakibatkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi untuk penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg, tetapi ada pendapat lain yang menyatakan sistolik 80 mmHg. Penurunan tekanan darah umumnya terjadi dalam waktu 20 menit dari saat obat disuntikan dan bila dibiarkan tekanan darah mencapai tingkat paling rendah dalam waktu 20-25. menit. Setelah mencapai tingkat terendah, secara spontan akan naik kembali sekitar 5-10 mmHg setelah 10-15 menit kemudian, hal ini terjadi oleh karena kompensasi aktifitas simpatis dari bagian yang tidak terblok bukan karena naiknya curah jantung dan kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat anestesi local habis. Penurunan tekanan darah lebih sensitif terjadi pada orang tua. dan pada penderita dengan riwayat hipertensi sebelumnya (Green,1993). Perubahan tekanan darah tidak berhubungan dengan gerakan atau rangsangan operasi. Bila dibandingkan dengan anestesi umum, begitu rangsangan operasi diberikan biasa terjadi peningkatan tekanan darah dan laju jantung. Faktor. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(37) 21. yang mempengaruhi derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal (Green, 1993): 1.. Umur Setelah umur 50 tahun insiden hipotensi meningkat secara progresif dari 10 % menjadi 30 %. Pada dewasa muda biasanya terjadi hipotensi kurang berat dibanding usia lanjut dengan tinggi anestesi spinal yang sama.. 2.. Jenis kelamin Lebih sering terjadi pada wanita , hal ini berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun jumlah anestesi local yang diberikan sama. Perbandingan komplikasi anestesi spinal antara wanita dan pria adalah 32 % dan 20 %.. 3.. Berat badan Hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih besar pada pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI ) ≥ 30 %.. 4.. Kondisi fisik Pada pasien dewasa muda dan normovolemi, blok simpatis sampai pertengahan toraks mungkin tidak menimbulkan hipotensi atau hanya. hipotensi ringan. Pada usia lanjut dan atau hipovolemi atau pasien dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen ( hamil, tumor abdomen ), blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi berat. 5.. Jenis obat anestesi Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada buvipakain, rata –. rata timbul pada 18 menit pertama tetapi buvipakain lebih sering. Buvipakain hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama, sedangkan. buvipakain. isobarik. pada. 38. menit. pertama.. Kelambatan kejadian hipotensi setelah pemberian buvipakain spinal menggambarkan bahaya dimana seorang ahli anestesi harus waspada.. Dianggap bahwa 20 menit pertama setelah pemberian blok subarakhnoid merupakan periode paling kritis, tetapi dengan obat long acting tertentu penyebaran mungkin berlangsung lebih lama dan menimbulkan hipotensi lambat yang tidak terduga.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(38) 22. 6.. Tingkat hambatan sensorik Pada tingkat Th1 - Th5 25 % pasien mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai tingkat cervical 50 % pasien atau lebih mengalami hipotensi.. 7.. Posisi pasien Posisi head up atau kepala lebih tinggi dari kaki pasien misal pada operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah vena sehingga lebih mudah terjadi hipotensi.. 8.. Manipulasi operasi Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang terjadi sehingga sukar untuk mengkompensasi. Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan. dengan hipoksia jaringan, yaitu gelisah, ketakutan, tinnitus, pusing dan sakit kepala biasanya juga disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk, disorientasi dan koma yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian (Green, 1993).. 