• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Prosedur Pengamatan dan Analisis

1. Komposisi kimia ransum tikus percobaan

a. Kadar proksimat

Kadar air (SNI 1992)

Metode analisis kadar air yang dipakai adalah metode oven. Prinsip dari

metode ini adalah mengukur kehilangan bobot pada pemanasan 1050C yang

dianggap sebagai kadar air yang terdapat pada sampel. Sebanyak 1 – 2g sampel

ditempatkan ke dalam wadah kemudian dikeringkan pada oven suhu 1050C

selama 3 jam. Setelah didinginkan di dalam desikator, sampel ditimbang kembali. Pengeringan kembali dilanjutkan hingga memperoleh bobot yang konstan.

Selanjutnya dilakukan perhitungan sebagai berikut: % air = w/w1 x 100%

Keterangan: w = bobot sampel sebelum dikeringkan (gram)

w1= kehilangan bobot setelah dikeringkan (gram)

Kadar protein (AOAC 1995)

Metode yang digunakan adalah metode kjeldahl dengan prinsip penghitungan jumlah nitrogen total yang kemudian dikali dengan faktor konversi.

Sebanyak 100 – 250mg sampel ditempatkan ke dalam labu Kjeldahl selanjutnya

ditambahkan 1,9g K2SO4, 40mg HgO, 2mL H2SO4 pekat dan beberapa butir batu

didih untuk mencegah bumping. Sampel kemudian dipanaskan secara bertahap

hingga diperoleh larutan jernih. Setelah dingin, sampel dipindahkan ke labu

Selanjutnya, pada tabung erlenmeyer ditempatkan 5mL H3BO3 dan beberapa

tetes indikator merah metal – biru metil. Labu erlenmeyer kemudian ditempatkan

di bawah kondensor dengan ujung kondensor yang terendam di dalam larutan. Lakukan proses distilasi hingga diperoleh destilat sebanyak 15mL. Destilat yang didapatkan kemudian diencerkan sampai 50mL dengan akuades, selanjutnya

dititrasi dengan larutan HCl 0,02N standar hingga terbentuk warna abu – abu,

volume HCl yang terpakai untuk titrasi dicatat. Hal yang sama dilakukan pada larutan blanko. Kemudian dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:

% N = [(v1 – v2) x N HCl x 14,007]/berat sampel x 100

% protein = %N x 6,25

Keterangan: v1 = volume larutan HCl untuk titrasi sampel v2 = volume larutan HCl untuk titrasi blanko 6,25 = faktor konversi nitrogen menjadi protein

Kadar lemak (SNI 1992)

Metode yang digunakan adalah metode soxhlet dengan prinsip mengekstrak

lemak bebas dengan pelarut non polar. Sebanyak 1 – 2g sampel dimasukkan ke

dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Sumbat selongsong kertas berisi sampel dengan kapas lalu keringkan dalam oven dengan suhu maksimal

800C selama 1 jam. Selongsong selanjutnya dimasukkan ke dalam alat soxhlet

yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan ditimbang. Ekstraksi sampel dengan pelarut heksana atau pelarut lemak lainnya selama 6 jam lalu heksana disulingkan dan ekstrak dikeringkan

dalam oven pada suhu 1050C. Setelah dingin dilakukan penimbangan hingga

tercapai bobot tetap. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:

% lemak = (w – w1)/w2 x 100%

Keterangan: w = berat sampel (gram)

w1= berat lemak sebelum ekstraksi (gram) w2 = berat lemak setelah estraksi (gram)

Kadar abu (SNI 1992)

Prinsip dari pengujian kadar abu adalah dengan menguraikan zat organik

menjadi air dan CO2 sehingga hanya tersisa bahan anorganik. Sebanyak 2 – 3g

sampel ditempatkan ke dalam cawan porselen kemudian dilakukan pengabuan

dalam tanur listrik pada suhu maksimal 5500C. Dinginkan sampel di dalam

eksikator kemudian ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Selanjutnya

dilakukan perhitungan sebagai berikut: % Abu = (w1 – w2) / w x 100%

Keterangan: w = berat sampel sebelum diabukan (gram)

w1 = berat sampel dan cawan setelah diabukan (gram) w2 = berat cawan kosong (gram)

b. Kadar serat kasar (SNI 1992)

