V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.2 Komposisi dan Struktur Vegetasi
Analisis vegetasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengkaji struktur dan komunitas vegetasi yang dilakukan dengan membuat plot sampel. Analisis vegetasi dilakukan pada beberapa tipe habitat yakni habitat hutan pantai, hutan dataran rendah, dan hutan pasca terbakar. Hutan dataran rendah dibagi menjadi tiga kategori yakni hutan dataran rendah primer, sekunder, dan peralihan antara
keduanya. Hutan pasca terbakar merupakan areal vegetasi hasil suksesi sekunder yang didominasi oleh semak dan beberapa pohon. Beberapa peneliti antara lain MacKinnon dan Tarmudji (1980) dan Saroyo (2005) menyebutkan hutan pasca terbakar ini sebagai semak (scrub). Setiap plot sampel berukuran 20 m x 100 m. Pemilihan plot dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yakni lokasi tersebut pernah disinggahi oleh kelompok Macaca nigra yang diamati baik untuk makan atau lokasi pohon tidur. Jenis tanaman yang diidentifikasi dari kegiatan analisis vegetasi adalah sebanyak 57 jenis tumbuhan yang mencakup empat tingkat pertumbuhan yakni semai, pancang, tiang, dan pohon yang terdiri dari 29 Famili. Famili yang dominan adalah famili Anacardiaceae, Moraceae, Myrtaceae, Verbenaceae, dan Clusiaceae. Hasil analisis vegetasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Indeks nilai penting tertinggi setiap tipe habitat
Tipe Habitat Tingkat Pertumbuhan Nama Lokal Nama Ilmiah K (ind/ Ha) INP (%)
Hutan Pantai Pohon Kenanga Cananga odorata 40 56,04 Tiang Bitung Baringtonia asiatica 40 51,85 Pancang Manggis Garcinia sp. 640 29,04 Semai Salense Barringtonia acungulata 2500 49,04 Hutan
dataran rendah primer
Pohon Kenanga Cananga odorata 70 49,56 Tiang Maombi Artocarpus dadah 40 45,99 Pancang Salakapuk Polyalthia rumphii 1760 40,35 Semai Salakapuk Polyalthia rumphii 9500 51,21 Hutan
dataran rendah sekunder
Pohon Bintangar Kleinhovia hospital 30 51,70
Tiang Kayu
Bunga
Spathodea campanulata 100 94,15
Pancang Salense Barringtonia acungulata 3200 36,00 Semai Salense Barringtonia acungulata 25000 98,53 Hutan
dataran rendah peralihan
Pohon Coro Ficus variegate 60 39,88
Tiang Kayu
Bunga
Spathodea campanulata 40 57,09
Pancang Gora Syzigium sp. 6800 79,84 Semai Nantu Palaquium obtusifolium 3000 56,67 Hutan pasca
terbakar
Pohon Kayu
Bunga
Spathodea campanulata 100 139,82
Tiang Leleng Chlorodendron minahasae
40 96,94 Pancang Nantu Palaquium obtusifolium 720 50,00
Semai Gora Euginia sp. 4000 97,73
Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi vegetasi pada tiap habitat terdiri dari jenis tumbuhan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dari tiap tipe vegetasi. Indeks Nilai Penting (INP) tanaman tertinggi pada tingkat pertumbuhan pohon di tipe habitat hutan pantai dan hutan dataran rendah primer
adalah Kenanga (Cananga odorata) masing-masing sebesar 56,04% dan 49,56%. Tingginya nilai angka INP tumbuhan tersebut berkaitan dengan manfaat tumbuhan tersebut dalam mendukung kehidupan Macaca nigra. Selama dilakukan pengamatan, Macaca nigra sering dijumpai mengkonsumsi buah Kenanga. Fakta ini dapat juga membuktikan adanya peran satwa terhadap penyebaran biji.
