• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Bioaktif dari Biota Laut

5) Fenol Hidrokuinon

2.4 Komponen Bioaktif dari Biota Laut

Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis. Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik misalnya polifenol dan komponen asam (phenolic acid). Komponen bioaktif tidak terbatas pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, misalnya protein dan peptida Senyawa fitokimia bukanlah zat gizi, namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat tubuh lebih sehat, lebih kuat, dan lebih bugar (Robinson 1995).

Fitokimia atau kimia tumbuhan berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan erat dengan keduanya. Fitokimia ini mencakup struktur kimianya, biosintesis, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah, dan fungsi biologisnya. Senyawa fitokimia berpotensi mencegah berbagai penyakit degeneratif dan kardiovaskuler (Harborne 1987).

Beberapa senyawa metabolit sekunder khususnya struktur dan aktivitas biologisnya telah berhasil diisolasi dari hewan-hewan laut. Senyawa metabolit sekunder tersebut mempunyai potensi sebagai obat. Senyawa bioaktif yang menarik diteliti umumnya diisolasi dari spons laut, ubur-ubur, bintang laut, timun laut, terumbu karang, moluska, echinodermata, dan krustasea. Senyawa bioaktif yang telah diisolasi dari hewan laut yaitu steroid, terpenoid, isoprenoid, nonisoprenoid, quinon, dan nitrogen heterosiklik (Sirait 2007). Pengujian kualitatif terhadap komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan metode uji fitokimia.

2.4.1 Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai

kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas di bidang pengobatan. Alkaloid sering bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan. Fungsi alkaloid dalam tumbuhan tetap belum begitu pasti walaupun beberapa senyawa dilaporkan berperan sebagai pengatur tumbuhan atau penolak dan pemikat serangga (Harborne 1987).

Biota laut yang memiliki kandungan alkaloid yaitu spons, moluska, dan coelenterata. Sebagian besar alkaloid yang diisolasi dari hewan laut dapat berfungsi sebagai antiviral, antibakterial, anti-inflamatori, antimalaria, antioksidan, dan antikanker. Alkaloid pada hewan laut dapat dikelompokkan menjadi pyridoacridine, indole, pyrrole, pyridine, isoquinoline guanidine dan streroidal alkaloids(Kumar dan Rawat 2011).

2.4.2 Steroid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi, dan aktif optik. Triterpenoid ini dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpena atau steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida (Sirait 2007).

Diterpenoid merupakan turunan dari terpenoid. Berdasarkan struktur kimianya, diterpenoid digolongkan menjadi labdane, pimarane, abietane, kauranes, marine, dan lain-lain. Diterpenoid memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, anti-inflamasi, antileishmanial, sitotoksik, dan antitumor. Diterpenoid yang terdapat pada biota laut yaitu tipelabdanedan tipemarine. Tipe labdane merupakan metabolit sekunder dari fungi, biota laut, insekta, dan tumbuhan tinggi yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, sitotoksik, antiviral, anti-inflamasi, dan antiprotozoa. Selain tipe labdane, tipe marine diterpenoid merupakan salah satu diterpenoid alami dari biota laut yang memiliki potensial untuk obat anti-inflamasi. Biota laut yang menghasilkan marine diterpenoid adalah sponsAxinellasp. (Heras dan Hortelano 2009).

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat pada setiap tumbuhan tingkat tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Sterol tertentu hanya terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah, contohnya ergosterol yang terdapat dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain terutama terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah tetapi kadang-kadang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga coklat dan juga terdeteksi pada kelapa (Robinson 1995). Santalova et al. (2004) menyatakan bahwa sterol yang diisolasi dari spons Rhizochalina incrustata memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan hemolisis.

2.4.3 Flavonoid

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Harborne 1987).

Flavonoid dapat berguna bagi kehidupan manusia. Flavon dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diurematik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007). Gavin dan Durako (2012) menyatakan, senyawa aktif sitosolik flavonoid yang diisolasi dari lamun Halophila johnsonii berfungsi sebagai antioksidan.

