• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.10. Komplikasi

Komplikasi sebagai akibat progresi hepatitis B kronik diantaranya adalah :

a. Sirosis Hati

Sirosis merupakan komplikasi penyakit hati yang ditandai dengan menghilangnya sel-sel hati dan pembentukan jaringan ikat dalam hati yang ireversibel.36 Sirosis hati merupakan proses difus dari fibrosis berat disertai terbentuknya nodul regenerasi. Fibrosis adalah hasil dari proses fibrogenesis, yaitu proses pembentukan jaringan ikat (parut) yang terjadi akibat kerusakan jaringan hati. Dengan terus berlangsungnya kerusakan hati (kronisitas), jaringan fibrosis juga terus meluas hingga meliputi seluruh bagian hati. Sirosis hati akibat hepatitis B timbul akibat progresi hepatitis B kronik.1

b. Kanker Hati (Hepatoma)

Kanker hati adalah pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel ganas di hati yang dihasilkan dari sel-sel abnormal pada hati (primer), atau mungkin akibat dari penyebaran kanker dari bagian tubuh lain (sekunder).37 Kanker/tumor hati primer dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis berdasarkan sel asalnya, yaitu kanker/tumor hati jinak dan kanker/tumor hati ganas. Kanker/tumor hati jinak contohnya adalah adenoma hepatik dan hiperplasia fokal nodular (focal nodular hyperplasia=FNH). Untuk kanker/tumor hati ganas contohnya karsinoma hepatoseluler (HCC).36

2.11. Epidemiologi HBV 2.11.1. Distribusi Frekuensi

a. Menurut Orang

Penyakit Hepatitis B bisa terjadi pada semua kelompok umur dan jenis kelamin. Data-data menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi HBV sebelum usia 1 tahun mempunyai risiko kronisitas sampai 90%, sedangkan bila infeksi HBV terjadi pada usia antara 2-5 tahun risikonya menurun menjadi 50%, bahkan bila terjadi infeksi pada anak berusia diatas 5 tahun hanya berisiko 5-10% untuk terjadi kronisitas.32

Penelitian Ipi H. (2004) di RSUD DR. M. Yunus Bengkulu dari 114 penderita infeksi HBV sebanyak 42 orang (36,8%) berumur 25-40 tahun.17Penelitian Elizabeth L.(2010) di RSUD Rantau Prapat dari 104 penderita infeksi HBV sebanyak 27 orang (26%) berumur 4-13 tahun.16Berdasarkan jenis kelamin ternyata pria cenderung lebih banyak dari pada wanita. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 telah mengumpulkan dan memeriksa sampel darah dari 30.000 rumah tangga di 294 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Hasil pemeriksaan biomedis menunjukkan bahwa prevalensi HBsAg sebesar 9,7% pada pria 9,3% pada wanita, dengan angka tertinggi pada kelompok usia 45-49 tahun sebesar 11,9%.8 Penelitian Sujono Hadi (1996) di beberapa kota di Indonesia seperti : Jakarta, dari 9.498 orang yang diperiksa, diperoleh 2.447 orang HBsAg positif, 1.783 orang adalah pria (72,86%), sedangkan wanita sebanyak 664 orang (27,14%). Di Surabaya, dari 7.759 orang yang diperiksa, diperoleh 1.805 orang dengan HBsAg positif, 1.176 orang adalah pria

dari 7.365 orang yang diperiksa, diperoleh 1.080 orang dengan HBsAg positif, didapati 673 pria (62,31%), sedangkan pada wanita sebanyak 407 orang (37,69%). Di Denpasar dari 2.179 orang yang diperiksa, diperoleh 217 orang dengan HBsAg positif, ditemukan pria dengan jumlah lebih banyak yaitu 168 orang (77,42%), sedangkan pada wanita 49 orang (22,58%).9

b. Menurut Tempat

Menurut WHO pola infeksi Virus Hepatitis B dibagi menjadi 3 daerah endemisitas, yaitu endemisitas tinggi, sedang dan rendah.33,11