2.6.1.1.2 Bradikardi Terjadi pada anestesi spinal disebabkan oleh karena blok saraf simpatis dan menurunnya rangsangan terhadap stretch receptors yang ada pada dinding atrium. Stretch reseptors ini berfungsi mengatur tekanan darah dan laju jantung (Miller, 2007). Tingkat blokade simpatis tidak selalu sebanding dengan tingkat. level sensoriknya, dan ini mungkin menjadi alasan mengapa komplikasi kardiovaskular tidak selalu terjadi meskipun tingkat blok sensoriknya tinggi. Pasien yang lebih muda dan mereka yang memiliki tingkat blok sensorik di atas Th 6 lebih rentan terhadap bradikardia selama anestesi spinal. Denyut jantung pada awal kurang dari 60 kali / menit dan terapi saat ini dengan obat penghambat beta-adrenergik juga meningkatkan faktor risiko bradikardia (Tarkilla, 2007).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(39) 23. 2.6.1.1.3 Mual dan Muntah Mual dan muntah selama anestesi spinal dan paling sering dikaitkan dengan hipotensi. Oleh karena itu, mual pada kasus-kasus ini dikurangi dengan kombinasi pengobatan hipotensi yang berhasil dan tidak memerlukan pengobatan khusus itu sendiri. Mekanisme lain untuk mual selama anestesi spinal adalah hipoksia serebral, anestesi yang tidak adekuat, dan refleks parasimpatis terkait traksi yang dipicu oleh manipulasi bedah. Jenis kelamin wanita, premedikasi opiat, dan tingkat sensorik analgesia di atas Th 6 semuanya telah terbukti menjadi faktor risiko signifikan untuk mual selama anestesi spinal. Riwayat mabuk perjalanan (motion sickness) juga telah dikaitkan dengan mual selama anestesi spinal (Tarkilla, 2007).. 2.6.1.1.4 Cardiac Arrest Dalam penelitian terbaru, insiden henti jantung selama anestesi spinal telah dilaporkan antara 2,5-6,4 per 10.000 tindakan anestesi. Henti jantung sering dikaitkan dengan kejadian perioperatif seperti kehilangan darah yang signifikan atau penempatan semen (cement placement) selama operasi ortopedi. Seringkali. sulit untuk menentukan apakah faktor pembedahan, anestesi, atau pasien adalah faktor terpenting yang menyebabkan masalah. Untungnya, frekuensi serangan jantung telah menurun secara signifikan selama dua atau tiga dekade terakhir. Alasan penurunan ini tidak jelas. Kesadaran akan potensi komplikasi ini mungkin meningkat setelah Caplan dan rekannya melaporkan 14 kasus serangan jantung. mendadak pada pasien sehat yang menjalani anestesi spinal untuk operasi kecil. Juga, penggunaan pulse oxymetri telah menjadi standar selama anestesi spinal, meskipun tidak ada penelitian acak yang telah atau akan dilakukan untuk mengkonfirmasi efektivitas pulse oxymetri ini. Pasien harus dimonitor selama anestesi spinal sepenuhnya seperti selama anestesi umum dan efek samping harus. ditangani secara agresif sesegera mungkin untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Henti jantung selama anestesi neuraxial telah dikaitkan dengan kemungkinan bertahan hidup yang sama atau lebih baik daripada serangan jantung selama anestesi umum (Tarkilla, 2007).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(40) 24. 2.6.1.2 Respirasi Gangguan. respirasi. yang. timbul. akibat. anestesi. spinal. adalah. hipoventilasi, apneu, batuk, gangguan ponasi. Batuk terjadi karena ekspirasi reserve menurun, sedangkan gangguan ponasi oleh karena residual capacity menurun. Hipoventilasi dan apneu terjadi karena menurunnya aliran darah ke medullary (pusat nafas), lumpuhnya otot intercostals dan diafragma karena terjadi spinal tinggi. Tingginya level anestesi spinal tergantung dari besarnya dosis, posisi penderita dan kecepatan penyuntikan (Morgan, 2013).. 