• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Komplikasi Anestesi Spinal

2.6.1 Komplikasi Segera

2.6.1.1.1 Hipotensi

Anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, penurunan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah arteri rata-rata, penurunan laju jantung dan penurunan isi sekuncup. Hipotensi merupakan penyulit yang sering timbul akibat blok simpatis. Penurunan tekanan darah ini sebanding dengan tingginya level saraf simpatis yang terblok. Saraf simpatis yang terblok pada anestesi adalah dua atau lebih dermatom diatasnya dari tempat injeksi. Penurunan tekanan darah lebih besar terjadi pada ibu hamil dibandingkan orang normal karena penekanan pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar. Secara klinis diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 – 30 % dari tekanan darah sistolik semula atau tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg (Critchley, 1996).

Angka kejadian pada anestesi spinal 1/3 dari seluruh kasus. Carpenter dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada anestesi spinal biasanya mengalami komplikasi lain terjadi lebih awal dengan insiden 33%.

Peneliti lain melaporkan dari 26% pasien yang mengalami komplikasi pada anestesi spinal, 16% disertai hipotensi. Penurunan tekanan darah sering ditemui didalam kamar operasi pada penderita yang mendapat anestesi spinal. Hal-hal yang menjelaskan terjadinya tersebut antara lain :

1. Berkurangnya isi sekuncup, sehingga berakibat menurunnya jumlah aliran darah vena yang menuju ke jantung.

2. Terjadinya dilatasi pembuluh darah kapiler arteiol dan pembuluh darah vena kecil oleh karena blok simpatis, sehingga terjadi vasodilatasi sedang daerah yang tidak teranestesi terjadi vasokonstriksi karena reflek baroreseptor.

3. Terjadi kelumpuhan saraf simpatis yang menuju ke jantung. Terserapnya obat anestesi local kedalam sirkulasi.

4. Hipoksia dan iskemia dari pusat kardiorespirasi di otak, terlihat jelas pada pasien dengan hipovolemia sebelumnya.

5. Tekanan pada pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar atau tumor abdomen yang besar akibatnya aliran darah vena yang menuju ke jantung berkurang (Atkinson, 1987).

Smith dkk menyatakan terjadinya hipotensi oleh karena turunnya venous return akibat penumpukan darah pada pembuluh darah vena. Volume darah tetap dalam keadaan normal, sehingga jaringan dirasakan hangat dan kering oleh karena vasodilatasi dan tidak akan terjadi anoksia/hipoksia seluler serta gangguan metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi akibat hipovolemi. Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan simpatis. Blok vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan tonus arteri, tidak hilang semua masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi arteri tidak merata, vasodilatasi daerah yang terblok membuat kompensasi daerah vasokonstriksi daerah yang tidak diblok (Green, 1993).

Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan terus turun dibawah batas kritis, paling sering diakibatkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi untuk penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg, tetapi ada pendapat lain yang menyatakan sistolik 80 mmHg. Penurunan tekanan darah umumnya terjadi dalam waktu 20 menit dari saat obat disuntikan dan bila dibiarkan tekanan darah mencapai tingkat paling rendah dalam waktu 20-25 menit. Setelah mencapai tingkat terendah, secara spontan akan naik kembali sekitar 5-10 mmHg setelah 10-15 menit kemudian, hal ini terjadi oleh karena kompensasi aktifitas simpatis dari bagian yang tidak terblok bukan karena naiknya curah jantung dan kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat anestesi local habis. Penurunan tekanan darah lebih sensitif terjadi pada orang tua dan pada penderita dengan riwayat hipertensi sebelumnya (Green,1993).

Perubahan tekanan darah tidak berhubungan dengan gerakan atau rangsangan operasi. Bila dibandingkan dengan anestesi umum, begitu rangsangan operasi diberikan biasa terjadi peningkatan tekanan darah dan laju jantung. Faktor

21

yang mempengaruhi derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal (Green, 1993):

1. Umur

Setelah umur 50 tahun insiden hipotensi meningkat secara progresif dari 10 % menjadi 30 %. Pada dewasa muda biasanya terjadi hipotensi kurang berat dibanding usia lanjut dengan tinggi anestesi spinal yang sama.

