• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI MONYET HITAM SULAWESI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI MONYET HITAM SULAWESI"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI

MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra Desmarest, 1822)

PADA BEBERAPA TIPE HABITAT

DI CAGAR ALAM TANGKOKO, SULAWESI UTARA

SAFINAH SURYA HAKIM

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI

MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra Desmarest, 1822)

PADA BEBERAPA TIPE HABITAT

DI CAGAR ALAM TANGKOKO, SULAWESI UTARA

SAFINAH SURYA HAKIM

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(3)

RINGKASAN

SAFINAH SURYA HAKIM. Karakteristik Habitat dan Populasi Monyet

Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) pada Beberapa Tipe Habitat di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Dibimbing oleh : ABDUL HARIS

MUSTARI dan DONES RINALDI.

Penelitian dilakukan di Cagar Alam (CA) Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi Utara. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga September 2009. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengidentifikasi karakteristik habitat Macaca nigra yang mencakup aspek fisik, komposisi, struktur vegetasi, penutupan tajuk, ketersediaan air, pakan serta menduga populasi Macaca nigra di CA Tangkoko.

Analisis vegetasi yang dilakukan di beberapa tipe habitat yakni hutan pantai, dataran rendah primer, dataran rendah sekunder, dataran rendah peralihan, dan hutan pasca terbakar. Selama kegiatan analisis vegetasi, 57 jenis tumbuhan yang mencakup empat tingkat pertumbuhan yakni semai, pancang, tiang, dan pohon yang terdiri dari 29 famili teridentifikasi. Pengamatan populasi dilakukan dengan metode direct encounter. Selain itu dilakukan pula pengamatan terhadap struktur populasi kelompok.

Jenis pohon yang banyak dijumpai di lokasi penelitian adalah famili Anacardiaceae, Moraceae, Myrtaceae, Verbenaceae, dan Clusiaceae. Keanekaragaman pohon paling tinggi terdapat pada tipe habitat peralihan. Tiap tipe habitat memiliki persamaan komposisi yang relatif kecil. Kesamaan terbesar yakni pada tipe habitat hutan dataran rendah primer – hutan dataran rendah peralihan dengan nilai IS 43,10%. Strata tajuk pada lokasi penelitian didominasi oleh strata tajuk C (4-20 m). Strata tajuk paling kompleks yakni A, B, dan C dijumpai di hutan dataran rendah primer. Tutupan tajuk di lokasi penelitian secara umum cukup rapat dengan kerapatan > 85% kecuali pada hutan pasca terbakar yang memiliki nilai tutupan tajuk sebesar 40,73%. Macaca nigra lebih banyak menghabiskan waktu pada habitat dengan tutupan tajuk lebih besar. Pemanfaatan

cover oleh Macaca nigra adalah untuk berlindung, tidur, makan, dan beristirahat.

Diketahui terdapat lima sumber air di CA Tangkoko. Macaca nigra memanfaatkan sumber air yang terdapat di sekitar habitat sebagai sumber air minum, mandi, mendinginkan suhu tubuh serta sebagai sarana bermain. Ditemukan 19 jenis tumbuhan yang menjadi pakan Macaca nigra dan buah merupakan pakan utama.

Selama penelitian, ditemukan sembilan kelompok Macaca nigra di CA Tangkoko. Dari sembilan kelompok yang ditemui, dilakukan pengamatan populasi terhadap empat kelompok. Jumlah individu pada tiap kelompok berkisar antara 14 - 72 individu/kelompok. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh luasan penelitian sebesar 686.456 Ha dan total individu kelompok Rambo I, Rambo II, Rambo III, serta Pantai Batu adalah 221 individu sehingga diperoleh kepadatan kelompok adalah 0,58 kelompok/km2 kepadatan populasi adalah 32,2 ind/km2. Terdapat beberapa hal yang berpotensi mengancam kelestarian Macaca nigra yaitu kegiatan ekowisata, perburuan, kerusakan habitat.

(4)

SUMMARY

SAFINAH SURYA HAKIM. Habitat Characteristics and Population Size of

Black Crested Macaque (Macaca nigra Desmarest, 1822) in Several Habitat Types in Tangkoko Nature Reserve, North Sulawesi. Under Supervision of

ABDUL HARIS MUSTARI and DONES RINALDI.

This study was conducted in Tangkoko Nature Reserve Bitung-North Sulawesi from July to August 2009. The objectives of this study were to identify habitat characteristics of Macaca nigra including physical component, vegetation structure, canopy cover, water availability, food availability, and to assess the population size in Tangkoko Nature Reserve.

Vegetation analysis were made in five habitat types including beach forest, primary lowland forest, secondary lowland forest, transitional (ecotone) forest and burned forest. Fifty seven plant species from 29 families including seedling, sapling, pole, and tree were identified during this study. Population size was determined by direct encounter.

Trees from family Anacardiaceae, Moraceae, Myrtaceae, Verbenaceae, and Clusiaceae were dominant in study area. The highest Diversity Index was found in lowland transitional forest. Similarity Index shown that every habitat types had little similarity, the biggest similarity index was found between primary forest and transitional (43.10 %). Canopy stratum C (4 - 20 m) was dominant in the study area. The most complex canopy strata were found in primary forest which had canopy stratum A, B, and C. Canopy cover density in the study area was relatively high with more than 85 % except in burned forest with a canopy cover density of 40.73 %. Macaca nigra more active in location with higher canopy cover density than in areas that have less canopy cover density. The cover was used by Macaca nigra for concealment, sleeping, eating, and resting. Five water resources were recorded in Tangkoko Nature Reserve during this study.

Macaca nigra used these water resources as drink water sources, bathing places,

reducing heat, and as playground areas. Nineteenth plant species were recorded eaten by Macaca nigra and fruit was their primary diet.

During the study, nine groups of Macaca nigra were found. Four group (Rambo I, Rambo II, Rambo III, and Pantai Batu) intensively observed to know its population structure, sex ratio, and population size. Population size of these groups was 221 individuals. Based on the analysis with ArcView 3.3, the study site covering an area of 686.456 ha. Group size was 14 – 72 individuals/group. The group density was 0.58 groups/km2 and population density was 32.2 ind/km2. Ecotourism activities, hunting and habitat pressure (forest fire and Ilegal logging) are the main threats for Macaca nigra sustainability.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat dan Populasi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) pada Beberapa Tipe Habitat di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

Safinah Surya Hakim NRP. E34052443

(6)

Judul : Karakteristik Habitat dan Populasi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) pada Beberapa Tipe Habitat di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara

Nama : Safinah Surya Hakim

NRP : E34052443

Jurusan/Fakultas : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata/Kehutanan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir.Abdul Haris Mustari, MSc) ( Ir. Dones Rinaldi, MSc.F.Trop) NIP . 19651015 199103 1 003 NIP. 19610518 198803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB

(Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS) NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Karakteristik Habitat dan Populasi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) pada Beberapa Tipe Habitat di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2009 yang bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat Macaca nigra yang mencakup aspek fisik, komposisi, struktur vegetasi, penutupan tajuk, ketersediaan air, pakan serta menduga populasi Macaca nigra di CA Tangkoko.

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah data dan informasi mengenai karakteristik habitat dan populasi Macaca nigra di CA Tangkoko. Data dan informasi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kegiatan konservasi

Macaca nigra di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya. Harapan penulis, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Februari 2010

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya, pada tanggal 26 Juli 1987 sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara pasangan Nur Hakim dan (Alm) Masfuchatin. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bangil dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata serta minor Perlindungan Hutan.

Selama menuntut IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna IPB (UKM UKF-IPB) Divisi Primata dan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada tahun 2006-2008. Penulis juga memperoleh beberapa beasiswa yakni beasiswa Fakultas Kehutanan (2006), beasiswa Djarum (2007), dan beasiswa Yayasan Goodwill Internasional (2008-2009). Selain itu penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Kamojang-Sancang, Praktek Umum Konservasi Eksitu di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Taman Burung, Museum Serangga dan Taman Sringganis, serta melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Karakteristik Habitat dan Populasi Monyet Hitam

Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) pada Beberapa Tipe Habitat di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara” dibimbing oleh Dr. Ir. A. Haris

Mustari, M.Sc dan Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F.Trop.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Karakteristik Habitat dan Populasi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) pada Beberapa Tipe Habitat di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada orang-orang yang berperan dalam penyususnan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan pada :

1. Ayah, (Alm) Ibu, Mbak Nia, Mas Arief, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang serta dukungan moral dan materi kepada penulis hingga tugas akhir ini selesai

2. Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, bantuan, masukan, dan dorongan hingga penyelesaian tugas akhir ini dan Bapak Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F. Trop yang membimbing serta mengusahakan pendanaan penelitian ini.

3. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr; Dra. Sri Rahayu, M. Si; dan Ir. Iwan Hilwan, MS. selaku dosen penguji atas saran dan kritik dalam perbaikan karya tulis ini.

4. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara yang memberikan izin dan dukungan dalam kegiatan penelitian lapang.

5. Bapak Untung (Kepala BKSDA Sulut) dan Ibu Jane Onibala (UNSRAT) atas bimbingannya selama penulis di lapang.

6. Pengelola dan personil Cagar Alam Tangkoko dan Taman Wisata Alam Batu Putih yang telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian khususnya keluarga Jhonny Lengkey dan Tante Rits, Mas Adang, Tante Ace, Pak Tane serta masyarakat kelurahan Batuputih.

7. Mbak Nure, Mbak Arin, dan Mbak Nina atas kebaikannya memberikan tempat tinggal pada saat peneliti di Manado.

(10)

8. Peneliti dan asisten peneliti Macaca Nigra Project (Daphney, Nicole, Kak Maria, Bang Meldy, Bang Dedy, Bang Julian, Bang Ginting, Mbak Yandi, Bang Ade, Mbak Ira, dan Mas Ugi) atas fasilitas, kerjasama, dan persahabatan yang diberikan.

9. Pringgo Wibowo Putro atas semua semangat dan dukungan yang diberikan. 10. Keluarga besar KSHE 42 terutama Ephi, Jojo, Nina, Ipit, Armand, Ardi, Ineu,

Ai, Ino, dan lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan yang diberikan.

11. Keluarga besar UKM UKF IPB, terutama Wanya, Kak Heri, Citra, dan adik-adik di Divisi Primata atas pengalaman yang tak terlupakan.

12. Keluarga Besar Wisma Edelweis Atas dan Alcatraz (Trias, Mbak Mahar, Vani, Ita, Eka, Ina, Niez, Gita, Nonop, Veni) atas kekeluargaannnya.

Mohon maaf atas pihak-pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri.

Bogor, Februari 2010 Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi ... 3

2.2 Morfologi ... 3

2.3 Habitat dan Penyebaran ... 4

2.4 Pakan ... 5

2.5 Perilaku ... 5

2.6 Reproduksi ... 7

2.7 Populasi dan Status Konservasi ... 7

III. KONDISI UMUM 3.1 Sejarah dan Status Kawasan ... 8

3.2 Kondisi Fisik ... 8

3.3 Kondisi Biotik ... 9

3.4 Aksesibilitas ... 10

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

4.2 Alat dan Bahan ... 11

4.3 Data yang Dikumpulkan ... 12

(12)

4.5 Analisis Data ... 15

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Habitat ... 18

5.2 Ketersediaan Pakan ... 28

5.3 Populasi ... 31

5.4 Ancaman Terhadap Kelestarian Macaca nigra ... 37

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 41

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA……… ... 43

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 11

2. Jalur analisis vegetasi ... 13

3. Sketsa lokasi penelitian ... 18

4. Hutan pasca terbakar ... 22

5. Persentase strata tajuk tiap tipe habitat ... 23

6. Persentase penutupan tajuk tiap tipe habitat ... 25

7. Pohon tidur-Coro (Ficus variegata) ... 26

8. Sumber air Kali Bersih ... 27

9. Sungai Batu Putih ... 27

10. Pemanfaatan sumber air oleh Macaca nigra... 28

11. Buah pakan Macaca nigra (a ) Maombi (Artocarpus dadah), (b) Leu, (Dracontomelon mangiferum), (c) Coro (Ficus variegata) ... 31

12. Struktur umur kelompok (a) Rambo I (b) Rambo II (c) Rambo (III) (d) Pantai Batu ... 33

13. Peta titik perjumpaan kelompok liar ... 34

14. Peta areal pengamatan populasi ... 35

15. Perilaku menyimpang monyet Rambo II ... 38

16. Dudeso (jebakan) ... 39

17. M. nigra di kebun masyarakat... 39

(14)

iv

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Data klimatologi bulan Juli-Agustus 2009 ... 19

2. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi setiap tipe habitat ... 20

3. Indeks Similaritas (IS) tiap tipe habitat ... 21

4. Nilai Indeks Keanekaragaman pada tiap tipe habitat ... 22

5. Karakteristik fisik sumber air... 27

6. Daftar pakan Macaca nigra yang dijumpai selama penelitian ... 29

7. Jenis pohon pakan pada plot analisis vegetasi di tiap tipe habitat ... 30

8. Ukuran populasi Macaca nigra ... 32

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Profil vegetasi tiap tipe habitat ... 47

2. Analisis vegetasi hutan dataran rendah primer ... 50

3. Analisis vegetasi hutan dataran rendah sekunder ... 59

4. Analisis vegetasi hutan dataran rendah peralihan ... 67

5. Analisis vegetasi hutan pantai ... 75

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Marga Macaca merupakan salah satu jenis marga primata yang memiliki persebaran paling luas. Di seluruh dunia terdapat 20 jenis Macaca. Indonesia memiliki 11 jenis dan delapan diantaranya merupakan jenis yang endemik di kepulauan Sulawesi. Delapan jenis tersebut yakni Monyet Hitam Dare (Macaca

maura), Dihe (Macaca nigrescens), Dige (Macaca heckii), Boti (Macaca tonkeana), Hada (Macaca ochreata), Endoke (Macaca brunescens), Fonti

(Macaca togeanus), dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) (Nowak, 1999). Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu jenis

Macaca endemik Sulawesi yang penyebarannya terdapat di Sulawesi Utara.

Secara umum ciri Macaca nigra antara lain memiliki panjang tubuh 445-600 mm, ekor dengan panjang ± 20 mm, berat tubuh 7-15 kg, moncong yang menonjol jika dibandingkan jenis monyet Sulawesi lainnya, dan kepala memiliki jambul (Supriyatna dan Wahyono, 2000). Menurut IUCN, jenis ini merupakan jenis satwa yang critically endangered atau terancam punah. Degradasi habitat, perburuan, dan fragmentasi habitat, merupakan ancaman terbesar kelestarian jenis ini.

Beberapa penelitian mengenai Macaca nigra di Cagar Alam (CA) Tangkoko yang telah dilakukan, antara lain mengenai perilaku, pakan, dan pergerakan (Kinnaird dan O’Brien, 1997); perilaku sosial jantan dan hirarki dominan monyet hitam sulawesi (Reed et al., 1997); kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di pulau Bacan dan Sulawesi terkait dengan efek gangguan habitat serta perburuan (Rosenbaum et al., 1998); jelajah harian dan daerah jelajah monyet hitam sulawesi (Saroyo, et al 2004); analisis suara monyet hitam sulawesi (Kinnaird dan O’Brien, 1999), dan dominansi monyet hitam sulawesi (Saroyo, 2005). Namun, belum ada penelitian yang secara khusus menyajikan informasi mengenai habitat Macaca nigra, padahal habitat merupakan suatu hal mendasar yang harus diperhatikan dalam usaha kelestarian spesies ini terlebih lagi dengan adanya perubahan lingkungan yang cepat saat ini dan banyaknya kegiatan wisata di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih yang letaknya berdekatan dengan CA Tangkoko. Oleh sebab itu, penelitian mengenai karakteristik habitat serta populasi

(17)

perlu dilakukan untuk pengumpulan data terbaru dalam hal habitat dan populasi sehingga dapat dibuat suatu strategi pengelolaan yang lebih baik.

1.2 Tujuan

Penelitian dilakukan dengan tujuan :

1. Mengidentifikasi karakteristik habitat Macaca nigra yang mencakup aspek fisik, komposisi, struktur vegetasi, penutupan tajuk, dan ketersediaan air di CA Tangkoko.

2. Mengetahui jenis pakan Macaca nigra di CA Tangkoko pada beberapa tipe habitat.

3. Menduga populasi Macaca nigra di CA Tangkoko.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah data dan informasi mengenai karakteristik habitat dan populasi Macaca nigra di CA Tangkoko. Data dan informasi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan CA Tangkoko yang mendukung kelestarian Macaca nigra.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi

Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut delapan spesies merupakan endemik pulau Sulawesi yakni Macaca nigrescens, Macaca heckii, Macaca maura, Macaca brunescens, Macaca ochreata, Macaca tonkeana, Macaca ochreata dan Macaca nigra (Bercovitch dan Huffman, 1999). Klasifikasi Macaca nigra adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Keluarga : Cercopithecidae Marga : Macaca

Jenis : Macaca nigra Desmarest, 1822.