Jika dilihat jenis tanaman yang memiliki INP tinggi di setiap tipe habitat, diketahui Kayu Bunga (Spathodea campanulata) cukup dominan tiga tipe habitat yakni hutan dataran rendah sekunder, dataran rendah peralihan, dan pasca terbakar. Kayu Bunga merupakan jenis pohon yang berasal dari Afrika Barat yang dikenal sebagai tumbuhan invasif yang dapat menginvasi daerah pertanian maupun hutan di daerah tropis (PIER, 2002 dalam ISSG, 2009). Di kepulauan Pasifik, jenis tanaman ini merupakan spesies yang menginvasi hutan. Spesies ini juga dinominasikan oleh Pasific Islands Ecosystem at Risk (PIER) sebagai 100 spesies yang paling menginvasi di dunia karena dampak ekologi dan ekonomi yang ditimbulkannya. Selain di hutan paca terbakar, Kayu Bunga di CA Tangkoko juga dijumpai di hutan dataran rendah peralihan dan hutan dataran rendah sekunder. Sampai saat ini, di CA Tangkoko belum ada dampak yang berarti dari keberadaan jenis ini, namun jika pesebarannya terus meluas dan terjadi invasi dipastikan akan berdampak terhadap aspek ekologis di CA Tangkoko serta mengancam kehidupan Macaca nigra.
Tabel 3 Nilai Indeks Similaritas (IS) tiap tipe habitat
Tipe Habitat HDP HDS Pembanding (%) HDPr H. Pantai HPT
HDP 14,81 43,10 25,58 7,40
HDS 26,17 28,57 38,89
HDPr 30,36 37,38
H. Pantai 23,38
HPT
Keterangan : HDP = Hutan Dataran Rendah Primer HDS = Hutan Dataran Rendah Sekunder HDPr = Hutan Dataran Rendah Peralihan HPT = Hutan Pasca Terbakar
Tabel 3 menunjukkan Indeks Similaritas (IS) terhadap lima tipe habitat. Setelah dilakukan perbandingan, diketahui bahwa tiap tipe habitat memiliki kesamaan komposisis jenis yang relatif kecil. Kesamaan terbesar yakni pada tipe habitat hutan dataran rendah primer-hutan dataran rendah peralihan dengan nilai IS 43,10%. Perbedaan komposisi habitat ditunjukkan oleh Indeks Disimilaritas
(ID) yang besarnya sama dengan 100 dikurangi nilai IS. Nilai ID paling besar ditunjukkan pada habitat hutan dataran rendah primer - pasca terbakar yakni sebesar 92,60%. Nilai ID di atas menunjukkan bahwa tipe habitat di CA Tangkoko memiliki perbedaan. Meskipun berbeda, semua tipe habitat tersebut dimanfaatkan oleh Macaca nigra karena setiap tipe habitat dengan karakteristiknya masing-masing dapat mendukung kehidupan Macaca nigra. Tabel 4 Nilai Indeks Keanekaragaman pada tiap tipe habitat
Tipe Habitat Tingkat Pertumbuhan Tanaman
Pohon Tiang Pancang Semai
Hutan dataran rendah primer
2,60 2,17 2,29 1,76
Hutan dataran rendah sekunder
2,26 1,58 2,41 1,18
Hutan dataran rendah peralihan
2,68 2,15 1,59 1,46
Hutan pantai 2,28 2,02 2,55 1,18
Hutan pasca terbakar 1,52 1,33 1,77 0,89
Tabel 4 menunjukkan keanekaragaman pohon paling banyak ditemui terdapat pada tipe habitat hutan dataran rendah peralihan yakni habitat yang merupakan peralihan antara habitat hutan dataran rendah yang masih baik kondisinya dengan habitat yang dekat dengan lokasi aktivitas manusia (sekunder). Hal ini sesuai dengan teori edge effect yang menyebutkan bahwa daerah tepi atau peralihan akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi karena memiliki tingkat pembatas yang lebih toleran. Setelah tipe habitat hutan dataran rendah peralihan nilai keanekaragaman terbesar secara berurutan dijumpai pada tipe habitat hutan dataran rendah primer, sekunder, pantai, dan pasca terbakar.