2.4.4 Saponin

Saponin adalah glikosida dan sterol yang telah terdeteksi pada lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson 1995). Saponin sebagian besar bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi dengan asam (sukar larut dalam air), sebagian besar ada yang bereaksi dengan basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin dapat bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Saponin yang beracun disebut sapotoksin. Saponin dapat menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu

misalnya pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika (Sirait 2007). Chludil et al. (2000) menyatakan bahwa struktur steroidal glikosid yang diisolasi dari bintang laut Anasterias minuta memiliki kemampuan sebagai sitotoksik, hemolisis, antifungi, dan antiviral.

2.4.5 Fenol hidrokarbon

Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berkaitan dengan satu gugus atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan oleh gugus metil atau glikosil. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon. Kuinon terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok untuk tujuan identifikasi yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Sirait 2007). Hasil penelitian Prajitno (2006) dalam Wiyanto (2010), hasil isolasi dari rumput laut Halimeda opuntiamempunyai kandungan fenol yang memiliki aktivitas antibakteri.

2.5 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Kestabilan atom atau molekul terjadi apabila radikal bebas bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya (Winarsi 2007).

Sumber radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh (endogenous) yang terbentuk sebagai sisa proses metabolisme (proses pembakaran) protein atau karbohidrat dan lemak yang kita konsumsi. Radikal bebas dapat pula diperoleh dari luar tubuh (exogenous) yang berasal dari polusi udara, asap kendaraan bermotor, asap rokok, berbagai bahan kimia, makanan yang terlalu hangus (carbonated), dan lain sebagainya. Beberapa contoh radikal bebas antara lain: anion superoksida (2O2•), radikal hidroksil (OH), nitrit oksida (NO), hidrogen peroksida (H2O2), dan sebagainya. Radikal bebas yang terbentuk di dalam tubuh

akan merusak beberapa target seperti lemak, protein, karbohidrat, dan DNA (Molyneux 2004).

Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron. Sebagai dampak dari kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Bila dua senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan terjadi tiga kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2) radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, (3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007).

2.6 Antioksidan

Secara umum antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Antioksidan merupakan zat yang dapat menetralkan radikal bebas, atau suatu bahan yang berfungsi mencegah sistem biologi tubuh dari efek yang merugikan yang timbul dari proses ataupun reaksi yang menyebabkan oksidasi yang berlebihan (Kumalaningsih 2006).

Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami).

2.6.1 Antioksidan sintetik

Berdasarkan jenisnya antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butyl Hydroxyanisole (BHA), Butyl Hydroxytoluene (BHT), propil galat, dan Tertiary Butyl Hydroquinone (TBHQ). Antioksidan tersebut merupakan

antioksidan sintetik yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Buck 1991).

BHA memiliki kemampuan antioksidan (carry through, kemampuan antioksidan baik dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-tahap pengolahan maupun stabilitasnya pada produk akhir) yang baik pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Coppen 1983dalamTrilaksani 2008).

Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA. Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148oC, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Propil galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Kumalaningsih 2006).

2.6.2 Antioksidan alami

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat bereaksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, dan (d) peredam terbentuknya singlet oksigen (Pratt 1992).

Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari. Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol

alam terbesar dan terdapat dalam semua tumbuhan hijau. Kebanyakan dari golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik didalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida (Hernani dan Rahardjo 2006).

Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran, dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin, produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain (Winarsi 2007).

Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir disetiap minyak tanaman, tetapi saat ini telah dapat diproduksi secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipid karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Aktivitas antioksidan tokoferol didalam jaringan hidup cenderung α->β->γ->δ-tokoferol,

tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik δ->γ->β->α-tokoferol (Kumalaningsih 2006).

β-karoten merupakan scavengers (pemulung) oksigen tunggal. Vitamin C pemulung superoksida dan radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein(LDL) (Hariyatmi 2003).