Nama Inggris : Celebes Crested Macaque, Black Crested Macaque Nama lokal : Yaki, Monyet Hitam Sulawesi

2.2. Morfologi

Macaca nigra memiliki ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan jenis monyet sulawesi lainnya. Panjang tubuh betina 445-550 mm, sedangkan jantan 520-570 mm (Rowe, 1996). Panjang ekor rata-rata 20 mm, dan berat tubuh antara 7 sampai 15 kg. Rambut menutupi seluruh tubuh berwarna sampai hitam kelam dengan bagian belakang dan paha berwarna lebih terang dibandingkan pada bagian lain. Wajahnya juga berwarna hitam dan tidak ditumbuhi rambut (Supriyatna dan Wahyono, 2000).

Macaca nigra memiliki moncong jauh lebih menonjol dibandingkan dengan monyet sulawesi lainnya. Kepala memiliki jambul, yang merupakan ciri khas dari monyet sulawesi lainnya. Betina dan juvenil memiliki warna yang sedikit pucat dibandingkan dengan jantan dewasa. Monyet ini memiliki bantalan tungging berbentuk seperti ginjal dan berwarna kuning (Supriyatna dan Wahyono, 2000).

(19)

Saroyo (2005) mengelompokkan Macaca nigra ke dalam beberapa kelompok umur yakni bayi, anak, remaja, dan dewasa. Ciri-ciri kelompok umur tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bayi (0-1 Tahun), mempunyai muka yang berwarna putih dan hal ini membedakan dengan kelompok umur yang lain. Rentang umur bayi adalah saat baru lahir, diasuh oleh induknya, sampai dengan masa sapih. Bayi jantan memiliki penis yang sangat panjang bila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya.

2. Anak, fase yang dimulai setelah bayi yang sebelum dewasa. Ditunjukkan dengan fase reproduksi yang belum matang. Ciri yang paling khas dari kelompok umur ini adalah kebiasaan bermain. Jenis kelamin dibedakan dengan melihat organ genital luarnya.

3. Remaja, ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh anak dan sedikit lebih kecil dibandingkan ukuran tubuh dewasa. Terdapat dimorfisme seksual pada ukuran tubuh yakni jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingakan betina. Jantan remaja memiliki warna tubuh yang sudah mulai menyerupai jantan dewasa yakni berwarna hitam terang pada bagian tangan dan bahu. Skrotum mulai membesar dan memisahkan diri dari kelompok anak tetapi belum bergabung dengan kelompok dewasa. Betina remaja ukurannya hampir sama dengan betina dewasa, namun pada betina remaja puting susu masih pendek dan berwarna putih.

4. Dewasa, ciri umum kelompok umur dewasa yakni pertumbuhan yang sudah penuh dan matang secara reproduksi. Jantan mencapai kedewasaan pada saat umur 7-8 tahun, sedangkan betina pada umur 5 tahun. Jantan dewasa memiliki ciri skrotum yang sudah membesar dan berwarna merah, sedangkan betina dewasa dicirikan dengan adanya estrus yang dapat dilihat dengan membengkaknya daerah ischial serta memiliki puting susu panjang, menggantung, dan berwarna merah muda.

2.3. Habitat dan Penyebaran

Marga Macaca merupakan marga dengan pesebaran yang paling luas saat ini dan merupakan marga dengan kemampuan adaptasi terhadap iklim serta

(20)

habitat yang paling paik dibandingkan dengan marga primata yang lain (Bercovitch dan Huffman, 1999). Macaca nigra dapat dijumpai pada hutan primer dan sekunder (Rowe, 1996). Macaca nigra lebih sering melakukan aktivitas di perkebunan masyarakat dan mengambil hasil panen perkebunan sehingga seringkali jenis ini dianggap sebagai hama perkebunan.

Macaca nigra dapat dijumpai di Sulawesi Utara antara lain di CA Dua Saudara, Pulau Bacan, Manembo Nembo, Kota Mobagu dan Modayak (Supriyatna dan Wahyono, 2000). Di CA Tangkoko, Macaca nigra dapat dijumpai di semua ketinggian (O’Brien dan Kinnaird, 1997).

2.4. Pakan

Marga Macaca adalah jenis hewan frugivor, dan memakan buah sebanyak

60-90% dari total konsumsi pakannya (Clutton-Brock dan Harvey 1977 dalam Bercovitch dan Huffman, 1999). Selain buah, monyet ini juga memakan daun, tunas, umbi, serangga, dan ulat (Rowe, 1996). Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997), pakan monyet ini terdiri lebih dari 145 jenis buah-buahan (66% dari total konsumsi), tumbuhan hijau (2,5%), invertebrata (31,5%), dan kadang-kadang memangsa satwa vertebrata yang lebih kecil. Beberapa jenis serangga yang dimakan monyet ini antara lain tawon, rayap, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang (Saroyo, 2002 dalam Saroyo, 2005). Di CA Tangkoko Macaca nigra sering ditemukan di tepi laut untuk mencari moluska sebagai salah satu sumber pakan (Supriyatna dan Wahyono 2000).

2.6. Perilaku

Macaca nigra merupakan primata dengan struktur sosial multimale-multifemale dengan perbandingan nisbah kelamin (sex ratio) 1 : 3,4 (Rowe, 1996). Grooming adalah perilaku sosial yang bersifat mendekatkan sedangkan untuk perebutan wilayah, pakan dan betina dilakukan dengan perkelahian yang seringkali memakan korban karena gigitan dari gigi taring jantan yang berukuran besar. Komunikasi antar individu dilakukan dengan bersuara dan beberapa mimik muka dan postur tubuh (Cawthon, 2006).

Menurut O’Brien dan Kinnaird (1997) terdapat lima kelas aktivitas harian yang dilakukan oleh Macaca nigra, yaitu

(21)

1) Moving : pergerakan, termasuk berjalan, berlari, memanjat dan melompat

2) Feeding : mendekatkan, memetik, menggerakkan, mengunyah atau menempatkan makanan di mulut

3) Foraging : bergerak perlahan dengan perhatian tertuju pada sumber pakan potensial atau menggerakkan substrat untuk mencari pakan

4) Resting : tubuh tidak bergerak, biasanya duduk atau berbaring, tidak terlibat dalam aktivitas sosial termasuk mengutu 5) Social : mengutu, bermain, noncopulatory mounting, kopulasi,

dan berkelahi.

Pergerakan dari Macaca nigra adalah menggunakan keempat anggota geraknya atau quadropedal, aktif di pagi sampai sore hari (diurnal), dan lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial) (Rowe, 1996). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dan Kinnaird di CA Tangkoko, Macaca nigra menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh (O’Brien dan Kinnaird, 1997).

Homerange dari Macaca nigra adalah 114-320 ha dengan jelajah harian mencapai 6000 meter (Rowe, 1996). Namun luasan homerange dan jelajah harian tersebut dapat berubah tergantung pada akses dari monyet tersebut terhadap hutan primer. Saat Macaca nigra mendapatkan akses terhadap hutan primer maka mereka menghabiskan sedikit waktu untuk bergerak karena mereka mendapatkan kelimpahan yang tinggi dari buah-buahan di wilayah tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa saat musim berbuah, jelajah harian Macaca nigra tidak terlalu jauh (Kinnaird & O'Brien, 2000 dalam Cawthon, 2006).

Betina menampakkan perilaku seksual yaitu pembengkakan (swellings) pada bantalan pantat (ischial callosities) dari merah muda menjadi merah. Dewasa kelamin pada betina adalah 49 bulan dengan siklus estrus 36 hari dan interval kelahiran 18 bulan (Rowe, 1996). Betina akan mengutu pada jantan lebih sering daripada jantan yang mengutu pada betina saat mereka berada pada masa birahi (Reed et al., 1997 dalam Cawthon, 2006). Pada jantan, perilaku seksual

(22)

ditunjukkan dengan sistem hirarki yang ditentukan dengan perkelahian. Jantan dominan akan mendapatkan sumberdaya dan perhatian dari betina lebih besar daripada jantan tidak dominan (Cawthon, 2006).