Nilai Indeks Keanekaragaman habitat hutan pasca terbakar (Gambar 4) pada semua tingkat pertumbuhan tanaman menunjukkan nilai yang terendah kecuali pada tingkat pancang. Hal ini dikaitkan bahwa habitat hutan pasca terbakar merupakan habitat yang merupakan hasil suksesi sekunder. Suksesi sekunder menurut Soerianegara dan Indrawan (2002) diakibatkan oleh kebakaran, perladangan, penggembalaan, dan kerusakan lainnya. Sampai saat ini, habitat ini masih terganggu oleh kebakaran serta penebangan secara illegal oleh masyarakat. Adanya kebakaran dan penebangan menyebabkan jumlah individu pohon berkurang yang pada akhirnya mengurangi jumlah jenis yang ada. Hutan pasca terbakar yang memiliki nilai keanekaragaman tanaman yang rendah, sedikit dimanfaatkan oleh Macaca nigra karena dengan sedikitnya jenis tanaman yang ada, maka potensi pakan yang terdapat di dalamnya rendah sehingga habitat ini tidak menyediakan akses makanan bagi Macaca nigra.
Ket : HDRP = Hutan Datarn Rendah Primer HDRPr = Hutan Dataran Rendah Peralihan HDRS = Hutan Dataran Rendah Sekunder HPT = Hutan Pasca Terbakar
Gambar 5 Persentase strata tajuk tiap tipe habitat.
Gambar 5 menunjukkan bahwa strata tajuk pada lokasi penelitian didominasi oleh strata tajuk C (4-20 m). Persentase strata tajuk C secara berturut-turut pada habitat hutan pantai, hutan dataran rendah primer, sekunder, peralihan dan pada hutan pasca terbakar adalah 95,12%, 54,90%, 94,44%, 30,99%, dan 100,00%. Perbedaan persentase strata tajuk pada setiap tipe habitat mempengaruhi
3.92 41.18 2.78 69.01 95.12 54.9 94.44 30.99 100 4.88 2.78 0 20 40 60 80 100 120 Hutan Pantai HDRP HDRS HDRPr HPT (% ) Tipe Habitat
Perbandingan Strata Tajuk pada Tiap Tipe Habitat
Strata Tajuk A Strata Tajuk B Strata Tajuk C Strata Tajuk D
banyak sedikitnya pemanfaatan tiap tipe habitat oleh Macaca nigra. Contohnya pada hutan pasca terbakar yang 100% terdiri dari strata tajuk C. Berdasarkan pengamatan, pemanfaatan tipe vegetasi ini oleh Macaca nigra hanya sedikit. Vegetasi ini hanya dijadikan penghubung atau jalan kelompok Macaca nigra menuju sumber pakan atau sumber air. Strata tajuk C pada vegetasi lain oleh Macaca nigra dimanfaatkan sebagai tempat bermain dan istirahat pada saat siang hari. Saat beristirahat pada malam hari, Macaca nigra tidur pada pohon yang memiliki strata tajuk A dan B. Strata tajuk A hanya dijumpai pada vegetasi hutan dataran rendah primer dengan ketinggian lebih dari 30 m. Pemanfaatan strata tajuk A dan B oleh Macaca nigra adalah untuk tidur dan berlindung. Dalam mencari makan, Macaca nigra tidak mempertimbangkan strata tajuk, tetapi tergantung dari jenis pakan. Macaca nigra memanfaatkan semua strata tajuk untuk mencari makan.