2.6.1.3 Sistem Saluran Pencernaan Anestesi spinal menekan saraf simpatis, sehingga pada anestesi spinal akan terlihat efek parasimpatis lebih menonjol. Pada usus akan terlihat peningkatan kontraksi, tekanan intralumen meningkat, sphingter akan terjadi relaksasi. Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi spinal, kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual muntah pada anestesi spinal ini antara lain : 1. Penurunan tekanan darah, merupakan penyebab terbesar. Bila segera diatasi. maka mual muntah akan segera berhenti. 2.. Hipoksia, merupakan penyebab terbesar kedua setelah hipotensi. Hal ini dapat diatasi secara efektif dengan terapi oksigen.. 3. Kecemasan atau faktor psikologis. Hal ini dapat diatasi dengan penjelasan prosedur yang baik atau dengan sedatif.. 4. Pemberian narkotik sebagai premedikasi. 5. Peninggian aktivitas parasimpatis. Blok spinal akan mempengaruhi control simpatetik gastrointestinal. 6. Refleks traksi pada usus, manipulasi usus (Snow, 1980).. 2.6.1.4 Temperatur Tubuh Anestesi spinal menyebabkan penurunan suhu tubuh akibat vasodilatasi sehingga memudahkan terjadinya penguapan panas. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan dopler laser yang diletakkan pada kaki untuk menilai fungsi simpatis. Selain itu anestesi spinal juga menghambat pelepasan hormon. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(41) 25. katekolamin sehingga akan menekan produksi panas akibat metabolisme. Menggigil sering mengikuti perubahan temperatur. Menggigil ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, laju jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen. Pengobatan menggigil dengan pemberian petidin 25 mg intra vena (Atkinson,1987).. 2.6.1.5 Anestesi Total Spinal Komplikasi ini terjadi bila blok simpatis sampai thorakal atau bahkan cervical, dapat terjadi hipotensi berat, bradikardi dan gangguan respirasi. Terjadinya spinal tinggi ini dapat disebabkan misalnya: penderita mengangkat kaki pada waktu obat dimasukkan, penderita mengejan, batuk atau tekanan intra abdomen yang meningkat. Gejala yang sering timbul pada spinal tinggi biasanya berupa : penurunan kesadaran, hipoventilasi sampai apneu, hipotensi dan bradikardi. Penangananan kepala lebih tinggi dari badan, pemberian oksigen lewat pipa endotrakhea, pemberian cairan (Miller, 2007).. 2.6.1.6 Reaksi Alergi. Reaksi ini manifestasinya bermacam–macam, bisa hanya berupa kemerahan pada kulit, urtikaria namun dapat pula manifestasinya berupa reaksi anafilaktik syok. Reaksi ini dapat terjadi segera ataupun lambat (Miller, 2007).. 2.6.2 Komplikasi Lanjut. 2.6.2.1 Sakit Kepala Kejadian nyeri kepala setelah anestesi spinal adalah 5 – 10%, banyak terjadi pada wanita, umur muda. Keluhan nyeri kepala meningkat sesuai dengan besarnya jarum spinal yang digunakan. Lokasi nyeri kepala yang tersering adalah dibagian frontal 50% occipital 25%, dan sisanya adalah di bagian lain. Kejadian. nyeri kepala umumnya 6 – 12 jam pasca anestesi spinal, meskipun dapat pula terjadi lebih lambat. Nyeri kepala dapat berlangsung dalam hitungan hari, minggu bahkan bulan meskipun umumnya berlangsung selama 1 – 2 minggu. Keluhan ini terlihat dalam 3 hari pada 90% kasus dan dikeluhkan sampai 12 hari sesudah tusukan jarum spinal (Miller, 2007).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(42) 26. Teori yang dapat menjelaskan terjadinya nyeri kepala setelah anestesi spinal antara lain: 1.. Menurunnya tekanan cairan cerebrospinal akibat kebocoran durameter. Hal ini dapat mengakibatkan penarikan terhadap pembuluh darah dan saraf yang sensitive nyeri. Pernah dilaporkan adanya penyebab kematian akibat herniasi tentorium serebri dan hematom subdural pada otopsi bedah mayat setelah anestesi spinal.. 