2.7. Reproduksi

Masa kehamilan Macaca nigra berkisar antara 170-190 hari dan jarak kelahiran 18 bulan. Persentase kematian bayi cukup besar yakni 21% (Rowe, 1996). Monyet ini dapat bertahan hidup hingga 26 tahun (Supriyatna dan Wahyono, 2000), tetapi Rowe (1996) menyatakan bahwa masa hidup jenis ini adalah 18 tahun.

2.8. Populasi dan Status Konservasi

Saat ini kepadatan Macaca nigra di alam diperkirakan 3 ind/km2, dan di CA Tangkoko kepadatannya diperkirakan sebesar 60 ind/km2 (Supriyatna dan Andayani, 2008). Macaca nigra berdasarakan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No.421/Kpts/um/8/1970, SK Menteri kehutanan 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/ 1991 dan undang-undang No.5 tahun 1990 dilindungi oleh pemerintah RI (Supriyatna dan Wahyono, 2000). Macaca nigra menurut IUCN termasuk dalam kategori Critically Endangered atau satwa hampir punah. Sedangkan menurut CITES Macaca nigra tergolong dalam daftar Appendix II. Masalah serius dalam pelestarian Macaca nigra adalah konversi habitat, fragmentasi, perburuan, bencana alam, faktor genetik, dan gangguan manusia.

Meningkatnya populasi manusia di wilayah Sulawesi utara menyebabkan kebutuhan terhadap lahan semakin tinggi yakni untuk kebutuhan pertanian dan perumahan, perkebunan, permintaaan hasil hutan menyebabkan dibukanya lahan yang awalnya merupakan habitat Macaca nigra. Macaca nigra juga dijadikan sebagai makanan tradisional dan digunakan sebagai makanan khas pada saat perayaan agama terutama pada saat natal. Macaca nigra juga dipandang sebagai hama yang merusak perkebunan dan dijual sebagai binatang peliharaan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya degradasi populasi Macaca nigra.

(23)

III. KONDISI UMUM

3.1 Sejarah dan Status Kawasan

Cagar Alam (CA) Tangkoko secara geografis terletak di ujung utara pulau Sulawesi. Batas CA Gunung Tangkoko Batuangus adalah Gunung Tangkoko, Gunung Batuangus, dan Gunung Dua Saudara dibagian utara, barat dan selatan serta pesisir pantai dibagian timur. CA Tangkoko Batuangus secara astronomi terletak pada 125°3’ - 125°15’ BT dan 1°30’ - 1°34’ LU dan secara administratif terletak di kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung.

CA Tangkoko ditetapkan pada tahun 1919 berdasarkan keputusan No. GB 21/2/1919 stbl. 90 dengan luas 4.446 hektar dan diperluas dengan penambahan dari CA Dua Saudara (4.299 hektar) pada tahun 1978 berdasarkan SK. Mentan No. 700/kpts/Um/11/78. Luas CA Gunung Tangkoko dan Dua Saudara adalah 8.745 hektar.

3.2 Kondisi Fisik

3.2.1 Tanah dan Geologi

Gunung Tangkoko dibentuk dari kegiatan vulkanik gunung berapi yang meletus pada tahun 1839 sehingga tanah di kawasan tersebut didominasi oleh tipe regosol dengan proporsi tanah abu granular di bagian permukaan tanah yang tinggi.

3.2.2 Topografi

Secara umum kawasan CA Tangkoko mempunyai topografi dari landai sampai bergunung, mulai dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan lumut. Kawasan ini mempunyai ketinggian dari 0 m dpl. sampai 1.351 m dpl. yaitu puncak Gunung Dua Saudara, dua puncak gunung lainnya yaitu Tangkoko (1.109 m dpl.) dan Batuangus (450 m dpl.).

3.2.3 Iklim

Berdasarkan Schmidt dan Ferguson CA Tangkoko mempunyai curah hujan 2.500 – 3.000 mm/tahun, temperatur rata-rata 20°C - 25°C dan termasuk ke dalam iklim tipe B.

(24)

3.3 Kondisi Biotik 3.3.1 Flora

Tipe vegetasi dominan adalah hutan hujan dataran rendah dengan jenis pohon dominan adalah Dracontomelum dao, Palaquium obovatum, Palaquium obtusifolium, Cananga odorata, Ficus variegata, Homalium celebicum, Tetrameles nudiflora, Planchonia valida, Gostampinus valetonii, jenis palem Livistona rotundifolia, Amorphophallus campanulatus, Leea rubra, Leea. indica, dan rotan Calamus sp.

Hutan hujan pegunungan yang terdapat di kawasan ini didominasi oleh vegetasi Beringin (Ficus spp), Aras (Duabanga moluccana), Nantu (Palaquim obtusifolium), sedangkan pada hutan lumut dapat ditemui Bunga Edelweis (Anaphalis javanicum) dan Kantong Semar (Nephentes gynamphoru). Tipe vegetasi hutan pantai didominasi oleh Calophyllum soulattri dan Barringtonia asiatica. Hutan sekunder didominasi oleh Casuarina equisetifolia dan juga terdapat padang alang-alang Imperata cylindrica (Tarmudji dan MacKinnon, 1980).

3.3.2 Fauna

Jenis mamalia yang terdapat di dalam cagar alam ini diantaranya adalah; Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra), Tangkasi (Tarsius spectrum), Kuskus Beruang (Phalanger ursinus), Kuskus Sulawesi (Phalanger celebensis), dan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis). Terdapat kurang lebih 140 jenis burung di CA Gunung Tangkoko – Dua Saudara diantaranya adalah Maleo (Macrocephalon maleo), Rangkong (Rhyticeros cassidix,), Megapodius freycinet, Meropogon forsteni, Coracias temminckii, dan Eurostopodus diabolicus.

Satwa reptil yang terdapat di CA Tangkoko antara lain beberapa jenis ular berbisa seperti viper (Trimeresurus wagleri), Kobra (Naja naja), King Kobra (Ophiophagus hannah), dan ular tidak berbisa yaitu ular sanca (Python reticulatus). Selain itu terdapat pula Hydrosaurus amboiensis, Varanus indicus, dan Draco sp.(Tarmudji dan MacKinnon, 1980).

(25)

3.4 Aksesibilitas

CA Tangkoko berjarak kurang lebih 60 km dari kota Manado dan 20 km dari Kodya Bitung. Dengan kendaraan roda empat dari Manado dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 120 menit sedang dan kota Bitung dapat ditempuh dalam waktu 70 menit. Dengan menggunakan kendaraan laut jenis perahu motor 2 x 40 PK, dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 90 menit dari pantai Bitung ke pantai Batuputih.

(26)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi Utara. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli - September 2009. Lokasi penelitian ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian.

4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Kompas 2. Meteran (30 m) 3. Meteran jahit 4. Tambang plastik 5. Tali Rafia 6. Penunjuk waktu 7. GPS 8. Termometer 9. Kalkulator 10. Alat tulis

11. Buku identifikasi pohon 12. Program ArcView 3.3 13. Kamera

(27)

Adapun bahan yang digunakan adalah peta rupa bumi, dan tally sheet pengamatan satwa dan vegetasi.

4.3 Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data yang berhubungan dengan karakteristik habitat Macaca nigra yaitu: aspek fisik, cover (jenis, komposisi, struktur vegetasi, penutupan tajuk, profil struktur vegetasi, dan kondisi di sekitar cover), ketersediaan air dan pakan yang dilakukan pada beberapa tipe habitat yang ada di CA Tangkoko. Habitat yang diamati adalah hutan pantai, hutan hujan dataran rendah yang masih bagus kondisinya (primer), rusak (sekunder), dan peralihannya serta hutan pasca terbakar. Parameter populasi yang dikumpulkan adalah ukuran populasi termasuk di dalamnya jenis kelamin dan struktur umur.

4.4 Metode Pengumpulan Data 4.4.1 Karakteristik Habitat

Habitat merupakan kawasan yang merupakan tempat tinggal satwaliar yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yakni fisik dan biologi yang antar satu dengan yang lainnya saling terkait (Alikodra, 2002). Habitat memiliki beberapa fungsi yakni penyedia makanan, air, dan perlindungan bagi satwaliar. Habitat berfungsi pula sebagai tempat berkembangbiak satwaliar.

Pengumpulan data mengenai karakteristik habitat meliputi aspek fisik, komposisi, struktur vegetasi, dan penutupan tajuk. Pengambilan data dilakukan dengan membuat jalur analisis vegetasi berdasarkan pada hasil pengamatan satwa, dimana jalur analisis vegetasi dibuat pada lokasi ditemukannnya Macaca nigra.