2. Jenis kelamin

Lebih sering terjadi pada wanita , hal ini berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun jumlah anestesi local yang diberikan sama. Perbandingan komplikasi anestesi spinal antara wanita dan pria adalah 32 % dan 20 %. pertengahan toraks mungkin tidak menimbulkan hipotensi atau hanya hipotensi ringan. Pada usia lanjut dan atau hipovolemi atau pasien dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen ( hamil, tumor abdomen ), blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi berat.

5. Jenis obat anestesi

Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada buvipakain, rata – rata timbul pada 18 menit pertama tetapi buvipakain lebih sering.

Buvipakain hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama, sedangkan buvipakain isobarik pada 38 menit pertama.

Kelambatan kejadian hipotensi setelah pemberian buvipakain spinal menggambarkan bahaya dimana seorang ahli anestesi harus waspada.

Dianggap bahwa 20 menit pertama setelah pemberian blok subarakhnoid merupakan periode paling kritis, tetapi dengan obat long acting tertentu penyebaran mungkin berlangsung lebih lama dan menimbulkan hipotensi lambat yang tidak terduga.

6. Tingkat hambatan sensorik

Pada tingkat Th1 - Th5 25 % pasien mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai tingkat cervical 50 % pasien atau lebih mengalami hipotensi.

7. Posisi pasien

Posisi head up atau kepala lebih tinggi dari kaki pasien misal pada operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah vena sehingga lebih mudah terjadi hipotensi.

8. Manipulasi operasi

Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang terjadi sehingga sukar untuk mengkompensasi.

Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan hipoksia jaringan, yaitu gelisah, ketakutan, tinnitus, pusing dan sakit kepala biasanya juga disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk, disorientasi dan koma yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian (Green, 1993).

2.6.1.1.2 Bradikardi

Terjadi pada anestesi spinal disebabkan oleh karena blok saraf simpatis dan menurunnya rangsangan terhadap stretch receptors yang ada pada dinding atrium. Stretch reseptors ini berfungsi mengatur tekanan darah dan laju jantung (Miller, 2007). Tingkat blokade simpatis tidak selalu sebanding dengan tingkat level sensoriknya, dan ini mungkin menjadi alasan mengapa komplikasi kardiovaskular tidak selalu terjadi meskipun tingkat blok sensoriknya tinggi.

Pasien yang lebih muda dan mereka yang memiliki tingkat blok sensorik di atas Th 6 lebih rentan terhadap bradikardia selama anestesi spinal. Denyut jantung pada awal kurang dari 60 kali / menit dan terapi saat ini dengan obat penghambat beta-adrenergik juga meningkatkan faktor risiko bradikardia (Tarkilla, 2007).

23

2.6.1.1.3 Mual dan Muntah

Mual dan muntah selama anestesi spinal dan paling sering dikaitkan dengan hipotensi. Oleh karena itu, mual pada kasus-kasus ini dikurangi dengan kombinasi pengobatan hipotensi yang berhasil dan tidak memerlukan pengobatan khusus itu sendiri. Mekanisme lain untuk mual selama anestesi spinal adalah hipoksia serebral, anestesi yang tidak adekuat, dan refleks parasimpatis terkait traksi yang dipicu oleh manipulasi bedah. Jenis kelamin wanita, premedikasi opiat, dan tingkat sensorik analgesia di atas Th 6 semuanya telah terbukti menjadi faktor risiko signifikan untuk mual selama anestesi spinal. Riwayat mabuk perjalanan (motion sickness) juga telah dikaitkan dengan mual selama anestesi spinal (Tarkilla, 2007).

2.6.1.1.4 Cardiac Arrest

Dalam penelitian terbaru, insiden henti jantung selama anestesi spinal telah dilaporkan antara 2,5-6,4 per 10.000 tindakan anestesi. Henti jantung sering dikaitkan dengan kejadian perioperatif seperti kehilangan darah yang signifikan atau penempatan semen (cement placement) selama operasi ortopedi. Seringkali sulit untuk menentukan apakah faktor pembedahan, anestesi, atau pasien adalah faktor terpenting yang menyebabkan masalah. Untungnya, frekuensi serangan jantung telah menurun secara signifikan selama dua atau tiga dekade terakhir.