2.. Iritasi selaput otak oleh zat kimia atau bakteri. Pada jenis ini tekanan serebrospinal normal atau meningkat. Nyeri kepala semakin diperberat pada posisi berdiri atau duduk. Pada ibu. hamil atau penderita dengan tumor intraabdomen, nyeri kepala yang terjadi lebih berat karena banyaknya cairan serebrospinal yang keluar, disamping itu penggunaan obat vasopresor akan berinteraksi dengan oksitosin dalam meningkatkan kejadian nyeri kepala paska bedah (Miller, 2007). Gangguan pendengaran atau penglihatan sering menyertai nyeri kepala. Insiden gangguan pendengaran kira- kira 0,4% dengan gejala nyeri telinga berdenging, tersumbat. Gangguan pendengaran ini karena berkurangnya tekanan. pada koklea. Kejadian gangguan penglihatan kira-kira 0,1% dengan gejala : penglihatan ganda, mata kabur, kesulitan memfokuskan pandangan. Gangguan ini terjadi karena lumpuhnya nervus VI dalam perjalanannya melewati dasar tenggkorak, sehingga kalau ada perubahan pada cairan serebrospinal cepat mengenai nervus VI (Miller, 2007).. 2.6.2.2 Nyeri Punggung Nyeri punggung terjadi karena kerusakan atau teregangnya kapsula, otot, ligament. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap nyeri punggung setelah anestesi antara lain : persediaan tempat tidur rumah sakit dengan kasur yang. terlalu lembek sehingga tidak menyokong punggung, trauma yang terjadi pada saat penderita dipindahkan dari meja operasi, penderita dengan riwayat nyeri punggung sebelumnya (Morgan, 2013).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(43) 27. 2.6.2.3 Retensi Urin Kejadian retensi urin yang terjadi karena terbloknya S2 – S4, sehingga mengakibatkan tonus kandung kencing menurun dan hilangnya reflek pengosongan kandung kencing. Produksi urin terus berlangsung namun karena otot detrusor tidak dapat berkontraksi akibatnya terjadi retensi urin. Penderita dapat dapat dikatakan retensi urin bila tidak dapat kencing lebih dari 6 jam. Retensi urin terjadi pada operasi daerah perineum, urogenital dan abdomen bagian bawah. Distensi kandung kencing akan mengakibatkan perubahan hemodinamik seperti peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju jantung (Morgan, 2013).. 2.6.2.4 Infeksi Infeksi yang sering terjadi pada anestesi spinal adalah meningitis dan. abses epidural. Kejadiannya berlangsung lambat. Meningitis yang terjadi dibagi dua yaitu: meningitis yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri dan meningitis yang disebabkan oleh zat kimia seperti powder dari sarung tangan, detergen, maupun dari zat aseptic yang digunakan misalnya povidon yodida. Kejadian meningitis sudah jauh berkurang karena sterilitas alat-alat sudah. modern. Pencegahan yang paling efektif adalah memperhatikan septik aseptik, serta sterilitas alat serta bahan yang akan digunakan (Miller, 2007).. 2.6.2.5 Komplikasi Neurologi Hal – hal yang menyebabkan terjadinya gangguan neurologik pada. anestesi spinal antara lain: 1. Kompresi medulla spinalis • Hematom: trauma jarum, kelainan pembuluh darah, gangguan perdarahan, tumor. • Abses: infeksi lewat jarum, hematogen. 2. Trauma medulla spinalis • Kerusakan oleh jarum. • Toksik.