• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Standar Thaharah

2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun

Pada umumnya, sabun dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali (Anggraeni, 2014). Disamping itu juga digunakan bahan tambahan lain seperti surfaktan, humektan, antioksidan, agen antimikroba, pewarna, parfum, skin conditioners, dan bahan tambahan khusus (seperti

processing aids, binders (gum and resin), fillers, exfoliants, antiacne, dan

anti-irritants) (Barel et al., 2009). Bahan aditif atau bahan tambahan berguna untuk meningkatkan minat konsumen terhadap produk sabun (Setyoningrum, 2010).

Banyak perbedaan minyak dan lemak yang digunakan sebagai bahan baku untuk sabun, dan penggunaannya dalam formula diputuskan dengan

pertimbangan karakteristik dan tujuan sabun yang akan dibuat (Mitsui, 1997).

Penggunaan bahan yang berbeda akan menghasilkan sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia (Anggraeni, 2014). Menurut Fessenden (1997), lemak dan sabun dari asam lemak jenuh dan rantai jenuh panjang (C16-C18) menghasilkan sabun keras dan minyak dari asam lemak tak jenuh

dengan rantai pendek (C12-C14) menghasilkan sabun yang lebih lunak dan lebih mudah larut (Sari dkk, 2010).

Menurut Hambali et al (2005), ada 2 jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair. Sabun padat dibedakan atas 3 jenis, yaitu sabun opaque, translucent, dan transparan (Hernani dkk, 2010).

Berikut merupakan uraian bahan-bahan dasar sabun bentonit:

a. Minyak Kelapa

Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang paling

penting yang digunakan dalam pembuatan sabun. (Barel et al., 2009).

Minyak

kelapa adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan endosperm kering Cocos nucifera L (Departemen Kesehatan RI, 1979). Keuntungan dari minyak kelapa adalah memberikan sabun padat dengan warna yang terang dan busa berlimpah. Tingkat penggunaan tergantung pada kelas sabun mandi dan bervariasi dalam kisaran 6-20% (Parasuram, 1995). Sifat fisikokimia minyak kelapa dijelasan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa (Departemen Kesehatan RI, 1979)

Karakteristik Nilai

Indeks Bias (pada 400C) 1,448-1,450

Bilangan Asam (penetapan dilakukan menggunakan 20 g)

Tidak lebih dari 0,2

Bilangan Iodium 7-11

Bilangan Penyabunan 250-264

Zat Tak Tersabunkan Tidak lebih dari 0,8%

Berdasarkan kandungan asam lemaknya, minyak kelapa digolongkan ke dalam minyak asam laurat (Thomssen & McCutheon, 1949), karena kandungan asam laurat di dalamnya paling besar jika dibandingkan asam lemak lain. Menurut Lakey (1941), asam laurat mampu memberikan sifat pembusaan yang sangat baik, oleh karenanya asam laurat sangat diperlukan dalam pembuatan produk sabun. Busa yang dihasilkan banyak dan sangat lembut namun stabilitasnya relatif rendah (busa cepat hilang atau tidak tahan

lama). Sabun yang dihasilkan dari asam laurat memiliki ketahanan yang tidak terlalu besar, artinya sabun batang yang dihasilkan tidak cukup keras (Anggraeni, 2014). Berikut komposisi jenis asam lemak dari minyak kelapa dan sifat sabun yang dihasilkan dari masing-masing jenis asam lemak:

Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa dan Sifat Yang Ditimbulkan Pada Sabun (Miller, 2003)

Asam Lemak

Rumus Kimia Konsentrasi Sifat yang ditimbulkan pada sabun Asam Laurat CH3(CH2)10COOH 39-54% Mengeraskan, membersihkan, menghasilkan busa lembut Asam Miristat CH3(CH2)12COOH 15-23% Mengeraskan, membersihkan, menghasilkan busa lembut Asam Palmitat CH3(CH2)14COOH 6-11% Mengeraskan, menstabilkan busa Asam Oleat CH3(CH2)7CH=CH (CH2)7COOH 4-11% Melembabkan Asam Stearat CH3(CH2)16COOH 1-4% Mengeraskan, menstabilkan busa Asam Linoleat CH3(CH2)4(CH=C HCH2)2(CH2)6COO H 1-2% Melembabkan b. NaOH

Menurut Mitsui (1997), sabun yang dibuat dari natrium hidroksida dikenal dengan sebutan sabun keras (hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dari KOH dikenal dengan sebutan sabun lunak (soft soap). Karena pada penelitian ini akan dibuat sabun padat, maka alkali yang digunakan adalah NaOH. Natrium hidroksida memiliki berat molekul 40 serta merupakan basa kuat yang larut dalam air dan etanol (Departemen Kesehatan RI, 1979).

c. Asam Stearat

Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat (C18H36O2) dan

heksadekanoat (C16H32O2). Berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin; larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P (Departemen Kesehatan RI, 1979). Asam stearat berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997).