Data mengenai aspek fisik yang diambil adalah data mengenai curah hujan, suhu, kelembaban, serta topografi. Data komposisi, struktur vegetasi, dan penutupan tajuk diambil dengan melakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat plot untuk mengetahui kondisi vegetasi pada habitat Macaca nigra yang berbeda. Penempatan plot dilakukan pada areal ditemukannya Macaca nigra dan dianggap merupakan areal yang paling mewakili. Selain itu dibuat profil vegetasi pada masing-masing plot analisis vegetasi. Luas areal yang dibuat profil adalah 20 m x 20 m pada salah satu petak plot analisis vegetasi.

(28)

Tahapan kegiatan analisis vegetasi berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2002) meliputi :

a. Pembuatan titik-titik sampling sepanjang 100 m memotong kontur dengan menggunakan metode garis berpetak

b. Pembagian vegetasi hutan ke dalam tipe semai, pancang, tiang dan pohon. Setelah itu pengambilan data vegetasi hutan :

1. Semai, permudaan mulai dari kecambah sampai anakan dengan tinggi kurang dari 1,5 m, diamati pada petak berukuran 2 m x 2 m.

2. Pancang, permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm, diamati pada petak berukuran 5 m x 5 m.

3. Tiang, pohon muda diameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm, diamati pada petak berukuran 10 m x 10 m.

4. Pohon : pohon dewasa berdiameter 20 cm atau lebih, diamati pada petak berukuran 20 m x 20 m.

Plot jalur analisis vegetasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Jalur analisis vegetasi ( Soerianegara dan Indrawan, 2002). Data yang dicatat dalam pengamatan vegetasi terdiri atas: a) jenis tumbuhan, b) Jumlah individu setiap jenis. c) diameter setinggi dada (kurang lebih

Keterangan : A = Petak tingkat semai dan tumbuhan bawah (2 m x 2 m) B = Petak tingkat pancang (5 m x 5 m)

C = Petak tingkat tiang (10 m x 10 m) D = Petak tingkat pohon (20 m x 20 m) 10 m 10 m C D B A 100 m 20 m A D Lintasan Pengamatan B C

(29)

130 cm), d)tinggi bebas cabang, e) tinggi total, f) diameter tajuk, g) jarak antar tajuk, dan h) posisi pohon. Untuk vegetasi tingkat pertumbuhan semai dan pancang, pengamatan hanya dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan jumlah individu pada setiap jenis. Pengukuran dimensi diameter batang, tinggi bebas cabang, tinggi total, diameter tajuk dan jarak antar tajuk dilakukan terhadap vegetasi pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon.

Pengkategorian strata pohon yaitu strata A merupakan lapisan teratas yang terdiri dari pohon dengan tinggi 30 m keatas, strata B terdiri dari pohon dengan tinggi 20-30 m, strata C terdiri dari pohon dengan tinggi 4-20 m. Disamping ketiga strata tersebut, terdapat pula strata D yang merupakan semak belukar-perdu dengan tinggi 1- 4 m dan strata E yang merupakan lapisan tumbuhan penutup tanah.

Air merupakan salah satu komponen penting yang berperan dalam kehidupan satwaliar. Air berperan penting dalam pencernaan makanan serta metabolisme satwaliar termasuk di dalamnya Macaca nigra (Alikodra, 2002). Pengambilan data ketersediaan air dilakukan pada masing-masing lokasi ditemukannya Macaca nigra. Data yang diambil mencakup debit, kecerahan, pH, kondisi fisik sumber air dan peranannya dalam habitat Macaca nigra.

4.4.2 Pakan

Jenis-jenis pakan Macaca nigra dapat diketahui dengan beberapa metode yakni :

a. Pengamatan langsung, dengan melihat jenis tumbuhan maupun satwa yang dimakan oleh Macaca nigra.

b. Melihat renggutan atau sisa pakan yang telah dimakan oleh Macaca nigra Data pakan yang diambil adalah data jenis pakan, bagian yang dimakan, serta keterangan pendukung lainnya.

4.4.3 Populasi

Data mengenai populasi Macaca nigra dikumpulkan dengan menggunakan perjumpaan langsung (direct encounter). Hal ini dilakukan karena Macaca nigra merupakan jenis primata yang hidup berkelompok dan melakukan aktivitas secara bersama-sama. Pengamatan dilakukan di tempat kelompok

(30)

Macaca nigra sering berkumpul. Tempat-tempat tersebut biasanya berupa sumber air serta areal yang memiliki ketersediaan pakan yang tinggi. Metode ini pada dasarnya merupakan metode sensus karena pengamatan dilakukan terhadap semua individu dalam satu kelompok jenis satwa liar.

Tahapan dalam melakukan inventarisasi dengan menggunakan metode direct encounter adalah sebagai berikut:

a. Melakukan observasi lapangan dan mencari informasi kepada penduduk setempat ataupun petugas lapang mengenai lokasi-lokasi kelompok Macaca nigra.

b. Menentukan waktu dimulainya pengamatan dan berakhirnya pengamatan. Pengamatan dilakukan pada saat-saat aktivitas Macaca nigra tinggi yakni pada pagi dan sore hari.

c. Memperkirakan luas areal pengamatan d. Menghitung populasi Macaca nigra

Data populasi yang diambil adalah jumlah individu, jenis kelamin individu, dan struktur umur. Berdasarkan struktur umurnya, Macaca nigra dibagi menjadi empat kelas umur yakni bayi anak, remaja, dan dewasa (Saroyo, 2005).

Pengamatan dilakukan dengan pengulangan untuk meminimalisasi kesalahan dalam penghitungan populasi ataupun kesalahan dalam identifikasi individu kelompok. Selain itu, dilakukan pula pencirian jantan dominan sehingga dapat dibedakan kelompok satu dengan yang lain. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga sampai lima kali pada setiap kelompok Macaca nigra dan dilakukan pada saat satwa melakukan pergerakan pendek dan pada saat kelompok berkumpul satu berbaris. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan efisensi waktu dan tenaga dalam pengambilan data. Pengamatan dilakukan oleh dua pengamat pada sudut pandang yang berbeda pada saat yang bersamaan.

4.5 Analisis Data

4.5.1 Karakteristik Habitat

Data hasil pengamatan tumbuhan yang dikumpulkan dari lapangan digunakan untuk menghitung frekuensi, kerapatan, dominasi, dan indeks nilai penting suatu jenis vegetasi. Nilai-nilai tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk nilai mutlak maupun nilai relatif dengan persamaan sebagai berikut :

(31)

INP (Indeks Nilai Penting) = KR + DR+ FR (pohon dan tiang) INP (Indeks Nilai Penting) = KR + FR (semai dan pancang)

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan dapat menggunakan persamaan indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener yaitu:

dimana, pi = ni /N

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener Ni = jumlah individu atau nilai penting jenis ke-i N = total individu atau nilai penting seluruh jenis

Kesamaan komposisi tiap tipe vegetasi dihitung dengan Index of Similarity (IS) dengan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :

IS = Indeks Kesamaan Komunitas

W = Jumlah nilai yang sama dan nilai yang terendah dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan

a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama

(32)

Selain dilakukan analisis kesamaan komunitas pada tiap habitat, dilakukan pula analisis perbedaan komunitas yang dihitung dengan Indeks Disimilaritas ( ID) dengan persamaan sebagi berikut :

ID = 100 – IS

Dalam analisis data kerapatan cover disajikan melalui gambar diagram profil vegetasi. Data yang dianalisis adalah data yang berasal dari data analisis vegetasi. Data ketersediaan air yang akan diambil adalah debit, kecerahan, dan pH air. Menurut Arsyad (2006) debit air dapat diketahui dengan persamaan berikut ini:

Q = A x V Keterangan :

Q = Debit Air A = luas penampang sungai (m2) A = p x l p = kedalaman rata-rata (m)

l = lebar sungai (m) V= Kecepatan rata-rata arus air (m/s)

Sedangkan tingkat kecerahan air dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut : Kecerahan air =

2 L2 L1

x 100 %

L1 = jarak seechi disc masih terlihat L2 = jarak seechi disc sudah tidak terlihat

4.5.2 Pakan

Hasil analisis jenis pakan Macaca nigra disajikan dalam bentuk tabel. dan selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif.