b1. Negara dengan tingkat endemisitas tinggi seperti Asia Tenggara dan Pasifik Basin (tidak termasuk Jepang, Australia, dan Selandia Baru), sub-Sahara Afrika, Amazon Basin, bagian dari Timur Tengah, republik-republik Asia Tengah, dan beberapa negara di Eropa Timur, Cina, Taiwan, Asia Tenggara, dan Indonesia khususnya Papua dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi HBV>8%. Di negara dengan tingkat endemisitas tinggi, pengidap HBV kronis kebanyakan adalah bayi baru lahir dan anak-anak bawah lima tahun. Cara penularan umumnya terjadi pada masa perinatal. Itulah sebabnya kanker hati dan sirosis hati sudah dijumpai pada usia muda. Apabila diteliti lebih lanjut melalui pemeriksaan anti-HBs dan anti HBc, ternyata di negara dengan tingkat endemisitas tinggi 70-95% penduduknya pernah kontak dengan HBV. Penelitian oleh Soewignjo S. dan Gunawan S. (1999) melaporkan jumlah pengidap virus Hepatitis B dari berbagai daerah di Indonesia dalam berbagai survei dilaporkan kejadian infeksi HBV beberapa daerah di Indonesia ada yang

melebihi 8%. Di Asia, prevalensi Hepatitis B di Indonesia menempati urutan ketiga.

b2. Negara dengan tingkat endemisitas sedang seperti di sekitar Laut Tengah, Asia Barat Daya dan sebagian wilayah di Indonesia.PrevalensiHBV 2-8%, populasi pernah terpapar HBV 10-60%.

b3. Negara dengan tingkat endemisitas rendah seperti Amerika Utara, Eropa Barat dan Utara, Australia, dan bagian dari Amerika Selatan.Prevalensi HBV<2% dan populasi yang pernah terpapar HBV 5-7%. Populasi yang terinfeksi lebih banyak pada kelompok dewasa. Penularan infeksi di negara dengan tingkat endemisitas rendah lebih disebabkan karena penularan horizontal.

c. Menurut Waktu

Infeksi HBV tergantung pada banyak jumlah virus, cara transmisi, daya tahan tubuh dan lamanya individu terpapar. Dari penelitian yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia kasus yang ditemukan tidak berbeda dari tahun ke tahun.4 Menurut penelitian Ipi H. di RSUD DR. M. Yunus Bengkulu ditemukan penderita Hepatitis B tahun 1999 sebanyak 12 orang, tahun 2000 sebanyak 23 orang, tahun 2011 sebanyak 28 orang, tahun 2002 sebanyak 22 orang dan tahun 2003 sebanyak 29 orang.17Hal ini menunjukkan bahwa kasus Hepatitis B tidak melihat waktu untuk mengalami kenaikkan maupun penurunan kasus.

2.11.2. Determinan a. Umur

Tingginya angka prevalens Hepatitis B ini terkait dengan terjadinya infeksi HBV pada masa dini kehidupan. Sebagian besar pengidap HBV ini diduga mendapatkan infeksi HBV melalui transmisi vertikal, sedangkan sebagian lain melalui trasmisi horizontal karena kontak erat pada usia dini. Pada usia anak-anak 25% dengan Hepatitis B kronis dapat berkembang menjadi sirosis hati, sedangjan orang dewasa dengan Hepatitis B kronis kemngkinanya 15% untuk berkembang menjadi sirosis hati.5

b. Jenis Kelamin

Berbagai penelitian menujukkan bahwa penderita Hepatitis B lebih banyak pria daripada wanita. Hal ini karena perbedaan pola perilaku dan gaya hidup. Selain itu, faktor kesadaran untuk memeriksakan kesehatan pria jauh lebih rendah dibandingkan dengan wanita.16

c. Pekerjaan

Menurut WHO tahun 2012, pekerjaan yang berisiko tinggi terhadap penularan Hepatitis B adalah pekerjaan yang kontak langsung dengan darah atau bekerja sebagai tenaga kesehatan. Penelitian Atoillah,2010 mengemukakan bahwa kelompok yang mudah terinfeksi Hepatitis B adalah petugas medis (petugas laboratorium, transfusi darah, kamar bedah, dokter gigi, dokter bedah dan lain-lain). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pekerjaan yang dimiliki responden lebih banyak dengan pekerjaan PNS (non medis) sebesar 25% dan yang memiliki pekerjaan sebagai tenaga kesehatan (PNS medis) adalah sebesar 13,2%.21Penelitian oleh

