• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM UMUM KEHUTANAN (PUK)

N/A
N/A
Konicare

Academic year: 2024

Membagikan "LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM UMUM KEHUTANAN (PUK) "

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM UMUM KEHUTANAN (PUK)

TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN DAN DESA TANJUNGAN

KELOMPOK 2

PROGRAM STUDI REKAYASA KEHUTANAN JURUSAN TEKNOLOGI PRODUKSI DAN INDUSTRI

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA

(2)

Praktikum Umum Kehutanan (PUK)

Ekosistem Hutan Dataran Rendah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Ekosistem Hutan Mangrove dan Hutan Pantai di Desa

Tanjungan,

Kecamatan Pematang Sawa, Kabupaten Tanggamus, Lampung

Kelompok 2:

Alfred Aldora Dhuha 120420097

Eka Suryani Sianturi 120420018

Fanny Lorensa 120420021

Lamtongam Simatupang 120420072

Muhammad Akmal Halid 120420070

Muhammad Hilmi Fakhrudin Utsman 120420075

Naza Nur Fatnia 120420014

Risa Meilansa Sijabat 120420010

Sherina Ratna Novia Dewi 120420038

PROGRAM STUDI REKAYASA KEHUTANAN JURUSAN TEKNOLOGI PRODUKSI DAN INDUSTRI INSTITUT

TEKNOLOGI SUMATERA

2022

(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Tujuan Kegiatan ... 3

1.3. Manfaat Kegiatan ... 3

II. METODE ... 5

2.1. Waktu dan Tempat Kegiatan ... 5

2.2. Bahan Kegiatan ... 6

2.3. Alat Kegiatan ... 6

2.4. Prosedur Kegiatan ... 8

2.4.1. Analisis Vegetasi Hutan ... 8

2.4.2. Pendugaan Simpanan Karbon ... 10

2.4.3. Keanekaragaman Jenis Satwa Liar... 11

2.4.4. Potensi dan Analisis Hasil Hutan Bukan Kayu ... 12

III. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

3.1. Tanah dan Iklim ... 14

3.2. Analisis Vegetasi ... 14

3.3. Satwa Liar ... 15

3.4. Hasil Hutan Bukan Kayu ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1. Analisis Vegetasi Hutan ... 17

4.1.1. Hutan Dataran Rendah ... 17

4.1.2. Hutan Mangrove... 23

4.1.3. Hutan Pantai ... 27

4.2. Pendugaan Simpanan Karbon... 33

4.3. Keanekaragaman Jenis Satwa Liar ... 34

4.3.1. MAMALIA ... 34

(4)

4.3.2. AVES ... 36

4.3.3. HERPETOFAUNA ... 41

4.4. Potensi dan Analisis Hasil Hutan Bukan Kayu ... 46

4.4.1. HHBK Hutan Dataran Rendah ... 46

4.4.2. HHBK Hutan Mangrove ... 47

4.4.3. HHBK Hutan Pantai ... 48

V. KESIMPULAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

LAMPIRAN ... 55

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Lokasi Praktikum Umum Kehutanan ... 6

Gambar 2 Ilustrasi Jalur Plot Petak ... 9

Gambar 3 Ilutrasi Metode Pengamatan ... 11

Gambar 4 Grafik H', R, E Hutan Dataran Rendah ... 22

Gambar 5 Grafik H', R, E Hutan Mangrove ... 26

Gambar 6 Grafik Nilai H', R, E Hutan Pantai ... 31

Gambar 7 Grafik Pendugaan Simpanan Karbon ... 33

Gambar 8 Grafik H', R, E Mamalia ... 35

Gambar 9 Grafik H', R, E Mamalia per Jalur ... 36

Gambar 10 Nilai H', R, E Aves per Jalur ... 37

Gambar 11 Grafik Nilai H', R, E Nilai TNBBS ... 37

Gambar 13 Guild feedings di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ... 40

Gambar 12 Penggunaan Habitat Burung Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ... 40

Gambar 14 Grafik Nilai H', R, E Amfibi ... 43

Gambar 15 Grafik Nilai H', R, E per Jalur ... 43

Gambar 16 Grafik Nilai H', R, E Reptil ... 45

Gambar 17 Grafik Nilai H', R, E per Jalur ... 46

(6)

DAFTAR TABEL

Table 1 Hasil pengamatan tanah hutan dataran rendah ... 17

Table 2 Hasil pengamatan iklim hutan dataran rendah ... 20

Table 3 Jumlah spesies dan individu setiap habitus ... 21

Table 4 INP dan H' setiap habitus ... 21

Table 5 Hasil pengamatan tanah hutan mangrove ... 23

Table 6 Hasil pengamatan iklim hutan mangrove... 24

Table 7 Jumlah spesies dan individu setiap habitus ... 25

Table 8 INP dan H' setiap habitus ... 25

Table 9 Hasil pengamatan tanah ekosistem hutan pantai... 27

Table 10 Hasil pengamatan iklim hutan pantai ... 29

Table 11 Jumlah spesies dan individu tiap habitus ... 31

Table 12 INP dan H' tiap habitus ... 31

Table 13 Pendugaan simpanan karbon tiap ekosistem ... 33

Table 14 Daftar jenis mamalia ... 35

Table 15 Daftar Jenis Aves ... 38

Table 16 Jenis Spesies Amfibi ... 42

Table 17 Jenis Spesies Reptil ... 44

Table 18 Hasil Uji Organoleptik ... 47

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Dokumentasi Pengambilan Sampel Tanah Hutan Dataran Rendah ... 55

Lampiran 2 Dokumentasi Pengambilan Sampel Iklim Hutan Dataran Rendah ... 55

Lampiran 3 Dokumentasi Pengambilan Sampel Iklim Hutan Dataran Rendah ... 55

Lampiran 4 Dokumentasi Analasis Vegetasi Hutan Dataran Rendah ... 56

Lampiran 5 Dokumentasi Analasis Vegetasi Hutan Dataran Rendah ... 56

Lampiran 6 Dokumentasi Analasis Vegetasi Hutan Dataran Rendah ... 56

Lampiran 7 Dokumentasi Analisis Vegetasi Hutan Mangrove... 56

Lampiran 8 Dokumentasi Analisis Vegetasi Hutan Mangrove... 56

Lampiran 9 Dokumentasi Pengamatan Aves ... 56

Lampiran 10 Dokumentasi Pengamatan Aves ... 56

Lampiran 11 Dokumentasi Pengamatan Mamalia ... 56

Lampiran 12 Dokumentasi Pengamatan Mamalia ... 56

Lampiran 13 Dokumentasi Pengamatan Herpetofauna ... 56

Lampiran 14 Dokumentasi Pengamatan Herpetofauna ... 56

Lampiran 15 Dokumentasi Pengamatan Herpetofauna ... 56

Lampiran 16 Dokumentasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)... 56

Lampiran 17 Dokumentasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)... 56

Lampiran 18 Dokumentasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)... 56

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena selalu memberkati dan memberikan karunia kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan praktikum umum kehutanan dengan judul

“Laporan Praktikum Umum Kehutanan”. Penulisan yang dilakukan tentunya tidak lepas lepas dari bantuan serta bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang yang terlibat serta dalam penyelesaian praktikum umum kehutanan ini:

1. Ibu Khoryfatul Munawaroh, M.Si. selaku ketua pelaksana serta pembimbing selama kegiatan praktikum umum kehutanan yang telah memberikan pengetahuan baru selama penulis melakukan praktikum.

2. Ibu Nurika Arum Sari, S.Hut, M.Sc. selaku pembimbing selama kegiatan praktikum umum kehutanan yang telah memberikan pengetahuan yang baru selama penulis melakukan praktikum.

3. Ibu Rahma Nur Komariah, S.Hut., M.Si. selaku pembimbing selama kegiatan praktikum umum kehutanan yang telah memberikan pengetahuan yang baru selama penulis melakukan praktikum.

4. Bapak Rio Ardiansyah Murda, S.Hut., M.Si. selaku pembimbing selama kegiatan praktikum umum kehutanan yang telah memberikan pengetahuan yang baru selama penulis melakukan praktikum.

5. Bapak Mhd Muhajir Hasibuan, S.Hut., M.Si. selaku pembimbing lapangan praktikum umum kehutanan yang memberikan banyak pengetahuan baru tentang Teknik dan Inventarisasi Satwa Liar.

6. Bapak Achmad Chalid Afif Alfajrin, M.Ling. selaku pembimbing selama kegiatan praktikum umum kehutanan yang telah memberikan pengetahuan yang baru selama penulis melakukan praktikum.

7. Bapak Andreas Kusuma, S.Hut. selaku laboran yang sudah membantu kami melengkapi alat-alat praktikum untuk jalannya praktikum serta selaku pembimbing lapangan praktikum umum kehutanan yang telah memberikan

(9)

pengetahuan yang baru selama penulis melakukan praktikum.

8. Seluruh dosen Rekayasa Kehutanan Institut Teknologi Sumatera yang telah memberikan ilmu serta pengalaman yang luar biasa.