Prinsip dari pengujian ini adalah mengekstraksi sampel dengan asam dan

basa untuk memisahkan serat kasar dari bahan lain. Sebanyak 2 – 4g sampel

dihilangkan lemaknya dengan cara soxhlet sebanyak 3 kali lalu ditempatkan ke

dalam erlenmeyer 500mL. Kemudian dilakukan penambahan larutan H2SO4

1,25% sebanyak 50mL lalu dilakukan pendidihan selama 30menit. Selanjutnya dilakukan penambahan 50mL NaOH 3,25% lalu didihkan lagi selama 30menit. Saat masih panas, dilakukan penyaringan dengan corong bucher berisi kertas saring tak berabu tipe whatman 54,41 atau 541 yang telah dikeringkan dan ditimbang. Pencucian endapan yang ada pada kertas saring dilakukan

mengunakan H2SO4 1,25% panas, air panas dan etanol 96%. Kertas saring

diangkat beserta isinya lalu dikeringkan pada suhu 1050C dan ditimbang hingga

diperoleh berat konstan. Jika kadar serat kasar melebihi 1% maka kertas saring diabukan beserta isinya dan ditimbang sampai bobot tetap. Kemudian dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:

Serat kasar maksimal 1% = w/w2 x 100%

Serat kasar lebih dari 1% = (w – w1)/w2 x 100%

Keterangan: w = berat sampel (gram) w1 = berat abu (gram)

w2 = berat endapan pada kertas saring (gram)

catatan: kehalusan partikel sampel harus diperhatikan, disarankan sampel dapat

c. Kadar isoflavon (Wang et al. 1990)

Pengujian kadar isoflavon terdiri atas dua macam yaitu pengujian kadar isoflavon bebas dan pengujian kadar isoflavon total. Pada pengujian kadar isoflavon bebas, sebanyak 2 gram sampel ditempatkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 6 mL HCl 1M dan 24 mL asetonitril dan dilakukan pengadukan selama 30menit. Pada pengujian kadar isoflavon total, sebanyak 2gram sampel ditempatkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan

24mL HCl 1M kemudian dipanaskan pada suhu 98 – 1000C selama 2 jam. Setelah

proses pemanasan selesai, sampel dilarutkan dengan 96mL asetonitril dan dilakukan pengadukan selama 1 menit.

Setelah dilakukan pengadukan, baik pada pengujian kadar isoflavon bebas maupun kadar isoflavon total, sebanyak 1mL supernatant dilarutkan dengan 1 mL

H2O kemudian disaring dengan glass fiber filter ukuran 13 mm. Filtrat yang

didapat kemudian dianalisis menggunakan instrument HPLC yang dilengkapi

dengan katup penginjeksi berukuran β0 L, kolom C18 berdimensi panjang 30cm dan diameter 3,9mm dan detektor fluoresen yang terhubung dengan perangkat detektor UV.

Kondisi operasional pengujian yaitu menggunakan fase gerak campuran metanol dan 1mM ammonium asetat dengan perbandingan 6:4. Kecepatan alir fase gerak sebesar 1mL/menit. Detektor UV diatur pada panjang gelombang ( )

β45nm dan detektor fluoresen pada eksitasi sebesar 365nm serta menggunakan filter emisi pada 418nm.