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(44) 28. Macam gangguan neurologik pada anestesi spinal: a. Sindroma kauda equina Terjadi karena tekanan, iskemia atau kontak dengan bahan kimia toksik, maka serabut otonom kauda equine sering menjadi bagian pertama yang terserang akibat anestesi spinal. Kerusakan pada daerah rami saraf S2-4 akan menimbulkan lesi neuron motorik inferior berupa atoni kandung kemih dan hilangnya inisiasi volunter miksi. Sindrom ini dapat berkembang berupa gejala kelemahan motorik atau paralisa otot-otot di bawah lutut, otot-otot hamstring, gluteal disertai menghilangnya reflek plantar dan ankle jerk. Jika L5 dan S1 terserang menyebabkan hilangnya sensoris pada rami sacral bawah dan menghasilkan pola anestesi sadle yang khas pada perineum, pantat dan paha yang menyebar hingga kaki dan betis (Miller, 2007).. b. Kompresi saraf spinal akibat hematom spinal Kompresi akut pada saraf spinal akibat yang timbul pada spatium subarachnoid,. subdural,. atau. ekstradural. dapat. menimbulkan. paraplegi. irreversible mendadak. Meskipun perdarahan ini disebabkan oleh trauma jarum spinal atau epidural tanpa diskrasia darah, tetapi ada kemungkinan disebabkan. oleh kelainan hemostatika (Miller, 2007). c. Kompresi saraf spinal akibat pembentukan abses Kompresi saraf spinal akibat proses infeksi dapat dikaitkan dengan tehnik anstesi spinal. Penyebabnya adalah masuknya bahan yang terinfeksi melalui jarum spinal menuju kanalis spinalis (kontaminasi dari kulit atau jarum) atau. kontaminasi dari bakteri yang ada di darah. Organisme yang sering ditemukan adalah stapilokokus aureus. Gambaran klinisnya adalah nyeri punggung, kelemahan, paralisa setelah tusukan jarum beberapa jam, hari atau bulan. Hal ini bila tidak diterapi akan berkembang menjadi paraplegi (Miller, 2007). d. Bahan asing yang menyebabkan arakhnoiditis Kejadian arakhnoiditis pada anestesi spinal dapat menyebabkan skuele neurologist serius. Penyebabnya adalah masuknya benda asing korosif ke dalam spatium subarakhnoid. Gambaran klinis yang muncul berupa kelemahan progresif yang berjalan perlahan dan hilangnya sensoris pada ekstremitas inferior yang dimulai beberapa hari, minggu atau bulan setelah anestesi spinal dan berkembang. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(45) 29. menjadi paraplegi serta dapat berkembang kearah kematian. Perubahan histologis yang ditemukan yaitu respon peradangan meningeal disertai proliferasi arakhnoid yang menjepit saraf spinalis serta menyebabkan infark saraf spinalis (Miller, 2007).. 2.6.2.6 Komplikasi Akibat Obat Anestesi Lokal Reaksi sistemik bisa terjadi bila obat anestesi lokal masuk pembuluh darah. Gejala yang timbul dapat berupa penurunan kesadaran, kejang serta bradikardi. Pencegahan reaksi sistemik dengan melakukan aspirasi sebelum penyuntikan obat atau dipastikan jarum spinal tidak masuk pembuluh darah. Disamping itu dapat ditambahkan obat vasokonstriktor untuk menghambat penyerapan obat. Reaksi alergi bisa terjadi akibat pemberian obat anestesi local. Golongan ester lebih sering daripada golongan amida. Reaksi alergi ini terutama terjadi pada penderita dengan riwayat atopi. Gejala yang timbul dapat berupa urtikaria, bronkospasme atau henti jantung (Hall, 1994).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(46) 30. Gambar 2.6 Map Dermatom Orang Dewasa. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(47) 31. 2.7 Kerangka Konsep. VARIABEL BEBAS. VARIABEL TERGANTUNG. BUPIVACAINE HIPERBARIK 0,5 % 15 mg (3 ml) MULA KERJA, LAMA KERJA, EFEK SAMPING LEVOBUPIVACAINE ISOBARIK 0,5 % 15 mg (3 ml). Gambar 2.7 Kerangka Konsep. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(48) 32. 2.8 Kerangka Teori. ANESTESI SPINAL. BUPIVACAINE HIPERBARIK 0,5% 15 mg (3 ml). LEVOBUPIVACAINE ISOBARIK 0,5 % 15 mg (3 ml). KADAR OBAT DI MEMBRAN SEL SARAF. PENGHAMBATAN HANTARAN SEL SARAF. BLOKADE SENSORIK & MOTORIK. MULA KERJA, DURASI KERJA, & EFEK SAMPING. Gambar 2.8 Kerangka Teori. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(49) BAB III METODE PENELITIAN. 