9. Abang dan kakak seluruh asisten praktikum yang telah banyak membantu serta memberikan pengarahan selama kegiatan praktikum umum kehutanan.

10. Plt. Kepala Balai Besar TNBBS Bapak Ismanto, S.Hut.,M.P. selaku Pihak pengelola Resort Sukaraja atas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada seluruh praktikan untuk melaksanakan kegiatan praktikum umum kehutanan.

11. Seluruh Tim Polisi Hutan yang telah banyak membantu selama kegiatan praktikum umum kehutanan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

12. Bapak Asmawan Priyadi yang telah bersedia memberikan tempat bagi seluruh peserta kegiatan praktikum umum kehutanan selama di Pekon Tanjungan.

13. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang tentunya juga berperan besar selama kegiatan praktikum umum kehutanan ini. Banyak terima kasih penulis ucapkan atas peran kalian sehingga kegiatan praktikum umum kehutanan ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa laporan praktikum umum kehutanan yang disusun ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik serta saran akan sangat diterima guna perbaikan dalam penulisan yang akan dilakukan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga laporan praktikum umum kehutanan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak

Lampung Selatan, 28 November 2022

Kelompok 2

(10)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Pulau Sumatera menjadi salah satu pulau terbesar yang menjadikan kawasan hutan dengan jumlah ekoregion yang paling beragam di dunia. Keanekaragaman flora dan fauna di pulau tersebut sangat beragam hal tersebut disebabkan oleh faktor geografis sumberdaya hutannya yang terletak disekitar garis khatulistiwa dan tersebar di pulau sumatera. Keanekaraman tersebut berbeda-beda disetiap daerah (Sutoyo, 2010). Formasi ekosistem yang ada di Pulau Sumatera diantaranya yaitu hutan pantai, hutan mangrove, hutan dataran rendah dan lain sebagainya. Hutan mangrove merupakan hutan yang mampu menjaga garis pantai dimana komunitas vegetasi tersebut hidup dalam kawasan lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Indonesia memiliki luas hutan mangrove sebesar 27% dan 75% dari total luas mangrove di Asia Tenggara dengan totoal 120 juta hektar hutan mangrove yang tersebar di seluruh Indonesia, dan penyebaran hutan mangrove tersebut salah satunya terdapat di pulau sumatera (Putra, 2014). Keberagaman jenis hutan mangrove memiliki berbagai manfaat baik dari segi ekologi sosial dan terutama dari segi ekonomi sehingga hutan mangrove memiliki potensi yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Soleha, 2020).

Tak hanya ekosistem hutan mangrove saja yang terdapat di pulau Sumatera.

Ekosistem hutan pantai juga merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang berada di pulau Sumatera. Kawasan pesisir pantai / lahan kering merupakan area yang sangat mendukung untuk dijadikan tempat tumbuh dan menyebaranya vegetasi ekosistem hutan pantai ini. Vegetasi pada hutan pantai biasanya beradaptasi dengan kondisi pantai yang ada. Dapat ditemukan tumbuhan menjalar (semai) yang tumbuh rapat atau renggang menutupi pasir pantai di atas garis pasang tertinggi di area ekosistem hutan pantai. Selain itu juga biasanya terdapat jenis tumbuhan semak belukar dan pepohonan. Hutan Pantai memiliki fungsi yang tentunya tak kalah vital dari tipe ekosistem hutan lainnya. Selain melindungi pantai dari abrasi, hutan pantai juga berfungsi dalam proteksi intrusi air laut dan sebagai habitat beragam fauna di kawasan pantai tersebut (Onrizal dan C. Kusmana, 2014).

Tak hanya sampai disitu saja, hutan pantai juga memiliki peran yang besar dalam meredam hempasan gelombang tsunami, mencegah terjadinya abrasi pantai, melindungi ekosistem darat dari terpaan angin, pemanasan global, penghasil bahan baku industri kosmetik, biodiesel, obat-obatan serta sebagai penghasil bioenergi (Tuheteru., Danu, F., dan Mahfudz, 2012).

Ekosistem hutan dataran rendah juga mempunyai peranan penting bagi konservasi keanekaragaman hayati karena banyak spesies tersebar pada ekosistem ini (Lu et all, 2010). Khususnya pulau Sumatera yang mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang begitu tinggi. Ekosistem hutan dataran rendah merupakan hutan yang memiliki struktur vegetasi yang sangat kompleks serta beragam.

Biasanya diameter pohon di ekosistem ini memiliki diameter pohon yang dapat lebih dari satu meter dengan tinggi pohon yang dapat mencapai 70 meter. Selain

(11)

itu juga, lantai hutan dataran rendah akan penuh dengan anakan pohon dan benih tanaman serta batang pohon yang banyak ditumbuhi epipit. Hutan dataran rendah adalah salah satu jenis tegakan yang perlu diteliti struktur dan komposisisnya dikarenakan areal ekosistem pada adataran rendah memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan banyak mengalami degradasi karena dekatnya pemukiman masyarakat sehingga rentan kehilangan sumberdaya genetika.

Perbedaan lokasi dan komposisi kimia tanah dari masing-masing ekosistem tentunya akan memegang peranan penting dalam menentukan sifat-sifat tanah pada umummnya dan tentunya akan mempengaruhi kesuburan tanah pada khusunya.

Selain itu bahan organik pada tanah memiliki peranan penting terhadap kesuburan tumbuhan baik secara fisika, kimia maupun biologi. Hampir dari setengah kapasitas tukar kation (KTK) berasal dari bahan organik. Kemampuan tanah tanah untuk menahan kation-kation dan dapat melakukan pertukaran kation-kation tersebut.

Tanah dengan KTK yang tinggi mampu menyerap seta meneydiakan unsur hara pada tanah yang lebih baik daripada tanah dengan KTK yang rendah (Hardjowigeno S. , 2007). Dalam hal ini, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi KTK tanah seperti Reaksi tanah (pH), tekstur tanah, kandungan bahan organic pada tanah serta tindakan dalam pengelolaanya. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam proses pelapukan fisika dan kimia tanah adalah iklim, terutama suhu dan curah hujan yang akan sangat mempengaruhi jumlah nitrogen dan bahan organic di dalam tanah dari masing-masing ekosistem hutan. Selain itu kelembapan tanah juga akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi dan minetalisasi bahan organik pada tanah.

Kondisi alam pada tiap-tiap tipe ekosistem hutan terutama pada hal kondisi iklim yang tentunya berbeda akan berpengaruh besar terhadap kondisi satwa-satwa liar. Dapat dikatakan bahwa satwa liar termasuk golongan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sesuai dengan prinsip strategi konservasi dunia, maka progam pengelolaan satwa liar di Indonesia juga mencakup aspek perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Upaya perlindungan dan pelestarian satwa liar di Indonesia masih mengalami hambatan terutama terhadap peraturan perundangan, kesadaran dan presepsi masyarakat terhadap bidang konservasi, dan pengelolaan satwa liar. Setiap spesies tentunya mempunyai perilaku yang berbeda yang disebabkan faktor seperti genetik, lingkungan hsbitat serta peran dari manusia (G.

D. Winarno , 2018). Beberapa jenis satwa biasanya memiliki mekanisme ekosistem hutan yang berbeda dalam menghadapi keadaan lingkungan yang berubah secara temporal. Adanya aktivitas atau pembangunan disekitar habitatnya dapat mempengaruhi kehidupan satwa lair sehingga pada hal ini akan terjadi perubahan lingkungan pada habitat satwa yang dapat menyebabkan adanya pergerakan satwa (transmigrasi satwa) untuk menghindar dari hal tersebut yang tentunya juga akan mempengaruhi populasi dari satwa tersebut.

Mayoritas orang berpikir bahwa kayu merupakan satu-satunya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara luas.

Tetapi dalam hal lain, hutan juga memiliki fungsi pokok melalui sumberdaya hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan serta dikelola dengan izin usaha. Potensi hasil hutan bukan kayu cukup beragam dan salah satunya yang telah dimanfaatkan oleh

(12)

banyak masyarakat adalah madu. Madu merupakan hasil hutan bukan kayu yang termasuk kedalam golongan hewani yang berasal dari hewan yaitu lebah madu (Sihombing, 2005). Usaha budidaya lebah madu merupakan usaha untuk memelihara dan mengambil manfaat yang semaksimal mungkin. Potensi dan sifat lebah dapat menunjang kepentingan masyarakat sekitar hutan dengan memperhatikan aspek kelestariannya. Tujuan utama petani lebah melakukan budidaya lebah madu adalah untuk memenuhi kebutuhan individu yaitu untuk konsumsi pribadi serta tentunya madu yang dihasilkan juga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi yang dihasilkan melalui budidaya lebah madu (Adalina, 2011).