Lampiran 1 menunjukkan profil vegetasi pada setiap habitat Macaca nigra di CA Tangkoko yang menunjukkan ciri khas masing-masing tipe vegetasi. Habitat hutan dataran rendah primer memiliki struktur tajuk beragam, namun jumlah pohon sedikit karena tajuk yang besar menutupi tajuk yang lainnya dan dapat menghambat perkembangan pohon lain. Komposisi vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan peralihan memiliki tajuk beragam, namun hutan dataran rendah sekunder memiliki bukaan tajuk yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, habitat hutan dataran rendah primer dan hutan dataran rendah peralihan lebih dipilih Macaca nigra sebagai cover yang berfungsi tempat berlindung (pohon tidur) dan sumber pakan. Hutan pantai memiliki tajuk yang cukup rapat, namun tinggi pohon hanya berkisar pada strata B dan C. Komposisi vegetasi yang seperti ini menyebabkan tipe vegetasi hutan pantai kurang dimanfaatkan sebagi cover oleh Macaca nigra tetapi dimanfaatkan hanya untuk mencari pakan (pohon pakan). Hutan pasca terbakar memiliki bukaan tajuk paling tinggi dan jumlah pohon yang sedikit, oleh karena itu hutan pasca terbakar jarang digunakan oleh Macaca nigra.
5.1.3 Cover (Lindungan)
Cover menurut Alikodra (2002) didefinisikan sebagai tempat yang sering digunakan oleh satwaliar sebagi tempat berlindung dari ancaman dan berkembang biak. Salah satu komponen penting penyusun cover adalah struktur vegetasi dan
penutupan tajuk vegetasi. Persentase penutupan tajuk (Gambar 6) paling besar terdapat di habitat hutan dataran rendah peralihan yakni sebesar 97,51%, hutan pantai 99,85%, dan hutan dataran rendah primer 92,78%. Pengaruh penutupan tajuk terhadap Macaca nigra dapat dilihat dari pemanfaatan tipe habitat dalam pergerakan hariannya. Macaca nigra lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, mencari makan, dan beristirahat pada habitat yang memiliki persentase penutupan tajuk lebih lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan cover yang berfungsi sebagai pencegah pengeluaran energi yang berlebihan, melindungi diri dari cuaca, dan predator (Bolen dan Robinson, 2003). Selain itu, menurut Moen (1973) cover juga berfungsi untuk mempermudah dalam menangkap mangsa.
Gambar 6 Persentase penutupan tajuk tiap tipe habitat.
Pemanfaatan cover oleh Macaca nigra adalah untuk tidur, makan, dan beristirahat. Aktivitas tidur Macaca nigra dilakukan menjelang senja. Selama pengamatan, Macaca nigra dijumpai memilih pohon tidur pada semua habitat di atas kecuali habitat hutan pasca terbakar. Hal ini diakibatkan habitat hutan pasca terbakar tidak mendukung fungsi-fungsi cover yang dibutuhkan oleh satwa ini terutama tidak adanya naungan yang memadai. Padahal, naungan berperan besar untuk menyesuaikan diri terhadap temperatur. Kelompok Macaca nigra menempati beberapa pohon yang berdekatan sebagai pohon tidur.
92.78% 88.12% 97.51% 96.85% 40.73% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00% 120.00% (% ) Tipe Habitat
Persentase Penutupan Tajuk Setiap Tipe Habitat
Hutan Dataran Rendah Primer Hutan Hujan Dataran Rendah Sekunder Hutan Dataran Rendah Peralihan Pantai
Gambar 7 Pohon tidur – Coro (Ficus variegata).
Pohon tidur yang dipilih biasanya memiliki strata tajuk A dan B, serta memiliki diameter besar dan percabangan yang lebar. Hal ini sesuai dengan fungsi pohon tidur yakni sebagi tempat istirahat, melindungi dari predator serta dari cuaca serta dapat juga berfungsi sebagi pohon pakan. Contoh pohon yang digunakan adalah Dao (Dracontomelon dao) dan Coro (Ficus variegata)(Gambar 7). Pemilihan lokasi tidur Macaca nigra pada suatu pohon tidak terfokus pada bagian tajuk tertentu. Berdasarkan pengamatan, tempat yang dipilih untuk tidur adalah batang yang kokoh tanpa terfokus pada bagian tajuk bawah, tengah atau atas.