4.5.3 Ukuran Populasi

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui kepadatan populasi dan ukuran populasi Macaca nigra adalah dengan tabel dan grafik mengenai ukuran populasi. Jumlah keseluruhan populasi yang diamati diperoleh dengan menjumlahkan seluruh hasil pengamatan. Untuk mengetahui luas areal pengamatan dilakukan dengan analisis program Arcview 3.3 dengan menghubungkan garis terluar wilayah pengamatan. Kepadatan populasi dilakukan dengan membagi jumlah individu yang tercatat selama pengamatan dibagi dengan luas areal pengamatan. Data populasi terutama yang terkait dengan nisbah kelamin serta struktur populasi disajikan dalam bentuk grafik ataupun tabulasi.

(33)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Habitat

Habitat secara sederhana diartikan sebagai tempat makhluk hidup tinggal (Moen, 1973). Habitat satwaliar memiliki fungsi sebagai penyedia pakan, air dan cover (pelindung) yang berperan penting dalam kehidupan satwa liar (Alikodra, 2002). Secara umum, Macaca nigra dapat hidup pada berbagai tipe habitat di CA Tangkoko yakni habitat hutan pantai, hutan dataran rendah (primer, sekunder, dan peralihan) serta hutan pasca terbakar. Macaca nigra dapat hidup pada habitat tersebut karena habitat tersebut dengan karakteristiknya masing-masing mampu memenuhi kebutuhan satwa tersebut baik dari segi pakan, air dan cover. Gambaran sederhana mengenai lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Sketsa lokasi penelitian.

5.1.1 Aspek Fisik

Penelitian dilakukan pada bulan Juli-September yang merupakan musim kemarau. Suhu rata-rata selama penelitian adalah 23,1-27,7°C. Hujan sangat jarang terjadi, kalaupun ada hanya gerimis yang memiliki durasi yang sangat singkat. Kecepatan angin rata-rata 2,8 knot pada bulan Juli dan 3,0 knot pada bulan Agustus. Data klimatologi secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Pos II

Pos I Pos III

Hutan Dataran Rendah Sekunder

dan Hutan Pasca Terbakar Hutan Dataran Rendah Sekunder Primer Hutan Pantai D e s a Hutan Dataran RendahPrimer Primer

(34)

Tabel 1 Data klimatologi bulan Juli-Agustus 2009

Bulan Temperatur Rata-rata (°C)

Curah Hujan (mm) Kecepatan Angin Rata-Rata (Knot)

Juli 27,7 66,4 mm /14 hari hujan 2,8 Agustus (1-25) 23,1 21,7 mm/6 Hari hujan 3,0

Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Maritim Bitung Tanah di lokasi penelitian merupakan tanah jenis Regosol yang terdiri dari pasir dan unsur-unsur abu (Tarmudji dan MacKinnon, 1980). Hal ini dikarenakan Gunung Tangkoko merupakan gunung berapi muda yang baru saja terbentuk. Menurut Hardjowigeno (2003) jenis tanah Regosol merupakan jenis tanah yang 60% berupa pasir. Topografi di lokasi penelitian tergolong datar hingga sangat curam. Topografi menurut Moen (1973) memiliki peran penting dalam ekosistem. Topografi mempengaruhi banyak sedikitnya cahaya yang masuk ke suatu tempat yang berpengaruh pada pertumbuhan vegetasi setempat yang berpengaruh terhadap kehidupan Macaca nigra.

Berdasarkan hasil pengamatan, tampak adanya pengaruh komponen fisik terhadap Macaca nigra contohnya pada pengaruh curah hujan dan pengaruh kecepatan angin. Curah hujan mempengaruhi pergerakan harian Macaca nigra, pada saat hujan Macaca nigra lebih banyak berada di atas pohon dalam waktu yang lama. Hal ini sangat berbeda dengan pergerakan hariannya pada saat tidak hujan dimana Macaca nigra banyak menghabiskan waktunya di tanah dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mendapatkan makanan. Pengaruh kecepatan angin tidak tampak pada pergerakan harian. Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan peneliti lain disebutkan bahwa angin yang kencang pernah menyebabkan kematian pada bayi akibat terlepas dari induknya dan terjatuh dari pohon. Kematian bayi akibat tertimpa cabang pohon terjadi juga pada saat penelitian Saroyo (2005).

5.1.2 Komposisi dan Struktur Vegetasi

Analisis vegetasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengkaji struktur dan komunitas vegetasi yang dilakukan dengan membuat plot sampel. Analisis vegetasi dilakukan pada beberapa tipe habitat yakni habitat hutan pantai, hutan dataran rendah, dan hutan pasca terbakar. Hutan dataran rendah dibagi menjadi tiga kategori yakni hutan dataran rendah primer, sekunder, dan peralihan antara

(35)

keduanya. Hutan pasca terbakar merupakan areal vegetasi hasil suksesi sekunder yang didominasi oleh semak dan beberapa pohon. Beberapa peneliti antara lain MacKinnon dan Tarmudji (1980) dan Saroyo (2005) menyebutkan hutan pasca terbakar ini sebagai semak (scrub). Setiap plot sampel berukuran 20 m x 100 m. Pemilihan plot dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yakni lokasi tersebut pernah disinggahi oleh kelompok Macaca nigra yang diamati baik untuk makan atau lokasi pohon tidur. Jenis tanaman yang diidentifikasi dari kegiatan analisis vegetasi adalah sebanyak 57 jenis tumbuhan yang mencakup empat tingkat pertumbuhan yakni semai, pancang, tiang, dan pohon yang terdiri dari 29 Famili. Famili yang dominan adalah famili Anacardiaceae, Moraceae, Myrtaceae, Verbenaceae, dan Clusiaceae. Hasil analisis vegetasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Indeks nilai penting tertinggi setiap tipe habitat

Tipe Habitat Tingkat Pertumbuhan Nama Lokal Nama Ilmiah K (ind/ Ha) INP (%)

Hutan Pantai Pohon Kenanga Cananga odorata 40 56,04 Tiang Bitung Baringtonia asiatica 40 51,85 Pancang Manggis Garcinia sp. 640 29,04 Semai Salense Barringtonia acungulata 2500 49,04 Hutan

dataran rendah primer

Pohon Kenanga Cananga odorata 70 49,56 Tiang Maombi Artocarpus dadah 40 45,99 Pancang Salakapuk Polyalthia rumphii 1760 40,35 Semai Salakapuk Polyalthia rumphii 9500 51,21 Hutan

dataran rendah sekunder

Pohon Bintangar Kleinhovia hospital 30 51,70

Tiang Kayu

Bunga

Spathodea campanulata 100 94,15

Pancang Salense Barringtonia acungulata 3200 36,00 Semai Salense Barringtonia acungulata 25000 98,53 Hutan

dataran rendah peralihan

Pohon Coro Ficus variegate 60 39,88

Tiang Kayu

Bunga

Spathodea campanulata 40 57,09

Pancang Gora Syzigium sp. 6800 79,84 Semai Nantu Palaquium obtusifolium 3000 56,67 Hutan pasca

terbakar

Pohon Kayu

Bunga

Spathodea campanulata 100 139,82

Tiang Leleng Chlorodendron minahasae

40 96,94 Pancang Nantu Palaquium obtusifolium 720 50,00

Semai Gora Euginia sp. 4000 97,73

Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi vegetasi pada tiap habitat terdiri dari jenis tumbuhan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dari tiap tipe vegetasi. Indeks Nilai Penting (INP) tanaman tertinggi pada tingkat pertumbuhan pohon di tipe habitat hutan pantai dan hutan dataran rendah primer

(36)

adalah Kenanga (Cananga odorata) masing-masing sebesar 56,04% dan 49,56%. Tingginya nilai angka INP tumbuhan tersebut berkaitan dengan manfaat tumbuhan tersebut dalam mendukung kehidupan Macaca nigra. Selama dilakukan pengamatan, Macaca nigra sering dijumpai mengkonsumsi buah Kenanga. Fakta ini dapat juga membuktikan adanya peran satwa terhadap penyebaran biji.