1.2. Tujuan Kegiatan

Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan PUK ini adalah agar mahasiswa:

1. Mengenali dan menganalisis tipe-tipe ekosistem hutan beserta komponen-komponen penyusunnya;

2. Mengidentifikasi dan mengukur parameter dari komponen ekosistem di setiap tipe hutan yang dikunjungi;

3. Menjelaskan perilaku, interaksi, proses-proses, peranan dan fungsi setiap tipe ekosistem hutan bagi kehidupan;

4. Menduga potensi simpanan karbon pada beberapa tipe ekosistem hutan;

5. Kenaekaragaman dan identifikasi satwa liar pada beberapa tipe ekosistem hutan;

6. Menganalisis dan menggali potensi hasil hutan bukan kayu pada beberapa tipe ekosistem hutan.

1.3. Manfaat Kegiatan

Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya kegiatan Praktikum Umum Kehutanan ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai Analisis Vegetasi dan Keanekaragaman Flora dan Fauna di Hutan Dataran Rendah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Hutan Mangrove, dan Hutan Pantai di (Pematang Sawa, Desa Tanjungan).

2. Memberikan informasi ilmiah mengenai sifat fisik tanah dan kimia tanah di 3 lokasi dan ekosistem yang berbeda.

3. Memberikan informasi ilmiah mengenai klimatologi seperti nilai dry- wet temperature dan persentase relative humidity di 3 lokasi dan

(13)

ekosistem yang berbeda.

4. Memberikan informasi ilmiah mengenai biomassa dan pendugaaan simpanan karbon di 3 lokasi dan ekosistem yang berbeda.

5. Mendapatkan data yang bisa digunakan untuk bahan penelitian.

(14)

II. METODE

2.1. Waktu dan Tempat Kegiatan

Waktu pelaksanaan kegiatan Praktikum Umum Kehutanan ini dilaksanakan pada tanggal 16 November-27 November 2022. Lokasi praktikum terletak di 3 lokasi berbeda dengan ekosistem yang berbeda. Lokasi tersebut berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Hutan Mangrove Tanjungan, dan Hutan Pantai Pulau Naga.

Kegiatan analisis vegetasi hutan dilakukan pada 3 tipe ekosistem Hutan yang berbeda yaitu pada tipe ekosistem Hutan Dataran Rendah, Hutan Mangrove,

& Hutan Pantai. Analisis vegetasi pada ekosistem Hutan dataran rendah dilakukan pada hari Kamis s/d Sabtu tanggal 17 – 19 November 2022 di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sedangkan, kegiatan analisis vegetasi ekosistem Hutan Mangrove dilakukan pada hari Rabu, 23 November 2022 di Pematang Sawa, Tanjungan. Untuk kegiatan analisis vegetasi ekosistem Hutan Pantai dilakukan pada hari Kamis, 24 November 2022 di Pulau Naga.

Pengamatan satwa liar dilakukan pada 3 tipe ekosistem hutan yang berbeda yaitu di tipe ekosistem hutan dataran rendah, mangrove, dan juga pantai.

Pengamatan satwa liar yang dilakukan pada eksositem hutan dataran rendah dilakukan di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada hari Minggu dan Senin tanggl 20 dan 21 November 2022. Namun pada hal ini, pengamatan pada setiap taksa yang berbeda dilakukan di jalur yang berbeda-beda sesuai dengam lokasi yang sudah ditentukan. Pengamatan satwa liar taksa aves dan mamalia dilakukan sebanyak 2 kali perulangan setiap harinya pada pagi hari (pukul 07.00 – 09.00) dan sore hari (pukul 16.00 – 18.00). Sedangkan pengamatan satwa liar taksa herpetofauna dilakukan sebanyak 1 kali perulangan setiap harinya pada malam hari pukul 19.00 – 21.00.

Pengamatan satwa liar yang dilakukan pada ekosistem tipe mangrove dilakukan di Pematang Sawa, Tanjungan pada hari Rabu, 23 November 2022 pukul 09.00 – 15.00 bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi hutan. Sedangkan, untuk kegiatan pengamatan satwa liar yang dilakukan pada tipe ekosistem hutan pantai dilakukan pada hari Kamis, 24 November 2022 pukul 10.00 – 15.00 di Pulau Naga.

(15)

2.2. Bahan Kegiatan

Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan pelaksanaan “Praktikum Umum Kehutanan” untuk kegiatan yang dilakukan antara lain:

 Aquades

 Alkohol

 Plotting

 Sampel tanah

 Satwa liar 2.3. Alat Kegiatan

Alat yang digunakan dalam pelaksanaan “Praktikum Umum Kehutanan”

dalam pembuatan kegiatan Analisis Vegetasi, Pengamatan Satwa, Pendugaan Simpanan Karbon, Pengamatan Sifat Fisik dan Kimia Tanah serta Klimatologi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Hutan Mangrove Tanjungan, dan Hutan Pantai Pulau Naga.

A. Analisis Vegetasi

Alat yang digunakan dalam kegiatan Analisis Vegetasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Hutan Mangrove Tanjungan, dan Hutan Pantai Pulau Naga adalah sebagai berikut:

 Pita ukur

 Pita meter

 Tali tambang

 Tali rafia

 Haga

 Kompas Bidik

 Golok

Gambar 1 Peta Lokasi Praktikum Umum Kehutanan

(16)

 Tally sheet

 Biopori

 Alat tulis

 Kamera

 Kertas milimeter dan kalkir B. Pengamatan Satwa

Alat yang digunakan dalam kegiatan Pengamatan Satwa di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Hutan Mangrove Tanjungan, dan Hutan Pantai Pulau Naga adalah sebagai berikut:

 Binokuler atau monokuler

 GPS

 Field guide

 Kamera digital

 Sarung tangan

 Perangkap tikus

 Selai kacang/ terasi

 Kain kassa

 Tali rafia warna terang

 Timbangan analitik

 Jangka sorong/ penggaris

 Alat bedah ikan

 Syringe 1, 3, dan 5 cc

 Trashbag bening

 Triplek

 Lem tikus gajah

 Head lamp

 Tongkat ular

 Baterai AAA

 Termometer basah kering

 Kapas

 Antiseptik

 Gloves

 Toples

 Kotak plastic

 Alkohol 70% dan 96%

 Plastik specimen 2kg

 Ponco

 Sepatu booth

(17)

C. Pendugaan Simpanan Karbon

Alat yang digunakan dalam kegiatan Pendugaan Simpanan Karbon di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Hutan Mangrove Tanjungan, dan Hutan Pantai Pulau Naga adalah sebagai berikut:

 Pita ukur

 Pita meter

 Tali tambang

 Tali rafia.

 Haga yang

Walking Stick 130 cm

 Golok

 Tally sheet

 Alat tulis

D. Sifat Fisik dan Kimia Tanah serta Klimatologi

Alat yang digunakan dalam kegiatan Sifat Fisik dan Kimia Tanah serta Klimatologi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Hutan Mangrove Tanjungan, dan Hutan Pantai Pulau Naga adalah sebagai berikut:

 Termometer Dry-wet

 Kantong plastic (daya tampung 2kg)

 Botol air mineral (500 ml – 1000 ml)

 Botol bekas tempat film (5 buah)

 Penggaris 30 cm

 Air mineral/aquades

 Tabel indicator pH tanah

 Munseil soil colour

 Kamera 2.4. Prosedur Kegiatan

2.4.1. Analisis Vegetasi Hutan

Langkah kerja yang dilakukan pada kegiatan analisis vegetasi hutan tipe ekosistem hutan dataran rendah dan pantai dilakukan dengan langkah kerja yang sama. Pada tipe ekosistem hutan dataran rendah, dibuat 8 plot pada 2 lokasi yang berbeda (5 plot pada lokasi pertama dengan ukuran 20 x100 meter, dan 3 plot pada lokasi kedua dengan ukuran 20 x 60 meter). Pada setiap plot yang dibuat, dilakukan pembuatan petak didalamnya dengan ukuran dan kriteria :

 2 x 2 meter untuk kegiatan analisis tingkat semai dengan kriteria tinggi

< 1,5m serta tumbuhan bawah/semak/herba.

 5 x 5 meter untuk kegiatan analisis tingkat pancang dengan kriteria tinggi > 1,5m dan diameter batang < 10 cm serta palem-paleman.

(18)

 10 x10 meter untuk kegiatan analisis tingkat tiang dengan kriteria diameter batang >10 cm s/d < 20 cm.

 20 x 20 meter untuk kegiatan anlisis tingkat pohon dengan kriteria diameter batang > 20cm.

Pada kegiatan analisis vegetasi hutan ekosistem tipe hutan Mangrove, dibuat 3 plot dengan ukuran 10 x 30 m. Pada setiap plot yang dibuat, dilakukan pembuatan petak didalamnya dengan ukuran dan kriteria :

 2 x 2 meter untuk kegiatan analisis tingkat semai dengan kriteria tinggi

< 1,5m serta tumbuhan bawah/semak/herba.

 5 x 5 meter untuk kegiatan analisis tingkat pancang dengan kriteria tinggi > 1,5m dan diameter batang < 10 cm serta palem-paleman.

 10 x10 meter untuk kegiatan analisis tingkat tiang dengan kriteria diameter batang >10 cm s/d < 20 cm.