d. Gliserin

Gliserin merupakan cairan jernih seperti sirop, tidak berwarna, tidak berbau, manis diikuti rasa hangat dan higroskopis. Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol 95% P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam minyak lemak (Departemen Kesehatan RI, 1979). Gliserin digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi <30%. Gliserin dapat berubah warna menjadi hitam dihadapan cahaya atau kontak dengan zink oksida atau bismuth nitrat dasar (Rowe et al., 2006). Menurut Mitsui (1997), gliserin telah lama digunakan sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan kelembaban kulit. Adanya humektan dapat mengubah ketidakstabilan sabun batang, sehingga memodifikasi persepsi

konsumen dari produk sebagai produk pembilas yang bersih (Barel et al.,

2009).

e. Butylated hydroxytoluene (BHT)

Berupa serbuk hablur padat, putih, bau khas dan lemah. BHT praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol, larutan hidroksida alkali dan

dilute aqueous asam mineral; sangat larut dalam aseton, benzena, etanol 95%, eter, metanol, toluen, fixed oils dan minyak mineral. Digunakan sebagai antioksidan untuk minyak dan lemak dengan konsentrasi 0,02% (Rowe et al.,

2006). Basis sabun dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi (misalnya oleat, linoleat, dan linolenat) dan adanya aditif sabun tertentu, seperti pengaroma, cenderung menjadi rentan terhadap perubahan oksidatif

atmosfer yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, preservative (agen chelating

dan antioksidan) diperlukan untuk mencegah dari terjadinya oksidasi. Antioksidan yang paling umum digunakan dalam hubungannya dengan

chelating agent pada sabun batangan adalah butylated hydroxytoluene (BHT) (Barel et al., 2009).

f. Triklosan

Triklosan berupa serbuk putih kristal halus, memiliki titik leleh pada

suhu 570C dan terlindung dari cahaya. Triklosan praktis tidak larut dalam air;

larut dalam alkohol, dalam aseton, dan metil alkohol; sedikit larut dalam minyak. Triklosan adalah antiseptik bisfenol klorinasi, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif tetapi memiliki aktivitas rendah

terhadap Pseudomonas spp serta aktif juga terhadap jamur. Triklosan biasa

digunakan sebagai antimikroba atau pengawet dalam produk sabun, krim dan larutan dalam konsentrasi sampai 2% (Sweetman, 2009).

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2008), triklosan digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik dengan konsentrasi maksimal

0,3%. Sabun batang sangat efektif dalam menghilangkan microbial flora

yang diketahui menyebabkan infeksi kulit, jerawat, dan bau tak sedap selama proses mencuci atau mandi. Penambahan antimikroba pada sabun batang memberi manfaat untuk penggunaan jangka panjang, terutama antara mencuci dan mandi. Karena masalah keamanan dari berbagai antimikroba yang digunakan dalam sabun batangan, jumlah agen antimikroba yang digunakan

mengalami penurunan sejak tahun 1970an. Trichlorocarbanilide (TCC),

trikloro difenil hidroksietil (triclosan), dan para-chloro m-xylenol (PCMX)

yang umum digunakan dalam sabun batangan saat ini. TCC sebagian besar

efektif terhadap bakteri gram positif sedangkan triclosan dan PCMX telah

terbukti efektif terhadap kedua bakteri gram positif dan gram negatif (Barel et

al., 2009).

g. Kokamidopropil betain

Alkil betain adalah turunan N-trialkil asam amino

([R1R2R3]N+CH2COOH), yang diklasifikasikan sebagai kationik karena

menunjukkan muatan positif permanen. Karena betain juga memiliki kelompok fungsional bermuatan negatif dalam kondisi pH netral dan basa, maka disebut sebagai surfaktan amfoterik. Muatan positif dari betain berasal dari nitrogen kuartener sedangkan situs anioniknya berasal dari karboksilat (betaine), sulfat (sulfobetaine atau sultaine), atau fosfat (phospho betaine atau

Betain adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah dan pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik. Betain memiliki efek iritasi yang rendah pada mata dan kulit, bahkan dengan adanya betain dapat menurunkan efek iritasi surfaktan anionik. Hal ini terbukti dari penelitian Teglia dan Secchi (1994), cocamidopropril betaine

dapat menurunkan iritasi dengan efek yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke dalam larutan sodium lauryl sulfate. Baik wheat protein

maupun cocamidopropyl betaine dapat melindungi kulit dari iritasi (Barel et al., 2009).

h. Parfum (fragrance)

Fragrance merupakan bahan aditif yang penting pada produk

cleansing yang dapat memengaruhi penerimaan konsumen. Penggunaan

fragrance umumnya untuk menutupi karakteristik bau dari asam lemak atau fase minyak. Fragrance yang digunakan tidak boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan produk akhir. Jumlah fragrance yang digunakan pada sabun batangan biasanya berkisar dari 0,3% (kulit sensitif) sampai 1,7% (untuk sabun deodorant) (Barel et al., 2009).

Dokumen terkait