Vitamin C mempunyai efek multifungsi, tergantung pada kondisinya. Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat logam, pereduksi, dan penangkap oksigen. Tubuh sangat memerlukan vitamin C, kekurangan vitamin C dalam darah menyebabkan beberapa penyakit antara lain asma, kanker, diabetes, dan penyakit hati. Vitamin ini dapat dikonsumsi dalam bentuk sintetik atau makanan-makanan yang kaya vitamin C seperti jeruk, strawbery, brokoli, tomat, kiwi, anggur, dan ubi jalar (Hernani dan Raharjo 2006). 2.7 Mekanisme Antioksidan

Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe pertama yaitu pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan

menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E. Tipe kedua yaitu pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat pemulung, misalnya vitamin C. Tipe ketiga yaitu pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+ dan Cu2+, misalnya flavonoid. Keempat adalah antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, dan peroksida (Hariyatmi 2004).

Antioksidan sekunder seperti asam sitrat, asam askorbat, dan esternya, sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat member efek sinergis sehingga menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekerja dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada medium (sistem makanan), (b) meregenerasi antioksidan utama, (c) mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan, (d) menangkap oksigen, (e) mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Pratt 1992). Enzim antioksidan dibentuk dalam tubuh, yaitu superoksida dismutase (SOD), glutation peroksida, katalase, dan glutation reduktase. Sedangkan antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal tiga yang utama, yaitu β-karoten, vitamin C, dan vitamin E (Shahidi 1997dalamHariyatmi 2004).

Vitamin E yang larut dalam lemak ini merupakan antioksidan yang melindungi PUFAs dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif, serta mampu menghambat peroksida lipid pada makanan (Hariyatmi 2003).

2.8 Uji Aktivitas Antioksidan

Kandungan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui melalui uji aktivitas antioksidan. Pengukuran aktivitas antioksidan dapat menggunakan beberapa metode. Salah satu metode yang umum digunakan yaitu dengan menggunakan radikal bebas stabildiphenilpycrylhydrazil (DPPH). Prinsip metode-metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antioksidan adalah mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa

antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam (Nurjanah 2009).

Metode radikal bebas stabil DPPH merupakan radikal sintetik yang larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux 2004). Prinsip penurunan nilai absorbansi digunakan untuk mengetahui kapasitas antioksidan suatu senyawa. Berikut merupakan struktur diphenylpycrilhydrazil dan diphenylpycrilhydrazinepada Gambar 3.

Gamar 3 Strukturdiphenylpycrilhydrazildandiphenylpycrilhydrazine Molyneux (2004) menyatakan, hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (inhibitory concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50 akan semakin kecil. Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50-nya semakin kecil. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 μ g/mL, kuat untuk IC50 antara 50-100 μ g/mL, sedang jika IC50 bernilai 100-150 μ g/mL, dan lemah jika IC50 bernilai 150-200 μg/mL.

2.9 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi serapan dimana fase diam berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak berupa zat cair yang disebut larutan pengembang. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak. Setelah plat atau lapisan diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi). Pemisahan senyawa aktif ekstrak bintang laut dapat menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (KLT). Teknik ini merupakan suatu cara pemisahan komponen senyawa kimia di antara dua fase, yaitu fase gerak dan fase diam (Kartasubrata 1987dalamHananiet al.2005).

Teknik tersebut hingga saat ini masih digunakan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa kimia, karena murah, sederhana, serta dapat menganalisis beberapa komponen secara serempak. Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT diawali dengan pembuatan lapisan tipis adsorben pada permukaan plat kaca. Tebal lapisan bervariasi, bergantung pada analisis yang akan dilakukan (kualitatif atau kuantitatif). Pemisahan komponen kimia dari ekstrak kasar secara KLT bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Marliana et al. 2005). Percobaan dibuat dengan berbagai eluen untuk menghasilkan pemisahan senyawa (fraksi) yang terbaik.