Jika dilihat jenis tanaman yang memiliki INP tinggi di setiap tipe habitat, diketahui Kayu Bunga (Spathodea campanulata) cukup dominan tiga tipe habitat yakni hutan dataran rendah sekunder, dataran rendah peralihan, dan pasca terbakar. Kayu Bunga merupakan jenis pohon yang berasal dari Afrika Barat yang dikenal sebagai tumbuhan invasif yang dapat menginvasi daerah pertanian maupun hutan di daerah tropis (PIER, 2002 dalam ISSG, 2009). Di kepulauan Pasifik, jenis tanaman ini merupakan spesies yang menginvasi hutan. Spesies ini juga dinominasikan oleh Pasific Islands Ecosystem at Risk (PIER) sebagai 100 spesies yang paling menginvasi di dunia karena dampak ekologi dan ekonomi yang ditimbulkannya. Selain di hutan paca terbakar, Kayu Bunga di CA Tangkoko juga dijumpai di hutan dataran rendah peralihan dan hutan dataran rendah sekunder. Sampai saat ini, di CA Tangkoko belum ada dampak yang berarti dari keberadaan jenis ini, namun jika pesebarannya terus meluas dan terjadi invasi dipastikan akan berdampak terhadap aspek ekologis di CA Tangkoko serta mengancam kehidupan Macaca nigra.

Tabel 3 Nilai Indeks Similaritas (IS) tiap tipe habitat

Tipe Habitat HDP HDS Pembanding (%) HDPr H. Pantai HPT

HDP 14,81 43,10 25,58 7,40

HDS 26,17 28,57 38,89

HDPr 30,36 37,38

H. Pantai 23,38

HPT

Keterangan : HDP = Hutan Dataran Rendah Primer HDS = Hutan Dataran Rendah Sekunder HDPr = Hutan Dataran Rendah Peralihan HPT = Hutan Pasca Terbakar

Tabel 3 menunjukkan Indeks Similaritas (IS) terhadap lima tipe habitat. Setelah dilakukan perbandingan, diketahui bahwa tiap tipe habitat memiliki kesamaan komposisis jenis yang relatif kecil. Kesamaan terbesar yakni pada tipe habitat hutan dataran rendah primer-hutan dataran rendah peralihan dengan nilai IS 43,10%. Perbedaan komposisi habitat ditunjukkan oleh Indeks Disimilaritas

(37)

(ID) yang besarnya sama dengan 100 dikurangi nilai IS. Nilai ID paling besar ditunjukkan pada habitat hutan dataran rendah primer - pasca terbakar yakni sebesar 92,60%. Nilai ID di atas menunjukkan bahwa tipe habitat di CA Tangkoko memiliki perbedaan. Meskipun berbeda, semua tipe habitat tersebut dimanfaatkan oleh Macaca nigra karena setiap tipe habitat dengan karakteristiknya masing-masing dapat mendukung kehidupan Macaca nigra. Tabel 4 Nilai Indeks Keanekaragaman pada tiap tipe habitat

Tipe Habitat Tingkat Pertumbuhan Tanaman

Pohon Tiang Pancang Semai

Hutan dataran rendah primer

2,60 2,17 2,29 1,76

Hutan dataran rendah sekunder

2,26 1,58 2,41 1,18

Hutan dataran rendah peralihan

2,68 2,15 1,59 1,46

Hutan pantai 2,28 2,02 2,55 1,18

Hutan pasca terbakar 1,52 1,33 1,77 0,89

Tabel 4 menunjukkan keanekaragaman pohon paling banyak ditemui terdapat pada tipe habitat hutan dataran rendah peralihan yakni habitat yang merupakan peralihan antara habitat hutan dataran rendah yang masih baik kondisinya dengan habitat yang dekat dengan lokasi aktivitas manusia (sekunder). Hal ini sesuai dengan teori edge effect yang menyebutkan bahwa daerah tepi atau peralihan akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi karena memiliki tingkat pembatas yang lebih toleran. Setelah tipe habitat hutan dataran rendah peralihan nilai keanekaragaman terbesar secara berurutan dijumpai pada tipe habitat hutan dataran rendah primer, sekunder, pantai, dan pasca terbakar.

(38)

Nilai Indeks Keanekaragaman habitat hutan pasca terbakar (Gambar 4) pada semua tingkat pertumbuhan tanaman menunjukkan nilai yang terendah kecuali pada tingkat pancang. Hal ini dikaitkan bahwa habitat hutan pasca terbakar merupakan habitat yang merupakan hasil suksesi sekunder. Suksesi sekunder menurut Soerianegara dan Indrawan (2002) diakibatkan oleh kebakaran, perladangan, penggembalaan, dan kerusakan lainnya. Sampai saat ini, habitat ini masih terganggu oleh kebakaran serta penebangan secara illegal oleh masyarakat. Adanya kebakaran dan penebangan menyebabkan jumlah individu pohon berkurang yang pada akhirnya mengurangi jumlah jenis yang ada. Hutan pasca terbakar yang memiliki nilai keanekaragaman tanaman yang rendah, sedikit dimanfaatkan oleh Macaca nigra karena dengan sedikitnya jenis tanaman yang ada, maka potensi pakan yang terdapat di dalamnya rendah sehingga habitat ini tidak menyediakan akses makanan bagi Macaca nigra.

Ket : HDRP = Hutan Datarn Rendah Primer HDRPr = Hutan Dataran Rendah Peralihan HDRS = Hutan Dataran Rendah Sekunder HPT = Hutan Pasca Terbakar

Gambar 5 Persentase strata tajuk tiap tipe habitat.

Gambar 5 menunjukkan bahwa strata tajuk pada lokasi penelitian didominasi oleh strata tajuk C (4-20 m). Persentase strata tajuk C secara berturut-turut pada habitat hutan pantai, hutan dataran rendah primer, sekunder, peralihan dan pada hutan pasca terbakar adalah 95,12%, 54,90%, 94,44%, 30,99%, dan 100,00%. Perbedaan persentase strata tajuk pada setiap tipe habitat mempengaruhi

3.92 41.18 2.78 69.01 95.12 54.9 94.44 30.99 100 4.88 2.78 0 20 40 60 80 100 120 Hutan Pantai HDRP HDRS HDRPr HPT (% ) Tipe Habitat

Perbandingan Strata Tajuk pada Tiap Tipe Habitat

Strata Tajuk A Strata Tajuk B Strata Tajuk C Strata Tajuk D

(39)

banyak sedikitnya pemanfaatan tiap tipe habitat oleh Macaca nigra. Contohnya pada hutan pasca terbakar yang 100% terdiri dari strata tajuk C. Berdasarkan pengamatan, pemanfaatan tipe vegetasi ini oleh Macaca nigra hanya sedikit. Vegetasi ini hanya dijadikan penghubung atau jalan kelompok Macaca nigra menuju sumber pakan atau sumber air. Strata tajuk C pada vegetasi lain oleh Macaca nigra dimanfaatkan sebagai tempat bermain dan istirahat pada saat siang hari. Saat beristirahat pada malam hari, Macaca nigra tidur pada pohon yang memiliki strata tajuk A dan B. Strata tajuk A hanya dijumpai pada vegetasi hutan dataran rendah primer dengan ketinggian lebih dari 30 m. Pemanfaatan strata tajuk A dan B oleh Macaca nigra adalah untuk tidur dan berlindung. Dalam mencari makan, Macaca nigra tidak mempertimbangkan strata tajuk, tetapi tergantung dari jenis pakan. Macaca nigra memanfaatkan semua strata tajuk untuk mencari makan.

Lampiran 1 menunjukkan profil vegetasi pada setiap habitat Macaca nigra di CA Tangkoko yang menunjukkan ciri khas masing-masing tipe vegetasi. Habitat hutan dataran rendah primer memiliki struktur tajuk beragam, namun jumlah pohon sedikit karena tajuk yang besar menutupi tajuk yang lainnya dan dapat menghambat perkembangan pohon lain. Komposisi vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan peralihan memiliki tajuk beragam, namun hutan dataran rendah sekunder memiliki bukaan tajuk yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, habitat hutan dataran rendah primer dan hutan dataran rendah peralihan lebih dipilih Macaca nigra sebagai cover yang berfungsi tempat berlindung (pohon tidur) dan sumber pakan. Hutan pantai memiliki tajuk yang cukup rapat, namun tinggi pohon hanya berkisar pada strata B dan C. Komposisi vegetasi yang seperti ini menyebabkan tipe vegetasi hutan pantai kurang dimanfaatkan sebagi cover oleh Macaca nigra tetapi dimanfaatkan hanya untuk mencari pakan (pohon pakan). Hutan pasca terbakar memiliki bukaan tajuk paling tinggi dan jumlah pohon yang sedikit, oleh karena itu hutan pasca terbakar jarang digunakan oleh Macaca nigra.