2. Kondisi fisik dan kesuburan tikus percobaan

a. Penampilan dan aktivitas fisik (Krisen 1996)

Pengamatan penampilan dan aktivitas fisik dilakukan secara deskriptif. Pengamatan penampilan fisik dilakukan dengan cara mengamati morfologi tubuh

tikus yang meliputi kondisi bulu dan ada tidaknya tanda – tanda alergi. Kemudian

pengamatan aktivitas fisik dilakukan dengan cara mengamati keaktifan gerak tikus selama ±5 menit sehingga dapat diketahui apakah tikus dalam keadaan lincah, diam atau bergerak kurang seimbang.

b. Deteksi vaginal plug (Smith & Mangkoewidjojo 1988; Anggadiredja et. al. 2006)

Pengamatan terhadap ada atau tidaknya sumbatan air mani yang menjendal dalam vagina tikus betina (F0) yang menandakan terjadinya perkawinan. Jika tidak terdapat sumbatan air mani maka dilakukan pembuatan preparat apusan vagina yaitu dengan cara menggoreskan kapas yang mengandung NaCl 0,95% pada lubang vagina dan meletakkan goresan tersebut pada gelas objek kemudian diwarnai oleh metilen biru 0,1%. Preparat apusan vagina diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Jika terdapat sperma maka telah terjadi perkawinan dan hari tersebut tercatat sebagai hari ke 0 kehamilan.

c. Persen kebuntingan (Smith dan Mangkoewidjojo 1989)

Pengamatan kebuntingan dilakukan 10 – 14 hari setelah ditemukan sumbat

vagina yaitu dengan cara meraba perut tikus. Penghitungan persen kebuntingan tikus betina F0 dilakukan dengan menghitung jumlah tikus betina yang bunting dibagi dengan jumlah seluruh tikus betina yang mengalami perkawinan di dalam satu kelompok.

d. Motilitas sperma (Arifiantini 2012)

Sebelumnya dilakukan pengambilan sperma dengan cara menyayat bagian cauda epididimis dan memencet perlahan lalu menampung sperma yang keluar. Satu tetes sperma ditempatkan pada gelas objek lalu ditambahkan larutan NaCl fisiologis 0,9% dan dicampur sampai homogen. Gelas objek kemudian ditutup dengan gelas penutup.

Analisis motilitas sperma dilakukan di bawah mikroskop perbesaran 400x dengan cara menghitung jumlah sperma yang bergerak secara progresif dibagi jumlah seluruh sperma pada bidang pandang kemudian dikali 100%. Penilaian dilakukan pada lima hingga sepuluh bidang pandang.

e. Konsentrasi sperma (Arifiantini 2012)

Konsentrasi sperma dihitung menggunakan gelas hemasitometer. Sampel spermatozoa yang telah didapat kemudian dicampur dengan larutan pengencer.

Larutan sampel tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara memutar tabung

seperti angka delapan. Selanjutnya larutan sampel diambil sebanyak 8 – 10μL lalu

ditempatkan pada kamar hitung hemasitometer Improved Neubauer (Gambar 11). Hemasitometer yang telah diisi sampel kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Spermatozoa yang ada pada lima kotak/bidang pandang A, B, C, D dan E kemudian dihitung dan jumlah hitungan dimasukkan ke dalam rumus berikut:

Jumlah sperma = N/2 x 105 sperma/mL x Faktor Pengenceran (FP)

N = jumlah sperma pada kotak A, B, C, D dan E

Keterangan:

Volume kotak hemasitometer = 1mm x 1mm x 0,1mm

= 0,1mm3 = 10-7dm3= 10-4mL

Maka dalam 1mL terdapat 104 sel sperma, kemudian karena jumlah sperma yang

dihitung sebanyak 5 kotak dari 25 kotak (Gambar 11), maka:

Jumlah sperma seluruhnya = N x 25/5 x 104 sel/mL atau N/2 x 105 sel/mL x FP

f. Abnormalitas sperma (Arifiantini 2012)

Analisis abnormalitas sperma dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode pewarnaan eosin nigrosin. Pada pengujian ini dibutuhkan tiga gelas objek bersih. Gelas objek pertama diteteskan dengan eosin 2% kemudian dicampurkan sedikit dengan semen. Kedua larutan dihomogenkan dengan cepat. Gelas objek bersih kedua kemudian digunakan untuk menyinggungkan ujung gelas objek berisi campuran semen lalu dibuat preparat ulas pada gelas objek ketiga. Selanjutnya dilakukan penghitungan sperma abnormal dengan cara melakukan pengacakan dari 10 lapang pandang dengan jumlah sel minimal 200 sel.

Dokumen terkait