Setiawan,2012 mengemukakan bahwa populasi yang bekerja di institusi kesehatan sangat berisiko terhadap virus Hepatitis B karena profesi mereka sangat erat kontak langsung dengan darah maupun sekret orang yang terinfeksi.30

d. Imunitas

Semua orang rentan terhadap infeksi Hepatitis B. Biasanya penyakit lebih ringan dan sering anicteric pada anak-anak, dan pada bayi biasanya asimtomatis. Kekebalan protektif terbentuk setelah terjadi infeksi apabila terbentuk antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs) dan HBsAg negatif.2

e. Riwayat Penyakit

Seseorang dengan sindroma down, penyakit lymphoproliferative, infeksi HIV pasien dengan hemodialisis, yang selalu memerlukan transfusi darah dan penderita yang mendapat terapi. Orang-orang yang memiliki kelainan kekebalan seluler merupakan riwayat penyakit yang berisiko terinfeksi HBV dan lebih mudah menderita infeksi kronis.2

2.12. Pencegahan

Pencegahan dilakukan untuk menurunkan angka mobilitas dan mortilitas akibat infeksi virus Hepatitis B (HBV) yang meliputi pencegahan primordial, primer, sekunder dan tersier.

2.12.1. Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial adalah suatu upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan,

penyakit.12Pencegahan ini ditujukan untuk semua orang. Pencegahan primordial yang dapat dilakukan adalah :7

a. Mengonsumsi makanan bergizi seimbang

b. Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga dan istirahat yang cukup

c. Memberikan ASI pada bayi karena ASI mengandung antibodi untuk melawan penyakit

d. Meningkatkan hygine perorangan.

2.12.2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadiketika seseorang sudah terpapar faktor risiko.14

Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah :5

a. Melakukan upaya pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan kepada masyarakat atau orang yang berisiko mengenai segala hal tentang Hepatitis B. b. Melakukan skrining bagi pendonor darah. Semua darah yang akan didonorkan

harus dilakukan pemeriksaan dengan teknik yang sensitif (RIA atau EIA) untuk melihat adanya HBsAg dalam darah donor. Selain itu, juga perlu dilakukan skrining ibu hamil yaitu pemeriksaan dilakukan pada awal dan pada trimester ketiga kehamilan, terutama pada ibu yang berisiko terinfeksi HBV c. Melakukan perlindungan khusus bagi tenaga kesehatan yang berisiko kontak

dengan darah yaitu mensterilisasi benda-benda yang tercemar dengan pemanasan menggunakan sarung tangan, menggunakan pakaian khusus pada

waktu kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak penderita pada tempat khusus, selain itu perlu melakukan skrining Hepatitis B yaitu dengan pemeriksaan HBsAg pada petugas kesehatan untuk menghindarkan kontak antar petugas kesehatan dengan penderita

d. Mencegah kontak mikrolesi seperti yang dapat terjadi melalui pemakaian sikat gigi dan sisir atau gigitan anak pengidap HBV

e. Pemberian imunisasi Hepatitis B untuk bayi, anak-anak, remaja maupun dewasa yang berisiko tinggi terinfeksi Virus Hepatitis B.

f1. Imunisasi aktif : Pemberian vaksin Hepatitis B rekombinan. Vaksin ini dibuat dengan mengekspresikan antigen HBs pada sel ragi (Saccharomyces cerevisae atau Hansenuela polymorpha). Tujuan imunisasi aktif HBV adalah memotong jalur transmisi HBV terhadap bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular HBV. Anak yang belum pernah memperoleh imunisasi pada bayi, harus diimunisasi secepatnya (catch up immunization), paling lambat saat berusia 11-12 tahun. Strategi imunisasi diberikan pada usia pra pubertas dikaitkan dengan perilaku remaja dan peningkatkan risiko paparan terhadap HBV. Untuk mencapai konsentrasi anti-HBs protektif, imunisasi harus diberikan 3 kali dan jadwal yang banyak dianut 0,1,6 bulan.

Jadwal tiga kali pemberian ini dapat bervariasi dengan beberapa panduan: a. Interval terpendek antara suntikan ke-1 dan ke-2 adalah 1 bulan,

antara suntikan ke-2 dan ke-3 adalah 2 bulan, tetapi suntikan ke-3 tidak boleh diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan

b. Interval yang memperoleh imunisasi pada usia >2 bulan, jarak antara suntikan ke-1 dan ke-3 minimal 4 bulan

c. Pada bayi, imunisasi harus lengkap tiga kali paling lambat pada usia 18 bulan. Pada remaja, imunisasi dapat diberikan dengan jadwal 0,1,6, bulan atau 0,2,4 bulan

Efektivitas vaksin Hepatitis B dalam mencegah HBV lebih dari 95%. Memori sistem imun diperkirakan menetap sampai dengan 12 tahun pasca imunisasi. Vaksin rekombinan terbukti aman dan hanya 1-6% resipien yang mengalami efek samping bersifat lokal, ringan dan sementara.