3.1. RANCANGAN PENELITIAN Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara. random tersamar ganda, untuk menilai perbandingan efektivitas bupivacaine hiperbarik dengan levobupivacaine isobarik pada operasi abdomen dan ekstremitas bawah.. 3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN. 3.2.1. Tempat Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Medan dan Rumah Sakit jejaring lainnya.. 3.2.2. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dan dimulai setelah ethical clearance terbit sampai. dengan jumlah sampel terpenuhi (November - Desember 2019).. 3.3. POPULASI DAN SAMPEL. 3.3.1. Populasi Seluruh pasien yang akan menjalani pembedahan abdomen dan. ekstremitas bawah dengan teknik anestesi spinal.. 3.3.2. SAMPEL Diambil dari pasien yang akan menjalani pembedahan abdomen dan. ekstremitas bawah dengan teknik anestesi spinal yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.. 3.4. PERKIRAAN BESAR SAMPEL 2. 𝑛=. n. 𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 1+𝑟 0,5𝑙𝑛 1 − 𝑟. +3. = Besar sampel yang dibutuhkan. 33. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(50) 34. Zα. = Kesalahan tipe 1, detetapkan 5%, hipotesis satu arah, sehingga Zα = 1,64. Zβ. = Kesalahan tipe 2, ditetapkan sebesar 10%, sehingga Zβ = 1,28. r. = Koefesien korelasi minimal dianggap bermakna bila nilai r (0,5) 2. 𝑛=. 1,64 + 1,28 1 + 0,6 0,5𝑙𝑛 1 − 0,6. 𝑛=. 2,92 0,549. +3. 2. +3. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus besar sample diatas maka diperoleh besar sampel 30,18 atau dibulatkan menjadi 31 pasien. Sehingga total sampel untuk kedua kelompok 62 sampel.. 3.5. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan. randomisasi yaitu simple random sampling dengan metode acak sederhana. Randomisasi untuk alokasi subjek dilakukan dengan cara randomisasi sederhana menggunakan tabel randomisasi, dimasukkan ke dalam amplop dan diambil oleh residen yang melakukan spinal. Pencatatan data dan monitoring dilakukan oleh peneliti yang tidak mengetahui obat yang diberikan.. 3.6. KRITERIA SAMPEL PENELITIAN. Semua pasien yang akan menjalani pembedahan abdomen dan extremitas bawah dengan anestesi spinal di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan Rumah Sakit jejaring lainnya.. 3.6.1. Kriteria Inklusi. 1. Bersedia ikut dalam penelitian. 2. Pasien usia 18 - 50 tahun. 3. Pasien dengan PS ASA I-II.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Untuk mendapatkan alternatif rasemik obat anestesi regional pada bedah sesar serta untuk meneliti mula kerja dan lama kerja analgesia antara 7,5 mg Bupivakain 0,5%

Kesimpulan : Penambahan midazolam pada lidokain secara spinal anestesi memiliki mula kerja lebih cepat dan lama kerja lebih panjang dibandingkan dengan penambahan

Simpulan: Tidak terdapat perbedaan perubahan saturasi oksigen terhadap pemberian bupivacaine dan bupivacaine-fentanyl pada anestesi spinal pasien sectio caesaria,

pemberian obat pada anestesi spinal pasien sectio caesaria , dengan. pemberian bupivacaine-fentanyl lebih diutamakan karena

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan morfin 0,1 mg sebagai kombinasi obat anesthesia spinal untuk pasien yang menjalani operasi pada kelompok perlakuan

Tujuan umum penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbandingan levica dengan bunascan pada tindakan anestesi spinal terhadap mula kerja dan blokade sensorik analgesia

Perbedaan lama kerja ini disebabkan oleh perbedaan ketinggian blokade sensoris yang cenderung lebih tinggi pada bupivakain hiperbarik sehingga mengakibatkan regresi

Simpulan: Tidak terdapat perbedaan perubahan saturasi oksigen terhadap pemberian bupivacaine dan bupivacaine-fentanyl pada anestesi spinal pasien sectio caesaria,