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, analisis fitokimia di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam; dan Laboratorium Biologi-Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah bintang laut Culcita sp. Bahan-bahan yang diperlukan dalam proses ekstraksi dan evaporasi sampel meliputi pelarut heksana (p.a), etil asetat (p.a) dan metanol (p.a). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak kasar bintang laut dari 3 jenis pelarut, kristal diphenylpicrylhydrazyl (DPPH), metanol (p.a), BHT (butil hidroksi toluen) sebagai kontrol positif, α-tokoferol, β-karoten, asam askorbat sebagai antioksidan pembanding. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner (uji alkaloid), pereaksi Meyer (uji alkaloid), pereaksi Dragendorff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat (uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon), dan larutan ninhidrin 0,10% (uji ninhidrin). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pengujian kromatografi lapis tipis meliputi pelarut etil asetat dan kloroform.

Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi pisau, sudip, cawan porselen, timbangan digital, aluminium foil, oven, kompor listrik, kertas saring Whatman 42, bulb, kapas, pipet volumetrik, pipet mikro, labu Erlenmeyer 250 ml dan 500 ml, gelas ukur,blender,orbital shaker WiseShike SHO-1D,rotary vacuum evaporator Heidolph VV2000, corong kaca, botol gelas, gelas piala,

tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, pipet tetes, vortex, sendok plastik, silika GF254Merck, pipa kapiler, gelas, alat semprot, dan pensil. 3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengambilan dan preparasi bahan baku, tahapan pembuatan ekstrak senyawa aktif dari bintang laut, pengujian fitokimia (alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan ninhidrin), pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, dan pengujian kromatografi lapis tipis (KLT). Analisis aktivitas antioksidan (metode DPPH) untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari ekstrak masing-masing pelarut dan uji fitokimia untuk menentukan senyawa kimia yang terdapat dalam bintang laut. 3.3.1 Tahapan pengambilan dan preparasi bahan baku

Pada tahap pengambilan sampel, bintang laut Culcita sp. berasal dari Perairan Lampung Selatan. Bintang laut kemudian dikeringkan dengan suhu rendah menggunakan freeze dryer dengan suhu kurang dari -40oC. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air dalam bahan yang dikandungnya. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa air bebas dalam bahan berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses pembusukan, hidrolisis komponen aktif dan oksidasi dalam sampel selama dilakukan maserasi dapat dihindari (Winarno 2008).

Bintang laut yang telah kering kemudian dihaluskan dengan hammer mills, sehingga didapat tekstur yang halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk atau tepung) diharapkan dapat memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen aktif dapat berjalan dengan maksimal. Bubuk atau tepung bintang laut akan digunakan dalam proses ekstraksi.

3.3.2 Tahapan pembuatan ekstrak senyawa bioaktif dari bintang laut

Metode ekstraksi komponen aktif yang digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat dan ekstraksi tunggal. Metode ini menggunakan pelarut heksana (p.a), etil asetat (p.a), dan metanol (p.a). Masing–masing sampel sebanyak 50 g dimaserasi selama 3x24 jam dengan pelarut secara bertingkat heksana, etil asetat, metanol dan pelarut secara tunggal metanol dengan perbandingan 1:3 (b/v),

kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42. Filtrat ekstrak pelarut masing-masing yang diperoleh kemudian dievaporasi sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 50ºC, 500 mmHg, kemudian residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan ekstrak heksana, etil asetat, dan metanol yang kental. Proses ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 4.

Bintang LautCulcitasp.

Penimbangan 1:3 b/v (50 g sampel : 150 mL pelarut)

Maserasi selama 3x24 jam dengan heksana

Penyaringan

Filtrat I Residu

Evaporasi Maserasi 3x24 jam dengan etil asetat

Ekstrak heksana Penyaringan

Filtrat II Residu

Evaporasi Maserasi 3x24 jam dengan metanol

Ekstrak etil asetat Penyaringan

Filtrat III Residu

Evaporasi

Ekstrak metanol

3.3.3 Uji fitokimia (Harbone 1987)

Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui keberadaan komponen aktif secara kualitatif yang terdapat pada ekstrak kasar bintang laut. Analisis fitokimia ditujukan untuk mengetahui keberadaan alkaloid, steroid, saponin, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan ninhidrin.

1) Alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N

Dokumen terkait