f2. Imunisasi pasif

Imunisasi pasif adalah pemberian Hepatitis B immune globulin (HBIg). HBIg dibuat dari kumpulan plasma donor yang mengandung anti-HBs titer tinggi serta bebas HIV dan anti HCV. HBIg terindikasi pada paparan akut HBV dan harus diberikan segera setelah seseorang terpajan HBV. HBIg akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. Paparan akut yang dimaksud adalah kontak dengan darah yang menagndung HBsAg, baik melalui mekanisme inokulasi, tertelan, atau terciprat ke mukosa atau ke mata. HBIg juga terindikasi pada bayi baru lahir dari Ibu pengidap

HBV. Bayi dari ibu pengidap HBV diberi HBIg secara intramuskular dengan dosis 100 U(0,5ml) dalam waktu 12 jam setelah lahir. Diberikan bersamaan dengan vaksin aktif HBV pada sisi tubuh yang berbeda.5 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vaksin Hepatitis B yang diberikan kepada bayi yang dilahirkan oleh ibu HBsAg positif segera setelah dilahirkan maka efektivitasnya mencapai 75 % dalam mencegah infeksi HBV. Sedangkan bila diberikan HBIg dan vaksin Hepatitis B maka efektivitasnya mencapai 85-90%.28

2.12.3.Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit atau cedera menuju suatu perkembangan kearah kerusakan atau ketidakmampuan, sehingga dapat mencegah kondisi untuk berkembang, menyebar didalam populasi, dan dapat menghentikan atau memperlambat perkembangan penyakit, ketidakmampuan, gangguan atau kematian.14

Pencegahan sekunder inidapat dilakukan melalui: a. Pemeriksaan Laboratorium

Ada beberapa rangkaian pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa hepatitis B yaitu:6

a1. Pemeriksaan HBsAg untuk mengetahui ada tidaknya HBV dalam darah. Hasil yang positif berarti seseorang telah terinfeksi virus Hepatitis B baik akut ataupun kronis dan dapat menularkan virus kepada orang lain.

Sedangkan jika pemeriksaan negatif berarti seseorang tidak memiliki virus Hepatitis B dalam darahnya. Jika HBsAg menetap selama>6 bulan maka infeksi dinyatakan kronis.

a2. Pemeriksaan anti-HBs untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respon terhadap antigen pada virus Hepatitis B. Jika pemeriksaan positif berarti seseorang telah dilindungi atau kebal dari virus Hepatitis B karena telah divaksinasi atau ia telah sembuh dari infeksi akut.

a3. Pemeriksaan anti-HBc untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respons terhadap bagian dari virus Hepatitis B yang disebut antigen inti. Hasil dari pemeriksaan ini seringkali tergantung pada hasil dari dua pemeriksaan lainnya yaitu pemeriksaan anti-HBs dan HBsAg. Pemeriksaan positif berarti seseorang saat ini terinfeksi dengan virus Hepatitis B atau pernah terinfeksi sebelumnya.

a4. Pemeriksaan IgM anti HBc dan anti HBc total. Pada infeksi HBV akut didapatkan IgM anti HBc positif. Pada infeksi HBV kronis anti HBc total positif atau meningkat.

a5. Pemeriksaan HBeAg untuk mendeteksi protein (HBeAg) yang ditemukan dalam darah selama infeksi virus Hepatitis B aktif. Pemeriksaan positif berarti seseorang memiliki virus tingkat tinggi dalam darahnya dan dapat dengan mudah menyebarkan virus ke orang lain. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan untuk Hepatitis B kronis.

a6. Pemeriksaan HBeAb atau anti-HBe untuk mendeteksi antibodi (HBeAb atau anti-HBe) yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respons terhadap Hepatitis B

antigen “e”. Pemeriksaan positif berarti seseorang terinfeksi virus Hepatitis B kronis tetapi berada pada risiko rendah untuk terkena masalah penyakit hati karena rendahnya tingkat virus Hepatitis B dalam darah.

a7. Pemeriksaan HBV DNA untuk mendeteksi seberapa besar HBV DNA dalam darah dan hasil replikasinya pada urin seseorang. Pemeriksaan positif berarti virus ini berkembang biak di dalam tubuh seseorang dan dapat menularkan virus kepada orang lain. Jika seseorang memiliki Hepatitis B infeksi virus kronis, kehadiran DNA virus berarti bahwa seseorang mengalami peningkatan risiko untuk kerusakan hati. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk memantau efektivitas terapi obat untuk infeksi virus Hepatitis B kronis. a8. Faal Hati. SGPT (Serum Glutamic Pirivuc Transaminase) dan SGOT (Serum