5.1.3 Cover (Lindungan)

Cover menurut Alikodra (2002) didefinisikan sebagai tempat yang sering digunakan oleh satwaliar sebagi tempat berlindung dari ancaman dan berkembang biak. Salah satu komponen penting penyusun cover adalah struktur vegetasi dan

(40)

penutupan tajuk vegetasi. Persentase penutupan tajuk (Gambar 6) paling besar terdapat di habitat hutan dataran rendah peralihan yakni sebesar 97,51%, hutan pantai 99,85%, dan hutan dataran rendah primer 92,78%. Pengaruh penutupan tajuk terhadap Macaca nigra dapat dilihat dari pemanfaatan tipe habitat dalam pergerakan hariannya. Macaca nigra lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain, mencari makan, dan beristirahat pada habitat yang memiliki persentase penutupan tajuk lebih lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan cover yang berfungsi sebagai pencegah pengeluaran energi yang berlebihan, melindungi diri dari cuaca, dan predator (Bolen dan Robinson, 2003). Selain itu, menurut Moen (1973) cover juga berfungsi untuk mempermudah dalam menangkap mangsa.

Gambar 6 Persentase penutupan tajuk tiap tipe habitat.

Pemanfaatan cover oleh Macaca nigra adalah untuk tidur, makan, dan beristirahat. Aktivitas tidur Macaca nigra dilakukan menjelang senja. Selama pengamatan, Macaca nigra dijumpai memilih pohon tidur pada semua habitat di atas kecuali habitat hutan pasca terbakar. Hal ini diakibatkan habitat hutan pasca terbakar tidak mendukung fungsi-fungsi cover yang dibutuhkan oleh satwa ini terutama tidak adanya naungan yang memadai. Padahal, naungan berperan besar untuk menyesuaikan diri terhadap temperatur. Kelompok Macaca nigra menempati beberapa pohon yang berdekatan sebagai pohon tidur.

92.78% 88.12% 97.51% 96.85% 40.73% 0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00% 100.00% 120.00% (% ) Tipe Habitat

Persentase Penutupan Tajuk Setiap Tipe Habitat

Hutan Dataran Rendah Primer Hutan Hujan Dataran Rendah Sekunder Hutan Dataran Rendah Peralihan Pantai

(41)

Gambar 7 Pohon tidur – Coro (Ficus variegata).

Pohon tidur yang dipilih biasanya memiliki strata tajuk A dan B, serta memiliki diameter besar dan percabangan yang lebar. Hal ini sesuai dengan fungsi pohon tidur yakni sebagi tempat istirahat, melindungi dari predator serta dari cuaca serta dapat juga berfungsi sebagi pohon pakan. Contoh pohon yang digunakan adalah Dao (Dracontomelon dao) dan Coro (Ficus variegata)(Gambar 7). Pemilihan lokasi tidur Macaca nigra pada suatu pohon tidak terfokus pada bagian tajuk tertentu. Berdasarkan pengamatan, tempat yang dipilih untuk tidur adalah batang yang kokoh tanpa terfokus pada bagian tajuk bawah, tengah atau atas.

5.1.4 Ketersediaan Air

Air merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan satwaliar. Air memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kondisi satwaliar karena berperan dalam pencernaan makanan serta metabolisme (Alikodra, 2002). Macaca nigra memanfaatkan sumber air yang terdapat di sekitar habitat sebagai sumber air minum, mandi, mendinginkan suhu tubuh serta sebagai sarana bermain.

Berdasarkan hasil pengamatan serta wawancara dengan masyarakat setempat terdapat beberapa lokasi sumber air yang sering didatangi oleh Macaca

(42)

nigra dan dimanfaatkan oleh satwa ini. Sumber air ini yaitu Kali Bersih. Sungai Komorsot, Sungai Batu Putih, Sungai Kecil dan air terjun yang semuanya terletak di dalam kawasan TWA Batuputih dan CA Tangkoko. Secara umum sumber air tersebut memiliki kualitas air yang masih bagus. Hal ini dapat diindikasikan dengan nilai kecerahan yang tinggi yakni 100% serta pH air rata-rata adalah 7. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus pada musim kemarau. Hal ini menyebabkan jumlah debit air cukup kecil serta kedalaman sungai dangkal. Tabel 5 Karakteristik fisik sumber air

No Sumber Air Kecerahan (%) pH Kedalaman Rata-rata (cm) Lebar Rata-rata (m) Kecepatan Arus (m/s) Debit (m3/s) 1 Kali Bersih 100 7 7,33 2,00 2,50 0,37 2 Komorsot 100 6 5,33 1,25 0,14 0,01 3 Batu Putih 100 7 10,00 3,00 0,33 0,10 4 Sungai Kecil 100 8 8,33 2,50 0,10 0,02 5 Air Terjun 100 7 - - - -

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa Sungai Kali Bersih (Gambar 8) merupakan sungai yang memiliki debit air paling besar yakni 0,37 m3/detik. Selain dimanfaatkan oleh Macaca nigra, sungai ini merupakan sumber air yang digunakan masyarakat untuk menyuplai kebutuhan air sehari-hari dengan menyalurkan air dari bak penampungan melalui pipa hingga sampai ke rumah masyarakat desa Batuputih. Sungai Batu Putih (Gambar 9) merupakan sungai yang menjadi pembatas antara kawasan TWA Batuputih dan desa Batuputih.

(43)

Gambar 10 Pemanfaatan sumber air oleh M.nigra.

Hasil pengamatan terhadap empat kelompok Macaca nigra yang menunjukkan hanya satu kelompok saja yang memanfaatkan sumber air secara langsung yaitu kelompok Rambo II (Gambar 10). Jika dianalisis, hal ini diakibatkan perbedaan wilayah jelajah kelompok Rambo II. Kelompok Rambo II wilayah jelajahnya secara garis besar adalah hutan dataran rendah sekunder, hutan pasca terbakar, dan daerah dekat perkampungan masyarakat. Wilayah jelajah demikian memiliki ketertutupan tajuk yang kecil sehingga lebih banyak energi termal yang keluar saat melakukan pergerakan harian.

Kelompok Macaca nigra yang lain, yakni Rambo I, Rambo II, Rambo III, dan Pantai Batu yang mayoritas daerah jelajahnya adalah di areal hutan dataran rendah primer memanfaatkan genangan-genangan air yang terdapat pada lubang-lubang pohon dan celah antar banir sebagai sumber air minum. Selama pengamatan sering dijumpai Macaca nigra memasukkan kepalanya ke lubang atau celah banir dan meminum air yang terdapat pada lubang tersebut atau dengan menggunakan tangannya untuk mengambil air.

5.2 Ketersediaan Pakan

Macaca nigra merupakan satwa frugivora yakni satwa yang menjadikan buah-buahan sebagai konsumsi utama. Menurut penelitian O’Brien dan Kinnaird (1997) satwa ini mengkonsumsi 145 jenis buah-buahan (66,0 %), tumbuhan hijau (2,5 %), dan invertebrata (31,5 %). Pakan Macaca nigra ditentukan oleh musim berbuah. Pengamatan pakan dilakukan pada bulan Juli-Agustus yang merupakan musim kemarau sehingga tidak banyak pohon yang berbuah. Daftar pakan Macaca nigra yang diamati langsung selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
Gambar 2 Jalur analisis vegetasi ( Soerianegara dan Indrawan, 2002).
Tabel 1 Data klimatologi bulan Juli-Agustus 2009
Tabel 2 Indeks nilai penting tertinggi setiap tipe habitat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun parameter-parameter yang dikalibrasi ditentukan berdasarkan ketentuan Tabel 3 dan hasil simulasi yang dilakukan dengan nilai awal parameter dari IFAS (tanpa

Berikan informasi tambahan tentang pupuk organik dan anorganik (seperti yang terdapat dalam bahan bacaan, untuk melengkapi hasil diskusi dari kelompok) dan kaitannya

Dalam industri angklung ancaman akan pendatang baru adalah tinggi. Hal ini disebabkan karena para pengrajin sudah ahli membuat angklung dan mudah mendapat suntikan dana

[r]

Dari diagram tersebut di atas terlihat bahwa sebagian besar yakni 74 orang (64%) responden meyakini bahwa alasan dari penyamaan besaran PTKP bagi anak baik yang memperoleh

Status sosial ekonomi (SSE) yang terdiri dari pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan secara bersama- sama memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap persepsi

1) tindakan rasional-instrumental ; yakni tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan; dalam hal ini actor memperhitungkan