Alasan penurunan ini tidak jelas. Kesadaran akan potensi komplikasi ini mungkin meningkat setelah Caplan dan rekannya melaporkan 14 kasus serangan jantung mendadak pada pasien sehat yang menjalani anestesi spinal untuk operasi kecil.

Juga, penggunaan pulse oxymetri telah menjadi standar selama anestesi spinal, meskipun tidak ada penelitian acak yang telah atau akan dilakukan untuk mengkonfirmasi efektivitas pulse oxymetri ini. Pasien harus dimonitor selama anestesi spinal sepenuhnya seperti selama anestesi umum dan efek samping harus ditangani secara agresif sesegera mungkin untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Henti jantung selama anestesi neuraxial telah dikaitkan dengan kemungkinan bertahan hidup yang sama atau lebih baik daripada serangan jantung selama anestesi umum (Tarkilla, 2007).

2.6.1.2 Respirasi

Gangguan respirasi yang timbul akibat anestesi spinal adalah hipoventilasi, apneu, batuk, gangguan ponasi. Batuk terjadi karena ekspirasi reserve menurun, sedangkan gangguan ponasi oleh karena residual capacity menurun. Hipoventilasi dan apneu terjadi karena menurunnya aliran darah ke medullary (pusat nafas), lumpuhnya otot intercostals dan diafragma karena terjadi spinal tinggi. Tingginya level anestesi spinal tergantung dari besarnya dosis, posisi penderita dan kecepatan penyuntikan (Morgan, 2013).

2.6.1.3 Sistem Saluran Pencernaan

Anestesi spinal menekan saraf simpatis, sehingga pada anestesi spinal akan terlihat efek parasimpatis lebih menonjol. Pada usus akan terlihat peningkatan kontraksi, tekanan intralumen meningkat, sphingter akan terjadi relaksasi. Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi spinal, kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual muntah pada anestesi spinal ini antara lain :

1. Penurunan tekanan darah, merupakan penyebab terbesar. Bila segera diatasi maka mual muntah akan segera berhenti.

2. Hipoksia, merupakan penyebab terbesar kedua setelah hipotensi. Hal ini dapat diatasi secara efektif dengan terapi oksigen.

3. Kecemasan atau faktor psikologis. Hal ini dapat diatasi dengan penjelasan prosedur yang baik atau dengan sedatif.

4. Pemberian narkotik sebagai premedikasi.

5. Peninggian aktivitas parasimpatis. Blok spinal akan mempengaruhi control simpatetik gastrointestinal.

6. Refleks traksi pada usus, manipulasi usus (Snow, 1980).

2.6.1.4 Temperatur Tubuh

Anestesi spinal menyebabkan penurunan suhu tubuh akibat vasodilatasi sehingga memudahkan terjadinya penguapan panas. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan dopler laser yang diletakkan pada kaki untuk menilai fungsi simpatis. Selain itu anestesi spinal juga menghambat pelepasan hormon

25

katekolamin sehingga akan menekan produksi panas akibat metabolisme.

Menggigil sering mengikuti perubahan temperatur. Menggigil ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, laju jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen. Pengobatan menggigil dengan pemberian petidin 25 mg intra vena (Atkinson,1987).

2.6.1.5 Anestesi Total Spinal

Komplikasi ini terjadi bila blok simpatis sampai thorakal atau bahkan cervical, dapat terjadi hipotensi berat, bradikardi dan gangguan respirasi.

Terjadinya spinal tinggi ini dapat disebabkan misalnya: penderita mengangkat kaki pada waktu obat dimasukkan, penderita mengejan, batuk atau tekanan intra abdomen yang meningkat. Gejala yang sering timbul pada spinal tinggi biasanya berupa : penurunan kesadaran, hipoventilasi sampai apneu, hipotensi dan bradikardi. Penangananan kepala lebih tinggi dari badan, pemberian oksigen lewat pipa endotrakhea, pemberian cairan (Miller, 2007).

2.6.1.6 Reaksi Alergi

Reaksi ini manifestasinya bermacam–macam, bisa hanya berupa kemerahan pada kulit, urtikaria namun dapat pula manifestasinya berupa reaksi anafilaktik syok. Reaksi ini dapat terjadi segera ataupun lambat (Miller, 2007).

2.6.2 Komplikasi Lanjut

Dokumen terkait