• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Sabun Padat Bentonit Dengan Variasi Konsentrasi Asam Stearat Dan Natrium Lauril Sulfat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Sabun Padat Bentonit Dengan Variasi Konsentrasi Asam Stearat Dan Natrium Lauril Sulfat"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI SABUN PADAT BENTONIT DENGAN

VARIASI KONSENTRASI ASAM STEARAT DAN

NATRIUM LAURIL SULFAT

SKRIPSI

MAULIANA

1112102000091

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI SABUN PADAT BENTONIT DENGAN

VARIASI KONSENTRASI ASAM STEARAT DAN

NATRIUM LAURIL SULFAT (NLS)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

MAULIANA

1112102000091

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi Sabun Padat Bentonit dengan Variasi Konsentrasi Asam Stearat dan Natrium Lauril Sulfat

Sabun tanah merupakan alternatif bersuci dari najis mughalladzah yang bersumber dari babi dan air liur anjing. Dalam penelitian ini dilakukan formulasi sabun tanah menggunakan bentonit yang bertujuan untuk mendapatkan formula sabun padat bentonit sebagai penyuci najis mughalladzah. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dibuat empat formula dengan memvariasikan konsentrasi asam stearat sebagai berikut: yaitu FI (6%); FII (7%); FIII (8%); dan FIV (9%) untuk mendapatkan konsentrasi asam stearat yang menghasilkan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. Tahap kedua dibuat tiga formula dengan memvariasikan konsentrasi NLS sebagai berikut: FA (3%); FB (4%); dan FC (5%). Sabun yang diperoleh dilakukan evaluasi meliputi organoleptik, pH, tinggi dan stabilitas busa, kekerasan serta pengujian syarat mutu sabun mandi menurut SNI meliputi kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas/alkali bebas dan minyak mineral untuk formula terpilih. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui semakin meningkat konsentrasi asam stearat, maka kekerasan sabun padat bentonit juga meningkat sehingga konsentrasi asam stearat 9% dipilih sebagai konsentrasi asam stearat yang memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NLS berpengaruh signifikan terhadap sifat fisika kimia sabun, tetapi karakteristik sifat fisika kimia antara formula B dan formula C memiliki kemiripan sehingga formula B dipilih sebagai formula terbaik dengan pertimbangan lebih memudahkan dalam proses pembuatan, lebih aman terhadap kulit dan efisiensi biaya produksi. Hasil uji mutu sabun menurut SNI menunjukkan kadar air dan jumlah asam lemak dari formula B belum memenuhi persyaratan mutu sabun mandi menurut SNI.

(7)

Study Program : Pharmacy

Title :Formulation of Bentonite Solid Soap by Varying Stearic Acid and Sodium Lauryl Sulfate Concentration

Bentonite soap is an alternative Islamic cleansing method of najis al-mughallazah called samak. The present study is conducted to formulate bentonite soap. The aim of this study is to get a formula bentonite solid soap as Islamic cleansing method of najis al-mughallazah. The study was divided into two steps. The first step, soap were made four formula by varying the concentration of stearic acid as follows: FI (6%); FII (7%); FIII (8%); and FIV (9%) to obtain a concentration of stearic acid that produces the highest hardness in bentonite solid soap. The second step, soap were made three formulas by varying the concentration of NLS as follows: FA (3%); FB (4%); and FC (5%). The soap evaluation including organoleptic test, pH, height and stability of foam, hardness and evaluation of SNI standard including water content, total fatty acids, free fatty acid/free alkali and mineral oil for the selected formula. The results showed that increases of stearic acid concentrations causing the soap harder. The hardest soap was obtained with 9% of stearic acid concentration. The results of statistical analysis showed that increases of NLS concentration have significant effect on soap physicochemical properties, but the characteristic physicochemical of formula B and formula C are similar, so that formula B is selected as the best formula with consideration in the process of making it easier, safe to use on skin and production cost efficiency. The water content and total fatty acids of formula B not qualified the SNI standard.

(8)

ميحرلا نمحرلا ه مسب

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia, hingga sebahagian kecil dari sebuah perjalanan hidup yang diarungi oleh seorang hamba-Nya tak pernah luput dari pantauan dan perhatian-hamba-Nya. Penulis persembahkan syukur yang tak terbilang kepada Allah SWT atas kesehatan fisik dan mental yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada Nabi akhir zaman dan kekasih Allah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi dengan judul “Formulasi Sabun Padat Bentonit dengan Variasi Konsentrasi Asam Stearat dan Natrium Lauril Sulfat” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama proses penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan maupun hambatan yang di hadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengerjaan penelitian, maupun pembiayaan dan lain sebagainya. Namun berkat kesungguhan hati dan doa serta kerja keras, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan, bimbingan, dan motivasi dari semua pihak, penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik. Maka sudah sepatutnya penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya dan rasa hormat yang mendalam di tujukan kepada:

(9)

Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Nurmeilis, M.Farm, Apt. selaku ketua Progam Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak dan Ibu dosen Progam Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis.

5. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si, Apt. selaku dosen penasehat akademik yang telah meluangkan waktunya dan membimbing saya selama menjalankan studi di Progam Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 6. Kedua orang tua tercinta yakni Ayahanda H. Amirudin, SE. dan

Ibunda Hj. Januati, S.Pd. yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan berupa materi, motivasi, petuah, serta kasih sayang yang tiada hentinya bagi penulis. Munajat doanya disetiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan bathin dalam menjalani proses pendidikan ini. Semoga Allah SWT selalu mengasihi Ayahanda dan Ibunda, semoga saya bisa membahagiakan kalian berdua sampai tua kelak. Dan untuk adik-adik ku Haizir Rizki, Muhammad Sultan dan Radja Anugerah semoga kalian semua bisa dibanggakan dan turut berbakti kepada kedua orang tua kita dan semoga kalian juga dikaruniai kehidupan penuh kasih sayang dan pendidikan yang baik. Dan terimakasih juga kepada bunda Cahi dan adik-adik sepupuku Tining, Indah dan Amoy yang selalu mendoakan penulis agar cepat lulus dan sukses dalam pendidikan.

(10)

skripsi ini selesai. Terimakasih atas segala perhatian, dukungan, semangat, waktu, kasih sayang dan nasehat yang diberikan, semoga segala cita-cita kita tercapai dan semoga Allah SWT memudahkan segala urusan kita.

9. Dhana, Aan dan Lena sebagai sahabat karib nan jauh di ujung Pulau Sumatera yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

10.Sahabat saya tercinta sekaligus my roommate, Nurmala Saidah dan Rizki Amelia, yang telah memberi semangat dan dukungan serta kebersamaan kepada penulis sampai penyusunan skripsi ini selesai. 11.Teman-teman farmasi BD 2012, yang selalu menemani keseharian

penulis di bangku perkuliahan dan menyisakan banyak kenangan indah dan suka-duka selama menempuh studi farmasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga segala cita-cita kita dapat tercapai. Amin.

12. Sahabat seperjuangan dan seperantauan, Amel, Khaira dan Amel yang menjadi teman pertama kali menginjakkan kaki di kota metropolitan ini. Terimakasih atas kebersamaan, pertemanan, suka duka selama di Jakarta hingga saat ini. Semangat buat kita untuk terus menempuh studi walau ke negeri China sekalipun.

13.Teman-teman IMAPA Jakarta yaitu kak Inas, kak Mawaddah, Mulia Sari, kak Ema, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 14. Seluruh teman-teman seperjuangan farmasi angkatan 2012, yang telah

(11)

dan dukungannya kepada penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan khususnya di bidang farmasi dan menjadi pembelajaran pada generasi berikutnya.

Jakarta, 23 Juni 2016

(12)
(13)

Halaman

2.1 Najis dan Cara Menghilangkannya (Thaharah) ... 7

2.2 Standar Thaharah ... 10

2.4.2 Metode Pembuatan Sabun ... 14

2.4.3 Mekanisme Kerja Sabun ... 15

2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun ... 16

2.4.5 Syarat Mutu Sabun Mandi Menurut SNI ... 21

(14)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.2 Alat dan Bahan ... 26

3.2.1 Alat... 26

3.2.2 Bahan ... 26

3.3 Prosedur Kerja ... 27

3.3.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit ... 27

3.3.2 Evaluasi Sifat Fisika Kimia Sabun ... 29

3.3.3 Evaluasi Sabun Menurut SNI ... 30

3.3.4 Teknik Analisa Data ... 30

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit ... 31

4.2 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat ... 34

4.2.1 Pengamatan Organoleptik ... 34

4.2.2 Pengujian pH... 35

4.2.3 Pengujian Kekerasan Sabun Padat Bentonit ... 36

4.3 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS ... 37

4.3.1 Pengamatan Organoleptik ... 38

4.3.2 Pengujian pH... 38

4.3.3 Pengujian Kekerasan... 39

4.3.4 Pengujian Tinggi dan Stabilitas Busa ... 39

4.4 Evaluasi Mutu Sabun Mandi Menurut SNI ... 42

4.4.1 Kadar Air ... 42

4.4.2 Jumlah Asam Lemak ... 43

4.4.3 Alkali Bebas ... 44

4.4.4 Minyak Mineral ... 44

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(15)

Tabel 2.1 Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa ... 17

Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa dan Sifat Yang Ditimbulkan Pada Sabun ... 18

Tabel 2.3 Syarat Mutu Sabun Mandi ... 21

Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat ... 34

Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS... 37

Tabel 4.3 Hasil Evaluasi Organoleptik Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS ... 38

Tabel 4.4 Hasil Pengujian Mutu Sabun Mandi Menurut SNI ... 42

Tabel 5.1 Hasil Evaluasi pH Sabun Padat Bentonit ... 78

Tabel 5.2 Hasil Evaluasi Kekerasan Sabun Padat Bentonit ... 78

Tabel 5.3 Hasil Evaluasi Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit ... 78

(16)

Gambar 2.1 Struktur surfaktan secara sederhana ... 11

Gambar 2.2 Kelompok gugus hidrofil dari surfaktan ... 13

Gambar 2.3 Pembentukan lapisan tipis diatas permukaan air ... 14

Gambar 2.4 Reaksi saponifikasi trigliserida ... 15

Gambar 2.5 Reaksi Netralisasi Asam Lemak ... 15

Gambar 5.1 Sabun FI (Asam Stearat 6%) ... 83

Gambar 5.2 Sabun FII (Asam Stearat 7%) ... 83

Gambar 5.3 Sabun FIII (Asam Stearat 8%) ... 84

Gambar 5.4 Sabun FIV (Asam Stearat 9%) ... 84

Gambar 5.5 Sabun FA (NLS 3%) ... 84

Gambar 5.6 Sabun FB (NLS 4%) ... 85

Gambar 5.7 Sabun FC (NLS 5%) ... 85

Gambar 5.8 Penetrometer ... 86

Gambar 5.9 Vortex ... 87

Gambar 5.10 Timbangan Analitik ... 87

Gambar 5.11 pH Meter ... 87

(17)

Lampiran 1. Certificate of Analyze Minyak Kelapa ... 54

Lampiran 2. Certificate of Analyze Natrium Hidroksida ... 55

Lampiran 3. Certificate of Analyze Asam Stearat ... 56

Lampiran 4. Certificate of Analyze Cocamidopropyl Betaine ... 57

Lampiran 5. Certificate of Analyze Gliserin ... 58

Lampiran 6. Certificate of Analyze Sodium Lauryl Sulfate ... 59

Lampiran 7. Certificate of Analyze Bentonit ... 60

Lampiran 8. Certificate of Analyze Triklosan ... 61

Lampiran 9. Hasil Uji Statistik pH Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi Asam Stearat) ... 63

Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi Asam Stearat) ... 64

Lampiran 11. Hasil Uji Statistik pH Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) ... 67

Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) ... 70

Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit ... 73

Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit ... 76

Lampiran 15. Hasil Evaluasi ... 78

Lampiran 16. Perhitungan Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit ... 79

Lampiran 17. Hasil Pengujian Mutu Sabun Mandi Menurut SNI ... 81

Lampiran 18. Gambar Sabun ... 83

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suci dan bersih merupakan fitrah manusia, dan Islam adalah agama fitrah sebab antara manusia dan Islam dibuat oleh Zat yang sama yakni Allah SWT (Al-Faridy, 2009). Secara syar’i, menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi kotoran berupa hadas atau najis dengan menggunakan air atau selainnya atau mengangkat hukum najis tersebut dengan tanah dinamakan

thaharah atau bersuci (Sumaji, 2008). Bersuci terbagi menjadi dua bagian, yaitu bersuci dari hadas dan bersuci dari najis. Bersuci dari hadas adalah membersihkan bagian tertentu dari badan dengan cara berwudhu, tayamum dan mandi; sedangkan bersuci dari najis adalah membersihkan najis pada badan, pakaian dan tempat (Zurinal dan Aminuddin, 2008).

Dewasa ini, teknologi industri pangan dan obat-obatan sangat berkembang pesat. Segala produk olahan makanan dan obat diproduksi dari berbagai bahan dasar. Seiring berkembangnya produk makanan dan obat-obatan, tuntutan label halal pada setiap produk yang beredar juga semakin meningkat. Hal ini mengarahkan para peneliti bidang halal untuk meneliti adanya komponen non-halal terutama yang berasal dari babi dan turunannya sehingga mengharuskan peneliti bidang halal untuk bersentuhan langsung dengan berbagai derivat babi (daging, lemak ataupun gelatin babi). Menurut hukum Islam, najis yang ditimbulkan dari derivat babi tersebut adalah najis

(19)

bersentuhan dengan najis mughalladzah adalah farmasis, bidang kedokteran hewan, pemelihara anjing, dan lain sebagainya.

Sabun telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai produk pembersih yang praktis dan menyenangkan. Namun sediaan sabun yang banyak beredar tersebut belum dapat membersihkan najis mughalladzah

secara hukum Islam. Oleh karena itu, untuk memudahkan masyarakat Islam dalam bersuci dari najis berat (mughalladzah) di era modern tanpa harus mencari tanah, maka muncullah inovasi untuk memformulasikan tanah dalam bentuk sediaan sabun yang lebih praktis dalam penggunaannya untuk bersuci.

Sebagai perbandingan, produk sabun yang mengandung tanah (diperuntukkan untuk menghilangkan najis mughalladzah) telah banyak dipasarkan secara luas di Thailand dan Malaysia dengan nilai penjualan 6-7 kali lipat dibandingkan dengan sabun biasa yang tidak mengandung tanah. Di Thailand, konsentrasi tanah (clay) yang digunakan dalam sabun berada pada rentang konsentrasi 0,05-95% dan telah mendapat persetujuan (Fatwa) dari Komite Islam Bangkok untuk digunakan sebagai penyuci najis sesuai dengan peraturan Islam (Dahlan, 2010). Hal ini tentunya menarik pihak lain untuk berinvestasi memproduksi formula sabun tanah yang optimal untuk pengembangan produksi secara skala industri (Anggraeni, 2014). Dengan demikian, diharapkan industri Indonesia juga dapat memproduksi sendiri sabun tanah sebagai penyuci najis mughalladzah tersebut tanpa harus mengimpor produk sabun thaharah dari negara lain.

Di Indonesia, sabun tanah sebagai alternatif untuk menyucikan diri dari najis mughalladzah sudah pernah diformulasikan oleh beberapa peneliti dalam bentuk sabun padat dan sabun cair, diantaranya sabun padat An-Mugh oleh mahasiswa kedokteran hewan IPB yang telah beredar di pasaran dan sabun padat serta sabun cair bentonit oleh mahasiswa UGM. Sabun An-Mugh yang telah beredar di pasaran memiliki kandungan tanah yang masih rendah. Penelitian terkait lainnya oleh Anggraeni (2014) yang melakukan optimasi formula sabun bentonit dengan kombinasi minyak kelapa (Coconut oil) dan minyak kelapa sawit (Palm oil) menggunakan Simplex Lattice Design

(20)

menurunkan respon daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas dan alkali bebas pada sabun bentonit. Dengan demikian, diketahui bahwa kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit memberikan respon yang kurang baik terhadap sifat fisika kimia sabun bentonit.

Secara umum, sabun dibuat dalam dua jenis yaitu sabun batang dan sabun cair (Wati, 2015). Sabun batang sering mengandung asam lemak bebas untuk memperbaiki kekerasan sabun dan meningkatkan penampilan fisik produk. Pemilihan lemak dan minyak serta rasio yang digunakan dalam pembuatan sabun ditentukan dengan keseimbangan kinerja produk, biaya, dan manufakturabilitas (Barel et al., 2009). Sebagai contoh dari segi kinerja produk, minyak kelapa memiliki keuntungan dapat memberikan sabun padat dengan warna yang terang dan busa berlimpah (Parasuram, 1995) serta kelarutan yang baik dan karakteristik busa dengan gelembung besar (Barel et al., 2009). Sabun batang yang diproduksi dengan surfaktan sintetik memiliki pembusaan yang lebih baik dan daya bersih terutama di dalam air sadah (Barel

et al., 2009). Dibandingkan sabun cair, sabun batang memiliki keuntungan dalam kestabilan fisik sabun. Sabun cair yang mengandung tanah rentan mengalami pengendapan selama penyimpanan dikarenakan bentonit memiliki kemampuan untuk mengembang dan membentuk koloid jika dimasukkan ke dalam air (Wati, 2015) sehingga pemilihan sabun padat yang mengandung tanah lebih menguntungkan secara fisik.

Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi formula dari penelitian Anggraeni (2014), menggunakan minyak kelapa tunggal dengan variasi konsentrasi asam stearat dan natrium lauril sulfat serta meningkatkan kadar bentonit berdasarkan saran penelitian sebelumnya dalam upaya mendapatkan daya pembersih yang sama dengan tanah atau debu sebagai syarat sertu atau samak najis mughalladzah. Tanah yang digunakan untuk pembuatan produk farmasi seperti sabun sebaiknya memenuhi spesifikasi pharmaceutical grade

(21)

(Susilawati, 2014). Bentonit memiliki sifat dapat menyerap air yang menyebabkan tekstur sabun menjadi lunak (Ibrahim dkk, 2005). Oleh karena itu, diperlukan penentuan konsentrasi dari asam stearat sebagai bahan pengeras yang dapat memberikan kekerasan yang tinggi pada sabun padat bentonit.

Selain itu, salah satu parameter penting yang perlu diperhatikan dalam penentuan mutu sabun adalah banyaknya busa yang dihasilkan (Rozi, 2013). Surfaktan diperlukan untuk meningkatkan kualitas busa pada sabun (Wijana et al., 2005). Natrium lauril sulfat (NLS) merupakan surfaktan anionik dan memiliki sifat sebagai pembentuk busa yang baik. NLS biasa dikombinasi dengan surfaktan lain supaya lebih kompatibel dengan kulit dan busanya lebih stabil (Barel et al., 2009). Berdasarkan uraian tersebut, peneliti melakukan formulasi sabun padat bentonit dengan variasi konsentrasi asam stearat dan natrium lauril sulfat.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi asam stearat terhadap kekerasan sabun padat bentonit?

2. Pada konsentrasi berapakah asam stearat memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit?

3. Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia berupa pH, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan pada sabun padat bentonit? 4. Pada konsentrasi berapakah natrium lauril sulfat dapat

memberikan sifat fisika kimia terbaik berupa pH, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan pada sabun padat bentonit? 5. Apakah formula sabun padat bentonit yang dipilih memenuhi

(22)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sabun padat bentonit sebagai penyuci najis mughalladzah.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi asam stearat terhadap kekerasan sabun padat bentonit.

2. Mengetahui konsentrasi asam stearat yang memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit.

3. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia sabun padat bentonit berupa pH, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan sabun.

4. Mengetahui konsentrasi terbaik natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia sabun padat bentonit berupa pH, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan sabun.

5. Mengetahui apakah formula sabun padat bentonit yang dipilih memenuhi syarat mutu sabun menurut SNI.

1.4 Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi asam stearat terhadap kekerasan sabun padat bentonit dan mendapatkan konsentrasi asam stearat yang memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit.

2. Memberikan informasi mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia sabun padat bentonit.

(23)

4. Memberikan solusi mudah bersuci dari najis mughalladzah kepada masyarakat Islam secara praktis dan aman.

(24)

2.1 Najis dan Cara Menghilangkannya (Thaharah)

Najis menurut bahasa bermakna sesuatu yang kotor. Sedangkan menurut hukum syariah, najis berarti kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikan diri darinya dan menyucikan dari apa yang dikenainya (Al-faridy, 2009).

Najis berdasarkan macam cara menghilangkannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

a. Najis Mukhaffafah ialah najis ringan seperti air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara menghilangkannya cukup dengan memerciki air

pada tempat yang terkena najis tersebut (Rifa’i, 2006).

b. Najis Mughallazhah ialah najis berat seperti najis anjing atau babi dan turunannya. Cara menyucikannya yaitu wajib dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah (Rifa’i, 2006). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:

َرْ يَرُه َِِأ ْنَع

َلاَق َلاَق َة

ملَسَو ِهيَلَع ُها ىلَص ِها ُلوُسَر

ُبْلَكْلا ِهيِف َغَلَو اَذِا مُكِدَحَأ ِءاَنِا ُرْوُهُط

ٍتارَم َعْبَس ُهَلِسْغَ ي ْنَأ

باَر تلاِب نُه اوُأ

Dari Abu Hurairah r.a berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w: "Suci bejana salah seorang diantara kamu bila dijilat anjing, hendaklah mencucinya

tujuh kali, permulaannya hendaklah dicampur dengan tanah/debu.” (H.R

(25)

Kenajisan anjing dikategorikan oleh fuqaha sebagai mughalladzah

(najis berat) karena cara penyuciannya yang memerlukan proses samak atau

sertu. Walaupun nas hadist diatas menyebut tentang cara penyucian bekas jilatan anjing saja, namun sebagian fuqaha menggunakan kaidah qiyas untuk menyamakan hukum dan cara basuhan tersebut untuk seluruh tubuh anjing. Perintah Rasulullah SAW untuk menyucikan bekas yang diminum oleh anjing adalah dalil utama yang menunjukkan najisnya lidah, air liur dan mulut anjing. Jika lidah dan mulut dikategorikan sebagai najis, maka sudah tentu anggota tubuh lainnya, yakni seluruh badannya adalah najis juga (Fatwa Malaysia, 2013).

Adapun babi, kenajisannya termaktub dalam firman Allah SWT, yang

artinya: “Aku tidak dapati dalam apa yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu

yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya melainkan jika benda itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya ia adalah najis (QS. al-An’am: 145)”. Jika daging babi adalah najis, maka keseluruhan badan dan anggota tubuh babi adalah najis juga. Hal ini dikarenakan daging merupakan bagian utama bagi seekor hewan, sehingga jika ia najis, sudah tentu selainnya adalah najis. Kaidah penyucian diri atau perkara yang terkena najis babi, sebagian ulama berpandangan adalah sama seperti penyucian najis anjing yaitu dengan menyamaknya dengan tujuh basuhan air dengan salah satu basuhannya hendaklah disertai dengan tanah, hal ini dikarenakan babi diqiyaskan kepada anjing, maka cara penyuciannya juga mengikuti cara penyucian jilatan anjing (Fatwa Malaysia, 2013 dan Kadir, 2009).

Menurut mazhab Imam Syafi’i, Hambali dan Hanafi menyebutkan

bahwa anjing adalah najis, namun dari ketiga mazhab tersebut memiliki

perbedaan dalam cara mensucikan najis. Adapun Imam Syafi’i dan Imam

(26)

jilatan tersebut harus dibasuh lagi hingga diyakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh kali (Ad-Dimasyqi, 2001). Imam Maliki berpendapat lain bahwa anjing adalah suci (Ad-Dimasyqi, 2001), namun bejana bekas jilatan anjing dibasuh sebanyak tujuh kali bukanlah karena najis melainkan karena

ta’abbud (beribadah) (Mughniyah, 2015).

Menurut empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki) dalam

buku Fiqh Lima Mazhab (2015), disebutkan bahwa babi hukumnya sama seperti anjing yaitu najis dan cara menyucikannya dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, satu diantaranya dengan tanah (Mughniyah, 2015).

c. Najis Mutawassithah ialah najis sedang berupa najis yang selain dari dua najis tersebut di atas, seperti segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang seperti kotoran manusia, darah, bangkai (selain bangkai manusia, ikan dan belalang), nanah kecuali air mani, barang cair yang memabukkan dan susu hewan yang tidak halal

dimakan (Rifa’i, 2006). Adapun najis mutawassithah ini dibagi menjadi

dua:

1. Najis ‘ainiyah yaitu najis yang dapat diketahui rasa, warna, atau baunya seperti darah, nanah, air kencing dan sebagainya. Cara menyucikan benda najis atau benda yang terkena najis ini dilakukan dengan cara membersihkannya dengan air secara merata sampai hilang rasa, warna atau bau benda najis itu atau benda yang terkena najis, kecuali bau atau warna yang sangat sukar dihilangkan, maka dapat dimaafkan (Zurinal dan Aminuddin, 2008). 2. Najis hukmiyah yaitu najis yang diyakini ada tetapi tidak dapat lagi

diketahui rasa, warna atau baunya. Contohnya kencing yang sudah kering sehingga sifat-sifatnya sudah hilang. Cara menyucikan benda yang sudah terkena najis hukmiyah ini ialah cukup dengan menyiramkan air pada tempat yang terkena najis itu dan tidak dituntut untuk dicuci seperti mencuci benda yang terkena najis

(27)

Menyucikan diri dari najis atau hadas dalam hukum syara’ disebut

thaharah atau bersuci (Rifa’i, 2006). Dalam ajaran Islam, bersuci memiliki

peran penting dalam hal ibadah. Bersuci sangat mempengaruhi keshahihan ibadah seseorang. Dengan begitu, tujuan dari ibadah terpenuhi dengan

sempurna (Hasanah, 2011). Berdasarkan dalil qath’i yang telah disepakati

bahwa thaharah itu wajib menurut hukum syara’. Adapun sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah (Khoirunnisa’, 2010).

2.2 Standar Thaharah

Dalam kamus ilmiah, kata standar berarti alat penopang atau yang dipakai untuk menjadi patokan (Maulana, 2004). Adapun yang disebut standar thaharah yaitu patokan atau ukuran sesuatu dikatakan suci atau bersih. Dalam hal ini, kajian-kajian fiqh khususnya dalam bab thaharah tidak menjelaskan secara konkrit apa yang disebut dengan standar thaharah.

Adapun disebut standar thaharah atau yang menjadi tolak ukur sesuatu dikatakan suci atau bersih harus terhindar dari tiga sifat, yaitu:

a. Warna. Apabila wujud najis itu sudah tidak terlihat lagi oleh menghilangkan najis yang merupakan tolak ukur dalam bersuci (Khoirunnisa’, 2010).

2.3 Surfaktan

2.3.1 Pengertian Surfaktan

(28)

Surfaktan merupakan molekul yang terdiri dari gugus liofilik ( solvent-loving) dan gugus liofob (solvent-fearing). Jika pelarut dimana surfaktan tersebut akan digunakan adalah air atau aqueous solution, maka masing-masing istilah 'hidrofilik' dan 'hidrofobik' digunakan. Dalam istilah sederhana, surfaktan mengandung setidaknya satu kelompok non-polar dan satu kelompok polar (atau ion), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Farn, 2006).

Gambar 2.1 Struktur surfaktan secara sederhana (Farn, 2006)

2.3.2 Klasifikasi Surfaktan

Berdasarkan gugus hidrofilik, surfaktan dibagi menjadi empat macam: 1. Surfaktan anionik, yaitu bagian aktif permukaan dari molekul bermuatan negatif, seperti R-COONa+ (sabun), RC6H4SO3-Na+ (alkilbenzena sulfonat) (Rosen, 1978). Dalam larutan air, surfaktan anionik membentuk ion bermuatan negatif pada pH netral sampai basa. Gugus terionisasi dapat menjadi karboksilat, sulfat, sulfonat, atau fosfat. Di antara surfaktan yang paling sering digunakan dalam produk perawatan kulit, yaitu alkyl sulfates

and alkyl ethoxylated sulfates dengan daya busa yang tinggi. Surfaktan anionik umumnya digunakan kombinasi dengan surfaktan lain (nonionik atau amphoterics) sehingga dapat memperbaiki dalam toleransi kulit, dalam kualitas busa atau dalam viskositas produk (Paye et al.,2006). 2. Surfaktan kationik, yaitu bagian aktif permukaan dari molekul bermuatan

positif, seperti RNH3+Cl- (garam dari amin rantai panjang), RN(CH3)3+Cl -(ammmonium klorida kuartener) (Rosen, 1978). Surfaktan kationik juga terdapat pada produk perawatan diri sebagai pengemulsi dalam beberapa kosmetik dan sebagai agen bakterisida (Paye et al., 2006).

(29)

bermuatan negatif), dan dapat memberi karakteristik khusus untuk substrat. Namun, kebanyakan jenis surfaktan ini tidak kompatibel dengan surfaktan anionik (kecuali amina oksida). Umumnya lebih mahal daripada surfaktan anionik atau nonionik dan menunjukkan daya detergensi yang rendah serta daya suspensi yang rendah untuk karbon (Rosen, 2012). 3. Surfaktan amfoterik (Zwiterrion), yaitu bagian aktif permukaan dari

molekul bermuatan positif dan negatif, seperti RN+ H2CH2COO- (asam amino rantai panjang), RN+(CH3)2CH2CH2SO3- (sulfobetain) (Rosen, 1978). Penggunaan surfaktan amfoter secara terminologi masih lebih mengikat, dimana muatan molekul harus berubah dengan pH, menunjukkan bentuk zwitterionic pada pH menengah (yaitu, sekitar titik isoelektrik). Dengan demikian, sifat surfaktan ini dipengaruhi oleh pH, yaitu sekitar titik isoelektrik menunjukkan bentuk zwiterionik, menunjukkan kelarutan terendah; pada kondisi basa bentuk anionik lebih dominan, memberikan busa dan detergensi; sedangkan dalam kondisi asam, bentuk kationik lebih dominan, memberikan substantivitas surfaktan.

Surfaktan amfoterik umumnya digunakan sebagai tensioactives

sekunder untuk efek stabilisasi busa, kapasitas penebalan dan mengurangi iritasi kulit pada alkil sulfat dan sulfat alkil etoksi (Paye et al., 2006). Surfaktan amfoterik kompatibel dengan semua jenis surfaktan lain, kurang mengiritasi kulit dan mata dibandingkan jenis lainnya dan dapat teradsorbsi ke permukaan negatif atau positif tanpa membentuk film yang hidrofobik. Surfaktan amfoterik sering tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik, termasuk etanol (Rosen, 2012).

(30)

rasio konsentrasi yang tepat. Oleh karena itu banyak produk untuk kulit sensitif, bayi, atau wajah menggunakan surfaktan nonionik sebagai surfaktan utama (Paye et al., 2006).

Surfaktan nonionik kompatibel dengan semua jenis surfaktan lain. Umumnya tersedia sebagai 100% bahan aktif bebas dari elektrolit. Dapat dibuat tahan untuk air keras, kation logam polivalen, elektrolit pada konsentrasi tinggi; larut dalam air dan pelarut organik, termasuk hidrokarbon. POE nonionik umumnya zat pendispersi yang baik untuk karbon (Rosen, 2012).

Gambar 2.2 Kelompok gugus hidrofil dari surfaktan (Farn, 2006)

2.4 Sabun

2.4.1 Pengertian Sabun

(31)

emulsifikasi dan pembersih (Mitsui, 1997). Menurut Standar Nasional Indonesia (1994), sabun mandi adalah senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa dengan atau penambahan zat lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit.

Menurut Cavith (2001), molekul sabun terdiri dari rantai karbon, hidrogen dan oksigen yang disusun dalam bagian kepala dan ekor. Bagian kepala merupakan gugus hidrofilik (rantai karboksil) yang berfungsi untuk mengikat air, sedangkan bagian ekor merupakan gugus hidrofobik (rantai hidrokarbon) yang berfungsi untuk mengikat kotoran dan minyak (Purnamawati, 2006).

Gambar 2.3 Pembentukan lapisan tipis diatas permukaan air (Purnamawati, 2006)

Komposisi asam lemak yang sesuai dalam pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada umumnya, panjang rantai yang kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaannya karena dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih dari 18 atom karbon membentuk sabun yang sukar larut dan sulit menimbulkan busa. Terlalu besar bagian asam lemak tak jenuh akan menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi bila terkena udara (Maripa dkk, 2015).

2.4.2 Metode Pembuatan Sabun

Secara umum, metode pembuatan sabun terbagi menjadi dua, yaitu: a. Reaksi penyabunan (saponifikasi), yaitu reaksi antara minyak atau lemak

(32)

Reaksi kimia pada proses saponifikasi trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.2

Minyak atau lemak Alkali Sabun Gliserol Gambar 2.4 Reaksi saponifikasi trigliserida (Mitsui, 1997)

Minyak ataupun lemak yang digunakan sama saja, perbedaannya hanya saja minyak secara umum berbentuk cairan sedangkan lemak berbentuk padat pada suhu kamar (Parasuram, 1995). Alkali yang biasa digunakan dalam pembuatan sabun padat adalah natrium hidroksida, sedangkan kalium hidroksida digunakan dalam pembuatan sabun cair atau shampo (Mitsui, 1997). b. Reaksi netralisasi, yaitu minyak dan lemak masing-masing diubah menjadi asam lemak melalui proses splitting/hydrolysis dan menghasilkan asam lemak yang dapat bereaksi dengan soda kaustik (NaOH)/alkali menghasilkan sabun dan air (Parasuram, 1995).

Reaksi kimia pada proses netralisasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar 2.5

Asam lemak Alkali Sabun Air

X = Na, K

Gambar 2.5 Reaksi netralisasi asam lemak (Mitsui, 1997)

Pada reaksi netralisasi, sabun dihasilkan dari reaksi asam lemak langsung dengan alkali (Mitsui, 1997).

2.4.3 Mekanisme Kerja Sabun

(33)

Mekanisme pembersihan sabun dapat dijelaskan sebagai berikut:

Saat kontak dengan air, sabun berpenetrasi ke dalam antarmuka kulit

dan kotoran untuk melemahkan gaya adhesi dan membuat kotoran mudah

untuk dihilangkan. Kotoran tersebut kemudian dihilangkan secara fisik dan

kemudian terdispersi dalam larutan sabun sebagai akibat dari emulsifikasi

oleh molekul sabun. Beberapa jenis kotoran dapat dihilangkan dengan cara

tersolubilisasi dalam misel yang terbentuk dari sabun (Mitsui, 1997).

Menurut Wasiaatmadja, S,M (1997) dan Brady, JE (1999), untuk

membersihkan kotoran yang berupa minyak, pembilasan dengan air saja tidak cukup. Dibutuhkan zat lain untuk menurunkan tegangan antar muka antara minyak dengan air. Dengan adanya sifat surfaktan pada sabun, terjadi proses emulsifikasi sehingga bagian yang polar (hidrofilik) berikatan dengan air dan bagian non polar (lipofilik) berikatan dengan minyak. Bagian non polar dari sabun memecah ikatan antar molekul minyak sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan. Akibatnya air dapat menyebar membasahi seluruh permukaan dan mengangkat kotoran (Handayani, 2009).

2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun

Pada umumnya, sabun dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali (Anggraeni, 2014). Disamping itu juga digunakan bahan tambahan lain seperti surfaktan, humektan, antioksidan, agen antimikroba, pewarna, parfum, skin conditioners, dan bahan tambahan khusus (seperti

processing aids, binders (gum and resin), fillers, exfoliants, antiacne, dan

anti-irritants) (Barel et al., 2009). Bahan aditif atau bahan tambahan berguna untuk meningkatkan minat konsumen terhadap produk sabun (Setyoningrum, 2010).

Banyak perbedaan minyak dan lemak yang digunakan sebagai bahan

baku untuk sabun, dan penggunaannya dalam formula diputuskan dengan

pertimbangan karakteristik dan tujuan sabun yang akan dibuat (Mitsui, 1997).

(34)

dengan rantai pendek (C12-C14) menghasilkan sabun yang lebih lunak dan lebih mudah larut (Sari dkk, 2010).

Menurut Hambali et al (2005), ada 2 jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair. Sabun padat dibedakan atas 3 jenis, yaitu sabun opaque, translucent, dan transparan (Hernani dkk, 2010).

Berikut merupakan uraian bahan-bahan dasar sabun bentonit:

a. Minyak Kelapa

Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang paling

penting yang digunakan dalam pembuatan sabun. (Barel et al., 2009).

Minyak

kelapa adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan endosperm kering Cocos nucifera L (Departemen Kesehatan RI, 1979). Keuntungan dari minyak kelapa adalah memberikan sabun padat dengan warna yang terang

dan busa berlimpah. Tingkat penggunaan tergantung pada kelas sabun mandi

dan bervariasi dalam kisaran 6-20% (Parasuram, 1995). Sifat fisikokimia

minyak kelapa dijelasan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa (Departemen Kesehatan RI, 1979)

Zat Tak Tersabunkan Tidak lebih dari 0,8%

Berdasarkan kandungan asam lemaknya, minyak kelapa digolongkan

ke dalam minyak asam laurat (Thomssen & McCutheon, 1949), karena

kandungan asam laurat di dalamnya paling besar jika dibandingkan asam

lemak lain. Menurut Lakey (1941), asam laurat mampu memberikan sifat

pembusaan yang sangat baik, oleh karenanya asam laurat sangat diperlukan

dalam pembuatan produk sabun. Busa yang dihasilkan banyak dan sangat

(35)

lama). Sabun yang dihasilkan dari asam laurat memiliki ketahanan yang tidak

terlalu besar, artinya sabun batang yang dihasilkan tidak cukup keras

(Anggraeni, 2014). Berikut komposisi jenis asam lemak dari minyak kelapa

dan sifat sabun yang dihasilkan dari masing-masing jenis asam lemak:

Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa dan Sifat Yang Ditimbulkan Pada Sabun (Miller, 2003)

Asam Lemak

Rumus Kimia Konsentrasi Sifat yang ditimbulkan adalah NaOH. Natrium hidroksida memiliki berat molekul 40 serta merupakan basa kuat yang larut dalam air dan etanol (Departemen Kesehatan RI, 1979).

c. Asam Stearat

(36)

heksadekanoat (C16H32O2). Berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin; larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P (Departemen Kesehatan RI, 1979). Asam stearat berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997).

d. Gliserin

Gliserin merupakan cairan jernih seperti sirop, tidak berwarna, tidak berbau, manis diikuti rasa hangat dan higroskopis. Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol 95% P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam minyak lemak (Departemen Kesehatan RI, 1979). Gliserin digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi <30%. Gliserin dapat berubah warna menjadi hitam dihadapan cahaya atau kontak dengan zink oksida atau bismuth nitrat dasar (Rowe et al., 2006). Menurut Mitsui (1997), gliserin telah lama digunakan sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan kelembaban kulit. Adanya humektan dapat mengubah ketidakstabilan sabun batang, sehingga memodifikasi persepsi

konsumen dari produk sebagai produk pembilas yang bersih (Barel et al.,

2009).

e. Butylated hydroxytoluene (BHT)

Berupa serbuk hablur padat, putih, bau khas dan lemah. BHT praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol, larutan hidroksida alkali dan

dilute aqueous asam mineral; sangat larut dalam aseton, benzena, etanol 95%, eter, metanol, toluen, fixed oils dan minyak mineral. Digunakan sebagai antioksidan untuk minyak dan lemak dengan konsentrasi 0,02% (Rowe et al.,

2006). Basis sabun dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi (misalnya oleat, linoleat, dan linolenat) dan adanya aditif sabun tertentu,

seperti pengaroma, cenderung menjadi rentan terhadap perubahan oksidatif

atmosfer yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, preservative (agen chelating

dan antioksidan) diperlukan untuk mencegah dari terjadinya oksidasi.

Antioksidan yang paling umum digunakan dalam hubungannya dengan

chelating agent pada sabun batangan adalah butylated hydroxytoluene (BHT)

(37)

f. Triklosan

Triklosan berupa serbuk putih kristal halus, memiliki titik leleh pada

suhu 570C dan terlindung dari cahaya. Triklosan praktis tidak larut dalam air;

larut dalam alkohol, dalam aseton, dan metil alkohol; sedikit larut dalam

minyak. Triklosan adalah antiseptik bisfenol klorinasi, efektif terhadap

bakteri gram positif dan gram negatif tetapi memiliki aktivitas rendah

terhadap Pseudomonas spp serta aktif juga terhadap jamur. Triklosan biasa

digunakan sebagai antimikroba atau pengawet dalam produk sabun, krim dan

larutan dalam konsentrasi sampai 2% (Sweetman, 2009).

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2008), triklosan

digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik dengan konsentrasi maksimal

0,3%. Sabun batang sangat efektif dalam menghilangkan microbial flora

yang diketahui menyebabkan infeksi kulit, jerawat, dan bau tak sedap selama

proses mencuci atau mandi. Penambahan antimikroba pada sabun batang

memberi manfaat untuk penggunaan jangka panjang, terutama antara mencuci

dan mandi. Karena masalah keamanan dari berbagai antimikroba yang

digunakan dalam sabun batangan, jumlah agen antimikroba yang digunakan

mengalami penurunan sejak tahun 1970an. Trichlorocarbanilide (TCC),

trikloro difenil hidroksietil (triclosan), dan para-chloro m-xylenol (PCMX)

yang umum digunakan dalam sabun batangan saat ini. TCC sebagian besar

efektif terhadap bakteri gram positif sedangkan triclosan dan PCMX telah

terbukti efektif terhadap kedua bakteri gram positif dan gram negatif (Barel et

al., 2009).

g. Kokamidopropil betain

Alkil betain adalah turunan N-trialkil asam amino

([R1R2R3]N+CH2COOH), yang diklasifikasikan sebagai kationik karena

menunjukkan muatan positif permanen. Karena betain juga memiliki

kelompok fungsional bermuatan negatif dalam kondisi pH netral dan basa,

maka disebut sebagai surfaktan amfoterik. Muatan positif dari betain berasal

dari nitrogen kuartener sedangkan situs anioniknya berasal dari karboksilat

(betaine), sulfat (sulfobetaine atau sultaine), atau fosfat (phospho betaine atau

(38)

Betain adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah dan pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik. Betain memiliki efek iritasi yang rendah pada mata dan kulit, bahkan dengan adanya betain dapat menurunkan efek iritasi surfaktan anionik. Hal ini terbukti dari penelitian Teglia dan Secchi (1994), cocamidopropril betaine

dapat menurunkan iritasi dengan efek yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke dalam larutan sodium lauryl sulfate. Baik wheat protein

maupun cocamidopropyl betaine dapat melindungi kulit dari iritasi (Barel et al., 2009).

h. Parfum (fragrance)

Fragrance merupakan bahan aditif yang penting pada produk

cleansing yang dapat memengaruhi penerimaan konsumen. Penggunaan

fragrance umumnya untuk menutupi karakteristik bau dari asam lemak atau fase minyak. Fragrance yang digunakan tidak boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan produk akhir. Jumlah fragrance yang digunakan pada sabun batangan biasanya berkisar dari 0,3% (kulit sensitif) sampai 1,7% (untuk sabun deodorant) (Barel et al., 2009).

2.4.5 Syarat Mutu Sabun Mandi Menurut SNI

Spesifikasi persyaratan mutu yang harus dipenuhi pada produk sabun

mandi menurut SNI 06-3532-1994 disajikan pada Tabel 2.3.

(39)

2.5 Natrium Lauril Sulfat

Natrium lauril sulfat (NLS) adalah campuran dari natrium alkil sulfat, natrium dodesil sulfat, C12H25SO4- Na+, sangat larut dalam air pada suhu kamar dan digunakan dalam farmasi sebagai pembersih kulit sebelum operasi, yang memiliki sifat bakteriostatik terhadap bakteri Gram-positif bakteri dan juga dugunakan pada shampoo. NLS juga merupakan komponen dari emulsifying wax (Attwood et al., 2012).

Natrium Lauril Sulfat termasuk kedalam golongan surfaktan anionik. Natrium Lauril Sulfat (NLS) memiliki panjang rantai karbon 12 dan merupakan salah satu surfaktan yang paling umum. Surfaktan ini kurang ditoleransi oleh kulit. Ketika panjang rantai meningkat, yakni di kisaran C14-C18, penetrasi surfaktan melalui stratum korneum menurun seiring dengan potensi iritasi dan kapasitas busa yang menurun. Rantai dengan jumlah karbon yang lebih rendah dari 12 ditoleransi lebih baik oleh kulit daripada SLS tetapi menunjukkan bau yang lebih menonjol. Kombinasi dengan surfaktan lain dapat meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap kulit sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik. Lauril sulfat tersedia dalam bentuk berbagai garam: SLS, amonium lauril sulfat (ALS), magnesium lauril sulfat [Mg (LS) 2], dan trietanolamin lauril sulfat (teals). Toleransi lauril sulfat terhadap kulit berturut-turut sebagai berikut: Mg (LS) 2> teals> NLS> ALS (Paye et al., 2006).

2.6 Bentonit

Tanah yang digunakan dalam formulasi sabun untuk menyucikan

najis mughalladzah pada penelitian ini adalah bentonit. Menurut Husnain

(2010), tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran)

mineral-mineral padat dan dari bahan-bahan organik yang melapuk

(Anggraeni, 2014). Berdasarkan zahir hadis, hukum menyamak dengan tanah

(40)

menyamak. Imam Al-Sharbini menyebutkan semua jenis tanah sekalipun debu pasir (Mughni al-Muhtaj, Juzu’ 1, Hlm 137). Tanah yang dicampur dengan benda asing tidaklah menjadi halangan selama ia tidak mengubah keaslian tanah dan suci. Sedangkan dari aspek tanah yang digunakan, Rasulullah SAW tidak pernah menyatakan lapisan tanah yang ke berapa perlu digunakan, karena pada asasnya tanah atau pasir adalah suci (Fatwa Malaysia, 2006).

Bentonit adalah koloid aluminium silikat terhidrasi terutama terdiri

dari montmorilonite (Al2O3.4SiO2.H2O), mungkin juga mengandung kalsium,

magnesium dan besi. Bentonit berupa kristal, mineral seperti clay, tidak

berbau, kuning pucat hingga krem keabu-abuan, berbentuk bubuk halus yang

bebas dari gift. Terdiri dari partikel sekitar 1-2 mm. Dalam bidang farmasi,

bentonit biasanya digunakan untuk memformulasi suspensi, gel dan sol.

Selain itu juga digunakan untuk mensuspensikan serbuk dalam sediaan cair

dan mempersiapkan basis krim yang mengandung agen pengemusi minyak

dalam air (Rowe et al., 2009).

Bentonit merupakan jenis tanah liat dengan proporsi mineral

montmorillonit mineral tanah liat yang tinggi, yang dihasilkan dari

dekomposisi abu vulkanik. Dengan plastisitas tinggi, bentonit sangat

menyerap air dan memiliki susut tinggi dan swelling charateristics (Asad et

al., 2013).

2.7 Sifat Fisika Kimia Sabun

Secara umum, sifat fisik dalam sabun terdiri dari kekerasan,

stabilitas busa, bilangan titer, mudah dibilas (Girgis, 1998), tegangan

permukaan, tegangan antar muka dan stabilitas emulsi (Bird, 1998).

Sedangkan sifat kimia pada sabun umumnya berupa pH, kadar air, jumlah

asam lemak total, alkali bebas, asam lemak bebas dan minyak mineral

(Girgis, 1998 dalam Anggraeni, 2014).

a. Kekerasan

Kekerasan menggambarkan ketahanan terhadap kerusakan

(41)

finishing (Barel et al., 2009). Kekerasan sabun dipengaruhi oleh asam lemak

jenuh yang digunakan pada pembuatan sabun. Asam lemak jenuh merupakan

asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap, tetapi memiliki titik cair

yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak yang memiliki ikatan

rangkap. Asam lemak jenuh biasanya berbentuk padat pada suhu ruang,

sehingga akan menghasilkan sabun yang lebih keras (Gusviputri et al., 2013).

b. pH

Sabun pada umumnya mempunyai pH sekitar 10 (Mitsui, 1997).

Sabun yang baik memiliki pH yang tidak jauh dari pH normal kulit yaitu

(5,5-6,5) sampai pH netral (7). Wasitaatmadja (1997) menjelaskan bahwa pH

merupakan parameter yang sangat penting dalam suatu produk kosmetik

karena pH dari kosmetik yang dipakai mempengaruhi daya absorbsi kulit.