Pada kegiatan analisis vegetasi hutan tipe ekosistem pantai, dibuat 5 plot dengan ukuran 20 x 100 meter. Pada setiap plot yang dibuat, dilakukan pembuatan petak didalamnya dengan ukuran dan kriteria :

 2 x 2 meter untuk kegiatan analisis tingkat semai dengan kriteria tinggi

< 1,5m serta tumbuhan bawah/semak/herba.

 5 x 5 meter untuk kegiatan analisis tingkat pancang dengan kriteria tinggi > 1,5m dan diameter batang < 10 cm serta palem-paleman.

 10 x10 meter untuk kegiatan analisis tingkat tiang dengan kriteria diameter batang >10 cm s/d < 20 cm.

 20 x 20 meter untuk kegiatan analisis tingkat pohon dengan kriteria diameter batang > 20cm.

2x2 5x5

10x10 20x20

20x20

10x10 5x5

2x2

20x20

10x10 5x5

2x2

Gambar 2 Ilustrasi Jalur Plot Petak

(19)

2.4.2. Pendugaan Simpanan Karbon

Langkah kerja yang dilakukan pada kegiatan pendugaan simpanan karbon tipe ekosistem hutan dataran rendah dan pantai dilakukan dengan langkah kerja yang sama. Pada tipe ekosistem hutan dataran rendah, dibuat 8 plot pada 2 lokasi yang berbeda (5 plot pada lokasi pertama dengan ukuran 20 x 100 meter, dan 3 plot pada lokasi kedua dengan ukuran 20 x 60 meter). Hutan mangrove dibuat 3 plot dengan ukuran 10 x 30 m. Pada setiap plot yang dibuat, dilakukan pembuatan petak didalamnya dengan ukuran dan kriteria Pada setiap plot yang dibuat, dilakukan pembuatan petak di dalamnya dengan ukuran dan kriteria yang telah tertera dalam langkah kerja analisis vegetasi. Namun, untuk pendugaan simpanan karbon hanya tiang dan pohon yang memenuhi kriteria untuk dapat dihitung nilai simpanan karbon dari setiap ekosistem yang telah di analisis vegetasinya. Pendugaan simpanan karbon menggunakan persamaan allometrik. Persamaan allometrik merupakan perndugaan karbon yang berdasarkan diameter dari tiang dan pohon. Prosedur dari pendugaan simpanan karbon adalah sebagai berikut:

1) Pengambilan data simpanan karbon pada pohon dan tiang disetiap plot

2) Diambil data keliling menggunakan pita ukur

3) Diambil data tinggi total dan tinggi bebas cabang mengunakan walking stick atau hagameter

4) Diambil data arah tajuk menggunakan kompas Analisis data

Data yang diperoleh dari lapangan dilakukan analisis dan diolah menjadi sebuah data jumlah biomassa (ton/ha), cadangan karbon (ton/ha), dan simpanan karbon (ton/ha), untuk memperoleh data tersebut menggunakan rumus:

a. Persamaan alometrik

𝑌 = 2,0366 𝐷−0,111 b. Jumlah biomassa (kg/ha)

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑘𝑔 ℎ𝑎)

= 2,0366 × 𝐷−0,111× 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 c. Jumlah biomassa (ton/ha)

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑡𝑜𝑛

ℎ𝑎) = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑘𝑔 ℎ𝑎) 10000

d. Cadangan karbon (ton/ha)

𝐶𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 = 0,5 × 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑡𝑜𝑛 ℎ𝑎) e. Simpanan karbon (ton/ha)

𝑆𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 = 3,667 × 𝐶𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛

(20)

2.4.3. Keanekaragaman Jenis Satwa Liar

Prosedur kerja yang dilakukan pada pengamatan keanekaragaman jenis satwa liar memiliki taksa yang berbeda untuk diamati. Pada kegiatan pengamatan satwa liar taksa yang diamati adalah burung/aves, herpetofauna, dan mamalia. Langkah kerja dari setiap taksa yang diamati adalah sebagai berikut:

A. Burung

Metode yang digunakan untuk kegiatan pengamatan burung adalah metode IPA (Index Point of Abudence). Radius pengamatan untuk setiap titik yaitu 50 meter dengan rentang waktu selama 20 menit setiap titiknya sebelum akan berpindah tempat ke titik selanjutnya yang berjarak 60 meter. Pada pengamatan taksa burung ini, dilakukan pengambilan data berupa waktu perjumpaan, jenis, sex (jenis kelamin) jika diketahui, jumlah, jarak, jarak tegak lurus, ketinggian satwa dari tanah (Z), aktivitas, jenis tumbuhan, tinggi tumbuhan serta catatan tertentu. Data habitat burung yang diambil adalah kondisi umum habitat baik fisik serta vegetasi habitat yang akan mempengaruhi pakan burung.

B. Herpetofauna

Satwa yang diamati pada kegiatan pengamatan taksa Herpetofauna meliputi Reptil dan Amfibi. Pada kegiatan pengamatan ini, metode yang digunakan adalah metode VES (Visual Encounter Survei). Pengamatan dilakukan pada malam hari pukul 19.00 – 21.00 yang dilakukan di sepanjang badan sungai yang mengalir. Data yang diambil dalam kegiatan pengamatan herpetofauna ini meliputi waktu pertemuan, jenis, jumlah individu, aktivitas, posisi satwa (X = jarak satwa dari badan air, Y = ketinggian satwa dari badan air, Z = jarak pertemuan satwa dari titik awal), aktivitas, serta substrat. Amfibi dan reptil yang ditentukan dimasukan kedalam plastik sampel yang diberikan label untuk kemudian akan dilakukan identifikasi serta pengawetan dengan cara dilakukan perendaman dengan alkohol. Selain dengan metode VES, digunakan

r=50m

200 m

1000 m

Gambar 3 Ilutrasi Metode Pengamatan

(21)

juga pengamatan herpetofauna menggunakan metode penangkapan yang dilakukan pada pagi hari dengan durasi pengamatan selama 1 jam. Pada hal ini, papan triplek berukuran 30 x 30 cm dibaluri dengan lem tikus yang kemudian akan diletakan pada posisi tertentu pada lokasi yang sudah ditentukan.

Dilakukan pemeriksaan setiap 15 menit sekali untuk pengambilan foto.

C. Mamalia

Metode yang digunakan pada pengamatan taksa mamalia adalah metode Line Transect serta Trapping. Metode Line Transect dilakukan bersamaan dengan pengamatan taksa burung dimana digunakan metode jalur yang berjarak 100 meter dan dilakukan pencatatan data sesuai dengan pengambilan data yang dilakukan seperti waktu perjumpaan, jenis, jumlah individu, jenis kelamin (jika diketahui), kelas umur (jika diketahui), persebaran, aktivitas serta posisi penemuan satwa. Selain Line Transect, digunakan juga metode Trapping dimana dipasang 2 buah perangkap yang diletakan pada hari pertama pengamatan satwa sesuai dengan lokasi pengamatan mamalia tiap-tiap kelompok. Perangkap yang digunakan ini dilengkapi dengan sebuah terasi yang dipasangkan pada pengait yang ada didalam perangkap yang fungsinya akan memancing satwa untuk masuk kedalam perangkap. Setelah satwa yang masuk kedalam perangkap mulai menyentuh terasi yang dipasangkan, pintu perangkap yang terbuka akan otomatis langsung tertutup sesuai dengan sistem kerja perangkap yang digunakan. Untuk metode Trapping ini, perangkap akan ditinggalkan di lokasi pengamatan selama 24 jam dan akan dilakukan pemeriksaan pada pengamatan burung & mamalia keesokan harinya pada pagi dan sore hari.

2.4.4. Potensi dan Analisis Hasil Hutan Bukan Kayu

Proses penggalian potensi hasil hutan bukan kayu yang dilakukan menggunakan metode yang berbeda-beda sesuai dengan tiap-tiap tipe ekosistem hutan. Untuk analisis potensi HHBK yang dilakukan di hutan dataran rendah dan dilakukan dengan 2 cara yaitu melakukan wawancara dengan warga setempat untuk menggali potensi hasil hutan bukan kayu, serta diberikan pemaparan materi oleh Bapak Asmawan Priyadi mengenai hasil hutan bukan kayu berupa madu. Untuk analisis potensi hasil hutan bukan kayu yang dilakukan dengan wawancara warga setempat yang dilakukan pada hari Jumat, 25 November 2022. Dilakukan wawancara terhadap seorang Nelayan setempat bernama Junaidi yang telah berprofesi sebagai nelayan selama 15 tahun. Bapak Junaidi diwawancarai langsung ketika beliau sedang bersiap-siap sebelum berlayar. Wawancara berlangsung selama 25 menit sembari mengambil data mengenai potensi ekonomi yang berada di desa Tanjungan.

Selain dengan wawancara, analisis potensi hasil hutan kayu juga dilakukan dengan cara pemaparan materi yang diberikan oleh Bapak Asmawan Priyadi selaku pemilik peternakan lebah Klanceng. Lebah klanceng ini nantinya akan menghasilkan 2 jenis madu yaitu madu klanceng dan godokan.

Disampaikan materi oleh bapak Ansawan Priyadi mengenai teknik dan

(22)

tantangan dalam proses pengolahan madu mulai dari cara pemeliharaan lebah hingga proses pengemasan madu. Setelah disampaikan materi, mahasiswa diberikan kesempatan untuk bertanya oleh Narasumber selama 30 menit.

(23)

III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Tanah dan Iklim

Tanah merupakan lapisan teratas lapisan bumi. Tanah memiliki ciri khas dan sifat-sifat yang berbeda antara tanah di suatu lokasi dengan lokasi yang lain.

Menurut (Dokuchaev, 1870) dalam (Michelle Fauziek, 2018) tanah adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari material induk yang telah mengalami proses lanjut, karena perubahan alami di bawah pengaruh air, udara, dan macam-macam organisme baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Tingkat perubahan terlihat pada komposisi, struktur dan warna hasil pelapukan. Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat berfungsi penting dalam kelangsungan hidup makhluk hidup. Bukan hanya fungsinya sebagai tempat berjangkarnya tanaman, penyedia sumber daya penting dan tempat berpijak tetapi juga fungsinya sebagai suatu bagian dari ekosistem.

Hasil suatu jenis tanaman di dalam suatu ekosistem dan vegetasi bergantung pada interaksi antar faktor genetis serta faktor lingkungannya seperti jenis tanah, topografi, pengelolaan, pola iklim dan teknologi. Salah satu faktor lingkungan yang paling mempengaruhi pertumbuhan di dalam suatu ekosistem adalah faktor tanah (Karyati, 2014). Terdapat beberapa karakteristik tanah yang mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan dari tumbuhan diantaranya yaitu sifat fisik tanah yang meliputi tekstur tanah, struktur tanah, serta kematangan tanah, dan sifat kimia tanah yang peliputi KTK serta pH dari tanah tersebut.

Kematangan tanah berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah serta ketersediaan hara yang terkandung dalam meningkatkan produktivitas suatu lahan.

Reaksi tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap daya larut ion-ion serta aktivitas mikroorganisme (Harris, 1992). Selain faktor tanah, iklim merupakan salah satu faktor yang paling penting di dalam pertumbuhan tanaman. Keadaan tanah sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim, yaitu hujan, suhu serta kelembaban. Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor penting karena memiliki pengaruh terhadap proses metabolisme tumbuhan dan tingkat keanekaragaman spesies dalam suatu vegetasi atau ekosistem.

3.2. Analisis Vegetasi

Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya. Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Tingkatan pertumbuhan pohon menurut (Kartawinata, 1976) yaitu semai (Seedlings) : tingginya kurang dari 150 cm, pancang/sapihan (Saplings) : tingginya lebih dari 150 cm dengan diameter batang, kurang dari 10 cm, tiang (Poles) : diameter batang 10-20 cm, diameter setinggi dada, dan pohon : diameter batang lebih dari 20 cm.

(24)

Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan indeks nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Irwanto, 2007). Keberadaan vegetasi mempunyai peranan dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan, melindungi sumber air, tanah, baik dalam mencegah erosi, dan menjaga stabilitas iklim global serta berperan sebagai paru-paru dunia dan menjaga kestabilan lingkungan (Budiman, 2004). Vegetasi akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit merupakan bagian dari biomassa atas permukaan (Putri Aria Isnaini., 2012).

(LS, 2003) menyatakan bahwa secara umum biomasa adalah total kandungan material organik suatu organisma hidup pada tempat dan waktu tertentu. (Whittaker, 1975) menyatakan bahwa biomasa tumbuhan merupakan material kering dari suatu organisma hidup (tumbuhan) pada waktu, tempat dan luasan tertentu, sehingga satuan biomasa tumbuhan biasanya dinyatakan dalam kg/m2 atau ton/ha. Untuk mengetahui potensi biomasa dan simpanan karbon tersebut diawali terlebih dahulu dengan melakukan inventarisasi secara sensus jenis-jenis tanaman berkayu penyusun hutan rakyat yang berdiameter batang di atas atau sama dengan 10 cm (tingkat tiang/poles). Data hasil inventarisasi ini dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan tanaman berkayu penyusun hutan rakyat meliputi pertumbuhan diameter batang setinggi dada, tinggi, kerapatan pohon dan luas bidang dasarnya.

3.3. Satwa Liar

Keanekaragaman satwa liar di Indonesia sangat beragam sehubungan dengan variasi keadaan tanah, letak geografi dan keadaan iklim. Hal ini ditambah pula dengan keanekaragaman tumbuhan sebagai habitat satwa. Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki hutan tropika yang sangat luas dan merupakan gudang keanekaragaman biologis yang penting di dunia, karena di dalamnya terdapat sumber daya alam hayati lebih dari 25 ribu jenis tumbuhan berbunga dan 400 ribu jenis satwa daratan serta berbagai perairan yang belum banyak diketahui (Nugroho, 2017). Satwa liar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam ( (Bailey, 1984) dalam (Alikodra H. S., 2002)). Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang KSDAHE, satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Interaksi antar makhluk hidup yang terjadi pada sebuah ekosistem, berguna untuk menjaga kestabilan ekosistem tersebut. Jika interaksi antar makhluk hidup tidak berjalan dengan baik dan seimbang, akan ada sebuah ketimpangan yang terjadi pada suatu ekosistem, dan itu tidak baik untuk ekosistemnya, atau untuk makhluk hidup yang ada di dalamnya.

Menurut ( (Alikodra H. S., 2012) dalam (Rudini, 2016)) kondisi satwa

(25)

sangat bergantung dengan kualitas dan kuantitas habitat yang mencukupi, bagi dukungannya terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Fauna yang mudah teramati adalah jenis-jenis burung dengan habitat di kanopi pohon. Rapatnya kanopi (tajuk) hutan dengan ketinggian 15-20m dalam waktu singkat relatif sulit untuk mengenali jenis burung berdasarkan morfologi (Heriyanto, 2019). Indikator keberhasilan suatu perubahan tahapan pertumbuhan vegetasi dapat dilihat dengan keberadaan tumbuhan dan satwa. semakin jenis banyak tumbuhan dan satwa yang dapat hidup dan berkembang biak, maka semakin baik keadaan ekosistem lahan tersebut (Hasibuan S. S., 2018).

Hutan tidak hanya bermanfaat secara ekonomi tapi juga bermanfaat secara ekologi (Nurlia, 2016). sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya di hutan. Hutan memiliki potensi sebagai sumber pangan alternatif salah satunya yaitu pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

3.4. Hasil Hutan Bukan Kayu

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) berasal dari bagian pohon atau tumbuh- tumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan masyarakat, dijual sebagaikomoditi ekspor atau sebagai bahan baku untuk industri. Masyarakat hutan dapat memanfaatkan HHBK baik secara konsumtif (dikonsumsi langsung) seperti binatang buruan, sagu, umbiumbian, buah-buahan, sayuran, obatobatan, kayu bakar dan lainnya, maupun secara produktif (dipasarkan untuk memperoleh uang) seperti rotan, damar, gaharu, madu, minyak atsiri dan lainnya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu haruslah menjadi inti dari pemanfaatan hasil hutan. Disamping dapat melestarikan hutan secara umum, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lebih diartikan sebagai pemanfaatan secara berkelanjutan dari hutan tanpa tegakanya atau memanfaatkan hasil sampingan dari pohon atau hasil hutan lainnya (Rizal Herianto, 2019).

Salah satu HHBK yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan merupakan salah satu sumber pencaharian masyarakat adalah madu. Madu memiliki manfaat yang besar untuk kesehatan tubuh seseorang, tidak jarang juga masyarakat yang mengkonsumsi madu untuk dijadikan alternatif pengobatan. Terdapat banyak jenis lebah yang dapat menghasilkan madu seperti lebah Apikalis, Geniotrigona thoracica, dan Itama. Kualitas madu yang baik (murni) tanpa oplosan akan menghasilkan khasiat yang lebih baik juga sehingga akan meningkatkan nilai ekonomi dari madu tersebut.

(26)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Vegetasi Hutan 4.1.1. Hutan Dataran Rendah

A. Tanah dan Iklim

Pada penelitian sifat fisik tanah dilakukan di plot 1,2 dan 3 dengan kedalaman 15 cm sampai 30 cm (Tabel 1).

Table 1 Hasil pengamatan tanah hutan dataran rendah Sifat

Tanah Plot

Sifat Fisik 1 2 3

Tebal

Solum 15 30 15 30 15 30

Tekstur Loamy sand

Loamy

sand Silt Loam Silt Loam Loam Sand Struktur Granular

Angula r Blocky

Angular

Blocky Plate Like Plate Like Granula r

Warna

10 Yr 3/4 (Dark Yellowis h Brown)

7,5 Yr 3/3 (Dark Brown)

10 Yr ¾ (Dark Yellowis h Brown)

10 Yr 3/4 (Dark Yellowis h Brown)

10 Yr 3/4 (Dark Yellowis h Brown)

7,5 Yr 3/3 (Dark Brown) Kematanga

n Tanah Mentah Mentah Mentah Mentah Mentah Mentah

Sifat Kimia 1 2 3

pH 7,50 7,38 6,50 7,74 7,20 6,83

KTK Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Daerah penelitian ini memiliki topografi yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit–bukit curam bergunung– gunung dengan ketinggian berkisar antara 0 – 1964 mdpl. Berada di ekosistem hutan dataran rendah dengan jenis tanah sebagian besar adalah tanah podsolik dan jenis tanah renzina dengan warna merah kuning sampai kecoklatan. Tanah tersebut labil dan rawan erosi dengan lereng yang terjal. Jenis tanah tersebut merupakan jenis tanah yang mengalami pelapukan dengan karakteristik pH asam sampai dengan netral, dengan kandungan hara yang rendah tetapi tergantung pada tiap lokasinya.

Sifat fisik berkaitan dengan tebal solum, tekstur, struktur, warna dan kematangan tanah, dapat dilihat pada hasil penelitian terlihat pada Tabel 1.

Pengambilan tanah tersebut dilakukan sesuai dengan tebal solum dari masing-

(27)

masing plot dengan kedalaman 15 cm – 20 cm. Pada tabel ini terlihat bahwa tekstur tanah menunjukkan sifat halus atau kasar butiran-butiran tanah dimana secara garis besar tanah terdiri atas susunan butiran-butiran pasir (sand), debu (silt), dan lempung (clay). Maka tekstur yang didapatka ialah lempung berpasir (loamy sand) pada plot pertama dengan kedalaman 15 cm dan 30 cm, sedangkan pada plot kedua didapatkan bertekstur lempung berdebu dengan masing kedalaman tanah 15 cm dan 30 cm, selanjutnya pada plot ketiga dengan kedalaman 15 cm bertekstur lempung (loam) sedangkan pada kedalaman 30 cm di plot ketiga tanah tersebut bertekstur pasir (sand), tanah pasir biasanya memiliki kesuburan tanah yang rendah dibandingkan tanah liat karena rendahnya daya simpan air dan unsur hara pada tanah pasir (Henrianto, A., D , 2019). Selanjutnya potongan-potongan kecil (struktur tanah) memiliki bentuk, ukuran dan stabilitas (ketahanan) yang berbeda-beda (Sugiharyanto, 2009).

untuk struktur tanah pada tanah tersebut di dominasi oleh granular, gumpal bersudut, dan lempeng memiliki agresi granular yang bagus mempunyai konduktivitas hidrolik yang tinggi dan memiliki material yang baik dalam mendukung pembangunan karena mempunyai kapasitas daya dukung yang tinggi dan relatif padat (Hardiyatmo, 2006).

Hasil analisis warna tanah pada ekosistem tersebut menunjukkan bahwa rata-rata warna pada ekosistem hutan dataran rendah mendekati gelap yaitu (Dark yellowish brown), warna tanah yang semakin gelap menunjukkan adanya kandungan bahan organik yang tinggi. Semakin gelap warna pada tanah maka kandungan bahan organiknya akan semakin tinggi dan berperan penting dalam kesuburan tanah. Perbedaan pada warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut, pada umumnya perbedaan tersebut disebabkan oleh kandungan bahan organik yang lebih dari satu persen (Hardjowigeno, 2015). Tingkat kematangan tanah pada ekosistem ini mentah yang menandakan bahwa tanah pada vegetasi di hutan dataran rendah kurang mampu menahan beban sehingga mudah longsor dan rawan erosi. Hal ini karena lokasinya curam dan berlereng.

Sifat kimia tanah pada penelitian ini dipengaruhi oleh nilai pH dan KTK tanah. Pengukuran sifat-sifat kimia tanah sebagai parameter kesuburan tanah yang sesuai dengan kriteria dari kesuburan tanah tersebut (Nasution, 2015).

Nilai pH tanah dipengaruhi oleh banyaknya konsentrasi ion di dalam tanah yang mempengaruhi indikator asam, netral dan basa yang dapat dipengaruhi oleh jenis tanahnya, jika konsentrasi ion H+ bertambah maka nilai pH turun dan sebaliknya, jika konsentrasi OH bertambah maka Ph naik (Astria, 2015).

Pengamatan pada sifat kimia tanah pada kali ini didapatkan pH sesuai tabel sifat tanah yang berbeda pada setiap plot. Dengan ini bisa dikatakan pH tanah pada pengamatan rata-rata adalah netral. Hal tersebut karena tanah masih muda dan masih bisa berkembang sehingga sesuai dengan syarat tumbuh klasifikasi kesesuaian tanaman. Sedangkan nilai KTK tanah pada tabel bagian sifat kimia tanah diperoleh hasilnya adalah rendah, karena jenis tanah di daerah tersebut termasuk ke dalam jenis tanah muda dan baru berkembang serta belum banyak mengalami proses pencucian, selain itu kandungan pada tanah tersebut adalah

(28)

mengandung bahan organik yang rendah atau cenderung tanah-tanah berpasir (Ida Suryani, 2014).

Lokasi tempat penelitian di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan menghasilkan suhu berkisar 22°C-26°C. Menurut Arief (1994) pertumbuhan yang baik bagi tumbuhan bawah memerlukan suhu 15-26°C untuk tumbuh optimal,apabila suhu terlalu tinggi atau rendah akan menyebabkan tumbuhan tersebut mati. Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi secara pengertian kedua hal ini berbeda. Cuaca adalah kondisi fisik udara dalam kurun waktu dan lokasi tertentu. Sedangkan, iklim adalah kondisi lebih lanjut dari kondisi cuaca yang dapat disusun dan dihitung dalam bentuk rata-rata kondisi cuaca pada kurun waktu tertentu (Kemdikbud, 2020). Cuaca dapat terbentuk dari beberapa gabungan unsur-unsur yang dapat berubah dengan cepat baik dari pagi, siang, sore dan malam hari. Iklim juga dapat dikatakan merupakan gabungan dari beberapa unsur seperti radiasi matahari, temperatur, kelembaban, awan, hujan, tekanan udara, dan angin (Miftahuddin, 2016).

Pada hal ini, dilakukan pengambilan data suhu dan kelembaban udara yang dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dalam hal ini, digunakan termometer bola basah yang fungsinya untunk menghitung kelembaban udara secara manual. Pada hal ini, kotak penampung air yang berada dibawah termometer diisikan air sehingga sumbu termometer bola basah ini akan terendam air. Dalam hal ini, dilakukan pengamatan mengenai iklim hutan dataran rendah menggunakan termometer bola basah yang dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan (pagi dan siang) dengan ketentuan termometer diletakkan selama 30 menit dan dilakukan pengecekan suhu setiap 10 menit sekali. Pada termometer bola kering hari pertama, didapatkan rata-rata suhu sebesar 23°C pada pagi hari, dan 24°C pada siang hari. Sedangkan, pada termometer bola basah hari pertama didapatkan rata-rata suhu sebesar 22°C pada pagi hari, dan 23°C pada siang hari. Untuk kelembaban relative diperoleh hasil rata-rata sebesar 90% untuk kedua perulangan baik pagi dan siang hari sesuai dengan yang tertera di tabel klimatologi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sedangkan, pada hari kedua didapatkan rata-rata suhu bola kering sebesar 25°C pada pagi hari, dan 27°C pada siang hari. Untuk rata-rata suhu bola basah pada pagi dan siang hari didapatkan sebesar 24°C dan 25°C. Untuk kelembaban relative pada pagi hari didapatkan rata-rata sebesar 90% dan 84%

pada siang hari.

(29)

Table 2 Hasil pengamatan iklim hutan dataran rendah Pagi

Waktu

(menit) TBK T (˚C) TBB T (˚C) RH (%) T (˚C)

0 22.5 21,5 90 22

10 - - - -

20 - - - 22

30 24 23 90 23

Rata-Rata 23 22 90 22.5

Siang Waktu

(menit) TBK T (˚C) TBB T (˚C) RH (%) T (˚C)

0 24 23 90 23

10 - - - -

20 - - - -

30 24 23 90 23

Rata-Rata 24 23 90 23

Pagi Waktu

(menit) TBK T (˚C) TBB T (˚C) RH (%) T (˚C)

0 25 24 90 24

10 - - - -

20 - - - -

30 25 24 90 24

Rata-Rata 25 24 90 24

(30)

Siang Waktu

(menit) TBK T (˚C) TBB T (˚C) RH (%) T (˚C)

0 28 26 82 26

10 27 25 82 25

20 27 25 82 25

30 26 25 90 25

Rata-Rata 27 25 84 25

B. Vegetasi

Jumlah spesies yang ditemukan dalam penelitian berjumlah 87 spesies dari semua strata yaitu tumbuhan bawah sebanyak 34 spesies, pancang 21 spesies, tiang 9 spesies, dan pohon 23 spesies (Tabel 3).

Table 3 Jumlah spesies dan individu setiap habitus

No Habitus Jumlah Spesies Jumlah Individu

1 Tumbuhan Bawah 34 144

2 Pancang 21 67

3 Tiang 9 11

4 Pohon 23 74

Jumlah 87 296

Table 4 INP dan H' setiap habitus

No Habitus INP H'

1 Tumbuhan Bawah 200 2,69

2 Pancang 200 2,76

3 Tiang 300 2,146

4 Pohon 300 2,5

(31)

JUMLAH 1000 10,10

Gambar 4 Grafik H', R, E Hutan Dataran Rendah

Berdasarkan data tersebut diatas dapat kita ketahui bahwa jenis yang paling mendominasi pada lokasi yang survey adalah jenis Pake rane biru dan liana. Hal ini menunjukkan bahwa jenis itu memiliki nilai kerapatan, frekuensi, dan dominasi yang tinggi. Kerapatan menyangkut tingkat keseragaman terdapatnya individu suatu spesies di dalam suatu daerah (Ewusie, 1990). Sifat frekuensi yaitu tingkat seringnya jenis tersebut dapat dijumpai (Mayor 1985 dalam Kusmana 1989). Tumbuhan yang dominan dapat dikatakan merupakan jenis yang telah menyesuaikan diri terhadap pengaruh gabungan faktor lingkungan yang ada pada habitatnya. Jenis yang memiliki nilai dominasi tertinggi telah berhasil beradaptasi dengan lingkungannya sehingga sehingga jumlah individu tersebut lebih banyak daripada jenis yang lainnya. Hal tersebut sesuia dengan pendapat Soerianegara dan Indrawan (2002) yang mengatakan bahwa tumbuhan mempunyai korelasi nyata dengan tempat tumbuh dalam hal penyebaran jenis, kerapatan, dan dominasinya. Bentuk dari suatu vegetasi tumbuhan biasanya bervariasi dan memiliki jumlah yang banyak karena hidup berkoloni/berkelompok sehingga memiliki nilai kepentingan dan keanekaragaman.

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan-tumbuhan pada suatu komunitas merupakan salah satu parameter yang menunjukkan peranan spesies tumbuhan tersebut dalam komunitasnya tersebut. Kehadiran suatu spesies tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan kemampuan adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan(Soegianto 1994). Semakin besar nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan terhadap komunitas dan

(32)

sebaliknya. Penguasaan spesies tertentu dalam suatu komunitas apabila spesies yang bersangkutan berhasil menempatkan sebagian besar sumberdaya yang ada dibandingkan dengan spesies yang lainnya (Saharjo BH, 2011)

Berdasarkan tabel di atas perhitungan indeks nilai penting vegetasi tumbuhan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tumbuhan bawah didapat jumlah INPnya sebesar 200%. Nilai ini termasuk dalam kategori tinggi.

Menurut (Fachrul, 2007) kategorisasi nilai INP adalah sebagai berikut:INP>42,66 dikategorikan tinggi,INP 21,96- 42,66 sedang, dan INP<21,96 dikategorikan rendah. Besarnya nilai INP juga menggambarkan tingkat pengaruh suatu jenis vegetasi terhadap stabilitas ekosistem. Menurut (Biotrop, 2013) , umumnya spesies yang memiliki nilai INP yang tinggi mampu tumbuh dan berkembang di kawasan yang memiliki suhu tanah dan tingkat keasaman tanah yang tinggi.Tinggi rendahnya indeks keanekaragaman suatu komunitas tumbuhan tergantung pada banyaknya jumlah Spesies dan jumlah individu masih-masing jenis (kekayaan Spesies). Sebagaimana dijelaskan oleh (Indryanto, 2006) mengatakan bahwa keanekaragaman Spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman Spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan komponen-komponennya.

4.1.2. Hutan Mangrove A. Tanah dan Iklim

Tebal tanah yang diamati untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sedalam 15 dan 30 cm. Hasil uji fisik dan kimia tanah yang telah diamati disajikan pada (Tabel 5). Sifat fisik tanah yaitu meliputi tebal solum, tekstur, struktur, warna, dan kematangan tanah. Kemudian, sifat kimia meliputi pH dan KTK tanah.

Table 5 Hasil pengamatan tanah hutan mangrove

Sifat Tanah Plot

Sifat Fisik 2

Tebal Solum 15 30

Tekstur Sand Loamy Sand

Struktur Butir Tunggal Butir Tunggal

Warna

10 Yr. 4/3 Brown

2,5 Yr. 3/3 Brown

Kematangan Tanah Matang Matang

Sifat Kimia 2

Ph 7,24 7,35

KTK Tinggi Tinggi

(33)

Dapat diketahui bahwa tekstur tanah yang terdapat di Eksositem Hutan Mangrove Pematang Sawa adalah sand dan loamy sand dengan struktur butir tunggal yang menunjukkan tanah tersebut memiliki tesktur yang lempung sedikit berpasir. Tekstur tanah mempengaruhi kadar air tanah yang dapat diserap partikel tanah, tanaman yang ditanam pada tanah berpasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung, daya menyimpan airnya lebih besar sehingga penyerapan air dan unsur hara yang ada di sekitar perakaran tanaman dapat berlangsung dengan baik (Hardjowigeno S.

, 2003). Warna tanah yang terdapat di hutan mangrove pada ketebalan 15 dan 30 cm yaitu coklat (Brown), menurut (Dika, 2011) tanah yang berwarna cenderung gelap berarti mengandung bahan organik tanah yang berpengaruh terhadap kesuburan.

Hasil analisis sampel tanah menunjukkan bahwa kualitas tanah pada hutan mangrove di lokasi penelitian memiliki tanah yang baik, dilihat hasil pH tanah yang berada pada angka 7, nilai pH tanah ini masih cocok untuk pertumbuhan hamper semua jenis mangrove, karena dilihat dari hasil pH masih menunjukkan pH netral. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Fajar, 2013) pH kisaran 6 sampai dengan 7 merupakan pH yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove.

Table 6 Hasil pengamatan iklim hutan mangrove Pagi

Waktu (menit)

TBK T (˚C) TBB T (˚C) RH (%) T (˚C)

0 33 30,5 73 32

10 31,5 30 87 32

20 31,5 30 87 32

30 31,5 30 87 32

Rata-Rata 31 30 83 32

Siang Waktu

(menit)

TBK T (˚C) TBB T (˚C) RH (%) T (˚C)

0 31 30 91 31

10 31 28,5 79 31

20 30,5 27,5 79 31

30 30,5 28 87 31

Rata-Rata 31,875 28,5 84 31

(34)

Lokasi hutan mangrove di Pematang Sawa, Desa Tanjungan terletak sedikit jauh dari pesisir pantai, sehingga menghasilkan suhu yang berkisar antara 31-32°C (Tabel 6). Suhu yang didapat pada pengamatan klimatologi hutan mangrove sesuai dengan pernyataan (Giri CE, 2011) mangrove tumbuh pada lingkungan dengan salinitas tinggi, suhu tinggi, pasang surut yang ekstrim, sedimentasi tinggi, dan tanah anaerobic berlumpur. Mangrove merupakan eksosistem yang kaya akan karbon dan memiliki peranan penting dalam regulasi iklim, yaitu dengan kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar sebagai upaya mengimbangi emisi antropogenik CO2 (Mcleod E, 2011). Tingkat kelembaban hutan mangrove lebih kering daripada hutan tropis pada umumnya, karena adanya pengaruh angin laut. Suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies di dalam suatu habitat.

B. Vegetasi

Jumlah spesies yang ditemukan dalam penelitian berjumlah 10 spesies dari semua strata yaitu tumbuhan bawah sebanyak 4 spesies, pancang 3 spesies, dan pohon 3 spesies (Tabel 7).

Table 7 Jumlah spesies dan individu setiap habitus

No Habitus Jumlah Spesies Jumlah Individu

1 Tumbuhan Bawah 4 9

2 Pancang 3 18

3 Pohon 3 4

JUMLAH 10 31

Table 8 INP dan H' setiap habitus

No Habitus INP H'

1 Tumbuhan Bawah 200 1,21

2 Pancang 200 0,86

3 Pohon 300 1,03

JUMLAH 700 3,1

(35)

Gambar 5 Grafik H', R, E Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di kawasan pesisir pantai yang fungsinya menahan air laut atau laju gelombang pada saat terjadinya pasang tertinggi. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat penting bagi kawasan pesisir pantai, selain mempunyai proses wujud, susunan unsur atau zat dan keadaan tumbuhan yang berperan untuk memelihara keseimbangan mangrove, serta sangat berharga semacam menyediakan bahan gizi untuk makhluk hidup di laut, untuk tempat berkembang dan tempat mengasuh untuk berbagai organisme, sebagai menahan pengikisan tanah pada pesisir, untuk menahan angin, untuk menahan gelombang laut yang besar, meresap dalam sisa proses produksi, mencegah penerobosan air laut, sebagai penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, mempunyai ekonomi, dan lain-lain. Fungsi utama sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sumberdaya hutan mangrove, selain dikenal memiliki potensi ekonomi sebagai penangkapan ikan, kepiting dan lain - lain, juga berfungsi untuk menahan gelombang laut dan intrusi air laut ke arah darat.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Mangrove Peko Tanjungan ditemukan 4 jenis tumbuhan bawah yaitu Api-api ( Avicennia marina), Tuba Laut (Derris trifoliata), Jeruju (Achanthus ilicifolius), dan Asam pantai (Cupaniopsis anacardioides). Pancang yang di temukan 2 jenis Api-api (Avicennia marina), dan Asam pantai (Cupaniopsis anacardioides). Pohon terdapat pada hutan mangrove ada 3 jenis Api-api (Avicennia marina), Bakau (Rhizophora), dan Waru (Hibiscus tiliaceus). Dominan yang di dapatkan Api- api adalah jenis mangrove yang dapat tinggal pada lingkungan dengan minim cahaya dan suhu. Kemampuan itu didorong dengan bentuk adaptasi tumbuhan mangrove secara fisiologi, morfologi serta anatomi bertumbuh di sekitaran