Glutamic Oksalat Transaminase) merupakan tanda bahwa penyakit hepatitis B aktif dan memerlukan pengobatan anti virus. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan, pada infeksi HBV akut baik SGPT maupun SGOT dapat meningkat puluhan hingga ratusan kali diatas nilai normal sedangkan pada infeksi HBV kronis umumnya hanya meningkat ringan dan persisten. Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan albumin untuk menilai fungsi sintesis hati. Pada keadaan penyakit hati yang luas, maka terjadi penurunan kadar albumin.36

Menurut WHO untuk mendeteksi virus Hepatitis dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: Radioimmunoassay (RIA), Enzim Linked Imunonusorbent Assay (Elisa) dan imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi. Untuk meningkatkan spesifisitas

probe DNA dengan teknik hibridasi.28 Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah metode ELISA.

Metode ELISA digunakan untuk mengetahui kerusakan pada hati melalui pemeriksaan enzimatik. Enzim adalah protein dan senyawa organik yang dihasilkan oleh sel hidup umumnya terdapat dalam sel. Apabila terjadi kerusakan sel dan peninggian permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke ruangan ekstra sel, keadaan inilah yang membantu diagnosa dalam mengetahui kadar enzim tersebut dalam darah. Pemeriksaan enzim yang sering dilakukan untuk mengetahui kelainan hati adalah pemeriksaan SGPT dan SGOT. Penderita Hepatitis B juga mengalami peningkatan kadar bilirubin, kadar alkaline fosfat.

b. Pengobatan spesifik

Tidak ada pengobatan spesifik tersedia untuk Hepatitis B akut. Para calon yang akan menerima pengobatan sebaiknya sudah terbukti menderita Hepatitis B kronis yaitu dengan melihat hasil biopsi. Pengobatan dengan interferon dan lamividine ini paling efektif jika diberikan pada seseorang dengan infeksi pada fase replikasi tinggi (positif HbeAg) karena mereka paling sering simtomatis, infeksius dan risiko tinggi terjadi gejala sisa dalam jangka waktu lama. Penelitian menunjukkan bahwa alpha interferon telah berhasil menghentikan perkembangan virus sekitar 25% - 40% dari pasien yang diobati. Uji klinis pengobatan jangka panjang dengan lamivudine memperlihatkan terjadinya pengurangan DNA HBV secara berkelanjutan pada serum, diikuti dengan perbaikan kadar serumaminotransferasedan terjadi perbaikan histologis.2

c. Pemantauan berkala dilakukan setiap 6 bulan yaitu pemeriksaan HBsAg, HBeAg, SGOT, SGPT, alfa-fetoprotein, dan USG hati. Bila selama pemantauan HBsAg tetap positif tetapi SGOT/SGPT dalam batas normal. Kadar normal SGOT adalah 0-40 U/L dan kadar SGPT normal adalah 0-35 U/L (batas normal kadar SGOT dan SGPT bisa berbeda tiap laboratorium). Peningkatan kadar SGOT dan SGPT menandakan telah terjadi kerusakan hati bagi penderita Hepatitis B. Peningkatan >3kali menandakan kerusakan hati yang berat. Pemantauan berkala terus dilakukan setiap 6 bulan. Bila selama pemantauan HBsAg tetap positif dan SGOT/SGPT meningkat lebih 1,5 kali batas atas normal pada lebih dari 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan interval minimal 2 bulan perlu dipertimbangkan pemberian terapi antivirus. Pada anak yang mengalami hal tersebut perlu dilakukan biopsi hati. Biopsi perlu diulang untuk menilai respons terapi.5

2.12.4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi saat penyakit, cedera atau ketidakmampuan sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan.

Pencegahan tersier dapat dilakukan melalui:10,14

1. Olahraga bagi penderita Hepatitis B perlu untuk mempertahankan dan meningkatkan kebugaran tubuh dalam rangka menjaga atau memperbaiki kesehatan tubuhnya.

2.13. Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dan penelusuran pustaka di atas, maka kerangka konsepdari penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

KARAKTERISTIK PENDERITA HEPATITIS B 1. Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Status Perkawinan Tempat Tinggal 2. Keadaan Medis Kadar Bilirubin Kadar SGOT Kadar SGPT Tipe Hepatitis B 3.Status Rawatan Lama Rawatan

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait