• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : LANDASAN TEORI

A. Welas Asih

2. Komponen Welas Asih

Menurut Germer & Neff (2013) ada tiga komponen inti dalam welas asih (dan bela rasa); (a) kebaikan, (b) rasa kemanusiaan; (c) kewaskitaan. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai ketiganya:

a. Kebaikan vs Penilaian Diri

Kebaikan berarti melakukan perpanjangan kebaikan terhadap diri dan memahami diri daripada menilai diri secara kasar dan mengecam-diri. Welas asih ditandai dengan kehangatan dan pemahaman terhadap diri ketika menderita, gagal, atau merasa tidak mampu, daripada mengabaikan rasa sakit atau mendera diri dengan kritik-terhadap-diri. Orang dengan welas asih mengakui bahwa menjadi sempurna, gagal, dan mengalami kesulitan hidup merupakan hal yang tidak bisa dihindari, sehingga mereka cenderung bersikap lembut dengan diri mereka sendiri ketika dihadapkan dengan pengalaman menyakitkan daripada marah terhadap dirinya sendiri ketika hidup muram tidak sesuai apa yang diharapkan. Orang tidak bisa selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bila kenyataan ini ditolak atau ditentang, maka penderitaan akan meningkat dalam wujud stres, frustrasi dan

otokritik. Bila kenyataan ini diterima dengan simpati dan kebaikan, ketenangan emosional akan dialami (Neff, 2009).

Dalam kajian psikologi positif, komponen ini bersinggungan erat dengan penerimaan-diri yang menjadi dimensi kesejahteraan psikologis. Penerimaan-diri dipahami sebagai ciri utama dari kesehatan mental sebagaimana karakteristik aktualisasi diri, fungsi diri yang optimal, dan kematangan psikis (Ryff & Singer, 1996). Seseorang yang berbaik-hati terhadap dirinya akan cenderung lebih menerima dirinya karena mereka bersikap lembut terhadap dirinya sendiri.

Dalam kasus di mana ancaman hadir, sebagai respon protektif, individu merasa perlu untuk memfokuskan perhatian pada diri sendiri. Ketika fokusnya adalah pada diri sendiri, tidak peduli pada penderitaan orang lain atau pandangan kritis terhadap dunia muncul. Ancaman menjadi penghalang bagi kebaikan. Dengan demikian, konstruksi lawan untuk kebaikan (dalam bela rasa) adalah ketidakpedulian (indifference). Berbeda lagi dengan welas asih. Dalam welas asih, konstruk lawan untuk kebaikan adalah penilaian diri (self-judgement). Ketika sikap kritis berbalik ke dalam, rasa pemahaman untuk diri hilang dan kebaikan menyelinap pergi mendukung sikap kritis dan menghakimi. Ketika kebaikan hilang bagi orang lain dalam kasih sayang, respon dingin dan apatis terjadi kemudian (Pommier, 2010).

b. Rasa Kemanusiaan vs Isolasi

Komponen ini berarti melihat pengalaman diri sebagai bagian dari pengalaman manusia yang lebih luas daripada memisahkan serta mengisolasinya. Frustrasi karena tidak memperoleh persis seperti yang diinginkan sering disertai dengan irasionalitas dalam nuansa isolasi―seolah-olah "aku" adalah satu-satunya orang yang menderita atau membuat kesalahan.

Namun, semua manusia menderita. Menjadi "manusia" berarti seseorang bersifat fana, rentan dan tidak sempurna. Oleh karena itu, welas asih melibatkan pengakuan bahwa penderitaan dan kekurangan pribadi adalah bagian dari pengalaman bersama seluruh manusia - sesuatu yang dilalui semua orang, bukannya cuma “aku” sendiri.

Ini juga berarti pengakuan bahwa pemikiran pribadi, perasaan dan tindakan juga dipengaruhi oleh faktor "eksternal" seperti sejarah pengasuhan, budaya, kondisi genetik dan lingkungan, serta perilaku dan harapan orang lain. Thich Nhat Hahn menyebut jejaring rumit dari sebab dan akibat yang resiprokal di mana tiap manusia tertanam "Ke-saling-Ada-an”

(Interbeing). Menyadari ke-saling-Ada-an memungkinkan individu untuk menjadi kurang menghakimi tentang kegagalan pribadi. Setelah semua terjadi, apabila individu memiliki kendali penuh atas perilakunya, berapa banyak orang yang dengan sadar memilih

untuk memiliki masalah kemarahan, masalah kecanduan, melemahkan kecemasan sosial, gangguan makan, dan sebagainya?

Banyak aspek dari diri sendiri dan keadaan hidup yang tidak bisa dipilih individu, melainkan berasal dari faktor tak terhitung [genetik dan (atau) lingkungan] di mana individu memiliki sedikit kontrol atasnya. Dengan mengakui ketergantungan esensial individu, kegagalan dan kesulitan hidup tidak harus diambil secara pribadi, tetapi dapat diakui dengan kasih sayang, tidak menghakimi, dan pemahaman (Neff, 2009).

Pada konsep bela rasa, rasa kemanusiaan memiliki konstruk lawan berupa rasa pemisahan (separation). Setelah seseorang mampu melihat yang lain terpisah dari diri, adalah mungkin untuk mengorbankan respon welas asih kepada individu yang dalam sedang menderita. Dalam welas asih, jika seseorang melakukan ini untuk diri sendiri, individu yang memotong diri dari rasa kemanusiaan dan menjadi terisolasi. Dengan demikian, dalam welas asih, isolasi (isolation) adalah kebalikan dari kemanusiaan, tetapi dalam bela rasa dikonseptualisasikan dalam cara yang sedikit berbeda di mana keterpisahan dari orang lain menjadi hasilnya (Pommier, 2010).

c. Kewaskitaan vs Over-identifikasi

Menurut Neff (2009) kewaskitaan berarti memegang pikiran dan perasaan yang menyakitkan dalam

menyeimbangkannya dengan kesadaran daripada mengidentifikasikannya secara berlebih. Dalam terapi kognitif, melebih-lebihkan sesuatu adalah simptom buah pikir negatif yang mengantar individu menuju depresi. Dalam pemahaman di sini, yang perlu ditekankan adalah bahwa welas asih juga memerlukan pendekatan yang seimbang untuk emosi negatif sehingga perasaan tidak direpresi atau dibesar-besarkan. Sikap seimbang ini berasal dari proses yang berkaitan dengan pengalaman pribadi orang lain yang juga menderita, sehingga menempatkan situasi ke dalam perspektif yang lebih luas.

Hal tersebut juga berasal dari kehendak untuk mengamati pikiran negatif dan emosi dengan keterbukaan dan kejelasan, sehingga mereka mengada di kesadaran. Kewaskitaan adalah tidak menghakimi, keadaan pikiran reseptif di mana seseorang mengamati pikiran dan perasaan seperti mereka, tanpa berusaha untuk menekan atau menolak mereka. Seseorang tidak bisa mengabaikan rasa sakit dan merasa kasihan terhadapnya di saat yang sama. Pada saat yang sama, kewaskitaan mengharuskan seseorang untuk tidak melakukan “over-identifikasi” dengan pikiran dan perasaan, yang dengan mudah menghantarnya untuk terjebak dan hanyut oleh reaktivitas negatif (Neff, 2009).

Berkaitan dengan hal tersebut, komponen kewaskitaan dalam welas asih memiliki konstruk lawan berupa over-identifikasi.

Ketika seorang individu tidak waskita dalam situasi yang melibatkan diri, mereka kemungkinan melakukan over-identifikasi terhadap rasa sakit. Menyangkal penderitaan diri mengantar seseorang menjadi terlalu terlibat dengan rasa sakit. Dalam hal bela rasa, over-identifikasi terhadap penderitaan orang lain bukanlah yang seringkali terjadi. Akan jauh lebih mungkin untuk menolak atau melepaskan diri penderitaan maupun rasa sakit yang dialami orang lain (disengagement). Dengan demikian, konstruk lawan dari bela rasa adalah pelepasan dari liyan, sedangkan pada welas asih adalah over-identifikasi (Pommier, 2010).

Dari ketiga komponen inti, kewaskitaan memegang peranan lebih. Kewaskitaan mempengaruhi dua aspek yang lain. Dalam menghadapi pengalaman buruk, kewaskitaan dalam level tertentu dibutuhkan agar menimbulkan kebaikan dan rasa kemanusiaan. Jopling (2000) menemukan bahwa sikap melepas (tepatnya menerima atau menikmati) dalam kewaskitaan menurunkan kritisisme-diri dan memberi ruang lebar bagi pemahaman-diri, yang berarti meningkatkan kebaikan-diri. Demikian juga Elkind (1969) yang menemukan bahwa pengambilan-perspektif yang seimbang melawan egosentrisme yang menyebabkan rasa terisolir dan keterpisahan dari kemanusiaan, dengan demikian menciptakan rasa kesaling-terhubungan.

Dokumen terkait