(36)

pantai yang berlumpur dan berada di air asin, akar menjulang keatas lumpur yang berada disekeliling pohon api-api seperti paku, daun berwarna putih di sisi bagian bawah yang di lapisi kristal garam, biji api-api yang berkecambah dan pada bunga yang berguguran. Ciri-ciri tanaman Api-api ini cocok pada tanah yang berpasir Akar napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur kadar oksigen yang rendah ini mangrove melakukan adaptasi fisiologis dengan membentuk benjolan-benjolan kecil pada akar (Pneumatophore).

4.1.3. Hutan Pantai A. Tanah dan Iklim

Table 9 Hasil pengamatan tanah ekosistem hutan pantai

SIFAT TANAH PLOT

JALUR 1

A. Sifat Fisik 3

tebal solum (cm) 15 30

Tekstur Silty Clay loam Silty Clay loam

Struktur Gumpal Membulat Gumpal Bersudut

Warna Brown Very dark Grayish Brown

Kematangan tanah matang Matang

Konsistensi tanah Teguh Teguh

B. Sifat kimia

Ph 7,15 7,09

KTK Rendah Rendah

JALUR 2

A. Sifat Fisik 3

tebal solum (cm) 15 30

Tekstur Sandy Clay Loam Sandy Clay Loam

Struktur Remah butir tunggal

Warna Brown 4/3 7,5 YR Dark Brown 3/3 7,5 YR

Kematangan tanah matang Matang

Konsistensi tanah Gembur/lekat, plastis Teguh, lekat, plastis

B. Sifat kimia

Ph 6,9 7

KTK Tinggi Tinggi

(37)

Menurut (Syafitri & Setiawan, 2019), hutan pantai merupakan suatu hamparan lahan yang luas yang berupa tanah berpasir atau berbatu yang terletak di atas garis pasang tertinggi sehingga jarang tergenang oleh air laut serta bermanfaat sebagai habitat bagi berbeagai jenis tumbuhan dan hewan pantai.

Sifat Fisik Tanah berkaitan dengan tebal solum, tekstur, struktur, warna dan kematangan tanah hasil penelitian terlihat pada (Tabel 9). Pengambilan tanah dilakukan pada tebal solum sedalam 15 cm dan 30 cm. Pada tabel 1 terlihat bahwa tekstur tanah di kedalaman 15 cm dan 30 cm menunjukkan sifat halus, agak licin serta agak melekat (liat) ketika disentuh. Tekstur tanah silty clay loam yang didapatkan baik di jalur 1 pada kedalaman 15 cm maupun 30 cm menunjukkan perbedaan dengan jenis tanah di hutan pantai pada umumnya.

Pada umumnya, tanah yang berada di sekitar pesisir pantai didominasi oleh lahan berpasir dengan tingkat kesuburan dan bahan organik yang sangat rendah (Hasibuan A. S., 2015). Perbedaan ini diduga disebabkan karena letak pengambilan sampel tanah yang agak jauh dari pesisir pantai dan pada saat pengambilan. Struktur tanah yang didapatkan di jalur 1 pada kedalaman 15 cm adalah gumpal membulat dan pada kedalaman 30 cm memiliki struktur tanah gumpal bersudut. Gumpal membulat adalah kondisi dimana tanah dapat dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang secara fisik terlihat jelas, sedangkan gumpal bersudut merupakan jenis struktur tanah yang juga menggumpal namun pada ujung-ujungnya terbentuk seperti sudut yang tajam.

Tanah dengan struktur baik, adalah yang bentuknya membulat sehingga tidak saling bersinggungan dengan rapat, tidak mudah rusak karena pori-pori tanah tidak cepat tertutup bila terjadi hujan, mempunyai tata udara yang baik, unsur-unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah, memudahkan sistem perakaran tanaman untuk menyerap hara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih baik (Mutmainnah, Ayu,

& Oklima, 2021). Hal inilah yang menjadi salah satu pendukung mengapa tanah dalam plot contoh dapat membuat vegetasi-vegetasi tumbuh dengan subur.

Pada jalur 1 di kedalaman plot 15 cm, tanah yang di dapatkan memiliki warna brown dengan tingkat kematangan matang an mempunyai konsistensi teguh. Pada kedalaman tanah 30 cm, warna tanah yang didapatkan adalah very dark grayish brown, tanah yang didapat matang dan konsistensi tanah yang juga teguh. Dari sifat kimianya, pada tabel 3 terlihat bahwa di kedua kedalaman tanah mempunyai pH tanah yang netral dengan Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah. Kapasitas tukar kation merupakan suatau ukuran kemapuan kuantitas kation yang segera dapat dipertukarkan dan menetralkan muatan negatif tanah atau jumlah total negatif per unit berat bahan (Danyati, 2017).

Di jalur 2, baik itu pada kedalaman 15 cm dan 30 cm didapatkan tekstur tanah dengan jenis sandy clay loam. Struktur yang didapat pada kedalaman tanah 15 cm adalah remah dengan warna tanah Brown 4/3 7,5 YR, dan konsistensi tanah gembur lekat/plastis sedangkan di kedalaman 30 cm berbutir tunggal dengan warna Dark Brown 3/3 7,5 YR, dan konsistensi tanah berupa teguh, lekat dan plastis.

(38)

Table 10 Hasil pengamatan iklim hutan pantai

Jalur Waktu (Menit) TBK TBB RH (%) T

Jalur 1 (pagi hari)

0

27 27 0 23

27 27 0 23

27 27 0 23

Rata-rata 27 27 0 23

10

27 27,5 95 23

27 27,5 95 23

27 27,5 95 23

Rata-rata 27 27,5 95 23

20

28,5 28,5 0 23

28,5 28,5 0 23

28,5 28,5 0 23

Rata-rata 28,5 28,5 0 23

30

28,5 28,5 0 23

28,5 28,5 0 23

28,5 28,5 0 23

Rata-rata 28,5 28,5 0 23

Jalur 1 (Sore hari)

0

27,5 27,5 0 25

27,5 27,5 0 25

27,5 27,5 0 25

Rata-rata 27,5 27,5 0 25

10

28 27 91 25

28 27 91 25

28 27 91 25

Rata-rata 28 27 91 25

20

28 27 91 25

28 27 91 25

28 27 91 25

Rata-rata 28 27 91 25

30

28 27 91 25

28 27 91 25

28 27 91 25

Rata-rata 28 27 91 25

Jalur 2

0

27 27 0 29

27 27 0 30

26,5 26,5 0 30

Rata-rata 26,83 26,83 0 29,66

10

26 26 0 30

26 26 0 30

26 26 0 30

Rata-rata 26 26 0 30

Gambar

Gambar 1 Peta Lokasi Praktikum Umum Kehutanan
Gambar 2 Ilustrasi Jalur Plot Petak
Gambar 3 Ilutrasi Metode Pengamatan
Table 1 Hasil pengamatan tanah hutan dataran rendah Sifat
+7

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan banteng pada berbagai tipe vegetasi. Tipe vegetasi yang dimanfaatkan oleh banteng sebagai habitat.. terdiri atas padang penggembalaan, hutan dataran rendah, hutan

Tipe hutan mangrovenya adalah tipe hutan mangrove tepi (fringe mangrove). Daerah pesisir pantai Kampung Tobati, dulunya banyak didominasi oleh vegetasi mangrove,.. namun

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis dengan formasi hutan bervariasi yang terbagi ke dalam 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan pantai, vegetasi

Inventarisasi populasi banteng dilakukan di beberapa Upe ekosistem yaitu hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan tanaman dan

Penyebaran formasi vegetasi di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dibagi dalam beberapa tipe, yaitu hutan dataran rendah lahan kering yang terbuka, hutan

Disamping itu, provinsi Jambi juga memiliki hutan dataran rendah pada wilayah-wilayah menuju pantai timur yang landai serta hutan rawa (mangrove). Kelengkapan

Kawasan ini terdiri dari ekosistem hutan pantai sampai hutan hujan dataran rendah yang relatif masih asli, yang merupakan habitat penting bagi berbagai jenis

Vegetasi utama yang menyusun Bukit Barisan, terdiri atas: (1) Hutan hujan dataran rendah berupa formasi hutan pantai, yang terletak di semenanjung selatan Taman