Kosmetik dengan pH yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat

meningkatkan daya absorbsi kulit sehingga kulit menjadi teriritasi (Ayu et al.,

2010).

c. Busa

Busa adalah suatu dispersi koloid dimana gas terdispersi dalam fase

kontinyu yang berupa cairan (Schramn, 2005). Busa merupakan salah satu

parameter penting dalam penentuan mutu sabun mandi. Pada

peng-gunaannya, busa berperan dalam proses pembersihan dan melimpahkan

wangi sabun pada kulit. Adanya senyawa tidak jenuh (asam lemak tidak

jenuh) dalam campuran minyak, tidak akan menstabilkan busa (Gromophone,

1983 dalam Hernani et al., 2010).

d. Kadar Air

Menurut Spitz (1996), banyaknya air yang ditambahkan pada sabun

akan berpengaruh terhadap kelarutan sabun. Semakin banyak air yang

terkandung dalam sabun maka sabun akan semakin mudah menyusut pada

saat digunakan (Hernani et al., 2010). Prinsip dari pengujian kadar air dalam

sabun adalah pengukuran kekurangan berat setelah pengeringan pada suhu

(42)

e. Jumlah Asam Lemak

Jumlah asam lemak adalah keseluruhan asam lemak baik asam

lemak yang terikat dengan natrium maupun asam lemak bebas ditambah

lemak netral (trigliserida netral/ lemak yang tidak tersabunkan). Untuk sabun

yang mengandung banyak zat organik seperti silikat dan titandioksida

dipergunakan cara ekstraksi dengan dietil eter atau petroleum eter (SNI,

1994).

f. Asam Lemak Bebas atau Alkali Bebas

Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada dalam contoh

sabun, tetapi yang tidak terikat sebagai senyawa natrium maupun senyawa

trigliserida (lemak netral). Adanya asam lemak bebas dapat diperiksa apabila

pada pengujian alkali bebas ternyata tidak terjadi warna merah dari indikator

phenolphtalein setelah pendidihan dalam alkohol netral. Asam lemak bebas

yang melarut dalam alkohol netral selanjutnya dititrasi dengan KOH

alkoholis (SNI, 1994).

g. Minyak Mineral

Minyak mineral tidak mungkin dapat disabunkan seperti halnya

asam lemak bebas dan lemak netral, sehingga meskipun sudah disabunkan

dengan KOH berlebihan akan tetap sebagai minyak dan pada penambahan air

akan terjadi emulsi antara air dan minyak yang ditandai adanya kekeruhan

(43)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Formulasi Sediaan Semi Solid dan Liquid Fakultas Farmasi Universitas Pancasila dan Laboratorium Non Pangan, Balai Pengujian Mutu Barang, Ciracas Jakarta Timur. Penelitian berlangsung selama 4 bulan, dari bulan Maret hingga bulan Mei 2016.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Timbangan analitik, termometer, penetrometer, vortex, penjepit kayu, magnetic stirrer, hot plate, batang pengaduk, pipet tetes, kaca arloji, spatula, pot, cetakan sabun, oven, pH meter dan alat-alat gelas kimia lainnya.

3.2.2 Bahan

(44)

3.3 Prosedur kerja

3.3.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit

(45)

b. Formula Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS)

c. Pembuatan Sabun Bentonit (Setyoningrum, 2010 dengan modifikasi)

(46)

dituangkan kedalam cetakan yang sebelumnya telah diolesi gliserin, didiamkan sampai mengeras pada lemari pendingin. Kemudian sabun dikeluarkan dari cetakan dan dilakukan evaluasi.

3.3.2 Evaluasi Sifat Fisika dan Kimia Sabun 1. Pengamatan Organoleptik

Pengamatan organoleptik dilakukan secara visual dengan mengamati bentuk, warna dan bau dari sabun padat yang dihasilkan (Tjitraresmi dkk, 2010).

2. Tinggi Busa dan Stabilitas Busa

Sebanyak 1 gram sabun dimasukkan ke tabung reaksi yang berisi 10 ml aquades, kemudian dikocok dengan vortex selama 1 menit. Busa yang terbentuk diukur tingginya menggunakan penggaris (tinggi busa awal). Tinggi busa diukur kembali setelah 1 jam (tinggi busa akhir), kemudian stabilitas busa dihitung dengan rumus (Piyali et al, 1999 dalam Jannah, 2009):

Stabilitas Busa (1 jam) = 100% - %Busa yang hilang

%Busa yang hilang =

x 100% 3. pH Sabun

Sampel dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam gelas kimia. Akuades yang memiliki pH 7 ditambahkan sebanyak 10 mL dan diaduk sampai larut kemudian dilakukan pengukuran pH dengan cara memasukkan pH meter yang telah dikalibrasi dengan pH 4, 7, dan 9. Selanjutnya pH meter didiamkan beberapa saat hingga didapatkan pH yang tetap (Laeha, 2015).

4. Kekerasan sabun

(47)

1/10 mm dari angka yang ditunjukkan pada skala penetrometer (Jannah, 2009).

3.3.3 Evaluasi Sabun Menurut SNI

Pengujian mutu sabun menurut SNI meliputi kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas/alkali bebas dan minyak mineral dilakukan di Laboratorium Non Pangan, Balai Pengujian Mutu Barang, Direktorat Pengembangan Mutu Barang, Ciracas, Jakarta Timur.

3.3.4 Teknik Analisa Data

(48)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit

Pembuatan sabun padat bentonit dalam penelitian ini menggunakan variasi konsentrasi asam stearat dan natrium lauril sulfat. Penggunaan variasi konsentrasi asam stearat bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi asam stearat yang dapat memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. Hal ini dikarenakan bentonit memiliki sifat dapat menyerap air yang menyebabkan tekstur sabun menjadi lunak (Ibrahim dkk, 2005). Formula sabun padat bentonit dalam penelitian ini merupakan modifikasi formula dari penelitian Anggraeni (2014) dengan hanya menggunakan minyak kelapa tunggal dan menambahkan natrium lauril sulfat sebagai surfaktan pembentuk busa dalam sabun padat bentonit dengan berbagai variasi konsentrasi.

Berdasarkan zahir hadis, hukum menyamak dengan tanah pada tempat yang terkena najis mughalladzah, Nabi Muhammad SAW tidak memperincikan bentuk dan keadaan tanah yang boleh digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah sehingga menunjukkan semua jenis tanah yang ada di atas muka bumi ini boleh digunakan untuk menyamak, sedangkan dari aspek tanah yang digunakan, Rasulullah SAW tidak pernah menyatakan lapisan tanah yang ke berapa perlu digunakan, karena pada asasnya tanah atau pasir adalah suci (Fatwa Malaysia, 2006). Selain itu, tidak dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam berapa kadar debu atau tanah yang harus digunakan dalam bersuci (Anggraeni, 2014). Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, menyatakan bahwa mencuci bekas babi atau anjing dengan cara di-sertu

(dicuci dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya dengan tanah/debu atau penggantinya yang memiliki daya pembersih yang sama). Oleh karena itu, untuk mendapatkan daya pembersih yang sama dengan tanah atau debu sebagai syarat

(49)

Natrium lauril sulfat (NLS) merupakan tipe surfaktan anionik (Paye et al.,

2006), memiliki sifat sebagai pembentuk busa yang baik (Barel et al., 2009) dan termasuk surfaktan yang larut dalam air, berkinerja baik dan kuat membersihkan kotoran dan minyak, menghasilkan sediaan dengan warna yang baik tetapi memiliki kekurangan jika digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan iritasi kulit (Hunting, 1983). Dalam penelitian ini, natrium lauril sulfat dikombinasikan dengan kokamidopropil betain yang merupakan tipe surfaktan amfoterik. Kombinasi NLS dengan kokamidoropil betain bertujuan untuk meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap kulit sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik. Selain itu, surfaktan amfoterik umumnya juga digunakan sebagai

tensioactives sekunder untuk efek stabilisasi busa (Paye et al., 2006).

(50)

sabun harus merupakan reaksi yang sempurna antara asam lemak dengan alkali, untuk menghindari adanya sisa asam lemak atau alkali bebas yang tertinggal dalam sabun (Karo, 2011). Setelah terbentuk stok sabun, selanjutnya ditambahkan gliserin. Gliserin digunakan sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan kelembaban kulit (Mitsui, 1997).

Secara berturut-turut selanjutnya ditambahkan NLS (yang telah dilarutkan dalam akuades) dan betain ke dalam stok sabun. Dilakukan kombinasi penggunaan surfaktan, yaitu kombinasi NLS dan betain untuk meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap kulit sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik serta pembusaan yang stabil (Paye et al., 2006). Selanjutnya ditambahkan triklosan (yang telah dilarutkan dalam etanol 96%) ke dalam massa sabun, yang berfungsi sebagai pengawet (antimikroba). Penambahan antimikroba pada sabun batang memberi manfaat untuk penggunaan jangka panjang, terutama pada saat pencucian (Barel et al., 2009). Etanol 96% digunakan sebagai pelarut terhadap triklosan, dikarenakan triklosan praktis tidak larut dalam air, namun larut dalam alkohol, dalam aseton, dan metil alkohol (Sweetman, 2009). Selanjutnya ditambahkan secara berturut-turut bentonit dan sisa air sedikit demi sedikit ke dalam campuran massa sabun. Bentonit merupakan golongan tanah liat (clay) yang digunakan sebagai agen penyuci dari najis mughalladzah dalam sabun dan memiliki konsentrasi paling tinggi di dalam formula. Bahan terakhir yang ditambahkan adalah minyak pohon teh yang merupakan pewangi untuk memberikan efek wangi pada produk sabun yang dihasilkan. Setelah itu, massa sabun dimasukkan ke dalam cetakan sabun, dan dibiarkan mengeras selama + 24 jam di dalam lemari pendingin untuk membantu mempercepat proses pemadatan sabun. Sabun yang telah mengeras, kemudian dikeluarkan dari cetakan dan dibiarkan selama + 24 jam pada suhu ruang. Setelah itu, dilakukan evaluasi sifat fisika kimia sabun.