5.1.4 Ketersediaan Air
Air merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan satwaliar. Air memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kondisi satwaliar karena berperan dalam pencernaan makanan serta metabolisme (Alikodra, 2002). Macaca nigra memanfaatkan sumber air yang terdapat di sekitar habitat sebagai sumber air minum, mandi, mendinginkan suhu tubuh serta sebagai sarana bermain.
Berdasarkan hasil pengamatan serta wawancara dengan masyarakat setempat terdapat beberapa lokasi sumber air yang sering didatangi oleh Macaca
nigra dan dimanfaatkan oleh satwa ini. Sumber air ini yaitu Kali Bersih. Sungai Komorsot, Sungai Batu Putih, Sungai Kecil dan air terjun yang semuanya terletak di dalam kawasan TWA Batuputih dan CA Tangkoko. Secara umum sumber air tersebut memiliki kualitas air yang masih bagus. Hal ini dapat diindikasikan dengan nilai kecerahan yang tinggi yakni 100% serta pH air rata-rata adalah 7. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus pada musim kemarau. Hal ini menyebabkan jumlah debit air cukup kecil serta kedalaman sungai dangkal. Tabel 5 Karakteristik fisik sumber air
No Sumber Air Kecerahan (%) pH Kedalaman Rata-rata (cm) Lebar Rata-rata (m) Kecepatan Arus (m/s) Debit (m3/s) 1 Kali Bersih 100 7 7,33 2,00 2,50 0,37 2 Komorsot 100 6 5,33 1,25 0,14 0,01 3 Batu Putih 100 7 10,00 3,00 0,33 0,10 4 Sungai Kecil 100 8 8,33 2,50 0,10 0,02 5 Air Terjun 100 7 - - - -
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa Sungai Kali Bersih (Gambar 8) merupakan sungai yang memiliki debit air paling besar yakni 0,37 m3/detik. Selain dimanfaatkan oleh Macaca nigra, sungai ini merupakan sumber air yang digunakan masyarakat untuk menyuplai kebutuhan air sehari-hari dengan menyalurkan air dari bak penampungan melalui pipa hingga sampai ke rumah masyarakat desa Batuputih. Sungai Batu Putih (Gambar 9) merupakan sungai yang menjadi pembatas antara kawasan TWA Batuputih dan desa Batuputih.
Gambar 10 Pemanfaatan sumber air oleh M.nigra.
Hasil pengamatan terhadap empat kelompok Macaca nigra yang menunjukkan hanya satu kelompok saja yang memanfaatkan sumber air secara langsung yaitu kelompok Rambo II (Gambar 10). Jika dianalisis, hal ini diakibatkan perbedaan wilayah jelajah kelompok Rambo II. Kelompok Rambo II wilayah jelajahnya secara garis besar adalah hutan dataran rendah sekunder, hutan pasca terbakar, dan daerah dekat perkampungan masyarakat. Wilayah jelajah demikian memiliki ketertutupan tajuk yang kecil sehingga lebih banyak energi termal yang keluar saat melakukan pergerakan harian.
Kelompok Macaca nigra yang lain, yakni Rambo I, Rambo II, Rambo III, dan Pantai Batu yang mayoritas daerah jelajahnya adalah di areal hutan dataran rendah primer memanfaatkan genangan-genangan air yang terdapat pada lubang-lubang pohon dan celah antar banir sebagai sumber air minum. Selama pengamatan sering dijumpai Macaca nigra memasukkan kepalanya ke lubang atau celah banir dan meminum air yang terdapat pada lubang tersebut atau dengan menggunakan tangannya untuk mengambil air.