(51)

konsentrasi asam stearat yang dapat memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit dan memenuhi rentang pH sabun. Selanjutnya, terdapat tiga formula dengan komposisi NLS yang berbeda sebagai berikut: formula A dengan konsentrasi NLS 3%; formula B dengan konsentrasi NLS 4%; dan formula C dengan konsentrasi NLS 5%. Dari ketiga formula tersebut, dilakukan evaluasi sifat fisika kimia sabun berupa pH, tinggi busa, stabilitas busa dan kekerasan pada sabun padat bentonit. Dari hasil evaluasi sifat fisika kimia sabun, dipilih konsentrasi NLS terbaik dalam memberikan sifat fisika kimia sabun padat bentonit. Setelah diketahui konsentrasi asam stearat dan NLS terbaik dalam formula sabun padat bentonit, selanjutnya dilakukan evaluasi mutu sabun mandi menurut SNI untuk formula terpilih meliputi kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas/alkali bebas dan minyak mineral.

4.2 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat

Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat

Formula

Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD 4.2.1 Pengamatan Organoleptik

(52)

4.2.2 Pengujian pH

Derajat keasaman atau pH merupakan parameter kimiawi untuk mengetahui sabun yang dihasilkan bersifat asam atau basa. Jumlah alkali dalam sabun mempengaruhi besarnya nilai pH (Widiyanti, 2009). Nilai pH merupakan karakteristik yang sangat penting dalam menentukan mutu sabun (Hardian dkk, 2014). Umumnya pH sabun memiliki nilai sekitar 10 (Mitsui, 1997), sedangkan menurut Jellinek (1970), pH sabun umumnya berkisar antara 9,5-10,8 (Hambali et al., 2004). Berdasarkan hasil evaluasi pH sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat menunjukkan masih berada dalam rentang pH sabun umumnya dan menunjukkan nilai pH yang relatif basa. pH sabun yang relatif basa tersebut dapat membantu kulit untuk membuka pori-porinya kemudian busa dari sabun mengikat sebum dan kotoran lain yang menempel di kulit (Setyoningrum, 2010). Namun pH yang terlalu tinggi atau rendah dapat meningkatkan daya absorbsi kulit sehingga kulit dapat mengalami iritasi (Wasitaatmadja, 1997).

Hasil pengujian pH sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat memiliki nilai rata-rata pH antara 10,102-10,201. Nilai pH sabun komersil sebagai pembanding memiliki nilai sebesar 10,530. Semakin meningkat konsentrasi asam stearat, maka nilai pH sabun akan semakin menurun disebabkan karena banyaknya gugus asam yang terkandung pada asam stearat (Fitriana, 2015). Namun penurunan pH yang terjadi tidak berbeda signifikan antarformula.

(53)

4.2.3 Pengujian Kekerasan Sabun Padat Bentonit

Kekerasan menggambarkan ketahanan terhadap kerusakan mekanis (Barel et al., 2009). Pengukuran tingkat kekerasan sabun dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer. Sabun yang lebih lunak memiliki nilai penetrasi yang lebih besar. Sabun yang memiliki tingkat kekerasan tertinggi adalah sabun dengan nilai penetrasi yang paling rendah (Anggraeni, 2014). Kekerasan sabun memiliki peran untuk meningkatkan efisiensi sabun ketika digunakan. Sabun yang lebih keras dan padat memiliki umur simpan yang lebih lama daripada sabun yang lunak (Hardian dkk, 2014). Kekerasan sabun dipengaruhi oleh adanya asam lemak jenuh yang terdapat dalam sabun. Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang tidak mengandung ikatan rangkap yang biasanya terbentuk padat dalam ruangan sehingga dapat membentuk kekerasan sabun. Semakin banyak jumlah asam lemak jenuh maka sabun yang dihasilkan juga semakin keras (Gusviputri et al., 2013). Selain itu, tingkat kekerasan juga dipengaruhi oleh kadar air sabun. Semakin tinggi kadar air maka sabun akan semakin lunak (Suryani, 2007).

Dari hasil evaluasi kekerasan sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat diperoleh nilai penetrasi sabun berkisar 52 10-1mm sampai 32,83 10 -1

mm. Hasil pengujian kekerasan menunjukkan bahwa semakin meningkat konsentrasi asam stearat, maka kekerasan sabun padat bentonit semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena asam stearat termasuk golongan asam lemak jenuh yang tidak memiliki ikatan rangkap diantara atom karbonnya (Widiyanti, 2009) sehingga semakin banyak jumlah asam lemak jenuh maka sabun yang dihasilkan juga semakin keras. Selain itu, asam stearat berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997) yang menyebabkan kekerasan sabun dapat meningkat. Pada konsentrasi asam stearat yang lebih tinggi (lebih dari 9%), saat proses pembuatan sabun sukar terbentuk sehingga batas maksimal konsentrasi yang digunakan adalah 9%.

(54)

bentuk partikel yang berukuran sangat kecil berada dalam sabun dan memiliki sifat dapat menyerap air sehingga tekstur sabun menjadi kurang keras. Oleh karena itu, konsentrasi asam stearat 9% dipilih sebagai konsentrasi asam stearat pada formulasi sabun padat bentonit dengan variasi konsentrasi NLS.

Hasil uji statistik dengan metode One way ANOVA terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat menunjukkan kekerasan sabun padat bentonit terdistribusi secara normal dan memiliki nilai Sig. 0,000 (Sig. <0,05) yang berarti bahwa peningkatan konsentrasi asam stearat berpengaruh nyata terhadap kekerasan sabun padat bentonit. Kekerasan sabun mandi belum memiliki standar persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga

dilakukan pengujian terhadap sabun komersial “Lifebouy” sebagai pembanding.

Hasil pengujian menunjukkan nilai penetrasi sabun komersil sebesar 10,03 10 -1

mm. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat dengan pH sabun komersil menunjukkan data tidak terdistribusi normal sehingga dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis yang menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan pH yang bermakna antara sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat dengan sabun komersil.

4.3 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS

Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS Formula Nilai pH Kedalaman

Penetrasi

Gambar

Tabel 4.2  Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS.......... 37
Gambar 2.1 Struktur surfaktan secara sederhana (Farn, 2006)
Gambar 2.2 Kelompok gugus hidrofil dari surfaktan (Farn, 2006)
Gambar 2.3 Pembentukan lapisan tipis diatas permukaan air (Purnamawati,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis besar total biaya produksi, produktivitas tenaga kerja, produktivitas lahan, total penerimaan dan pendapatan

Berdasarkan latar belakang diatas, diperoleh hasil dari beberapa penelitian yang berbeda-beda dari penelitian terdahulu yang terkait dengan pengaruh pengukuran rasio-rasio

• Sewaktu terjadi modifi kasi atau penambahan pada parts catalog ini, maka akan diterbitkan edisi yang direvisi pada waktu yang sesuai, yang memuat nomor revisi yang berurutan

Tempat pengasuhan anak (taman inderia) adalah; fasilitas yang di mana di dalam keluarga yang orang tuanya bekerja dan mempunyai alasan karena sakit, dan disiang hari merasa

semuanya akan menjadi sumber dan landasan utama mengorganisasi berbagai macam kegiatan dalam rangka merealisasikan pelaksaan tugas-tugas gereja. Pengorganisasian dan pengaturan

Secara yuridis lembaga ombudsman tidak , mempunyai wewenang kekuasaan, namun dengan keritikan, teguran dan publisitas, maka diharapkan dapat mempengaruhi pemerintah dalam

Untuk mendapatkan kejelasan hubungan antara penafsiran yang fokus pada ayat-ayat hukum dengan latar belakang penafsir sebagai kritik terhadap tafsir sektarian

Puji syukur dipersembahkan kepada Allas SWT, atas rahmat, berkah, inayah dan hidayah yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan Karya Tugas Akhir yang berjudul